• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Penduduk asli (Etnik Betawi) vis-a-vis Penduduk Pendatang

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Sejarah Penduduk asli (Etnik Betawi) vis-a-vis Penduduk Pendatang

a. Identifikasi

Jakarta merupakan ibu kota Indonesia merupakan kota terbesar dan paling padat penduduknya di Indonesia, memiliki sejarah yang panjang. Dahulu kota ini berasal dari sebuah perkampungan kecil (bernama Kalapa, juga merupakan

sebuah bandar) dari kerajaan Hindu Tarumanagara, dengan rajanya Purnawarman. Kerajaan Tarumanagara memudar pada abad ke-7 M. Pada saat itu terjadi vacuum

kekuasaan politik di Kalapa. Pada masa vacuum itu, muncul kekuasaan Budha Sriwijaya sebagai periode interrugnum di Kalapa. Kemudian, pada abad ke-12 daerah Kalapa mulai menjadi bagian kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Pada saat itu, kerajaan pajajaran mendirikan kantor administrasi pelabuhan di Kalapa yang kemudian berfungsi sebagai pelabuhan kecil yang bernama Sunda Kalapa. Pelabuhan ini sudah banyak dikunjungi oleh para pedagang dan pelaut dari Sumatera, Malaka, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Pada saat itu, pelabuhan Sunda Kalapa merupakan pelabuhan paling ramai dibandingkan pelabuhan lain yang dikontrol kerajaan Pajajaran, seperti sejumlah pelabuhan di Cimanuk, Tengaran (Tanggerang). Pada masa-masa berikutnya, kota pelabuhan ini menjadi tujuan untuk menetap bagi kelompok etnik dari bagian nusantara lainnya, juga warga bangsa-bangsa dari belahan dunia lain.

Beberapa waktu setelah itu, yaitu sekitar tahun 1522, Portugis mengadakan perjanjian dengan penguasa Pajajaran untuk bisa membuat kastil di daerah Sunda Kalapa. Kemudian daerah Sunda Kelapa direbut dan dikuasai oleh Portugis. Namun berhasil direbut kembali oleh Fatahillah atau Raden Patah dari kerajaan Islam Demak, pada tanggal 22 Juni 1527. Bersamaan dengan hal tersebut, nama daerah Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta oleh Fatahillah yang artinya kemenangan yang sempurna.

Kemenangan bagi kota Jayakarta ternyata tidak mencapai satu abad. Tercatat bahwa pada tahun 1619 Belanda dengan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), dibawah kepemimpinan Jan Pieterszon Coen berhasil merebut Jayakarta yang kemudian mendudukinya. Pada tahun yang sama di wilayah tersebut mulai dibangun sebuah kota yang diberi nama Batavia, berfungsi sebagai sebuah benteng dan pos dagang, yang pada perkembangan selanjutnya kota ini menjadi pelabuhan utama VOC dan ibukota Hindia Belanda. Orang Belanda menghancurkan permukiman kaum pribumi dan menjadikan Batavia sebagai jiplakan kampung halaman mereka di Belanda waktu itu, lengkap dengan kanal, jembatan tarik, rumah kanal, kanopi susun, jalanan yang dikeraskan dengan batu- batu dan sebagainya. Untuk membangun kota Batavia, Belanda mendatangkan

budak dari Arakan (Burma), Andaman dan Malabar (India), juga dari beberapa daerah di Indonesia seperti Bali. Pada era Gubernur General Van der Varra (1761-1765) terjadi pendatangan budak dalam jumlah besar. Budak-budak ini dipekerjakan di perkebunan, penebangan hutan dan buruh bangunan.

Setelah perusahaan yang mendatangkan budak tidak berfungsi lagi, maka para budak mencari pekerjaan bebas dan berdiam di pemukiman yang ditentukan pemerintah Hindia Belanda. Para budak ini, yang mayoritas adalah non muslim (umumnya para budak telah dikristenkan), tidak kawin-mawin dengan penduduk asli setempat, kecuali mereka yang ditempatkan di daerah Kreol. Sebagai catatan, budak-budak kristen yang dimerdekakan disebut Mardijker (orang merdeka). Mereka kemudian berbahasa Betawi (sebelumnya berbahasa Portugis Kreol), tetapi tetap mempertahankan identitas kulturalnya, seperti agama dan pemberian nama anak (umumnya nama-nama khas kristen Belanda).

Periode selanjutnya, Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menduduki berbagai wilayah dan kota-kota di Indonesia termasuk Batavia. Namun dengan perjuangan yang berat, rakyat Indonesia berhasil membebaskan negaranya dari penjajah dan menyatakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta dan sejak itu nama Jakarta (singkatan dari Jayakarta) dipakai secara populer menggantikan nama-nama sebelumnya.

Selama berabad-abad lamanya wilayah yang saat ini disebut Jakarta menjadi tempat berkumpulnya berbagai bangsa dan suku bangsa dengan bermacam- macam adat istiadat, bahasa dan budaya daerahnya masing-masing. Namun, siapakah kiranya yang dapat disebut sebagai penduduk asli Jakarta? Pada awalnya para pendatang (Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar dan Sunda) ini masih menyandang budaya asalnya masing-masing. Kemudian terjadi proses asimilasi dari unsur-unsur beragam budaya dari kelompok-kelompok tertentu yang sudah hadir di Jakarta. Berbaurnya migran dari berbagai suku bangsa di seluruh tanah air dengan penduduk yang sudah ada di Kalapa pada saat itu, juga dengan bangsa-bangsa lain seperti Cina, Arab, Turki, Persia, Portugis, Inggris dan Belanda, mengakibatkan terjadinya perkawinan diantara mereka, sehingga terjadilah perpaduan adat istiadat, budaya dan falsafah hidup hingga melahirkan

suatu corak budaya dan tatacara yang baru. Dengan demikian sejak abad ke-19 nampak suatu proto type etnik Betawi yang kemudian melembaga dan melahirkan etnik Betawi.

Menurut Grinjs dan Nas, 2000, yang diterjemahkan pada tahun 2007, pandangan dominan yang lazim adalah Betawi merupakan keturunan budak atau bangsa Asia kelas rendah yang banyak terdapat di Batavia (pandangan ini ditinjau dari sudut demografi oleh Lance Castle pada tahun 1967). Karena kebijakan pemisahan etnik VOC, diperlukan hampir dua abad sebelum Betawi tampil sebagai kelompok etnik tersendiri yang lahir dari kawin campur berbagai keturunan, termasuk Cina, Bali, Jawa, Sunda dan orang-orang dari berbagai latar belakang etnik lainnya. Kehadiran etnik ini, menurut Castle dalam Shahab, 2004, baru tercatat pada Sensus Penduduk tahun 1930. Bersumber dari catatan kependudukan yang dikumpulkannya, secara demografi dapat disimpulkan etnik ini muncul antara tahun 1815 hingga 1893.

Pandangan lain berpendapat bahwa proses asimilasi pembentukan komunitas baru sudah berlangsung setidaknya sejak abad ke-10 M. Dari sudut pandang linguistik, menurut Nothofer (pakar linguistik Melayu) dalam Saidi, 2004, bahwa dialek Melayu yang kini dipakai masyarakat Jakarta (juga beberapa tempat lainnya seperti Bangka, Palembang, Pontianak, Serawak), merupakan variasi bahasa Melayu Purba (Polinesia) yang berasal dari Kalimantan Barat, yang menyebar lebih dari seribu tahun yang silam. Migran dari Kalimantan Barat ke Kalapa pada masa itu diperkirakan jumlahnya lebih besar dari penduduk setempat yang berbahasa Sunda Kuno. Proses asimilasi penduduk awal yang berbahasa Sunda Kuno dengan pendatang dari Kalimantan Barat yang berbahasa Melayu Polinesia ini membentuk suatu etnik baru dan terus berlangsung bercampur dengan unsur budaya yang beragam dari para pendatang pada periode berikutnya. Hingga abad ke-19 etnik baru tersebut dikenal dengan Melayu Jawa.

Menurut Saidi (2004), Betawi merupakan masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang datang dari berbagai penjuru dunia dan suku bangsa di Indonesia (Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar dan Sunda). Berbagai suku bangsa ini telah banyak kehilangan ciri asli nenek moyang mereka yang melalui pergaulan perdagangan dan perkawinan campur telah menjadi satu etnik khusus

yaitu Betawi (Koentjaraningrat, 1997). Etnik ini dikenal sebagai masyarakat yang

meltingpot”.

Dalam sebuah karangan pada abad ke-19 yang berjudul Kawantonan Ing Nagari Batawi yang ditulis oleh Raden Arya Sastradarma, pada tahun 1865 ia

melihat kelompok etnik Melayu Jawa menyebut dirinya sebagai ”orang Betawi”, bercampur dengan sebutan ”orang Selam”. Penyebutan diri sebagai orang Selam

tampaknya tidak banyak dipakai oleh orang Betawi pada abad ke-20. Orang Arab lebih suka menyebut orang Betawi sebagai orang Melayu.

Ada sebutan yang tidak populer untuk kelompok etnik ini pada sekitar abad ke-13, yaitu orang Semanan (berasal dari bahasa iban Senganan yang artinya orang yang baru masuk Islam). Dalam kitab Sanghyang Siksakhanda yang merupakan pedoman etik bagi orang Pajajaran dan taklukannya, diuraikan ketika pesisir utara Jawa mulai dari Cirebon, Kerawang, Bekasi terkena pengaruh Islam yang disebarkan oleh orang-orang Pasai, maka tidak sedikit orang-orang Melayu Jawa yang memeluk Islam. Penguasa Pajajaran menyebut mereka sebagai kaum langgara, berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya orang yang telah berubah atau beralih. Tempat berkumpul mereka disebut langgar (sampai saat ini orang Betawi masih menyebut langgar sebagai padanan musholah). Kaum langgara ini yang disebut Semanan.

Dalam perkembangannya masyarakat Betawi tinggal menyebar di Batavia.

Berdasarkan daerah penyebarannya serta kehidupan budaya yang

mempengaruhinya, masyarakat Betawi dibagi dua kelompok (Ramto, 1986 dalam Nilamsari, 2005), yaitu masyarakat Betawi Tengah dan masyarakat Betawi Pinggiran.

Masyarakat Betawi Tengah meliputi wilayah yang dulu disebut ”Gemente Batavia” minus Tanjung Priok dan sekitarnya, atau pada keadaan saat ini meliputi radius kurang lebih tujuh kilometer dari monas. Mereka banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari budayanya yang mencerminkan budaya Islam dan Melayu, seperti samrah, zapin dan rebana. Kelompok ini pada masa lalu mendapat kesempatan untuk maju, lebih jika dibandingkan Betawi pinggiran sehingga mencapai kedudukan The Rulling Class.

Masyarakat Betawi Pinggiran terbagi dua yaitu pinggiran bagian Utara dan pinggiran bagian Selatan. Masyarakat Betawi pinggiran bagian Utara pada keadaan saat ini meliputi Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Tangerang. Mereka banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina, dapat dilihat dari corak keseniannya antara lain gambang kromong cokek dan lenong. Sementara itu, masyarakat Betawi pinggiran bagian Selatan, yang pada keadaan saat ini meliputi wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bogor dan Bekasi yang. Mereka sangat kuat dipengaruhi kebudayaan Jawa dan Sunda tanpa menghilangkan unsur kebudayaa Betawi-Melayu itu sendiri. Kelompok ini memiliki keanekaragaman seni yang lebih kuat dibandingkan kelompok masyarakat Betawi lainnya, seperti kesenian topeng Betawi, tanjidor, rebana, wayang kulit, wayang wong, dan juga memiliki sebagian besar kesenian dari masyarakat Betawi bagian tengah maupun Utara. Namun seiring dengan perjalanan waktu, tidak ada lagi istilah Betawi Tengah maupun Betawi Pinggiran. Mereka lama kelamaan berbaur menjadi satu hingga yang ada hanya istilah Betawi (Shahab, 2004).

b. Penduduk

Jakarta dihuni orang Indonesia dari seluruh Nusantara dan orang asing dari Asia maupun Barat, namun mayoritas terbesar penduduk kota ini berasal dari Jawa (menurut pendataan Sensus Penduduk 2000, jumlahnya sekitar 35,16 persen). Tetapi ini tidak lantas berarti bahwa Jakarta bisa digolongkan sebagai kota sebuah tipikal Jawa. Hingga tahun 1942, kehidupan urban Jakarta (yang pada saat itu disebut Batavia) didominasi komunitas Betawi, Sunda,Cina, Jawa, dan Eropa. Menurut Castle (1967) dalam Nilamsari (2005), hasil pendataan sensus tahun 1930, jumlah penduduk dari masing-masing komunitas tersebut yaitu sekitar 418.900 jiwa, 150.300 jiwa, 88.200 jiwa, 59.700 jiwa, dan 37,200 jiwa. Penduduk Betawi merupakan kelompok yang paling banyak jumlahnya, walaupun mereka hanya memainkan peran marginal dalam pengembangan masyarakat modern.

Sayangnya, sensus 1930 adalah sumber terakhir sebelum sensus tahun 2000 yang memberikan data resmi terperinci tentang komposisi etnik penduduk Jakarta. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia pada saat itu memilih kebijaksanaan untuk tidak menyusun statistik berdasarkan afiliasi etnik. Hanya afiliasi

kebangsaan dan agama yang terus dicatat. Menurut sensus tahun 2000 tersebut, jumlah penduduk Betawi mencapai 2.301.587 jiwa atau tidak sampai sepertiga dari total penduduk Jakarta (sekitar 27,6 persen), sisanya merupakan penduduk pendatang. Keadaan ini menunjukkan bahwa kini Betawi terasa terpinggirkan di tempat asal mereka sendiri.

2.5. Budaya Penduduk Betawi vis-a-vis Penduduk Pendatang di Jakarta