• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orientasi Nilai-Budaya pada Penduduk Miskin Betaw

VI. KECENDERUNGAN KEADAAN SOSIAL, EKONOMI DAN

6.2. Kecenderungan Budaya yang Mempengaruhi Kemiskinan di DK

6.2.1. Orientasi Nilai-Budaya pada Penduduk Miskin Betaw

Hasil penelaahan model regresi logistik pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara budaya yang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan suku bangsa dengan kemiskinan. Sebelum menelaah lebih lanjut bagaimana hubungan budaya dengan kemiskinan, dalam subbab ini

akan dideskripsikan terlebih dahulu bagaimana kecenderungan keadaan orientasi nilai-budaya pada penduduk miskin Betawi vis a vis pendatang.

Untuk mencapai kemajuan, dalam menghadapi hidup, orang harus menilai tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dari hidup. Adanya kesengsaraan, bencana, dosa, dan keburukan dalam hidup memang harus disadari, tetapi hal itu semuanya adalah untuk diperbaiki. Demikian sikap yang aktif dan bukan sikap yang pasif dan hanya menerima nasib terhadap hidup yang harus dinilai tinggi sebagai pengarah tindakan yang utama (Koentjaraningrat, 1971 dalam buku edisi 2007).

Tabel 52 menunjukkan kecenderungan orientasi nilai-budaya pada penduduk miskin Betawi vis a vis pendatang, 2007 (Berdasarkan Kerangka Kluckhohn tentang Lima Masalah Dasar dalam Hidup). Mengenai hakikat hidup, penduduk miskin Betawi umumnya berpandangan bahwa hidup itu buruk tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik. Hanya saja yang perlu dicermati adalah sejauh mana mereka berikhtiar sehingga diperoleh suatu kemajuan, yang dapat membawa mereka untuk keluar dari kemiskinan.

Berkaitan dengan orientasi tersebut mereka umumnya mengaku untuk mengupayakan pendidikan yang lebih baik bagi anak. Responden Myt (38 tahun), yang tidak berkesempatan menamatkan pendidikan dasarnya mengatakan bahwa

Pengennya biar emaknya bodoh, anaknya pinter”. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pendidikan, sebagian istri membantu suami bekerja menjadi buruh cuci, menanam bunga bougenvile dalam pot untuk dijual. Namun, makna mendasar dari pendidikan itu sendiri belum terlalu dipahami. Meski mereka sering mengungkapkan bahwa sekolah itu penting sering kali masih ditemui ungkapan yang belum konsisten. Sebagai contoh seperti yang dikatan Responden Tnh (62 tahun) “cita-cita ingin hidup lebih baik, namun gak tahu bagaimana cara

mencapainya”. Implikasinya, tak jarang anak usia sekolah lebih memilih untuk putus sekolah dalam keadaan ekonomi yang terbatas.

Pengalaman yang cukup berliku dalam upaya untuk dapat bertahan hidup di Jakarta pada penduduk miskin pendatang memberikan kepercayaan kepada mereka akan nilai yang mereka pegang yaitu bahwa hidup itu buruk tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik. Para kepala keluarga

(mereka umumnya berlatar belakang pendidikan SD – SLTP) cenderung bekerja keras untuk mencapai keinginan akan kehidupan pada tingkat yang lebih sekadar subsisten (tingkat yang lebih baik). Prilaku mereka cenderung tekun, berani mencoba berbagai jenis pekerjaan dan cenderung memiliki pola prilaku yang khas berupa keinginan untuk berdagang dan berwirausaha. Di samping itu, mereka cenderung mengupayakan pendidikan yang lebih baik bagi anak mereka dibandingkan tingkat pendidikan yang telah mereka capai, meski tak jarang hal ini berujung pada keadaan putus sekolah karena keterbatasan biaya.

Mengenai hakikat karya, bagi penduduk miskin Betawi, bekerja tak lain untuk memenuhi kebutuhan dasar (untuk makan) dan untuk membiayai sekolah (meski dalam banyak kasus, berakhir dengan putus sekolah). Kapabilitas pendidikan mereka yang sangat terbatas berimplikasi pada terbatasnya pilihan jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan yang mereka pilih atau mereka peroleh seperti juru bersih, tukang batu, pembersih makam, buruh konveksi, buruh harian, tukang koran, tukang cuci, supir alat berat, buruh cuci, tukang sampah, buruh empang, buruh masak, jualan ikan, buruh bangunan, penjual batagor. Ada pula yang hidup dari pemberian anak.

Pada penduduk miskin pendatang, meski sebagian mempunyai jiwa berdagang dan berwirausaha, namun dengan berbagai keterbatasan sumberdaya, dalam kerangka Kuckhohn masih cenderung berorientasi untuk nafkah hidup. Beberapa diantara mereka berusaha untuk mempunyai pekerjaan lebih dari satu. Pilihan jenis pekerjaan yang mereka pilih atau yang mereka peroleh seperti pengumpul bunga kamboja kering untuk dijual ke pedagang pengumpul, kenek tukang batu, pengolah sekaligus pedagang keripik pisang, petani lahan tidur, penjual ketoprak, buruh dan pemilik warung di rumah, istri usaha warung dan suami tukang ojek, penjual mie ayam yang kadang-kadang sebagai supir bajaj pengganti, penjual bihun di lokasi sekitar SD, penjual gorengan usus, ceker, hati ala Kentucky fried chicken, penjual balon sambil bekerja serabutan, penggali kubur sambil berusaha warung dan budidaya bunga bougenvile (skala kecil) untuk dijual.

Gerak sosial penduduk miskin pendatang cenderung ke arah vertikal yang ditunjukkan dengan keadaan ekonomi yang dirasakan responden sekarang yaitu

lebih baik dibandingkan keadaan ekonomi ketika mereka berada di kampung halamannya. Sebagian dari mereka berpandangan bahwa hidup di Jakarta asalkan memiliki kemauan dan ketekunan untuk bekerja, tentu akan mendapatkan uang. Responden Syt (71 tahun) asal Banyumas yang ketika muda berprofesi sebagai pedagang sayur-sayuran, mengatakan “asal mau usaha pastidapat uang”.

Berbeda halnya dengan keadaan di kampung halaman, pilihan hanya seperti menjadi buruh tani yang sangat sulit untuk mendapatkan uang, meskipun berprilaku rajin bekerja, seperti pengalaman yang telah dilalui oleh Mmn, 72 tahun, yang sebelumnya tinggal di Sukabumi yang beranggapann mencari nafkah di tempat tinggalnya dulu relatif sulit dibandingkan di Jakarta “kalo di sini asal ada kemauan dan mau malu, dikit-dikit bisa dapat uang”. Mmn saat ini bekerja sebagai pengumpul bunga kamboja kering di area pemakaman untuk dijual sebagai pencampur bahan dasar industri minuman jadi.

Mengenai hakikat waktu, pada Betawi orientasi cenderung prioritas keadaan masa kini. Mereka memilih untuk bersikap pasrah dan sederhana dalam berpikir. Sikap ini terindikasi dari prilaku yang cenderung cukup puas dengan pilihan pekerjaan yang ada. Pola pikir sederhana juga terlihat dari bagaimana mereka mengelola tanah warisan. Tampak adanya kecenderungan berprilaku menjual tanah warisan sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Padahal sumberdaya lahan tersebut lama-kelamaan luasnya akan semakin sempit bahkan habis.

Mengenai pendidikan, latar belakang pendidikan kepala rumah tangga pada Betawi umumnya tidak tamat SD (berbeda dengan pendatang yang umumnya telah menamatkan SD), namun ada keinginan untuk menyekolahkan anak hingga SLTA. pentingnya pendidikan bagi sebagian responden karena hal ini akan berkaitan dengan peluang bekerja di masa mendatang. Hsn (61 tahun), duda dengan empat, menyebutkan “kalo pinter, mudah cari kerja”. Keterbatasan biaya seringkali membuat keadaan putus sekolah, atau hanya sebagian anak yang sanggup dibiayai hingga SLTA, sebagian lagi putus sekolah. Namun keterbatasan biaya bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya putus sekolah.

Pada beberapa kasus putus sekolah juga disebabkan oleh faktor kemalasan dari pihak yang bersangkutan. Barangkali, orang tua pun belum sepenuhnya

berhasil mengarahkan anak tentang pentingnya pendidikan, karena wawasan orang tua yang masih relatif terbatas, seperti pendapat responden Nr (47 tahun),

“penting memberikan pendidikan tinggi buat anak”. Anak tertua Nur, janda cerai mati yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas tiga SD, berhasil menamatkan sekolah menengah ekonomi atas (SMEA) dan bekerja sebagai pelayan toko dengan pendapatan setingkat upah minimum regional yang berlaku. Sementara anak kedua putus sekolah di SLTP dan anak ketiga putus sekolah di SD.

Berbeda dengan keadaan Nr, responden Nlh, 32 tahun, menceritakan pengalaman pribadinya yang putus sekolah karena sejak kecil telah mengenal kerja. Nlh menceritakan pengalaman masa kecilnya yang membuat ia malas bersekolah. Sejak berumur 7 tahun ia sudah mencari uang. Waktu itu, ia berjualan jelly, gambaran (semacam komik tetapi tidak berbentuk buku melainkan dikemas dalam selembar karton berukuran kertas folio, cerita tercetak dalam kotak-kotak kecil bernomor hingga memenuhi karton), sambil menyewakan tiker di kebun binatang Ragunan. Ayah Nlh juga sering membawanya ke Pasar Minggu untuk membantu memikul barang dagangan. Akhirnya, ia putus sekolah, konsentrasi mencari uang “Orang tua kita sudah susah, ngapain terus kita

gandolin. Kita kan anak laki-laki punya cara sendiri,” kata Alih.

Masih berkaitan dengan waktu, yaitu sikap memiliki banyak anak sebagai

investasi sumber pendapatan atau yang sering dikenal dengan istilah „banyak anak banyak rezeki‟, mereka cenderung tidak sependapat dengan prinsip tersebut “Itu mah jaman dulu” (responden Hsn, 61 tahun).

Pada pendatang, beberapa kepala rumah tangga mulai berpandangan ingin menyekolahkan anak mereka hingga perguruan tinggi. Keadaan putus sekolah karena keterbatasan biaya masih ditemui, namun diantara mereka tampak berusaha keras menabung untuk sekadar untuk membeli keperluan sekolah anak. Dsp (42 tahun), salah seorang responden yang selalu berhemat agar dapat membiayai sekolah anak dan membeli segala keperluannya “saat ini hidup penuh

kesulitan, nanti jangan terus seperti ini”. Di sini tampak prilaku yang lebih fokus untuk terus melakukan gerak sosial vertikal.

Mengenai hakikat lingkungan alam, penduduk miskin Betawi cenderung belum melihat peluang atas pemanfaatan sumberdaya alam seperti pemanfaatan lahan tidur yang tentu saja bukan miliknya. Berbeda dengan Betawi, pendatang cenderung berupaya memanfaatkan sumber daya alam, meskipun kesempatan tersebut sangat terbatas. Diantara mereka tampak mengupayakan lahan tidur, mengumpulkan bunga kamboja yang gugur dari pohonnya (dijual untuk industri minuman teh), mengumpulkan sampah organik untuk dibuat pupuk yang kemudian pupuk tersebut digunakan untuk menyuburkan usaha tanaman hias bunga bougenvile hasil budidaya sendiri (skala kecil).

Mengenai hakikat hubungan antara manusia, menyadari akan keterbatasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mereka menjunjung tinggi prinsip kerukunan hidup dalam bertetangga dengan menjalin hubungan saling tolong- menolong. Sementara pendatang, umumnya mereka menjaga hubungan baik dengan tetangga. Hubungan ini dijalin dengan tujuan agar dapat saling-tolong menolong, juga untuk dapat saling berkomunikasi guna mendapatkan informasi. Selain itu, tujuannya adalah untuk menjaga keharmonisan dalam bergaulan sehingga mereka dapat hidup tenang.

Tabel 52.Kecenderungan Orientasi Nilai-Budaya pada Penduduk Miskin Betawi

vis a vis Pendatang, 2007 (Berdasarkan Kerangka Kluckhohn tentang Lima Masalah Dasar dalam Hidup)

No. Masalah Dasar

Hidup Betawi Pendatang

1. Masalah mengenai

hakikat dari hidup manusia

Hidup itu buruk, tetapi manusia harus

mengupayakan untuk menjadikan hidup itu menjadi baik (63,0 %)

Hidup itu buruk, tetapi manusia harus

mengupayakan untuk menjadikan hidup itu menjadi baik (70,0 %)

2. Masalah mengenai

hakikat dari karya manusia

Karya bertujuan untuk nafkah hidup (96,3 %)

Karya bertujuan untuk nafkah hidup (86,7 %)

3. Masalah mengenai

hakikat dari

kedudukan manusia dalam ruang waktu

Orientasi ke masa kini (81,5 %)

Orientasi ke masa kini (70,0 %)

4. Masalah mengenai

hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya Manusia tunduk/ menyerah kepada alam (70,4 %) Manusia tunduk/ menyerah kepada alam (70,0 %) 5. Masalah mengenai

hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya Orientasi kolateral (horisontal) seperti rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong- royong), mementingkan hubungan manusia dengan manusia secara horisontal sesamanya (93,6 %) Orientasi kolateral (horisontal) seperti rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong- royong), mementingkan hubungan manusia dengan manusia secara horisontal sesamanya (93,3 %)

Catatan: 1) angka dalam kurung menunjukkan persentase responden dengan nilai orientasi budaya terhadap masalah dasar hidup tersebut dalam tabel. 2) Berdasarkan Uji Mann-Whitney, perbedaan orientasi nilai budaya antara

penduduk miskin Betawi dan pendatang, tidak signifikan.

3) Tiga responden Betawi dengan istri/suami pendatang, tidak dimasukkan dalam menghitung persentase.

6.2.2. Orientasi Nilai-Budaya yang Berpihak Kemajun pada Penduduk