• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Terdapat dua kondisi ekstrim pada penduduk Jakarta sebagai kota metropolitan, yaitu penduduk yang berkecukupan (the have) dan penduduk yang dalam keadaan miskin (the have not). Bagi penduduk yang miskin, mereka perlu diupayakan agar dapat keluar dari kemiskinan. Pentingnya mengatasi persoalan kemiskinan karena bila hal tersebut tidak ditanggulangi akan menimbulkan berbagai konflik dalam masyarakat.

Persoalan kemiskinan yang dihadapi pemerintah provinsi DKI Jakarta tampaknya belum juga menunjukkan tanda-tanda berkurang, bahkan dipandang telah memasuki fase keadaan kemiskinan yang sulit dientaskan (hard core poverty). Penduduk miskin kini telah mencapai sekitar 3,2 persen dari total penduduk DKI Jakarta (Badan Pusat Statistik, 2004) atau lebih dari 200 ribu orang, meningkat menjadi sekitar 3,61 persen atau 405,7 ribu orang (Badan Pusat Statistik, 2007), turun sedikit hingga menjadi 312,2 ribu (3,48 persen) pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik, 2010), naik kembali menjadi 363,42 ribu orang (3,75 persen). Padahal berbagai kebijakan pemerintah provinsi untuk mengatasi kepadatan penduduk dan kemiskinan, seperti pelaksanaan perbaikan fisik dan program-program yang bertujuan meningkatkan rata-rata pendapatan penduduk dan menurunkan kesenjangan pendapatan masyarakat telah dilakukan. Dengan melihat relatif banyak penduduk miskin yang harus ditangani di wilayah ini dengan persoalan yang beragam, nampaknya perlu penanggulangan kemiskinan yang disempurnakan dan disesuaikan dengan masing-masing persoalan (tidak seragam).

Persoalan kemiskinan dapat bervariasi antarprovinsi, antarwilayah (pedesaan atau perkotaan), bervariasi antarsuku dan sebagainya. Bila dilihat dari sisi yang berbeda, persoalan tersebut tak lepas pula dari variasi dari kepribadian individu yang berada di dalam keadaan kemiskinan tersebut. Kepribadian mereka berkaitan dengan bagaimana sikap mereka dalam menanggapi keadaan kemiskinan. Sementara itu, dalam menanggapi keadaan tersebut, masing-masing individu dipengaruhi oleh cara-cara atau pola pikir yang akan bervariasi antar budaya yang satu dengan yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan orientasi nilai-

budaya yang dipegang oleh masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai, yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah dan sebagainya pada masing-masing individu tersebut.

Pentingnya mengaitkan analisis kemiskinan dengan budaya diperkuat oleh pendapat Wignjosoebroto dalam Suyanto (1995) yang dikutip kembali oleh BPS, 2005. Ia pernah mengungkapkan tentang kemiskinan kultural. Menurutnya, kemiskinan adalah suatu ketidakberdayaan. Sementara, keberdayaan itu sesungguhnya merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya seseorang dalam kehidupan bermasyarakatnya itu dalam kenyataan akan banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh determinan-determinan sosial-budaya (seperti posisi, status dan wawasan yang dimilikinya). Sebaliknya, semua fasilitas sosial yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya itu akan ikut pula menentukan keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah masyarakat.

Kota metropolitan Jakarta memiliki ruang lingkup pengaruh untuk seluruh Indonesia. Kota ini dipenuhi oleh pendatang dari berbagai daerah yang berasal dari sebaran etnis yang beragam (multietnik). Sementara itu, di Jakarta ditemui adanya fenomena bagi penduduk asli kota metropolitan ini (Betawi). Penduduk Betawi secara spasial terpinggirkan dengan hadirnya pendatang yang memenuhi kota ini. Tercatat Jumlah penduduk Betawi di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, yaitu berjumlah sekitar 5.041.688 jiwa dan hanya sekitar 45,65 persen dari jumlah tersebut yang tinggal di DKI Jakarta Sisanya menyebar di daerah pinggiran seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Banten.

Persoalan kemiskinan di Kota Jakarta dialami oleh penduduk Betawi maupun pendatang. Tabel 2 menunjukkan persentase penduduk miskin Betawi

vis-a-vis pendatang di DKI Jakarta pada tahun 2004. Keadaan kemiskinan pada Betawi dan pendatang tersebut sebagai langkah awal dapat ditinjau dari ciri-ciri sosial ekonomi rumahtangga miskin pada Betawi dan pendatang.

Ciri-ciri sosial ekonomi yang akan dilihat yaitu jenis kelamin kepala rumahtangga. Pada umumnya kepala rumahtangga miskin yang wanita, kehidupannya akan lebih terpuruk dibanding kepala rumahtangga laki-laki. Ciri berikutnya adalah umur kepala rumahtangga, jumlah anggota rumahtangga. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar pula tanggungan

rumahtangga tersebut yang secara ekonomi diduga akan memberatkan. Ciri yang juga dilihat adalah tingkat pendidikan kepala rumahtangga. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumahtangga, semakin banyak alternatif sumber matapencaharian yang dapat dipilih. Pendidikan juga merupakan faktor produksi. Tingkat pendidikan yang rendah akan menghasilkan balas jasa yang rendah pula. Tabel 2. Persentase Penduduk Miskin Betawi vis-a-vis Pendatang di DKI

Jakarta, Tahun 2004

Penduduk

Jakarta Tidak Miskin Miskin Total

Pendatang 96,9 3,1 100,0 Betawi 96,4 3,6 100,0 Indonesia 96,8 3,2 100,0

Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas Kor 2004, diolah.

Ciri-ciri berikutnya yaitu kondisi tempat tinggal (luas lantai per kapita, sumber air minum, fasilitas buang air besar dan penguasaan bangunan tempat tinggal). Fasilitas tempat tinggal yang tidak lengkap merefleksikan tingkat ketidaksejahteraan pemiliknya. Ciri yang juga dilihat adalah jumlah jam kerja per minggu, sumber penghasilan utama rumahtangga dan status pekerjaan kepala rumahtangga. Sumber penghasilan utama maupun status pekerjaan dapat menunjukkan ada atau tidaknya kepastian penerimaan pendapatan dalam setiap minggunya atau setiap bulannya.

Penguasaan sains dan teknologi (IPTEK) merupakan prasyarat (pre- requisite) dalam meraih kemakmuran (prosperity). Teknologi, dalam kancah perekonomian global sudah dianggap sebagai investasi (capital) dominan dalam pembangunan ekonomi. Saat ini kekayaan sumber daya alam bukan lagi penentu keberhasilan ekonomi suatu bangsa, namun bangsa yang menguasai teknologi akan mampu mengusai dunia. Oleh karena itu, membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society) sangat diperlukan dalam mendorong terciptanya daya dukung teknologi suatu bangsa. Lebih dari itu, pembangunan yang dulu dipahami sebagai pembangunan ekonomi telah bergeser, teori ekonomi

neo-classical hanya memasukkan parameter tenaga kerja dan kapital dalam faktor produksi. Kini dikembangkan teori dengan memasukkan ilmu pengetahuan sebagai dasar perkembangan teknologi atau bagian intrinsik dari sistim ekonomi. Ilmu pengetahuan telah menjadi faktor ketiga dalam produksi dan pertumbuhan ekonomi. Terjadi pergeseran paradigma pertumbuhan ekonomi dari konsep modal dan tenaga kerja kepada penggunaan pengetahuan sebagai komponen utama pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang dikenal sebagai ekonomi Berbasis Pengetahuan.

Ciri-ciri sosial ekonomi penduduk miskin pada penduduk Betawi vis-a-vis

penduduk pendatang dibandingkan untuk dilihat perbedaan apa yang paling menyolok sehingga dapat diketahui keunikan masing-masing. Pentingnya mengetahui keunikan ini karena hal ini dapat menimbulkan ide bagaimana mengentaskan kemiskinan yang bersesuaian dengan masyarakat dengan ciri-ciri sosial ekonomi tertentu. Ciri-ciri atau faktor yang paling dominan penyebab kemiskinan pada penduduk Betawi vis-a-vis pendatang perlu diketahui agar upaya mengentaskan kemiskinan dapat diarahkan pada prioritas masing-masing yang bersesuaian.

Seperti yang diungkapkan oleh Harniati (2007), menguraikan apakah yang menjadi penyebab kemiskinan atau apakah akibat dari kemiskinan, pada hakikatnya adalah sulit. Kadangkala sebab-sebab kemiskinan dapat dilihat sebagai akibat-akibat dari kemiskinan. Oleh sebab itu, analisis kemiskinan pada umumnya mencari faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan atau hubungan-hubungan, bukan sebagai sebab akibat. Faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan pada tesis ini mengadopsi dari hasil penelitian maupun kajian dari berbagai literatur yang akan diterapkan pada keadaan kemiskinan di DKI Jakarta. Analisis kemiskinan yang ditawarkan dalam tesis ini tidak sekedar menelaah dari sudut pandang sosial dan ekonomi, melainkan juga menghubungkannya dengan budaya yang dalam hal ini dibatasi pada penduduk Betawi dan penduduk pendatang.

Pada tesis ini, karakteristik kepala rumah tangga yang akan dilihat korelasinya dengan kemiskinan terdiri dari tingkat pendidikan, status pekerjaan, produktivitas dalam bekerja yang didekati dengan jumlah jam kerja dalam

seminggu, umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan, kepemilikan jaminan kesehatan, jumlah anggota rumah tangga, kepemilikan akses kredit usaha, dan budaya yang didekati dengan suku bangsa.

Dalam teori ekonomi pembangunan, dikatakan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas sumberdaya manusia. Hayami (2001) yang dikutip kembali oleh Harniati (2007) bahwa untuk pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan kesehatan mempunyai efek yang sama dengan tangible capital yang harus dipandang sebagai investasi dalam human capital. Sementara itu, faktor kesehatan dan pertumbuhan ekonomi berkaitan erat karena penduduk atau tenaga kerja yang sehat akan menghasilkan barang dan jasa yang lebih baik dalam proses produksi.

Sudaryanto dan Rusastra (2006) dalam Harniati (2007), menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan, yaitu: (a) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan perumahan), (b) aksesibilatas ekonomi yang rendah terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih dan transportasi); lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital; (d) rentannya kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan sumber daya alam; (f) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan; (g) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan; (i) ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik maupun mental; dan (j) ketidakmampuan atau ketidakberuntungan sosial.

Dalam menghadapi kehidupan antara Betawi sebagai penduduk asli dan penduduk pendatang diduga memiliki sistem nilai budaya dan sikap yang berbeda. Menurut Ida (2003) dalam Rahmadona (2004), para pendatang memiliki mentalitas yang suka bekerja keras dalam rangka survival of the fittes, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup dan atau survive di “negeri orang‟‟. Para penduduk pendatang dikenal lebih progresif dalam menjalani kehidupannya di daerah perantauan. Sementara itu, kalangan penduduk asli cenderung lebih bersikap malas karena menganggap mereka hidup di negeri sendiri, yang semula merasa nyaman-nyaman saja.

Berkaitan dengan pembahasan nilai-orientasi budaya akan lebih lengkap bila menelaahnya dari sudut pandang kebangkitan peran budaya yang sejak awal dasa warsa ini kembali sering dibicarakan.

Menurut Harrison dan Hutington (2006), kemajuan manusia adalah gerakan menuju perkembangan ekonomi dan kesejahteraan materi, keadilan sosial ekonomi, dan demokrasi politik. Sementara itu, budaya dalam pengertian yang subjektif adalah nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi dan praduga yang mendasar yang lazim diantara orang-orang dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, pengertian tersebut melihat sejauh mana budaya bisa mempengaruhi cara-cara masyarakat untuk berhasil atau gagal dalam mencapai kemajuan perkembangan ekonomi dan demokrasi politik.

Selanjutnya, ada dua kategori nilai yaitu nilai intrinsik dan instrumental. Nilai intrinsik adalah nilai yang dijunjung seseorang atau masyarakat tanpa mempedulikan manfaat atau biayanya, misalnya sikap patriotisme. Nilai intrinsik sifatnya cenderung tidak akan habis dan terus bertahan (berkelanjutan), biasanya bersifat nonekonomi. Sebaliknya, nilai instrumen merupakan nilai yang digunakan seseorang atau masyarakat karena nilai tersebut secara langsung bermanfaat bagi yang bersangkutan. Nilai ini secara definisi bersifat sementara. Misalnya suatu usaha untuk memajukan kemakmuran akan turun ketika kemakmuran itu telah tercapai. Semua nilai ekonomi adalah instrumental.

Nilai-nilai intrinsik cenderung bersifat nonekonomi, namun untuk tujuan pembangunan yang berkelanjutan bukan berarti harus antiekonomi. Nilai-nilai itu harus menjadi nonekonomi dan proekonomi sekaligus. Artinya, karena sifatnya nonekonomi, nilai-nilai itu tidak akan tergerus oleh kesuksesan ekonomi. Sementara itu, karena sifatnya proekonomi, nilai-nilai itu tidak akan berhenti mendorong proses akumulasi.

Nilai-nilai dapat digolongkan ke dalam pola yang tetap yang bisa kita

sebut ”sistem nilai”. Sistem-sistem nilai yang nyata adalah sesuatu yang sifatnya campuran karena sistem-sistem nilai yang murni hanya ada di pikiran, sebagai tipe-tipe yang ideal. Dari tipe ideal ini dapat dibentuk dua sistem nilai yang ideal:

1. Suatu sistem yang hanya menyertakan nilai-nilai yang memihak pembangunan.

2. Suatu sistem yang hanya menyertakan nilai-nilai yang menolaknya.

Nilai-nilai yang ada pada penduduk Betawi miskin maupun penduduk pendatang miskin dapat dianalogikan dengan sistem-sistem tersebut. Pada kenyataannya tidak ada suatu masyarakat yang masuk sepenuhnya ke dalam salah satu sistem. Namun, sebagian masyarakat melakukan pendekatan yang memihak pembangunan ekonomi, sedangkan sebagian yang lain melakukan pendekatan yang sebaliknya.

Untuk melihat lebih jauh bagaimana orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin dan penduduk pendatang miskin dalam penelitian ini digunakan kerangka Kluckhohn mengenai lima masalah dasar hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia.

Sistem-sistem nilai yang riil selain campuran juga bergerak. Jika mereka bergerak ke arah kutub sistem nilai yang memihak pembangunan, mereka akan meningkatkan kesempatan-kesempatan untuk suatu kemajuan atau pembangunan. Jika mereka bergerak ke arah sebaliknya, sistem itu mengurangi kesempatan untuk mencapai kemajuan atau pembangunan.

Selanjutnya, adanya perbedaan orientasi nilai-budaya, khususnya nilai- nilai yang dipegang pada penduduk Betawi dan penduduk pendatang dalam menghadapi kehidupan penting untuk diketahui lebih lanjut. Upaya mengetahui akar permasalahan kemiskinan diantaranya dengan memahami bagaimana penduduk Betawi vis-a-vis penduduk pendatang menjalani kehidupannya sehari- hari, khususnya upaya dilakukannya untuk dapat keluar dari kemiskinan. Selain itu perlu diketahui bantuan seperti apa yang mereka harapkan dari pemerintah agar mereka dapat keluar dari kemiskinan. Dengan menganalisis kriteria sosial,ekonomi dan budaya dikombinasikan dengan bantuan seperti apa yang diharapkan penduduk miskin dari pemerintah, diharapkan dapat dipahami bagaimana pengentasan kemiskinan yang sesuai bagi penduduk Betawi vis-a-vis

penduduk pendatang, apakah masing-masing membutuhkan perlakuan yang relatif sama ataukah perlakuan yang berbeda. Selain itu, diharapkan hasil analisis ini dapat memberikan masukan bagi penduduk miskin Betawi bagaimana agar sebagian dari mereka tidak lagi terpinggirkan oleh kehadiran pendatang.

Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1 dengan penjabaran sebagai berikut. Penduduk dengan keadaan sosial dan ekonomi di bawah garis kemiskinan cenderung keadaannya penuh keterbatasan dan kelemahan. Keadaan tersebut tidak akan berubah kecuali penduduk miskin berprilaku yang mengarah pada motivasi dan semangat berjuang untuk mencapai kemajuan serta meningkatkan taraf hidup. Upaya dan semangat tersebut akan memberikan peluang bagi mereka untuk menperoleh peningkatan penghasilan.

Sejalan dengan itu, keadaan miskin sering kali memberikan dampak keputusasaan bagi pribadi yang menjalaninya sehing mereka terjebak dengan pemikiran-pemikiran konservatif yang belum berpihak kepada kemajuan. Mereka menjadi bersikap pasrah, berpikiran jangka pendek, hanya berorientasi terhadap kegiatan memenuhi kebutuhan mendasar (nafkah hidup), tak terpikir untuk lebih kreatif memanfaatkan sumber daya yang ada, dan cenderung mengharapkan bantuan dari pihak lain. Padahal untuk dapat mengubah kondisi hidup, nilai-nilai yang dipegang cenderung berlawanan dengan pikiran-pikiran yang konservatif seperti yang telah disebutkan. Penduduk miskin perlu untuk bersikap yang searah dengan nilai-nilai yang dipandang progresif seperti selalu berikhtiar untuk mengubah nasib yang dipandang buruk menjadi baik, merencanakan masa depan, berpikir investasi untuk memperbesar skala usaha, kreatif dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, dan berdiri atas kekuatan diri sendiri. Dengan menjalankan sikap tersebut, penduduk miskin menjadi berpeluang untuk memperoleh peningkatan dan penghasilannya.

Penduduk miskin yang termotivasi dan memiliki semangat juang untuk meningkatkan taraf kehidupannya, di sisi lain menerapkan nilai-nilai yang dipandang telah berpihak pada kemajuan (budaya progresif) akan berpeluang memperoleh peningkatan dalam penghasilan. Peroleh penghasilan yang meningkat pada akhirnya akan mengantar mereka untuk keluar dari kemkiskinan. Dalam studi ini, keadaan yang akan diteliti pada Betawi dan pendatang, alur penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Keadaan/karakteristik

sosial dan ekonomi seseorang/kepala rumah tangga yang terbatas (banyak kelemahan)

Sudut pandang yang konservatif akan masalah dasar kehidupan (nilai orientasi budaya)

Sudut pandang yang progresif/berpihak pada kemajuan Motivasi/semangat juang untuk meningkatkan taraf kehidupan Tercapainya peningkatan pada penghasilan seseorang/kepala rumah tangga

Keluar dari penderitaan kemiskinan

Gambar 2. Alur Penelitian

Kemiskinan di DKI Jakarta

Ragam pandang lainnya Sudut pandang: Gejala sosial, aspek ekonomi, dan orientasi nilai budaya

Profil kepala rumah tangga: 1] pengeluaran menurut kelas kuantil; 2] jumlah anggota rumah tangga; 3] jenis kelamin; 4] usia; 5] tingkat pendidikan; 6] jenis lapangan usaha; 7] status pekerjaan utama; 8] rata-rata jam kerja dalam seminggu; 9] luas lantai per kapita; 10] sumber air minum; 11] fasilitas BAB; 12] penguasaan bangunan tempat tinggal.

Model profil kemiskinan dalam bentuk regresi kemiskinan terhadap karakteristik sosial, ekonomi, budaya kepala rumah tangga

Sosial :

1] tingkat pendidikan; 2] jenis kelamin; 3] kondisi kesehatan; 4] jaminan kesehatan; 5] jumlah anggota rumah tangga. Ekonomi:

1] status pekerjaan utama; 2] jam kerja dalam seminggu

(produktivitas); 3] usia produktif; 4] pemanfaatan kredit usaha. Budaya:

1] suku bangsa

Analisis Kualitatif -- orientasi nilai budaya:

1] hakekat hidup; 2] hakekat karya; 3] hakekat waktu; 4] hakekat alam; 5] hakekat hubungan antara manusia

Penduduk: Betawi Pendatang

Pemahaman terhadap kemiskinan

Alternatif strategi penanggulangan kemiskinan