• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Pembangunan Kota dan Desa

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Keterkaitan Pembangunan Kota dan Desa

Migrasi desa-kota merupakan bagian dari proses perkembangan ekonomi dan perubahan sosial. Arus gerak penduduk dari desa ke kota, khususnya di Indonesia, meningkat dengan pesat pada dua dekade terakhir ini antara lain disebabkan oleh perbaikan sarana transportasi antara desa-kota, meningkatnya jasa angkutan umum yang menembus ke desa-desa terpencil, meningkatmya pendapatan masyarakat sehingga mampu membayar ongkos perjalanan dan membeli mobil pribadi (Hugo, 1992 dalam Rusli, Wahyuni, et. all, 2004). Disamping itu perbaikan dalam sarana komunikasi di wilayah Indonesia memungkinkan masyarakat desa memperoleh beragam informasi dari kota secara cepat pula.

Kemudahan melakukan perjalanan dan akses terhadap informasi telah mengurangi kesenjangan antara desa dan kota. Baik dalam hal arus manusia, barang-barang modal dan ide-ide. Masyarakat desa dengan mudahnya merespon

adanya peluang kerja yang lebih baik di kota dengan cara melakukan migrasi ke kota, baik secara permanen maupun non-permanen. Dengan makin berkurangnya perbedaan antara desa-kota, misalkan dalam hal gaya hidup, karakteristik ekonomi, sosial dan demografi, ragam fasilitas yang tersedia, dan kemampuan mobilitas individu. Hugo (1992) dalam Rusli, Wahyuni, et al, (2004) berpendapat bahwa antara desa dan kota bukan lagi suatu dikotomi tetapi suatu kontinum, dan bahkan perbedaan desa dan kota tersebut sudah makin menjadi samar akhir-akhir ini.

Pada sisi lain dapat kita lihat bahwa sejak dulu hingga kini, peradaban manusia selalu menunjukkan adanya perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Perpindahan tersebut awalnya menempuh jarak yang relatif dekat, namun seiring dengan perjalanan waktu, jarak yang ditempuh semakin jauh. Semua itu terjadi berdasarkan motivasi dan tujuan tertentu.

Perpindahan penduduk atau migrasi terjadi dari satu lokasi pemukiman ke lokasi pemukiman, baik secara permanent maupun semi permanent. Menurut Lee (1966) yang dikutip kembali oleh Ismani (1991), terdapat empat faktor yang menimbulkan perpindahan penduduk, yaitu: (1) faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah asal; (2) faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah tujuan; (3) faktor-faktor lain yang berpengaruh, seperti kebiasaan merantau; (4) faktor-faktor pribadi.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah asal biasanya berupa kekurangan-kekurangan yang dirasakan tidak memberikan harapan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Misalnya, sikap ingin merubah nasib yang dilakukan oleh petani yang memiliki lahan sempit karena hasil pengolahan lahan tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sikap yang sama juga dapat terjadi pada seseorang yang bekerja pada berbagai bidang lainnya, ketika keadaan bidang pekerjaan di tempat asal sudah jenuh. Dengan demikian pada umumnya faktor- faktor tersebut berkaitan dengan usaha mencari nafkah.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah tujuan menyangkut kesempatan dan harapan yang dianggap lebih cerah. Anggapan keadaan yang lebih baik pada daerah tujuan menjadi daya tarik yang cukup kuat untuk pindah meskipun pada kenyataannya, hidup mereka selanjutnya mengecewakan.

Faktor-faktor lain yang berpengaruh dapat berupa lancarnya komunikasi dan transportasi, integrasi nasional, kebiasaan untuk merantau, dan sebagainya. Kebiasaan merantau sering dimiliki oleh beberapa etnik bangsa di Indonesia, misalnya etnik Minangkabau. Mereka tidak segan meninggalkan kampung halamannya, bahkan sebagian pemuda merasa malu bila tetap berada di kampung halamannya. Demikian halnya dengan suku Batak, kebiasaan meninggalkan kampung halaman sudah merupakan kebiasaan sejak dulu. Bahkan menjadi suatu kebanggaan kalau anggota marga (clan) maupun kerabatnya (subclan) yang merantau tersebut berhasil dalam hidupnya dan hal ini menjadi inspirasi bagi yang lain untuk bermigrasi pula. Untuk suku bangsa lain seperti Banjar, Ambon, Bugis, Jawa dan sebagainya, kebiasaan merantau semakin hari semakin meresap di kalangan mereka (Naim, 1976 dalam Ismani, 1991). Sementara itu, faktor-faktor kepribadian sangat dominan pengaruhnya untuk menimbulkan perpindahan penduduk. Termasuk dalam hal ini adalah keberaniaan seseorang untuk menanggung resiko, kemampuan dalam berbagai bidang, kemampuan menyesuaikan diri dengan kehidupan di daerah baru dan ketrampilan serta keahlian.

Selanjutnya, migrasi dari desa ke kota disebut urbanisasi. Gejala urbanisasi banyak terjadi di berbagai tempat di seluruh dunia. Terlebih lagi negara berkembang seperti Indonesia, arus urbanisasi semakian hari semakin meningkat. Keadaan urbanisasi di sini tidak bisa dipisahkan dari pola pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia. Orientasi pembangunan yang bias urban telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan antar sektor dan antar lokasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa urbanisasi itu timbul karena ketimpangan keruangan (spatial imbalance), termasuk didalamnya ketimpangan penduduk dan ekonomi (Bintarto, 1984 dalam Ismani, 1991). Namun seperti yang telah dikemukakan di atas, perbedaan desa dan kota tersebut sudah makin menjadi samar akhir-akhir ini.

Menurut Ismani (1979) dalam Ismani (1991), penduduk yang melakukan urbanisasi umumnya memiliki keluarga atau teman dekat yang sudah tinggal di kota dan bersedia membantu mereka untuk memberikan informasi ataupun pertolongan lainnya. Para pendatang baru itu ditampung dan dibantu mendapatkan

pekerjaan sehingga akhirnya mampu berdiri sendiri. Mereka yang datang itu makin banyak jumlahnya dan membina pemukiman sendiri dalam kelompok mereka. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai di kota-kota besar yang penghuninya berasal dari desa yang sama atau kelompok etnik yang sama.

Selain penduduk yang melakukan urbanisasi untuk menetap di kota, terdapat pula yang hanya sementara (musiman) saja menetap. Mereka yang melakukan hal ini biasanya bertujuan mencari nafkah sambil menunggu waktu senggang, saat pekerjaan pada bidang pertanian di pedesaan sudah selesai. Pada saat pekerjaan di bidang pertanian memerlukan tenaga mereka, mereka akan pulang kampung (mudik). Di kota, mereka mengandalkan fisiknya dalam berusaha mendapatkan pekerjaan apa saja di sektor informal. Sementara itu, terdapat pula pola urbanisasi dimana para pelakunya menetap di kota dalam waktu relatif lama. Mereka mencari nafkah di kota dan hasilnya dikirim ke desa.

Arus urbanisasi yang terus menerus dan semakin deras baik bagi lingkungan fisik maupun non fisik. Para pendatang cenderung mencari pemukiman yang sesuai dengan tingkat ekonominya. Sebagian besar mereka termasuk golongan ekonomi lemah sehingga mereka tinggal di kampung-kampung yang terdapat di perkotaan yang kemudian menjadi pemukiman kumuh (slum area). Sementara itu, dengan keterbatasan kemampuan mereka, umumnya mereka bekerja di sektor informal, karena sektor ini tidak membutuhkan kualifikasi pendidikan maupun ketrampilan tertentu. Hampir semua dari mereka memasuki sektor ini yang seiring dengan waktu keadaannya semakin jenuh. Persaingan diantara mereka untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat karena jumlah mereka yang berlebih. Sebagian dari mereka yang beruntung mendapat pekerjaan meski penghasilannya rendah. Namun sebagian lagi tidak mendapat pekerjaan dan menjadi pengangguran. Dari situasi yang demikianlah dapat timbul kriminalitas.

2.4. Sejarah Penduduk asli (Etnik Betawi) vis-a-vis Penduduk Pendatang di