• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Internalisasi Karakter Religius

B. Strategi Internalisasi Karakter Religius pada Anak Sekolah Dasar

3. Budaya Sekolah

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa internalisasi karakter religius melalui pengintegrasian dalam mata pelajaran dilakukan dengan mencantukan karakter religius ke dalam silabus pembelajarann, RPP , serta menyisipkannya dalam setiap proses pembelajaran yaitu pada kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup.

3. Budaya Sekolah

Budaya sekolah merupakan suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, gurunya, maupun dengan karyawan sekolah. Budaya sekolah ini berkaitan dengan aturan, norma, moral serta etika yang berlaku di sekolah. Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah adalah kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab (Kemndiknas, 2010: 20). Berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang macam-macam karakter religius salah satunya yaitu toleransi sesama pemeluk agama lain. Harapannya dengan timbulanya budaya toleransi ini dapat menjaga kerukunan seluruh warga sekolah.

Pengembangan karakter religius dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administratif ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah. Dengan demikian segala bentuk kegiatan sekolah dan interaksi antar warga sekolah harus sebisa mungkin mencerminkan karakter religius. Sehingga karakter religius tersebut dapat terlaksana dengan baik dan dapat membudaya.

Kemendiknas (2010: 26), menyebutkan indikator keberhasilan sekolah dan kelas dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Berikut ini indikator keberhasilan sekolah dan kelas dalam menanamkan karakter religius.

Tabel 2. Indikator Keberhasilan Sekolah dan Kelas dalam Menanamkan Karakter Religius

Indikator Sekolah Indikator Kelas

a. Merayakan hari-hari besar keagamaan.

b. Memiliki fasilitas yang dapat digunakan untuk beribadah. c. Memberikan kesempatan kepada

semua peserta didik untuk melaksanakan ibadah.

a. Berdoa sebelum dan sesudah pelajaran.

b. Memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk melaksanakan ibadah.

Menurut Kemendiknas berhasil tidaknya sekolah dan kelas dalam menanamkan nilai religius diukur dari indikator-indikator sebagiamana yang ada pada tabel 2. Jika suatu sekolah dan kelas telah memenuhi indikator-indikator di atas, maka dapat dinyatakan bahwa sekolah dan kelas tersebut telah berhasil dalam menanamkan nilai karakter religius pada peserta didiknya.

Dengan demikian dapat disimpulkan, strategi yang dapat dijadikan alternatif untuk guru sekolah dasar dalam menginternalisasikan karakter religius pada peserta didik adalah sebagai berikut.

1. Program Pengembangan Diri

Program pengembangan diri ini bertujuan agar peserta didik dapat mengembangakan karakter religiusnya melalui beberapa kegiatan sehari-hari sekolah yang diadakan oleh guru maupun sekolahan. Adapun kegiatan sekolah yang dilakukan melalui beberapa hal berikut ini.

36 a. Kegiatan rutin sekolah

Guru mengadakan kegiatan keagamaan yang sifatnya dapat dilakukan secara terus-menerus dan konsisten setiap saat. Kegiatan rutin sekolah ini jika dilakukan secara terus-menerus dapat menjadi sebuah kebiasaan. Adapun strategi yang dapat guru lakukan ialah:

1) membiasakan berdoa sebelum dan sesudah pelajaran,

2) mengadakan kegiatan infaq pada hari yang sudah dijadwalkan,

3) siswa diminta memberikan salam sebelum dan sesudah pelajaran, ketika berjabat tangan dengan guru,

4) mengadakan sholat dhuha berjamaah sesuai dengan jadwal yang ditentukan, 5) mengadakan sholat zuhur berjamaah sesuai dengan jadwal yang ditentukan, 6) melatih peserta didik untuk mencintai lingkungan dengan meminta siswa

untuk menyirami tanaman dan menjaga kebersihan,

7) membiasakan anak mengucap terima kasih, maaf, dan tolong, 8) membiasakan anak untuk meminta izin ketika meminjam barang,

9) mengadakan kegiatan hafalan surat pendek/ tadarus sesuai jadwal yang ditentukan, dan

10)mengadakan ekstrakulikuler baca tulis al-quran (BTA) sesuai jadwal yang ditentukan.

b. Kegiatan spontan

Kegiatan spontan adalah kegiatan yang dilakukan pada saat itu juga. Kegiatan spontan dilakukan jika suatu hal sudah terjadi. Kegiatan spontan dilakukan guru jika mengetahui suatu tindakan yang sifatnya positif dan negatif.

Tindakan postif perlu untuk mendapat tanggapan dari guru, supaya peserta didik tahu bahwa perbuatan tersebut perlu untuk dikembangakan. Dan perbuatan negatif juga perlu mendapat tanggapan supaya peserta didik dapat kembali melakukan tindakan yang baik. Strategi yang dapat dilakukan guru diantaranya yaitu:

1) memperingatkan peserta didik yang tidak melaksanakan ibadah,

2) memperingatkan peserta didik yang tidak mengucapkan salam ketika masuk kelas, dan berjabat tangan dengan guru,

3) memberikan nasehat pada peserta didik jika melakukan kesalahan, dan 4) memberikan pujian pada peserta didik yang melakukan kebaikan. c. Pemberian keteladanan

Pemberian keteladanan ini sangat penting dilakukan oleh guru sebab guru merupakan sosok panutan bagi peserta didik. Segala sikap dan perilaku guru secara langsung maupun tidak langsung akan ditirukan oleh anak melalui cara imitasi. Dengan demikian guru, kepala sekolah, dan karyawan sekolah harus menunjukkan sikap dan perilaku yang mencerminkan karkater religius baik di rumah maupun di sekolah. Startegi yang dapat dilakukan guru dalam pemberian keteladanan yaitu:

1) guru berdoa bersama dengan peserta didik sebelum dan sesudah pelajaran, 2) guru memberikan contoh sikap berdoa yang khusyuk,

3) guru ikut berperan aktif dalam kegiatan berinfaq pada jadwal yang sudah ditentukan,

38

5) guru menjadi contoh yang baik dalam kegiatan sholat dhuha dan zuhur berjamaah, dan

6) guru menceritakan kisah atau dongeng tentang nabi atau lainnya yang mengajarkan tentang keteladanan dalam beragama.

d. Pengkondisian lingkungan

Lingkungan sekolah didesain dan dikondisikan sehingga dapat mendukung proses internalisasi karakter religius pada peserta didik. Keadaan sekolah sedapat mungkin mencerminkan karakter religius. Startegi yang dapat digunakan yaitu: 1) menyediakan sarana tempat dan perlengkapan ibadah yang layak,

2) diperdengarkan suara azan pada saat waktu sholat tiba,

3) memasang tulisan atau gambar yang mengenalkan tata cara beribadah dan ajakan melakukan ibadah, dan

4) memajang pengumuman jika akan memperingati hari-hari besar keagamaan. 2. Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran

Karakter religius diintegrasikan ke dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Karakter religius tersebut harus ada dalam silabus, RPP, dan kegiatan pembelajaran. Selain itu, guru juga perlu untuk membantu peserta didik melakukan tindakan yang sesuai dengan karakter religius.

3. Budaya Sekolah

Budaya sekolah merupakan suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik dapat berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, guru dengan kepala sekolah, peserta didik dengan kepala sekolah, peserta didik dengan karyawan yang kesemuanya terikat ke dalam aturan, norma, moral, dan etika sekolah.

Sehingga karakter religius dapat guru masukkan ke dalam budaya sekolah melalui strategi:

a) membiasakan mengucapkan salam ketiga bersalaman dengan guru,

b) membiasakan siswa berdoa sesuai dengan agamanya masing-masing beserta artinya,

c) mengadakan kegiatan keagamaan di dalam maupun luar kelas,

d) mengikutkan peserta didik lomba yang berkaitan dengan keagamaan di luar sekolah, dan

e) memperingati hari besar agama lain. C. Tahap Internalisasi Karakter Religius

Internalisasi karakter religius tidak dapat terjadi secara instan, akan tetapi membutuhkan beberapa tahapan yang harus dilewati. Sebagaimana pada tahap internalisasi nilai dalam internalisasi karakter yang merupakan proses penanaman nilai-nilai karakter religius membutuhkan tahapan yang sistematis. Muhaimin (1996: 153) menjelaskan bahwa dalam proses internalisasi yang dikaitkan dengan pembinaan peserta didik atau anak asuh ada tiga tahap yang mewakili proses atau tahap terjadinya internalisasi, sebagai berikut.

a. Tahap transformasi nilai

Pada tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh guru dengan cara memberikan informasi kepada peserta didik tentang nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal antara guru dan peserta didik. Sehingga peserta didik akan mengetahui perilaku dan sikap yang baik serta tidak baik.

40 b. Tahap transaksi nilai

Pada tahap ini terjadi komunikasi dua arah antara guru dan peserta didik, atau dengan kata lain terjadi interaksi yang bersifat timbal balik. Apa yang diberikan guru terhadap peserta didik akan ditanggapi oleh peserta didik, begitu pula sebaliknya.

c. Tahap transinternalisasi

Pada tahap yang terakhir adalah tahap transinternalisasi, tahap ini jauh lebih mendalam jika dibandingkan dengan tahap transaksi nilai. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi secara verbal, akan tetapi juga melibatkan sikap mental dan kepribadian. Sehingga, pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan secara aktif.

Proses internalisasi karakter mulia, menurut Lickona (Agus Wibowo, 2013:12) melalui tiga tahapan penting, yaitu: 1) anak didik memiliki pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), 2) timbul komitmen (niat) anak didik terhadap kebaikan (moral feeling), dan 3) anak didik akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior). Menurut Thomas Lickona tahapan yang paling tinggi menurut Lickona adalah tahap moral action atau tindakan moral. Dalam buku Thomas Lickona (2013: 85-100) yang berjudul educating for character yang telah diterjemahkan oleh Juma Abdu Wamaungo akan dijelaskan masing-masing ketiga tahapan tersebut, sebagi berikut.

a. Moral Knowing/ Pengetahuan Moral

Pengetahuan moral mencakup bagaimana peserta didik mengetahui sikap dan perilaku yang baik. Moral knowing sebagai komponen yang pertama memiliki enam unsur yaitu:

1) moral awareness/ kesadaran moral, menggunakan kecerdasan yang dimiliki untuk menilai suatu keadaan suatu keadaan agar sesuai dengan nilai moral yang berlaku. Kesadaran moral ini meliputi dua komponen yaitu menggunakan pemikiran untuk melihat suatu situasi yang memerlukan penilaian moral dan memahami informasi dari permasalahan yang bersangkutan,

2) knowing moral values/ pengetahuan tentang nilai-nilai moral, mengetahui berbagai nilai moral seperti menghargai kehidupan dan kemerdekaan, kejujuran, keadilan, toleransi, penghormatan, kebaikan, dan belas kasihan dalam segala situasi. Mengetahui suatu nilai juga berarti dapat memahami bagiamana cara menerapakan nilai tersebut dalam situasi yang sesuai,

3) perspective taking/ penentuan sudut pandang, kemampuan untuk mengambil sudut pandang dari orang lain, melihat situasi sebagaimana adanya, membayangkan bagaimana orang lain berpikir, bereaksi, dan merasakan masalah yang ada,

4) moral reasoning/ logika moral. Moral reasoning berarti memahami tentang apa artinya bermoral dan mengapa kita harus bermoral,

5) decision making/ keberanian dalam mengambil keputusan dan tindakan dalam menghadapi suatu masalah, dan

6) self knowledge/ pengenalan diri, kemampuan untuk dapat mengetahui dan mengevaluasi perilaku sendiri. Pengenalan diri ini merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit untuk diperoleh, akan tetapi sangat penting untuk mengembangkan karakter.

42 b. Moral feeling/ Perasaan Tentang Moral

Moral feeling berkaitan dengan emosi seseorang dalam merasakan apa yang terjadi di sekitar lingkungannya. Moral feeling ini yang akan menuntun seseorang untuk melakukan tindakan moral. Sehingga moral feeling ini merupakan peruwujudan sikap seseorang dalam merespon terhadap obyek yang ada disekitarnya dalam wujud perasaan senang dan tidak senang. Moral feeling memiliki enam unsur diantaranya:

1) conscience/ hati nurani. Hati nurani memiliki empat sisi yaitu sisi kognitif untuk mengetahui apa yang benar dan sisi emosional yaitu merasa berkewajiban untuk melakukan apa yang benar. Unsur ini akan mengajarkan peserta didik untuk bertindak sesuai dengan apa yang benar, bukan mengetahui apa yang benar akan tetapi tidak melakukan kewajiban untuk melaksanakan yang benar tersebut,

2) self esteem/ harga diri. Peserta didik harus memiliki ukuran yang benar tentang harga diri mereka, agar bisa menilai diri sendiri. Sebab, peserta didik yang memiliki harga diri yang positif terhadap dirinya sendiri akan lebih mungkin untuk memperlakukan orang lain dengan cara yang positif,

3) empaty/ empati, merupakan kemampuan untuk mengenali dan memahami keadaan orang lain. empati memampukan diri untuk keluar dari dirinya sendiri dan masuk ke dalam diri orang lain,

4) loving the good/ mencintai kebaikan. Peserta didik tidak hanya diajarkan untuk mengetahui dan membedakan mana yang baik dan yang buruk. Akan

tetapi juga, diajarakan untuk mencintai kebaikan sehingga mereka benar-benar terkait dengan segala hal yang baik,

5) self control/ pengendalian diri akan membantu peserta didik untuk berperilaku sesuai dengan etika yang berlaku. Kendali diri juga diperlukan untuk menahan diri agar tidak memanjakan terhadap diri sendiri, dan

6) humanity/ kerendahan hati ini membuat seseorang untuk tidak sombong dan menjadi terbuka terhadap keterbatasan diri dan mau mengoreksi kesalahan yang telah dilakukan.

c. Moral action/ tindakan moral

Moral action merupakan wujud nyata dari moral knowing dan moral feeling. Moral action ini merupakan wujud dari perilaku yang dibuktikan dengan tindakan nyata yang dapat diamati secara langsung. Tindakan moral memiliki tiga aspek yang digunakan untuk memahami apa yang menggerakkan seseorang untuk melakukan tindakan moral atau mencegah seseorang untuk tidak melakukannya. Ketiga aspek tersebut yaitu:

1) competence/ kompetensi, kompetensi moral memiliki kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam tindakan moral yang efektif. Kompetensi ini merupakan kemampuan yang harus dimilik peserta didik dalam memecahkan suatu permasalahan,

2) desire/ keinginan, untuk mewujudkan suatu tindakan moral yang baik, maka diperlukan keinginan yang baik pula. Keinginan ini akan membuat suatu pergerakan energi moral untuk melakukan apa yang kita pikir kita harus lakukan, dan

44

3) habit/ kebiasaan, yaitu membiasakan hal-hal yang baik dan menerapkannyan dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari.

Tokoh pendidikan Indonesia yang merupakan pendiri Taman Siswa yaitu K.H Dewantara (Dwi Siswoyo, 2012: 124) mencetuskan konsep “Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengerti), ngrasa (memahami), dan nglakoni (melakukan). Ketiga konsep ini merupakan tujuan dari belajar yaitu untuk meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatakan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya (Dyah Kumalasari, 2010: 55). Konsep Tringa tersebut adalah suatu tahapan-tahapan belajar yang harus dilewati satu per satu. Dalam hal ini, proses internalisasi karakter religius dapat dilakukan dari tahap ngerti atau memahamkan tentang pengetahuan religius, kemudian ngrasa yaitu melatih peserta didik untuk merasakan apa yang telah dipahaminya tentang religius, dan yang terakhir ialah nglakoni. Nglakoni ini merupakan tahapan yang paling akhir dan penting. Sebab, peserta didik diminta untuk mempraktikan tentang pengetahuan dan rasa religius mereka dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan yang lebih luas lagi.

Berdasarkan pendapat ketiga ahli tersebut, baik pendapat Muhaimin, Thomas Lickona, serta K.H. Dewantara menjelaskan satu konsep penting dalam tahapan internalisasi karakter pada peserta didik. Tahap-tahap tersebut dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana internalisasi karakter religius yang dihayati oleh peserta didik. Sehingga dapat diketahui upaya internalisasi yang dilakukan guru sampai pada tataran memahamakan pengetahuan anak, atau sudah

membentuk sikap anak, dan yang lebih tinggi lagi sudah sampai memunculkan perilaku anak religius pada anak. Dengan demikian guru dapat lebih mengembangkan kembali startegi yang digunakan, sehingga peserta didik mencapai pada tahapan yang paling tinggi yaitu melakukan tindakan yang mencerminakan sikap dan perilaku religius dan kehidupan sehari-harinya.