• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religius Anak Sekolah Dasar

KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Internalisasi Karakter Religius

D. Perkembangan Religius Anak Sekolah Dasar

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religius Anak Sekolah Dasar

Dalam perkembangan agama atau religius anak sangat ditentukan oleh proses pendidikan yang didapatkannya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orang tuanyalah, anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi.” Berdasarkan hadis ini sangat jelas bahwa lingkungan keluarga khususnya orang tua sangat berpengaruh terhadap kualitas perkembangan agama anak. Perkembangan beragama seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan dan lingkungan.

Berikut ini faktor pembawaan dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangan beragama seseorang menurut Syamsu Yusuf (2004: 136-146).

46 a. Faktor Pembawaan (Internal)

Perbedaan hakiki antar manusia dan hewan adalah bahwa manusia mempunyai fitrah (pembawaan) beragama (homo religious). Dahulu orang-orang percaya dengan adanya roh-roh gaib yang dapat memberikan kebaikan atau bahkan menimbulkan kejahatan. Untuk mengusir roh-roh tersebut orang jaman dahulu memberikan sajian-sajian. Supaya roh-roh jahat tersebut dapat pergi dan tidak mengganggu mereka.

Bahkan dijaman yang serba modern saat ini masih ada orang yang percaya dengan benda-benda seperti keris dan batu akik yang memiliki kekuatan baik. Sehingga, tidak jarang mereka mengeramatkan benda-benda tersebut. Adanya kepercayaan tersebut membuktikan bahwa manusia memiliki perasaan untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik dan dapat mendatangkan kebaikan. Dalam proses perkembangannya fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada pula yang berjalan berkat adanya bimbingan dari para Rasul Allah SWT.

b. Faktor Lingkungan (Eksternal)

Lingkungan Eksternal yang dimaksud ialah lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Masing-masing lingkungan tersebut mempunyai peran dalam menentukan perkembangan religius anak.

1. Lingkungan Keluarga

Menurut Hurlock (Syamsu Yusuf, 2004: 138), keluarga merupakan “Training Centre” bagi penanaman nilai-nilai. Hal ini didukung oleh pendapat Melly Latifah (Agus Wibowo, 2012: 106) bahwa keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama dalam menentukan keberhasilan pendidikan karakter.

Keberhasilan pendidikan karakter dalam keluarga, akan memuluskan pendidikan karakter dalam lingkup-lingkup selanjutnya. Oleh karena itu, perkembangan beragama seorang anak baiknya bersamaan dengan perkembangan kepribadian anak yaitu sejak dalam kandungan. Dengan demikian, orang tua perlu memperhatikan beberapa hal dalam mengembangkan religius anak diantaranya: a) orang tua hendaknya memiliki kepribadaian yang baik dan berakhlak yang

mulia sebagai teladan bagi anaknya,

b) orang tua hendaknya memperlakukan anak dengan baik,

c) orang tua perlu mengadakan hubungan yang harmonis antar anggota keluarga, dan

d) orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan, atau melatihkan ajaran agama terhadap anak.

Dalam perkembangan moral anak, orang tua sangat memegang peranan yang penting. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yudrik Jahja (2013: 51) beberapa sikap orang tua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, sebagai berikut.

a. Konsisten dalam mendidik anak

Ayah dan ibu harus memiliki hal yang sama dalam melarang dan memperbolehkan anak dalam melakukan sesuatu. Dan suatu waktu, hal yang dibolehkan dan dilarang tersebut juga berlaku kembali pada waktu itu.

b. Sikap orang tua dalam keluarga

Secara tidak langsung sikap orang tua terhadap anak, maupun sikap ayah terhadap ibu atau sebaliknya dapat mempengaruhi moral anak, yaitu melalui

48

proses imitasi (peniruan). Sikap yang semestinya dimiliki oleh orang tua yaitu sikap terbuka, kasih sayang, musyawarah (dialogis), dan konsisten.

c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orang tua merupakan sosok teladan bagi anak. Orang tua yang memberikan suasana religius di lingkungan rumah melalui teladan melakukan ajaran agama, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

d. Sikap orang tua dalam menerapkan norma

Jika orang tua menginginkan anaknya untuk tidak berbuat bohong, maka orang tua sendiri harusnya juga tidak berbohong.

2. Lingkungan Sekolah

Menurut Hurlock (Syamsu Yusuf, 2004: 140) pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan substitusi dari keluarga dan guru-guru substitusi orang tua. Dalam hal ini peran guru terutama menjadi sosok yang penting dalam memberikan wawasan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia dan sikap apresiatif terhadap ajaran agama.

Faktor lain yang membantu perkembangan agama siswa di sekolah, yaitu: a) adanya kepedulian dari kepala sekolah, guru-guru, staf sekolah terhadap

penanaman nilai-nilai agama di sekolah, baik melalui pemberian contoh dalam berkata, berperilaku, berpakaian dan adanya upaya guru dalam menyisipkan nilai-nilai agama dalam mata pelajaran yang diajarkannya,

c) adanya penyelenggaraan ekstrakulikuler kerohanian dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan.

3. Lingkungan Masyarakat

Lingkungan masyarakat juga tidak dapat dikesampingkan dalam perkembangan agama anak. Sebab, di lingkungan masyarakat anak belajar bersosialisasi dengan orang dewasa dan teman sebayanya. Jika orang dewasa menampilkan sikap dan perilaku yang baik, maka anak akan mencontoh perilaku tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika orang dewasa menampilkan perilaku yang tidak baik anakpun akan mencontohnya. Teman sebaya juga menjadi bagian yang sangat penting bagi anak. Jika teman sebaya anak mampu menunjukkan perilaku yang beragama, maka anak akan mencontohnya. Dengan demikian, kualitas perkembangan kesadaraan beragama bagi anak sangat bergantung pada kualitas perilaku atau pribadi orang dewasa dan teman sebaya yang ada di sekitarnya. 2. Tahap Perkembangan Religius Anak Sekolah Dasar

Internalisasi nilai religius pada anak memerlukan suatu tahapan yang saling berkesinambungan. Penanaman nilai ini membutuhkan waktu yang lama. Sehingga proses penanaman nilai ini bukan suatu proses yang instan. Perkembangan pengertian anak-anak tentang agama sejalan dengan pertumbuhan kecerdasan yang dilaluinya (Zakiah Drajat, 1979: 55). Jika perkembangan agama atau perkembangan religius anak bersamaan dengan perkembangan kognitifnya, maka hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif yang disampaikan Jean Piaget.

50

Dalam tahap perkembangan kognitif yang dirumuskan Piaget (Nurul Zuriah, 2011: 34) menyebutkan bahwa:

“[p]ada tahap operasioal konkret, umur 7-11 tahun, anak sudah mulai berpikir transformasi reversible (dapat dipertukarkan) dan kekekalan. Dia dapat mengerti adanya perpindahan benda, mulai dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya masih pada hal yang konkret. Anak sudah dapat mengerti persoalan sebab akibat. Oleh karena itu, dalam penanaman nilai pun sudah dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan tidak baik.” Merujuk tentang perkembangan kognitif yang disampaikan oleh Piaget bahwa pada usia sekolah dasar yaitu usia 7-11 tahun sudah dapat dilakukan penanaman nilai yang berkaitan dengan tindakan yang dapat berakibat baik dan tidak baik. Jadi, anak telah memahami bahwa suatu tindakan yang dilakukan dapat memberikan dampak yang baik dan tidak baik. Jika berakibat baik bagi dirinya maupun orang lain, maka tindakan tersebut boleh dilakukan. Akan tetapi, jika tindakan tersebut berakibat buruk bagi dirinya maupun orang lain, maka tidak boleh dilakukan.

Menurut Ernest Harms (Jalaluddin, 2010: 66-67) yang menyatakan bahwa anak sekolah dasar memasuk tahap the realistic stage (tingkat kenyataan) yaitu ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Pada masa ini, ide keagaman anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Pandangan Ernest Harms ini sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif yang disampaikan oleh Piaget, bahwa anak sekolah dasar memasuki masa operasional konkret.

Merujuk pandangan James W. Fowler (Paulus Dwi Hardianto, 2014: 19-20) dalam perkembangan iman, anak-anak sekolah dasar berada pada akhir Tahap

Iman Intuitif-Proyektif dan Tahap Iman Mitis-Literal serta awal Tahap Iman Sintetis-Konvensional. Berikut ini akan dijelasakan dari masing-masing tahap perkembangan iman anak sekolah dasar tersebut.

a. Akhir Tahap Iman Intuitif-Proyektif

Tahap ini dialami oleh anak dengan usia sekitar 3-7 tahun, sedangkan anak sekolah dasar berada pada usia 6-12 tahun. Sehingga anak dengan usia 6-7 tahun masuk kedalam akhir tahap perkembangan iman intuitif-proyektif. Pada tahap ini pola pemikiran anak masih labil. Hal ini wajar, sebab anak di luar menjumpai banyak pengetahuan baru sedangkan anak belum memiliki pengetahuan iman yang kuat. Ciri khas pada tahap ini adalah anak mulai membentuk dan mengingat apa yang ada di luar dirinya sebagai modal dalam hidupnya di dunia. Pada tahap ini, penyampaian iman yang terbaik adalah melalui cerita-cerita, gerak isyarat dan simbol-simbol yang berkaitan dengan pengajaran iman.

b. Tahap Iman Mitis-Literal

Tahap iman ini berlangsung pada usia 7 sampai 12 tahun. Ciri perkembangan pada tahap ini yaitu adanya peningkatan akurasi dalam melihat prespektif orang lain. Anak-anak mulai dapat membedakan hal-hal yang logis dengan hal-hal yang sifatnya khayalan atau imajinasi. Anak yang memasuki perkembangan pada tahap iman ini sudah mulai dapat menangkap makna cerita-cerita dan kepercayaan. Makna kehidupan tersebut mulai anak-anak temukan dalam cerita-cerita atau dongeng keagamaan. Ketika mulai menemukan makna dalam cerita anak juga mulai bersikap kritis terhadap cerita-cerita atau dongeng tersebut.

52

Anak akan merasa aman memeluk satu iman kepada Tuhan karena anak memandang Tuhan sebagai sosok yang paling setia dan tidak akan pernah ingkar padanya. Dan yang perlu diperhatikan oleh guru dan orang tua pada tahap ini adalah pemberian penjelasan yang logis dan memadai terhadap suatu hal sebab anak mulai bepikir kritis dan logis.

c. Awal Tahap Iman Sintetis-Konvensional

Tahap ini juga sering disebut dengan tahap iman penyesuaian (conforming faith). Tahap ini dialami oleh remaja dan orang yang beranjak dewasa dengan usia berkisar 12-20 tahun. Tahap ini berarti dimulai pada tahap akhir sekolah dasar yaitu sekitar umur 12 tahun. Bagian utama pada tahap ini adalah hubungan antar pribadi yang menjadi bagian krusial dalam perkembangan iman anak secara krusial dalam proses perkembangan iman mereka baik secara pribadi dan kelompok.

Pada tahap ini remaja sudah memiliki “ideologi” tentang nilai-nilai dan iman, akan tetapi belum sungguh-sungguh direfleksikan secara mendalam. Mengingat umumnya remaja mengidentifikasi dirinya serupa dengan pandangan dan pengertian oleh orang lain atau masyarakat. Sebab identitas diri mereka dibentuk berdasarkan perasaan dipercaya dan dikuatkan oleh orang lain.