• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cinta untuk Divan Karya Tubagus R. Kahi

Dalam dokumen sma11bhsind AktifDanKreatifBerbahasaIndProgBhs (Halaman 143-146)

Anak laki-laki baru saja selesai memasang

tenda. Malam makin mencekam. Langit masih kelam, hujan tidak juga reda. Udara dingin masih meraja, menusuk kulit, menyusup lewat pori-pori. Anak-anak berkumpul di teras mushola. Sementara itu di dapur umum, Mita, Cinta, Cicih, dan beberapa anak perempuan lainnya sedang menyiapkan minuman hangat. Wedang jahe, kopi susu, dan teh manis.

Iseng-iseng Divan menghampiri dapur umum, sekadar ingin tahu apa yang sedang dibuat oleh Mita dan kawan-kawan, tentunya juga ingin menengok Mita. Divan mengintai dari balik sebuah pohon. Ia ingin mengagetkan mereka yang sedang asik mengobrol. Tanpa sengaja Divan mendengar pembicaraan mereka.

"Aduh Mit, senang dong ya?" ujar Cicih sambil meledek.

"Apa?"

"Di tempat dingin seperti ini ada api membara, betul teman-teman?"

Anak-anak perempuan di situ tertawa geli melihat wajah Mita memerah.

"Nih Mit, kopi susu buat pangeran impianmu. Berikan padanya dengan penuh perasaan, biar dia tahu kalau kamu sayang sama dia," ujar Cinta sambil menyodorkan segelas kopi susu.

"Yang lainnya gimana? Nanti pada iri?" tanya Mita ragu.

"Halah, mereka pasti ngerti, Mit. Lagipula kita bawa minuman ini sama-sama." Cicih meyakinkan. "Ya sudah…"

Divan segera berlari menuju mushola. Ia khawatir keberadaannya terlanjur diketahui. Hatinya disinggahi rasa bahagia. Beberapa saat lagi ia akan mereguk segelas kopi susu yang dibawakan oleh Mita hanya untuknya.

"Van, dari mana sih?" tanya Sinta.

"Teman-teman, sebentar lagi akan datang minuman hangat lho! Asik!"

Tak lama Mita dan teman-temannya datang. Masing-masing membawa baki berisi beberapa gelas minuman. Sementara itu, Mita hanya membawa segelas minuman kopi susu. Melihat itu Divan segera pasang aksi sok cuek, sok pura-pura tidak tahu. Ia menunggu Mita datang menghampiri. Tak lama kemudian ia melihat di arah kanannya Mita memberikan segelas kopi susu itu pada Yudi. Aksi Mita disambut meriah oleh beberapa anak-anak. Yudi bingung pada sikap Mita. Tapi ia tidak ambil pusing, ia menganggap ini hanya sebuah lelucon agar suasana menjadi hangat. Ia pun menerima segelas kopi susu yang dibawa oleh Mita. Sementara itu Sinta dan Vio tidak bisa ikut menikmati keceriaan itu. Mereka

saling memberi isyarat, ini tentang kekhawatiran mereka terhadap Divan.

Maka berkobarlah api cemburu di dada Divan. Di matanya ada badai. Topan lalu-lalang dalam benaknya. Ada ngilu di ulu hatinya. Tulang-tulangnya terasa sakit. Tapi Divan hanya diam, menunggu badai usai sambil menikmati segelas wedang jahe yang dibawakan oleh Cinta, bukan segelas kopi susu dari tangan Mita.

"Van, kamu baik-baik saja?" tanya Vio sambil merapatkan diri pada Divan.

Divan terus menghembuskan asap dari sebatang Djarum Coklat yang terselip di jarinya. Ia menatap Vio lalu mengangguk.

"Jelek amat!" ujar Vio sambil memonyongkan mulutnya.

"Apa?" Divan heran.

Vio segera menyambar rokok yang ada di tangan Divan lalu membuangnya ke genangan. Divan terkejut.

"Apa-apaan sih Vi?"

"Sudah, jangan merusak diri sendiri. Aku tahu kok kamu ini bukan perokok."

"Terus?"

"Ya jangan mentang-mentang lagi patah hati, terus kamu berubah jadi seorang perokok gitu!" Divan terkekeh.

"Apa? Patah hati? Kamu ngomong apa sih Vi? Ada-ada saja."

"Aku bicara tentang kamu dan Mita." "Hah? Mita? Memangnya dia kenapa?"

Vio jadi bingung. Dia pikir Divan tahu apa yang sebenarnya terjadi antara dia, Mita, dan Yudi.

"Lho? Kamu belum tahu, Van? Atau pura-pura tidak tahu?"

Divan menggeleng.

"Tuh, lihat di dekat tenda anak perempuan," ujar Vio sambil menunjuk ke arah tenda anak-anak perempuan.

Di sana Divan melihat beberapa anak perempuan termasuk Mita, sedang menyanyi diiringi oleh gitar yang dipetik oleh Yudi.

"Memang kenapa? Mereka sedang bernyanyi bersama, memangnya salah?"

"Bukan itu Van, bukan!" "Terus, apa?"

"Mita."

"Ya, ada apa dengan Mita?" "Dia itu…."

"Dia itu…sebetulnya jatuh cinta sama Yudi!" Divan mematung. Ia masih tidak percaya dan tidak ingin percaya pada apa yang dikatakan Vio. Ia meyakinkan diri bahwa Vio asal bicara dan hanya mengarang-ngarang cerita. Tapi, sebetulnya apa yang dikatakan oleh Vio sejalan dengan irasatnya selama ini. Firasat yang selalu berusaha disingkirkan dari benaknya. Tetapi, makin lama irasat tidak enak itu kembali datang, bahkan makin kuat.

"Mita mendekati kamu sebenarnya cuma ingin dekat dengan Yudi, Van."

Divan terdiam. Matanya tertuju pada sosok Mita dan Yudi yang sedang tertawa-tawa bersama.

"Benarkah?" tanyanya dalam hati.

"Malah Van, kata temen gengnya Mita, besok mereka bakal jadian! Anak-anak sudah pada tahu kok."

Divan tersentak, "Apa?" Vio mengangguk.

"Terus katanya sih….."

Pembicaraan Vio terpotong oleh kedatangan Sinta.

"Vio! Eh…eu… itu Vi…nasi liwetnya gosong deh kayaknya."

lebih terang dan lebih banyak. Mungkin di daerah seperti ini memang tidak ada polusi cahaya yang membuat bintang seringkali terlihat samar.

Sinta menatap Divan.

"Van, eu…Vio benar. Mita memang suka sama Yudi. Kamu hanya dijadikan sebagai batu loncatan agar dia bisa kenal Yudi lebih dekat."

Divan terdiam. Entah harus bicara apa. "Lupakan Mita ya, Van?"

Divan mengerutkan dahinya. Tapi, ia masih saja tidak mau bersuara. Divan yakin jika sepatah kata saja ia bicara maka air mata akan mudah tumpah dari sudut matanya. Kali ini Divan tidak ingin menangis, apalagi di depan Sinta. Memalukan.

Ya, untuk urusan cinta seperti ini Divan juga bisa menangis. Hanya saja Divan selalu berusaha untuk ingat judul lagunya The Cure, Boys Don’t Cry. Dilarang menangis, apalagi cuma gara-gara urusan cinta.

Divan mengeluarkan sebatang rokok A Mild dan korek api dari saku bajunya.

"Van? Dapat dari mana?"

"O, ini dari Andry. Kenapa? Mau?"

"Ih, sembarangan! Lagipula sejak kapan sih kamu jadi perokok?"

Divan terdiam. Ia tidak menghiraukan pertanyaan Sinta. Rokok itu lalu disulutnya. Maka mengepullah asap dari mulut dan hidungnya.

"Sudah aku duga sebelumnya, Ta." "Maksud kamu?"

"Ya, aku sudah punya irasat."

"Kalo begitu, kenapa kamu tidak segera mengubur perasaan kamu buat Mita?"

"Ya tidak segampang itu Ta. Begini, seperti canta kamu ke Ronal, kamu tahu, kan kalau dia sudah jadi kekasihnya Agri? Nah, tapi kamu tetap mengharapkan Ronal jadi pangeran yang terbang dengan kuda pegasus terus datang menjemput kamu. Gitu kan, Ta? Aku juga sama, Ta."

Sinta terdiam. Ia hanya mengangguk. "Ta, Aku lelah. Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk sendiri. Sekeras apapun usaha aku untuk punya pacar, sepertinya sia-sia. Selalu saja ada kendala, Ta."

Sinta menangkap kegelisahan di mata sahabatnya.

"Bayangkan, Ta. Selama hampir setahun ini aku seperti mendapat kutukan, Ta. Sepertinya semua cinta yang ingin kupersembahkan untuk orang yang aku pilih, layu sebelum sempat menyentuh hati orang itu, Ta. Ini sudah ketiga kalinya, Ta!" Divan meletup-letup meluapkan emosinya.

Selama beberapa saat, Vio dan Sinta ber-pandangan. Sinta memberi isyarat untuk Vio yang artinya agar Vio pergi dari situ. Tak lama kemudian Vio pergi meninggalkan Sinta dan Divan.

"Van, sabar saja, ya," ujar Vio sambil berlalu dan menepuk bahu Divan.

Sinta mendekat ke arah Divan. Ia duduk di sampingnya. Ia menawarkan segelas kopi susu jahe yang baru saja dibuatnya. Gelas itu segera disambar Divan. Setelah menghirup aroma minuman hangat itu, Divan menempelkan dinding gelas ke perutnya. Divan memang punya kebiasaan jelek, perutnya akan terasa sakit jika terkena angin dingin.

Selama beberapa menit mereka terpaku sambil menatap gemerlap bintang di langit. Di hutan yang gelap gulita seperti ini bintang memang terlihat

"Aku muak, Ta. Sangat muak! Apa sih gunanya hidup? Toh cepat atau lambat aku hanya akan mendapat hadiah berupa kematian."

"Kamu ini ngomong apa sih? Kamu tidak perlu bicara seperti itu. Memangnya tidak ada hal lain yang dapat kamu kerjakan di dunia ini. Menyebalkan, kamu lembek , Van."

"Kamu tidak mengerti. Ta. Lihat orang-orang di sekeliling kita, Ta. Sepertinya mereka gampang menemukan cinta. Sepertinya hidup mereka benar-benar indah. Sementara aku? Sepertinya aku…AH!" Divan menghempas rokoknya.

Sinta segera menyodorkan kopi susu jahe pada Divan.

"Nih, minum Van. Sudahlah! Kamu seperti anak kecil saja. Terlalu emosional!"

Emosi Divan pun mereda.

"Maaf Ta, aduh, aku kok jadi seperti orang yang kerasukan ya?"

Divan tersenyum pada Sinta. Mereka saling bertatapan cukup lama.

"Ya sudah, pokoknya mulai nanti saat kita kembali ke Bandung, kamu berburu lagi ya, De…." Sinta terkekeh.

"Ya ya ya, kamu juga dong. Masa terus ,menunggu si pangeran buruk rupa itu."

Sinta melotot. Ia lalu memiting leher Divan dan mencubiti pipinya.

"Dasar! Bilang apa tadi? Ayo bilang sekali lagi!" "Adudududuh…ampun Ta, AW! Iya, iya, tadi aku bilang pangeran tampan."

Sinta melepaskan Divan. "Nah, gitu dong!"

"Tapi berjerawat!" ledek Divan sambil berlari ke arah mushola.

"Heh! Dasar sableng! Sembarangan! Dia lelaki paling tampan yang pernah ada di dunia!"

"Ya, ya, di dunia gaib!" teriak Divan dari kejauhan.

"ARRRRGGHH! Awas kamu Van! Kamu mau ke mana, Van?"

"Mau sholat Isya dulu!"

"Ya sudah, hati-hati kecebur ke kolam! Nanti kamu tambah buruk rupa lagi!"

Tak ada jawaban. Suasana hening. Hanya suara jangkrik dan suara berdesis seperti suara desis ular gurun.

Dalam kutipan novel ini, terdapat unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Adapun unsur intrinsiknya adalah sebagai berikut.

1. Peristiwa

Dalam penggalan novel tersebut diceritakan kekecewaan Divan yang tidak pernah berhasil mendapatkan cinta. Bahkan, orang yang dicintainya ternyata jatuh cinta pada Yudi, sahabatnya. Divan mengalami kekecewaan dan merasakan kecemburuan. Ia pun tiba-tiba berubah menjadi seorang perokok.

2. Penokohan

Dari penggalan novel tersebut, ditemukan beberapa tokoh yang membangun cerita. Tokoh utama dalam novel tersebut adalah Divan sebab pengarang sering memunculkan Divan dan menampilkan kemelut batin Divan. Di samping itu, ada juga tokoh Yudi dan Mita yang menjadi pokok permasalahan bagi Divan.

Dapatkah Anda mengemukakan tokoh-tokoh lainnya dalam penggalan novel di atas?

3. Tema

Tema dalam penggalan novel tersebut adalah mengenai warna-warni percintaan remaja yang ditunjukkan oleh keberadaan tokoh-tokohnya yang bertemu dalam sebuah konlik tentang cinta.

4. Latar

Latar tempat yang digunakan adalah di sebuah tempat perkemahan. Adapun latar waktunya adalah malam hari. Hal tersebut dapat dibaca dalam paragraf pertama, yaitu:

Anak laki-laki baru saja selesai memasang tenda. Malam makin mencekam. Langit masih kelam, hujan tidak juga reda. Udara dingin masih meraja, menusuk kulit, menyusup lewat pori-pori. Anak-anak berkumpul di teras mushola. Sementara itu di dapur umum, Mita, Cinta, Cicih, dan beberapa anak perempuan lainnya sedang menyiapkan minuman hangat: wedang jahe, kopi susu, dan teh manis.

Pondok yang terletak di batas perkampungan itu menarik perhatian orang-orang. Dinding-dindingnya segera menjadi sasaran berlusin-lusin mata yang mencurigai. Desas-desus yang beraneka warna dan yang mengkhawatirkan berdengungan di atasnya. Orang-orang mencoba mengetahui suatu rahasia yang tersembunyi di balik dinding-dinding rumah di atas tanggul itu. Di malam hari, mereka mengintip-intip jendela dan kadang bahkan sampai terantuk kaca jendela, dan segera melarikan diri ketakutan.

Pada suatu hari, Pelagia dihentikan di jalanan oleh seorang pemilik warung bernama Beguntsov, seorang lelaki tua yang tampak rapi dan selalu berompi kain plush jambu tebal dan selembar sapu tangan hitam terbuat dari sutera melingkari tengkuk merahnya yang gembur itu. Hidungnya yang bangir dan berkilau-kilau ditunggangi rangka kacamata yang terbuat dari kulit penyu. Itulah sebabnya ia dijuluki si mata tulang.

Tanpa bernapas ataupun menunggu jawaban, lelaki tua itu menuangkan suguyuran kata-kata yang kering dan berdetakkan ke atas kepala ibunda.

"Bagaimana, Pelagia Nilovna? Dan anakmu? Apa kabar? Dia tak ada maksud hendak menikah, bukan? Sedang-sedangnya kembang, kata orang. Sebenarnya lebih cepat si anak menikah lebih baik buat orangtua. Setiap lelaki dapat memiliki tubuh dan batin kuat jika hidup dalam keluarga sebagaimana jamur dalam cuka. Kalau dia anakku, tentu aku nikahkan dia buru-buru. Di masa seperti sekarang ini, kita harus punya mata jeli untuk mengawasi anak-anak kita, bagaimana tingkah laku mereka. Begitu banyak sekarang orang yang hendak hidup menurut semau perutnya sendiri. Mereka berpikir dan berangan-angan tentang kebe-basan—bebas berbuat sekehendak hatinya. Dan mereka sangka perbuatannya itu lebih berharga dari-pada yang biasa. Cobalah, anak-anak muda itu sekarang tak pergi lagi ke gereja Tuhan dan menjauhkan diri dari tempat-tempat umum. Berkerumun di pojok-pojok yang gelap dan kelesak-kelesik, berbisik-bisik rahasia. Untuk apa mereka berbisik-bisik begitu kalau aku boleh bertanya? Buat apa mereka menjauhi orang? Apa sebabnya orang takut mengatakan sesuatu di depan orang banyak—di warung minuman misalnya? Rahasia! Satu-satunya tempat untuk memercayakan rahasia hanya gereja-gereja kita yang kudus! Rahasia-rahasia lain yang dibisikkan di tempat-tempat sepi itu datang dari pikiran yang kacau. Semoga sehat-sehat saja kau, Pelagia Nilovna!"

Dengan sopannya ia angkat topinya, melam-baikan ke udara dan pergi, meninggalkan Ibunda dalam keadaan terheran-heran.

Ibunda

Dalam dokumen sma11bhsind AktifDanKreatifBerbahasaIndProgBhs (Halaman 143-146)