• Tidak ada hasil yang ditemukan

Citra Publik tentang LGBT: Peran Media

dan Keyakinan Agama

Kotak 3. Liputan Media Mengenai LGBT – Kasus Q! Film Festival 29 September – 8 Oktober

5.4. Citra Publik tentang LGBT: Peran Media

Kalau kita ngomong news TV juga paling cuma punya porsi berapa sih terhadap news ya, kecuali memang TV yang berita. Tapi di luar itu kan kita melihat betapa isi media termasuk newsnya, sangat menuju ke arah, komersialisasi, sensasionalisasi. Sehingga lalu kemudian isu-isu yang penting buat publik sering sekali tidak terangkat karena dianggap tidak seksi, tidak menarik. Jadi semua hitungannya adalah hitungan tentang rating, ya itulah yang kemudian rating ini lalu kemudian mendegradasi kepentingan publik (I. Haryanto, LSPP, wawancara, 11/10/2012).

Kutipan Haryanto ini mencerminkan kondisi penyiaran televisi Indonesia saat ini. Media di Indonesia penuh dengan komersialisasi dan sensasionalisme. Lebih buruk lagi, penonton sepertinya cenderung memilih program drama dibandingkan dengan berita, kecuali jika pemberitaan pun juga didramatisir. Kendati beberapa stasiun televisi telah menyiarkan berita dan liputan investigatif yang mencakup isu- isu sosial, liputan sejenis tampaknya hanya menarik sejumlah kecil penonton dibandingkan dengan sinetron atau program hiburan/talkshow. Persentase share penonton sinetron yang besar cukup untuk mengatakan bahwa program jenis ini adalah favorit (MPA Analysis, 2011, Nugroho, Putri et al., 2012).

Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, sementara kanal-kanal keterbukaan tidak lagi terkunci sejak Reformasi dan pemberitaan serta aneka tajuk mengenai LGBT telah meningkat secara kuantitatif dan daya jangkauan, namun perlakuan buruk terhadap kelompok LGBT malah meningkat. Persoalan yang mengkhawatirkan pun muncul, di mana kelompok LGBT cenderung diberi label sakit jiwa dan rusak secara moral. Minimnya perspektif gender dan kesalahpahaman atas identitas LGBT membuat ke- lompok rentan ini kerap ditampilkan secara negatif. Sebagai tambahan, motif akan profit dari industri media juga turut berkontribusi dalam hal ini, menghasilkan apa yang disebut dengan sensasionalisme.

Menimbang bahwa televisi cenderung memilih menyiarkan sinetron yang bernuansa dramatis sebagai konten utama mereka dan meninggalkan isu-isu publik yang sebenarnya relevan; tidak mengherankan jika reproduksi atas aneka potret yang mendiskreditkan LGBT juga terus dipertahankan. Namun, me- dia cetak pun, seperti halnya TV, jarang memotret kelompok LGBT. Alih-alih mengangkat kelompok LGBT sebagai korban diskriminasi dan kekerasan, sebagian media cetak cenderung menyebut sebagai “sakit secara seksual dan menyimpang.” Dalam banyak kasus, media menggunakan istilah-istilah yang merendahkan dalam menggambarkan komunitas LGBT. Sebagai contoh, sangat umum penggunaan istilah-istilah yang merendahkan di dalam penggambaran media. Penggunaan istilah seperti “banci” atau “bencong” – yang memiliki makna peyoratif – dipergunakan sebagai pengganti istilah transgender.

Aneka penggambaran mengenai LGBT yang muncul baik di layar kaca maupun di media cetak kerap kali digunakan sebagai “lelucon”. Sementara kebanyakan sinetron cenderung menampilkan “waria jadi-jadian” sebagai bahan lelucon, reproduksi atas representasi yang merendahkan ini terus berlanjut

Centre for Innovation Policy and Governance

Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 76

di masyarakat. Situasi demikian sungguh melukai martabat kaum LGBT dan membuat mereka rentan terhadap penghinaan dalam dinamika hidup harian. Situasi menjadi runyam karena me- dia tampak enggan memberi kesempatan kelompok LGBT untuk mempresentasikan diri mereka secara layak di media.

Kita selalu ambil peluang itu untuk muncul. Mulai dari 2007, ketika Ardhanary mulai punya organisasi, kita kan sering diminta terus nih (untuk tampil di TV sebagai undangan). Kita tawarkan juga ke teman gay kita di telepon dan bilang, “Mau ngga muncul di televisi?” (dan biasanya mereka menjawab) “Ah, ga mau. Gw suka dijelekin, entar gue dimarahin teman- teman.” (Mereka menolak tampil) Karena nanti si presenternya di endingnya ngomong mer- eka abnormal. Selalu dibikin kesimpulan, kan. Terus biasanya (sikap) kita (adalah), “Tapi, setidaknya kita ngomong.” Karena mulai sering, lalu kita biasanya ngga mau lagi, kita mulai membangun posisi tawar ke media. Tapi kita sering merasa ditipu oleh media yang men- gatakan sangat concern terhadap isu teman-teman. Begitu kita sudah ada di situ, muncul Kang Dadang Hawari lah, atau siapa lah yang sengaja meng-counter kita dan itu biasanya dibuat porsi bicara narasumber lebih banyak sehingga kita terlihat sebagai orang yang salah (Sri Agustine, Ardhanary Institute, aktivis LBT, Wawancara, 17/01/2012).

Ketika kasus Ryan74 menjadi isu nasional, beberapa penggambaran media berulang kali menunjuk

pada orientasi seksual dari pelaku. Portal berita detik.com sebagai contoh, menampilkan Ryan sebagai “pria kemayu.”75 Dari sini tampak bahwa media hampir tidak pernah melewatkan peluang untuk meny-

elipkan aspek “menarik” dari orientasi seksual LGBT. Hampir selalu, media mengeksploitasi perbedaan ini dengan melebih-lebihkan headline atau konten daripada menyediakan ruang dan suara bagi yang lemah sehingga ke depan dapat memberdayakan mereka untuk mengambil peran aktif dalam proses pembuatan keputusan.

Media mencerminkan dan terus mereproduksi diskriminasi, memarginalkan kelompok LGBT. Dampaknya adalah EKOSOB, hak-hak EKOSOB itu jadi hilang. Tapi kan media nggak mau diper- salahkan. Ini bukan kami (media). Saya pikir orang juga sudah tahu media itu sebagai media pendidikan untuk masyarakat. Itu yang sebenarnya. Sekali lagi, persoalan ini memang tanggung jawab semua tapi negara, dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia yang punya tanggung jaw- ab lebih besar terhadap media TV, Dewan Pers terhadap media cetak. Mestinya mereka harus terus menerus memberikan edukasi, atau memberikan warning pada media untuk tidak terus mereproduksi marginalisasi atau mendiskriminasikan kelompok LGBT gitu, maupun kelompok marginal lainnya (Hartoyo, Our Voice, Wawancara, 14/05/2012).

Tanggapan dari Hartoyo di atas menunjukkan akibat tidak langsung dari aneka liputan yang merenda- hkan dan menyajikan stereotipisasi kelompok LGBT di dalam media. Berdasarkan pengalaman para anggota LGBT, Hartoyo dan rekan-rekan aktivis lain mendapati bahwa reproduksi penggambaran yang merendahkan sesungguhnya sangat melukai mereka sebagai pribadi dan telah mengancam hak mer- eka sebagai warga negara (Diskusi, 2012).

Cara media menggambarkan homoseksualitas sangat penting karena, seperti dibincangkan oleh Her- man dan Chomsky (1988), penggunaan kata dan penulisan berita utama (headline) sangat menentukan konstruksi cerita dan menentukan sejauh mana individu-individu diperlakukan sebagai seorang ma-

74 Kasus pembunuhan dan mutilasi Heri Santoso terjadi tahun 2008 di Jakarta, telah menjadi debat nasional. Pembunuhnya, Verry Idham Henyansyah juga dikenal sebagai Ryan, mengaku membunuh 10 orang dan divonis mati oleh pengadilan Indonesia.

75 Sebagai contoh, lihat entri berita pada 16 Maret 2009 http://news.detik.com/read/2009/03/16/140918/11 00135/10/ryan-normal-pantas-dihukum dan 6 April 2009 http://news.detik.com/read/2009/04/06/131028/1110962/ 10/jelang-vonis-ryan-nyanyi-untuk-novel.

Centre for Innovation Policy and Governance Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 77 nusia. Detail sekecil apapun dapat mempengaruhi minat pembaca dan mengundang aneka tanggapan simpatik (h. 35).

(Implikasi dari kondisi ini) Sangat besar ya. Misalnya kalau penyerangan LGBT di Kongres ILGA Surabaya. Itu kan seluruh media hanya mengambil perspektif yang disukai masyarakat. (Sep- ertinya mereka hendak mengatakan) “Itu kelompok maksiat itu bikin acara apa, berkumpul di mana, lalu diusir oleh FPI.” Itu selalu dimunculkan kelompok-kelompok tertentu yang sebena- rnya merekalah yang melakukan kekerasan terhadap kita. Merampas hak kita untuk berkumpul dan bercerita. Tetapi itu kan yang dimunculkan (Sri Agustine, Institut Ardhanary, aktivis LBT, wawancara, 17/01/2012).

Jika demokrasi berarti setiap warga negara – termasuk di dalamnya adalah kelompok rentan dan mi- noritas – diperlakukan setara, dan media adalah pilar penjaga demokrasi; maka sesungguhnya proses demokratisasi berada dalam bahaya karena media cenderung “bermain aman.” Tanggapan Agustine di atas mengungkapkan kondisi ini. Alih-alih membela hak kaum minoritas dan kelompok rentan, media justru memilih bermain aman dan menyediakan penggambaran dan pemberitaan yang hanya me- nyenangkan publik semu, yakni mayoritas. Atas dalih “publik”, media sepertinya mengabaikan fakta bahwa ada ketidakadilan yang sedang terjadi. Dan sebagai gantinya, media memilih mereproduksi potret-potret negatif tersebut. Jelaslah bahwa hal ini bukan apa yang kita harapkan terjadi.

(Setelah reformasi), media sekarang kan dikatakan media itu bebas, terbuka, tapi sekaligus se- makin fobia dan homofobia. Mereka lebih punya keberpihakan sebelum tahun 2000. Jadi, wa- laupun sekarang terbuka, gerakan HAM-nya kuat, justru ketika kita makin visible, kalau analisis Ardhanary tentang media, proses marjinalisasi-nya semakin kuat. Termasuk yang paling mu- dah terpengaruh itu kan media. Bagaimana agar masyarakat bisa mengerti kita, opini kita atas sesuatu, misalnya tentang Ahmadiyah, sangat tergantung pada peran penting media untuk membangun orang untuk punya kebencian atau menganggap bahwa itu salah atau sebaliknya. Karena media hanya mewawancarai FPI, tapi nggak mewawancarai suara dari kelompok rentan itu sendiri. Nah, kasus-kasus FPI dan lain-lain, ketika ada penyerangan ini-itu, media hanya me- wawancarai FPI dan tidak mewawancarai yang lain. Ada beberapa waria (muncul dalam pem- beritaan), tapi itu kan ditulis di kolom kecil, bukan di headline-nya. Headline dengan kolom kecil berbeda (Sri Agustine, Institut Ardhanary, aktivis LGBT, Wawancara, 17/01/2012)..

Pandangan di atas menegaskan kecenderungan sebagian besar media yang tidak melakukan “liputan kedua belah sisi”, terutama pada isu yang berkaitan dengan kelompok minoritas dan rentan. Menya- jikan berita saja tidak pernah cukup karena media juga berfungsi sebagai instrumen pendidikan bagi masyarakat, selain menyediakan informasi dan hiburan. Sebagai sarana untuk memberadabkan ma- syarakat, sudah semestinya media didesak untuk membangun konstruksi positif mengenai kelompok- kelompok minoritas dan rentan. Demikian, media tidak hanya dimaksudkan untuk mempromosikan orientasi seksual tertentu, tetapi sekaligus mempromosikan kontrol sosial demi memberadabkan ma- syarakat. Pasal 3 UU no. 40/ 1999 mengenai “landasan, fungsi, kewajiban dan peran pers dalam ma- syarakat” secara nyata dan jelas menyebutkan hal ini.

Pada umumnya, media massa Indonesia berbagi pandangan dan “ideologi” yang serupa mengenai LGBT. Sebagian besar dari mereka menyebutkan perilaku LGBT sebagai perilaku seks menyimpang. Hampir dalam setiap program atau kolom di semua outlet media, terutama pada bagian mengenai isu-isu kesehatan atau terkait perihal relasi, narasumber yang ada memberikan pandangan yang mirip bahwa homoseksualitas dan/atau biseksualitas merupakan perilaku seks menyimpang. Lebih parah lagi, sinetron sebagai acara televisi paling populer di televisi (Nugroho, Putri et al, 20120) memberikan stigmatisasi yang sama terhadap LGBT. Sebagai akibatnya, media secara tidak sengaja membentuk ke- sadaran umum yang mempengaruhi keyakinan, logika, dan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Kebenaran “tunggal” semacam ini dibentuk dan dikonstruksi dalam masyarakat melalui penggamba- ran sehari-hari di media.

Centre for Innovation Policy and Governance

Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 78

Ketika sensasionalisme, yang dibuat demi mencapai rating, mengambil alih substansi media keban- yakan – terutama acara televisi dengan tayangan sinetronnya – tampak bahwa media melupakan ke- wajiban publiknya. Media tidak lagi memenuhi tanggung jawab untuk mendidik dan memberadabkan masyarakat. Sebagai gantinya, media terkesan sangat mengejar laba (iklan) dengan memproduksi lebih banyak program yang bernuansa sensasionalisme dangkal. Yang ironis adalah bahwa penggam- baran LGBT menjadi salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan mereproduksi sejenis potret LGBT yang mengandung sensasionalisme, media berpotensi besar untuk mendapatkan profit yang lebih banyak lagi. Realitas macam ini tentu merupakan satu bentuk penyimpangan dari gagasan ranah publik yang ideal di mana publik secara umum dapat bebas berinteraksi dan terlibat dalam perkara-perkara publik (Habermas, 1989, Habermas, 2006). Kelompok-kelompok LGBT seharusnya, melalui kekuatan media, memiliki ruang yang cukup untuk menyuarakan keprihatinan mereka, dan demikian menciptakan sejumlah cara untuk melindungi hak mereka. Sebaliknya, minimnya akses ter- hadap media akan menghapus kesempatan untuk memperkuat suara lemah LGBT dan membatasi peluang mereka untuk mengambil peran aktif dalam proses pembuatan keputusan.