• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keseluruhan liputan atas isu kelompok rentan dalam media online Sumber: Penulis.

Gambaran Umum

Bagan 8.5. Keseluruhan liputan atas isu kelompok rentan dalam media online Sumber: Penulis.

Gambaran Umum

Berdasarkan pengamatan kami, dapat disimpulkan bahwa proporsi berita yang meliput isu-isu kelompok rentan sangat rendah. Menurut sampel data yang telah kami ilustrasikan, hanya 2.1% dari

total seluruh berita Tempo.co dan Detik.com yang meliput isu-isu Ahmahdiyah, LGBT dan Difabel.

Bagan 8.5. Keseluruhan liputan atas isu kelompok rentan dalam media online. Sumber: Penulis.

Kondisi serupa dapat ditemukan di media cetak, kami mengambil sampel dari Kompas dan Republika. Dari hasil pengamatan, kami dapat mengatakan bahwa Kompas, secara kualitas maupun kuantitas, telah membuat laporan yang cukup beragam dalam meliput insiden Cikeusik; namun sangat sedikit

Centre for Innovation Policy and Governance Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah127 meliput Q! Film Festival dan ASEAN ParaGames. Meskipun demikian, Kompas menyediakan pilihan yang lebih baik bagi kelompok rentan – dengan menyisipkan perspektif hak asasi manusia dalam lipu- tan-liputannya. Liputan mengenai kasus-kasus tersebut di surat kabar Republika, tampak cukup minim, baik dalam pengertian kualitatif maupun kuantitatif.

Secara keseluruhan, minimnya berita mengenai topik-topik kelompok minoritas menggambarkan keengganan media kita untuk meliput isu-isu tentang keempat kelompok tersebut, kecuali ada insiden atau peristiwa yang dapat ditampilkan ke publik. Jika industri media kita beroperasi menggunakan semangat dasar “payung” kebijakan media-media di Indonesia, kecil kemungkinan ketimpangan berita ini akan terjadi karena akan ada lebih banyak liputan yang berisi informasi substansial dan lebih me- miliki nilai edukasi, tanpa memandang sensasionalisme dari topik liputan.

8.3. Hak Warga Bermedia: Sebuah Janji Kosong atau Sebuah

Utopia?

Dengan semakin majunya industri media sekarang ini, media tidak lagi berada dalam posisi untuk menyediakan ruang yang dibutuhkan warga untuk terlibat satu sama lain. Menjalankan media semata- mata karena kepentingan bisnis, melakukan komodifikasi berita dan informasi serta mengkapitalisasi konten; dalam beberapa hal, telah membuat warga menjadi tidak berdaya. Media arus utama (main- stream) umumnya beroperasi dengan cara lebih mendorong kepasifan (quiescence), voyeurisme dan sinisme dibanding kewargaan dan partisipasi warga. Kesimpulan besarnya adalah bahwa tren industri media sepertinya bergerak ke arah yang salah – menuju lebih banyak pesan (informasi), dari produsen yang lebih sedikit, dengan lebih sedikit hal untuk disampaikan (Gamson, Croteau et al., 1992). Dari kondisi ini, apa yang tersisa adalah pemirsa/pembaca/pendengar sebagai konsumen (yang harus me- nerima acara apapun yang ditampilkan), dan bukan sebagai warga negara (yang memiliki hak). Kondisi ini menghambat impian “ranah publik” (Habermas, 1989, Habermas 2006) untuk mendukung keterli- batan publik dalam konteks demokrasi.

Terkait dengan kelompok-kelompok minoritas, situasi di atas membawa implikasi yang sangat besar. Umumnya, kelompok minoritas hanya dapat mengakses media tetapi jauh tertinggal dalam hal isi (konten) media – bahkan dalam banyak kasus, mereka dijadikan stereotip dan/atau diposisikan se- bagai korban. Mengulang bab-bab sebelumnya mengenai empat kelompok minoritas – Ahmadiyah, LGBT, difabel, dan perempuan-anak – kami menemukan bahwa ada bias-bias yang berkesinambungan terkait representasi kelompok-kelompok minoritas; stereotip yang negatif, kurangnya latar belakang informasi dan generalisasi yang terlalu luas.

Dalam kasus Ahmadiyah, kami dapat melihat bagaimana kelompok ini menderita akibat kurangnya akses terhadap media. Mereka hanya diberi ruang yang sangat kecil untuk mengekspresikan diri atau bahkan jika diberi ruang, media telah keliru dalam menyampaikan apa yang sebetulnya terjadi. Sejak saat itu, label “menyimpang” yang diberikan oleh masyarakat kepada kelompok Ahmadiyah menjadi semakin kuat. Hal ini terjadi karena representasi yang keliru – secara sengaja maupun tidak sengaja – oleh media. Ketika penganiayaan terjadi, media juga hampir tidak memaparkan liputan yang meny- eluruh mengenai korban. Alih-alih menyuarakan mereka yang tidak dapat bersuara, media cenderung untuk bungkam. Dampak dari hal ini fatal terhadap para Ahmadi karena masyarakat cenderung untuk percaya apa yang disajikan oleh media arus utama. Hal ini berdampak lebih lanjut dalam kegiatan hari-hari para jamaah Ahmadiyah, mereka kerap harus berjuang keras untuk dapat hidup layak dan bermartabat. Kondisi ini menjadi kian rumit karena peraturan yang kontroversial dan peraturan-per- aturan daerah (Perda) yang terus membahayakan kebebasan beragama (utamanya), kebebasan ber- serikat dan kebebasan berekspresi.

Centre for Innovation Policy and Governance

Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 128

Terkait gambaran kelompok yang diolok-olok dan dijadikan stereotip, kelompok LGBT adalah yang pal- ing terkena dampak penggambaran yang merendahkan karena orientasi seksual mereka. Diberi label sebagai pendosa, “tidak normal”, dan sakit secara psikologis, kelompok LGBT sangat distereotipkan di media, karena media cenderung menggunakan istilah peyoratif (tidak setuju) dan eufemistik dalam memaparkan atau menggambarkan kelompok LGBT di layar media. Pengalaman serupa juga dialami oleh kelompok difabel. Diberi label menyedihkan, “berbeda” dan bahkan dilihat semata-mata pada “(dis)fungsionalitas organ” mereka, kelompok difabel juga harus mengalami dijadikan bahan lelucon. Sitkom “3 Mas Ketir” merupakan salah satu contoh tayangan yang mencederai martabat para difabel.

Perempuan dan anak-anak juga jauh tertinggal dalam konteks sebuah konten. Meskipun kelompok ini sering ditampilkan di media, perempuan dan anak-anak hampir tidak pernah ditampilkan sebagai sub- jek. Alih-alih sebagai subjek, mereka digunakan sebagai komoditas untuk menarik kepentingan umum. Komodifikasi ini khususnya berkaitan dengan tubuh perempuan melalui iklan dan konstruksi perem- puan “ideal” sebagai cantik (hasil konstruksi sosial), bergantung pada lelaki, sumber kebijaksanaan keibuan serta manusia yang berdedikasi. Anak-anak juga selalu digambarkan menjadi obyek iklan serta kekerasan. Konstruksi (yang salah) mengenai anak-anak dan perempuan ini dapat kian memper- sulit perempuan dan anak-anak untuk dapat lebih berdaya. Mengingat bahwa makna sesungguhnya dari kewarganegaraan merujuk pada keseimbangan antara hak dan kewajiban warga (Janowitz, 1980); dengan merefleksikan empat kasus di atas, kami melihat adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut, dan media – yang berorientasi pada pasar – turut ambil bagian dalam menghan- curkan harmoni dan memposisikan beberapa kelompok minoritas sebagai korban.