• Tidak ada hasil yang ditemukan

LGBT di dalam Media

dan Keyakinan Agama

5. Studi Kasus 2: LGBT-Di balik Selubung Moral dan Keyakinan

5.3. LGBT di dalam Media

Media berfungsi sebagai sebuah sistem untuk penyebaran informasi dan pesan-pesan kepada ma- syarakat. Namun, tatkala konten media sangat bergantung pada rating; kepentingan publik menjadi tidak sepenuhnya diperhatikan. Kondisi serupa juga terjadi pada kasus kelompok LGBT. Apa yang disampaikan kepada publik mengenai LGBT sangat dipengaruhi oleh apa yang dianggap penting dan relevan oleh media. Dan alangkah sayangnya bahwa selama ini isu-isu LGBT masih dikemas dalam balutan sensasionalisme.

Aneka persoalan mengenai pelanggaran hak LGBT jarang diperlakukan sebagai isu penting oleh me- dia arus utama. Pelanggaran HAM semacam ini tampak kurang berarti dibanding kisah-kisah penuh sensasi seperti perampokan, korupsi, kanibalisme, pembunuhan, dan mutilasi. Latar belakang ini pula yang mendasari media cenderung meliput isu-isu LGBT dalam kemasan sensasionalisme. Tanpa ad- anya unsur tersebut, kelompok LGBT jarang muncul di dalam media. Kasus Ryan70 yang termasyhur

dapat menjadi contoh yang tepat dari situasi ini. Ketika kasus Ryan mulai menarik perhatian dan men- gundang debat nasional, tidak ada satu haripun berlalu tanpa surat kabar dan televisi meliput perkem- bangan kasus ini. Aneka pandangan pro dan kontra bermunculan dengan cepat, dan dengan segera opini dari para psikolog, kriminolog, maupun akademisi bergantian menghiasi layar kaca dan kertas surat kabar.

Beberapa penggambaran negatif perihal kasus ini disampaikan oleh Erlangga Masdiana dan Dadang

70 Kasus pembunuhan dan mutilasi Heri Santoso terjadi tahun 2008 di Jakarta, telah menjadi debat nasional. Pembunuhnya, Verry Idham Henyansyah juga dikenal sebagai Ryan, mengaku membunuh 10 orang dan divonis hukuman mati oleh pengadilan Indonesia.

Centre for Innovation Policy and Governance Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 71 Hawari. Ketika kasus Ryan sedang hangat, majalah Tempo mengutip pernyataan Erlangga Masdiana, seorang kriminolog dari Universitas Indonesia: “...[P]ara homoseks ini membunuh dengan cara sadis, tak perlu heran bila menilik dari dunia mereka. Kelompok dengan perilaku seksual berbeda memang terbiasa dekat dengan dunia kekerasan. Kelompok ini biasa mengancam atau melakukan pemaksaan, jika orang yang diajaknya berhubungan intim menolak. Orang dengan kebiasaan seperti itu tentu bisa melakukan kejahatan yang lebih besar.”71 Dadang Hawari, seorang psikolog terkemuka, bahkan ker-

apkali menggambarkan homoseksualitas sebagai “sebuah perilaku seksual yang menyimpang dan se- buah bentuk penyakit.” Lalu, ia menambahkan, “agresivitas mereka sangat tidak normal.”72 Dengan

kondisi ini, lantas media memiliki keuntungan dalam menjual sosok pelaku tindak kriminal yang meme- luk homoseksualitas, sebuah karakter yang masih dianggap tabu di masyarakat, sehingga mengun- dang perhatian penonton. Kondisi ini semakin kompleks dengan adanya kecenderungan salah-liput dan pengaburan batas-batas antara fakta dan fiksi; antara berita dan hiburan.

Informasi LGBT itu banyak yang salah kaprah, itu yang disampaikan oleh media semua ini. Ban- yak men-judge, banyak asumsi, prasangka. Contohnya simple saja, bahwa LGBT masih dipahami oleh banyak orang sebagai gangguan kejiwaan. Padahal PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) dari Kemenkes menyatakan homoseksual atau transgender itu bukan penyakit kejiwaan. Dia bukan penyakit, tapi itu sebagai keberagaman, ya sebagai keberagaman seksualitas manusia.

Itu (PPDGJ III) satu poin yang seharusnya semua media mengacu pada itu. Tapi yang terjadi adalah representasi media mengabaikan itu. Jadi tetap saja media mereproduksi, menghasilkan produk-produk yang mengacu pada bahwa homoseksual itu penyakit, penyimpangan. Bahkan yang paling ironis adalah LGBT itu sesuatu yang layak ditertawakan, layak dihina, layak dimargin- alkan, layak dituduh macam-macam (Hartoyo, Our Voice, Wawancara, 14/05/2012).

Kutipan dari Hartoyo di atas menunjukkan bahwa media cenderung keliru merepresentasikan komu- nitas LGBT. Lebih parah adalah, dalam beberapa kasus media memilih untuk memunculkan penggam- baran “yang salah” (karena merendahkan), untuk menciptakan atmosfer dramatis dan sensasional dari sebuah berita. Dalam konteks ini, media berulang kali menampilkan LGBT sebagai bentuk penyakit, dan membentuk kepercayaan palsu bahwa kelompok-kelompok LGBT merupakan bentuk penyakit sosial – dan oleh sebab itu, mereka layak ditertawakan, diejek, menerima tuduhan, dan dipinggirkan.

Karena orang-orang LGBT disalahpresentasikan oleh media sebagai secara psikologis menyimpang, orang-orang LGBT mendapati diri mereka hanya sebagai bahan lelucon, khususnya di layar.

Kalo kita melihat TV itu, LGBT itu pokoknya jadi bahan luconan. Eksploitasi, sudah itu aja. Po- koknya cowok-cowok feminin pasti udah jadi bahan luconan. Saya bisa sebutkan misalnya acara “Tahan Ketawa”. “Tahan Ketawa” itu di Trans TV sudah segitu gak kreatifnya orang Indonesia un- tuk mencari sesuatu sebagai bahan lelucon. Melucu (humor) itu mengapa selalu menyerang fisik orang, menggunakan simbol-simbol cowok feminin, berdandan kayak gitu, kayak waria (Hartoyo, Our Voice, Wawancara, 14/05/2012).

Komentar Hartoyo mewakili pandangan umum komunitas LGBT bahwa mereka diperlakukan semata- mata sebagai obyek lawakan (komedi). Dengan mengenakan stereotip feminin kepada (terutama) gay dan transgender, media telah melanggengkan potret dari LGBT yang merendahkan. Apa yang sebena- rnya tersirat dari komentar-komentar Hartoyo ini? Ketika media – melalui aneka program yang tersedia – secara sepihak telah melakukan marginalisasi LGBT dan mereproduksi diskriminasi terhadap mer- eka, di sisi lain media bahkan juga mengeksploitasi seorang individu LGBT sebagai tokoh “ironis” demi

71 Majalah Tempo, edisi 21-27 Juli 2008 halaman 17.

72 Seperti diungkapkan oleh sekelompok aktivis LGBT berdasarkan pengamatan TV dan pengalaman mer-Seperti diungkapkan oleh sekelompok aktivis LGBT berdasarkan pengamatan TV dan pengalaman mer- eka sendiri ketika hadir di talkshow TV.

Centre for Innovation Policy and Governance

Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 72

mendongkrak rating dan mendapatkan laba. Pandangan serupa juga muncul di dalam diskusi dengan sejumlah aktivis LGBT dari Arus Pelangi (diskusi, 2012).

Meski dulu ada harapan bahwa semakin terbukanya kanal demokrasi pada tahun 1998 akan mem- bawa perubahan dalam representasi kelompok minoritas, hal ini tidak pernah terjadi.

Yang pasti, saya berani jamin sekarang jauh lebih eksploitatif. Karena kebebasan pers itu, me- dia [secara kuantitatif jumlahnya] banyak, tayangan banyak, orang butuh hiburan ya akhirnya eksploitasi teman-teman LGBT. Saya berani jamin itu dibandingkan [kondisi pada rezim Soe- harto]. Ya, mungkin jaman Soeharto dulu ada [kasus pelecehan] tapi orang kan takut. Kalau sekarang ini keberadaannya semakin diakui tapi diakuinya dalam konteks pelecehan. Kalau dulu sudah deh nggak usah ada sekali-sekali dimunculkan tapi mungkin jauh lebih bagus begitu ya. Mungkin lebih hati-hati karena represif Soeharto itu. Sekarang, peluang keblabasannya. Bagus sebenarnya peluangnya tapi kenapa nggak mau berpikir sedikit tajam atau duduk tenang untuk memikirkan acara seperti apa atau tulisan seperti apa yang bagus untuk LGBT (Hartoyo, Our Voice, Wawancara, 14/05/2012).

Komentar Hartoyo memberi kesan bahwa dinamika media Indonesia seharusnya tanggap terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, terutama dalam konteks diskursus seputar LGBT. Meskipun kanal-kanal yang lebih demokratis telah dibuka dan menjanjikan atmosfer yang lebih beradab, sal- ing peduli, dan manusiawi terhadap minoritas, namun sepertinya kondisi tersebut tidak berlaku bagi LGBT. LGBT masih mendapati kelompok mereka sebagai obyek cemoohan, yang kemudian berdampak besar pada asumsi publik terhadap mereka.

Beberapa media (dalam hal ini, khususnya televisi) biar bagaimanapun tetap berusaha untuk me- nampilkan LGBT di layar kaca. Umumnya, media menghadirkan mereka kendati masih menerima pe- nilaian dan penggambaran yang buruk.

Kita selalu ambil peluang itu untuk muncul. Mulai dari 2007, ketika Ardhanary mulai punya or- ganisasi, kita kan sering diminta terus nih (untuk tampil di TV sebagai undangan). Kita tawarkan juga ke teman gay kita di telepon dan bilang, “Mau nggak muncul di televisi?” (dan biasanya mer- eka menjawab) “Ah, ngga mau. Gue suka dijelekin, nanti guedimarahin teman-teman.” (Mereka menolak tampil) Karena nanti si presenternya di ending-nya ngomong mereka abnormal. Selalu dibikin kesimpulan, kan. Terus biasanya (sikap) kita (adalah), “Tapi, setidaknya kita ngomong” (Sri Agustine, Institut Ardhanary, aktivis LGBT, Wawancara, 17/01/2012).

Setidaknya, tanggapan Agustine di atas mengindikasikan bahwa tidak semua media sepenuhnya abai terhadap kisah-kisah LGBT. Namun, tetap saja perspektif yang buruk masih menjadi halangan serius dalam meliput kasus-kasus LGBT secara akurat dan sesuai. Menimbang kondisi ini, tidak heran jika banyak anggota LGBT masih takut untuk “membuka diri” atau bahkan justru menarik diri lebih dalam lagi. Pertalian situasi antara potret negatif media dan inferioritas kaum LGBT, dalam hal ini, berperan besar dalam mempertahankan lingkaran setan ini. Hal ini sejalan dengan pandangan Hartoyo sebagai berikut:

Tapi ironisnya begini, media ini yang buat kita kesal. Dia memarginalkan LGBT, mereproduksi diskriminasi LGBT, tapi pada sisi lain dia mengeskploitasi LGBT. Jadi kalau ada berita LGBT itu

wah kayaknya media ini kayak sudah dapat berita (besar), kayak makanan empuk. Waria itu dipertontonkan, ditertawakan, bahkan jadi program Be A Man, jadi program Tahan Ketawa. Dia dieksploitasi; Olga misalnya. Identitasnya Olga itu kan kayak dieksploitasi banget. Olga seperti dibiarkan sesuka hati mau ngomong apa, mau apa, untuk ratinggitu kan. Itu mengeksploitasi,

Centre for Innovation Policy and Governance Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 73 tapi eksploitasi mereka itu justru mereproduksi diskriminasi pada kelompok-kelompok LGBT (Hartoyo, Our Voice, Wawancara, 14/05/22012).

Kendati terdapat sejumlah besar misrepresentasi terhadap LGBT di berbagai media massa, secara kualitatif aneka kisah LGBT sendiri sebenarnya tidak menarik perhatian media massa. Isu-isu pelang- garan terhadap hak LGBT, sebagai contoh, tidak diperlakukan sebagai isu penting oleh sebagian besar media arus utama. Kotak 3 di bawah ini menunjukkan beberapa liputan media terkait penyerangan Q! Film Festival 2010 yang dilangsungkan dari 22 September hingga 3 Oktober 2010.

Kotak 3. Liputan Media Mengenai LGBT – Kasus Q! Film Festival