• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melindungi Hak Bermedia, Melindungi Keberadaban

Warga Bermedia: Beberapa Perspektif Teoritis

Bagan 2.1. Dari rating menjadi duplikasi konten Sumber: Penulis.

2.6. Melindungi Hak Bermedia, Melindungi Keberadaban

Media hadir untuk menciptakan atau menemukan kemungkinan-kemungkinan akan kehidupan ber- sama. Sebagai elemen kunci dalam perkembangan masyarakat, media dituntut untuk menyediakan ruang di mana publik dapat berinteraksi secara bebas dan dapat terlibat dalam keprihatinan publik: ranah publik (Habermas, 1987, Habermas, 1984). Dalam konteks demokrasi muda seperti Indonesia, jelaslah bahwa media memegang peran pokok, yaitu sebagai “Pilar Keempat” (Carlyle, 1840, Schultz, 1998: 49).

Media menerima mandat untuk menjamin bahwa praktik mereka akan mengikuti yang diidealkan. Na- mun, perkembangan industri media yang sangat disetir oleh logika pasar, dalam taraf tertentu telah berandil dalam perubahan karakter ranah publik, yang kini menjadi lebih pragmatis. Absensi kebijakan media yang seharusnya mengatur industri media membuat situasi ini semakin bertambah suram. Meskipun persoalan ini telah disinggung, kami mendapati bahwa media, melalui program yang dita- warkan, telah menjadi kurang memberadabkan dan berpotensi menciptakan konsekuensi serius bagi hak warga akan infrastruktur dan konten media, serta dalam partisipasi terkait pembuatan keputu- san. Berkaitan dengan pemenuhan hak beberapa kelompok minoritas di Indonesia terhadap media, gambaran yang kami lihat adalah gambar yang memilukan. Dari empat studi kasus yang kami lakukan atas Ahmadiyah, kelompok LGBT, komunitas difabel dan perempuan serta anak, kami mengidentifikasi setidaknya terdapat empat tipe masalah dasar terkait hak bermedia: (i) viktimisasi – karena pemberian label sesat (dalam kasus Ahmadiyah); (ii) stereotipisasi – terus menerus menerima stereotip (dalam kasus LGBT); (iii) diskriminasi (dalam kasus difabel); dan (iv) marjinalisasi (dalam kelompok perempuan dan anak). Bagaimana kelompok-kelompok ini digambarkan oleh media tidak diragukan lagi sangat berdampak besar terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Dalam sebuah masyarakat modern yang beradab, kondisi macam ini tentu saja sangat jauh dari ideal di mana masing-masing individu seharus- nya diperlakukan “setara dalam martabat dan hak” (pasal 1 DUHAM).

Karena nyaris tidak mungkin untuk mendapatkan media independen yang bebas dari kepentingan kelompok maupun dorongan ekonomi dan politik; kelompok minoritas dan rentan – yang sayangnya dipandang kurang penting dibanding mayoritas – akan menghadapi hambatan serius dalam upaya me- nyalurkan suara mereka di ranah publik. Kondisi ini berarti kepentingan-kepentingan minoritas atau “suara dari bawah” (Habermas, 1989) tidak secara layak direpresentasikan, dan kanal-kanal tertentu tidak tersedia bagi kelompok warga ini untuk secara penuh berpartisipasi dalam proses pembuatan- keputusan yang krusial.

Situasi-situasi macam ini tentu saja sangat berbahaya, tidak hanya bagi proses demokratisasi, teta- pi juga pemenuhan hak warga, baik dalam arti politis maupun dalam kehidupan sehari-hari. Karena media cenderung memprioritaskan kepentingan-kepentingan tertentu dibanding keprihatinan publik, diskusi mengenai persoalan publik kerapkali berada di “daftar paling bawah”. Hal ini menghambat pemenuhan hak warga karena mereka kehilangan ruang di mana mereka dapat berpartisipasi dalam penentuan kebijakan dan wacana-wacana yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Sebagaimana konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan berkembang sangat cepat, tampaknya tidak ada tindakan cepat lagi mendesak dari pemerintah untuk melindungi fungsi media sebagai penyedia ruang publik. Alih-alih melakukan perlindungan, pemerintah nyaris tidak mengambil peran dalam menentukan me- kanisme yang layak dalam penjaminan hak warga. Sebuah definisi menarik mengenai kewarga(negara) an dari sosiolog TH Marshall:

Sebuah status, yang diperoleh seseorang yang merupakan anggota penuh sebuah komunitas. Kewarganegaraan memiliki tiga komponen: sipil, politik, dan sosial. Hak sipil diperlukan untuk kebebasan individu dan dilembagakan di ruang-ruang pengadilan. Kewarganegaraan politis menjamin hak untuk berpartisipasi dalam menjalankan kekuasaan politis dalam komunitas, baik dengan ikut memilih dalam pemilu atau aktif secara politis untuk dipilih. Kewarganegaraan

Centre for Innovation Policy and Governance Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 27 sosial adalah hak untuk berpartisipasi dalam sebuah standar kehidupan yang layak; hak ini di- wujudkan dalam sistem kesejahteraan dan pendidikan masyarakat modern (Marshall. 1994: 54).

Definisi Marshall mengesankan bahwa seorang individu menyandang status warga hanya jika dia di- beri kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses demokratik komunitas/masyarakat. Berdasarkan gagasan itu, mengesampingkan hak media dari seorang individu atau kelompok dapat dikategorikan sebagai tindakan pencurian sebuah elemen kewarganegaraan seseorang. Dalam masyarakat yang be- radab, pemenuhan hak bermedia sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat itu sendiri; karena akses informasi (di mana salah satu dari kanal-kanal utamanya adalah media) merupakan hal pokok untuk penentuan diri, demi partisipasi sosial dan politik, dan demi pembangunan (Samassekou, 2006). Itu sebabnya kita dapat mengatakan bahwa hak asasi manusia, demokrasi, dan pembangunan terkait satu sama lain. Sebaliknya, penegasian hak-hak tersebut akan menjerumuskan kita pada pendang- kalan dan penistaan warga. Mengamini ide bahwa hak bermedia masyarakat sipil merupakan aset penting dalam demokrasi dan pemberadaban (Joseph, 2005), perlindungan/penjaminan hak warga terhadap media merupakan sebuah cara untuk melindungi keberadaban (civility) itu sendiri. Biarpun demikian, keseluruhan gagasan ini tengah terancam karena industri media cenderung menempatkan penonton melulu sebagai konsumen, alih-alih warga dengan hak mereka.

Karena kewarganegaraan juga dipandang sebagai sebuah bagian yang mendasar dari demokrasi, mencuri hak bermedia seseorang sama artinya dengan mencabut demokrasi itu sendiri. Demokrasi sejati menuntut sebuah sistem yang menyediakan interaksi berkelanjutan dengan semua orang, ak- sesibilitas pada semua level, etos publik yang memberi tempat untuk saling berbagi pendapat, dan partisipasi penuh untuk mencapai konsensus dalam tujuan sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Hak bermedia, dalam konteks ini, memungkinkan terjadinya mimpi-mimpi tersebut. Belakangan ini tam- paknya media cenderung memprioritaskan kepentingan mayoritas atas dasar logika pasar. Sebagai akibatnya, pemenuhan hak kelompok rentan dan minoritas terhalang. Dengan semata-mata menga- komodasi kepentingan mayoritas, media telah menganggap bahwa isu-isu minoritas kurang relevan. Hal ini memunculkan keprihatinan mendalam karena gagasan partisipasi utuh dari publik sebagai pen- jaga masyarakat demokratik tidak dapat dialami. Alih-alih menyediakan keragaman pandangan akan dinamika publik, media cenderung menampilkan “budaya” tunggal yang dominan, yakni budaya yang dikendalikan oleh tirani mayoritas. Demikian, dalam konteks Indonesia, jika kelak ada sebuah periode di mana wajah dan impian keberagaman mulai pudar, entah di layar televisi, surat kabar, maupun di media lain; maka sesungguhnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika pun telah mengarah pada kepunahan. Sebab, tanpa pemenuhan hak setiap warga – atau kemampuan untuk mengambil peran dalam proses demokrasi, ideologi kebangsaan tidak lagi bermakna. Dalam bab berikut, sebelum menyajikan studi kasus, kami menguraikan metode-metode yang digunakan dalam studi ini.

3. Hak Warga Bermedia