• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan, Anak-Anak, dan Media

Saat ini, hanya sepertiga penduduk dunia yang memiliki akses terhadap teknologi informasi dan ko- munikasi.94 Hal yang sama terjadi di Indonesia. Terkait dengan Internet, kendati pertumbuhan peng-

gunanya tinggi (mencapai 31 juta orang di tahun 201095), akses untuk infrastruktur telekomunikasi

hanya banyak tersedia di Jawa, Bali serta Sumatera, sementara infrastruktur di daerah-daerah lain di Indonesia masih sangat buruk.96

Di beberapa bagian di Indonesia, perempuan dan anak-anak mengalami kesulitan untuk mengakses infrastruktur media. Karena wilayah-wilayah terpencil di Indonesia mempunyai akses yang sangat bu- ruk terhadap infrastruktur media, perempuan dan anak-anak yang tinggal di wilayah tersebut tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mengakses media. Kasus yang sama terjadi di wilayah sepan- jang perbatasan Kalimantan. Bahkan, sekelompok anak-anak di pedalaman Kalimantan Barat tidak dapat membedakan antara buku dan majalah, dan mereka tidak pernah melihat surat kabar. Cerita dari Kristien Yuliarti, seorang misionaris yang tinggal di pedalaman tersebut selama bertahun-tahun, mengungkapkan situasi yang mengenaskan ini.

Saya masuk di kecamatan Serawai dan saya diminta untuk mengajar bahasa Inggris. Ketika ada topik tentang koran dan majalah, saya kaget karena mereka sama sekali tidak pernah tahu ben- tuk majalah atau koran. Itu tahun 2002. Sampai saya ditarik, belum ada koran maupun majalah. Akses koran atau majalah itu hanya berhenti di Kota Nangapinoh yang saya sebutkan tadi. Ka- laupun mereka menemukan Majalah Hidup gitu ya, di pasturan, ya mereka tahunya itu buku. Jadi mereka nggak tahu kalau itu majalah, misalnya, seperti itu (Kristien Yuliarti, MAVI, Wawan- cara, 11/12/2011).

Cerita ini membuat kami meninjau kembali asumsi riset ini. Karena terbatasnya media cetak dan me- dia elektronik sangat tergantung pada bahan bakar (untuk distribusinya), warga harus berjuang untuk mendapatkan akses informasi yang baik dan layak. Sementara riset ini berasumsi bahwa media yang berbasis non-teknologi tidak lagi menjadi suatu masalah di Indonesia, kenyataan yang ada mengindi- kasikan sebaliknya. Meskipun ketersediaan infrastruktur media masih menjadi isu besar di sejumlah

94 Silakan lihat http://www.itu.int/wsis/docs/background/general/reports/26092001_dotforce.htm ; dan baca jugaSamassekou (2006).

95 Lihat http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php. 96 Lihat Kominfo (2010).

Centre for Innovation Policy and Governance Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah107 daerah terpencil di Indonesia, ada satu keprihatinan lain terkait dengan konten yang merugikan dan tidak beradab. Kombinasi dari infrastruktur yang terbatas dan kualitas konten yang buruk mencip- takan keprihatinan lebih besar lagi, seperti yang ditunjukkan oleh cerita dari anak-anak di perbatasan Kalimantan di bawah ini.

Kemudian untuk radio, kalaupun bisa ditangkap, itu radio-radio yang apa, yang modelnya be- rarti kita bisa menangkapnya BBC seperti itu, tapi kan ga mungkin karena mereka sebenarnya ga butuh informasi seperti itu. Jadi kita tidak akan pernah melihat mereka menyetel radio. Maka yang laris adalah media televisi… Dan memang di area Kalimantan Barat, paling tidak setelah Kabupaten Nangapinoh, siaran televisi hanya bisa diterima kalau kita menggunakan parabola. Karena tanpa parabola, yang mereka terima hanyalah siaran lokal Malaysia. Tapi kalau dengan parabola, mereka akan bisa menerima saluran RCTI, TRANS, dan seperti itu. Tapi, dengan durasi listrik yang seperti itu, praktis yang akan mereka tonton apa? Sinetron kan? Nah, ini yang efeknya sangat memprihatinkan (Kristien Yuliarti, MAVI, Wawancara, 11/12/2011).

Cerita Kristien mengenai Kalimantan Barat mengindikasikan kondisi umum dari infrastruktur media di daerah pedalaman: ketersediaan media cetak yang terbatas dan media elektronik yang sangat ter- gantung pada bahan bakar minyak. Karena ketidakcukupan bahan bakar minyak dan didorong oleh kebutuhan akan hiburan, warga cenderung mengalokasikan waktu yang dimiliki pada acara prime time. Sementara, sebagian besar acara televisi di Indonesia menawarkan sinetron di prime time. Kondisi ini dianggap mengkhawatirkan dan mengancam, khususnya bagi orang muda.

Nah itu sangat besar efeknya memang ke anak-anak. Tontonan-tontonan seperti itu juga mem- bangun mimpi ya. Mimpi gimana caranya aku bisa ke Jawa. Dan kalau mereka sudah sekolah di Jawa, kecenderungannya mereka akan tetap di Jawa, karena mereka bisa menikmati gaya hidup Jawa yang serba lengkap, serba wah, serba modern. Kemudahan mereka mengakses media, termasuk bagaimana dengan teknologi hape segala macem, itu membuat mereka membangun mimpi Jawa. Jawa adalah patron segalanya. Jadi apa yang ditampilkan di sinetron, oh harusnya yang seperti ini. Pacaran ya harusnya kayak gitu, karena TV menghadirkan yang seperti itu. Jadi, tidak sampai ada pendidikan terkait media. Ya itu tadi, bagaimana mengkritisi sinetron, meng- kritisi (Kristien Yuliarti, MAVI, Wawancara, 11/12/2011).

Dengan gambaran seperti ini, tampaknya cukup adil untuk mengatakan bahwa perempuan dan anak- anak – dan warga secara keseluruhan – di Indonesia masih mengalami keterbatasan dalam mengakses media. Selain dirugikan akibat buruknya infrastruktur, mereka juga dirugikan karena menjadi obyek “manipulatif” dan menjadi obyek dari konten yang menghina. Kehadiran konten yang tidak berbudaya seperti yang ditunjukkan dalam sinetron-sinetron “berorientasi-Jawa” membenarkan pernyataan bah- wa perempuan dan anak-anak diperlakukan semata-mata sebagai obyek, bukan sebagai subjek yang memiliki ruang dalam pemberdayaan.

Jika fakta yang terjadi di Kalimantan menunjukkan bahwa media cetak masih langka; penyebaran me- dia elektronik (khususnya televisi) terlihat lebih ekspansif. Televisi telah menjangkau hampir semua wilayah di Indonesia, bahkan di daerah pegunungan. Survei terbaru dari BBG dan Gallup mengenai penggunaan media di Indonesia menemukan bahwa mayoritas warga di daerah pedesaan (85%) meng- gunakan televisi sebagai platform media utama untuk mendapatkan berita, sementara media cetak hanya digunakan oleh 4% warga di daerah tersebut. Hasil survei dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Sumber Perkotaan Pedesaan INI APA???

Televisi 93 85 87

Teman/keluarga 43 37 39

Centre for Innovation Policy and Governance

Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 108

Radio 14 10 11

Koran/Majalah 13 4 7

Internet 15 7 9

Jejaring Sosial 9 13 8

Tabel 7.2. Penggunaan harian platform media untuk mendapatkan berita. Sumber: Survei BBG and Gallup 2012 (BBG and Gallup 2012).

Seperti yang terlihat dari tabel di atas, polling tersebut menegaskan bahwa hingga saat ini televisi masih menjadi medium yang paling penting, dalam pengertian jangkauan akses dan sebagai sumber informasi. Tetapi tentu saja, luasnya jangkauan televisi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas kon- tennya. Buruknya kualitas acara televisi Indonesia juga tampak dari kritik yang diterima oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pada tahun 2010, KPI menerima 26.489 keluhan dari publik mengenai bu- ruknya berbagai kualitas acara televisi di layar mereka. Angka ini naik dari 8.089 keluhan yang diterima tahun lalu. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa publik juga menuntut program televisi yang lebih berkualitas.

Dengan rumitnya masalah perempuan dan anak-anak di Indonesia yang juga berkaitan dengan per- masalahan umum di Indonesia, yaitu kemiskinan, pendidikan, ketenagakerjaaan, dan kesehatan; perempuan dan anak-anak Indonesia membutuhkan semua elemen publik untuk dapat berpartisi- pasi. Di sini, media dapat memainkan sebuah peran dengan mengangkat isu-isu perempuan dan anak secara mendalam dan menyediakan sebuah ruang bagi wacana publik. Sayangnya untuk perempuan dan anak-anak, media tampaknya enggan untuk membuat liputan berkala mengenai isu-isu tersebut karena dianggap kurang menarik dibandingkan dengan topik lain. Tanpa dikemas secara khusus – con- tohnya Hari Kartini, atau Hari Anak Nasional – isu-isu anak dan perempuan tidak memiliki ruang yang cukup di media. Studi yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)97 pada tahun 2011 men-

egaskan pernyataan ini. Studi ini menemukan bahwa isu-isu perempuan belum menjadi aspek penting bagi peliputan media. Ia juga menunjukkan kecenderungan media untuk mengikuti tren sosial-politik ketika meliput isu-isu tersebut.

Karena perempuan dan anak-anak masih dirugikan akibat buruknya infrastruktur media – seperti juga warga Indonesia lainnya; khususnya di luar Pulau Jawa – pengecualian perempuan dan anak-anak ser- ta representasi yang keliru di media telah menghambat hak dan status mereka sebagai warga negara. Diskusi publik yang terbatas mengenai isu-isu penting perempuan dan anak-anak – seperti contohnya kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, kemiskinan, dan lain sebagainya – membuat perempuan dan anak-anak diperlakukan secara tidak adil. Alih-alih diberikan ruang pemberdayaan agar dapat mem- perjuangkan hak-haknya, perempuan dan anak-anak hanya diberikan porsi sangat kecil dalam infor- masi yang fundamental untuk hak-hak yang dimiliki. Ruang yang terbatas bagi perempuan dan anak- anak untuk mendapatkan informasi yang berkualitas dari media telah menghambat status mereka sebagai warga negara.