• Tidak ada hasil yang ditemukan

dan Keyakinan Agama

5. Studi Kasus 2: LGBT-Di balik Selubung Moral dan Keyakinan

5.2. LGBT dan Media

Sebagian orang meyakini bahwa akses terhadap infrastruktur media yang layak merupakan prasyarat bagi demokrasi dan pembangunan (Samassekou 2006, Jorgensen 2006, Greenstein and Esterhuysen 2006). Akses yang layak terhadap infrastruktur media memampukan warga dalam merengkuh cara- cara tertentu untuk mengakses, memproduksi, dan menyebarkan konten, dan melalui hal tersebut memperoleh peluang untuk membentuk informasi, pengetahuan, dan kebudayaan. Jika kondisi ini menjadi kenyataan, ini akan memperkaya kebudayaan, komunikasi, dan demokrasi, yang dapat men- jadi sangat pokok dalam peningkatan hidup perseorangan maupun bersama. Mengingat bahwa pre- mis mengenai kesetaraan akses terhadap infrastruktur belum terpenuhi, mayoritas warga negara In- donesia mendapati bahwa akses terhadap media masih sangat kurang. Kendati pengguna Internet terus meningkat secara signifikan, mencapai 31 juta pengguna pada tahun 201066, akses infrastruk-

tur telekomunikasi umumnya hanya terdapat di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatra, meninggalkan daerah- daerah Indonesia yang lain dalam kondisi infrastruktur yang menyedihkan.67 Kelompok LGBT, sebagai

bagian dari masyarakat Indonesia, menghadapi persoalan serupa.

Di manakah kelompok dan/atau komunitas LGBT dalam lanskap media ini? Secara singkat, pada um- umnya mereka adalah konsumen. Hak mereka untuk mengakses media, baik dalam konten maupun infrastruktur, benar-benar terbatas. Kelompok LGBT melulu ditempatkan sebagai konsumen, hanya menikmati apa yang tersedia di kanal media tanpa memiliki pengaruh apapun untuk turut membentuk konten. Bagi kelompok LGBT di daerah-daerah tertinggal, kesulitan menjadi ganda dengan kurangnya akses terhadap infrastruktur. Kondisi ini merupakan kondisi yang riskan mengingat kelompok LGBT sebetulnya sangat membutuhkan akses terhadap konten – dan mengandaikan akses terhadap infra- struktur – guna menyebarkan aneka kisah mereka dan mendukung gerakan ini.

Menurut saya, di satu pihak kaum LGBT nih banyak sekali yang merasa perlu ke media untuk sosialisasi atau untuk menyampaikan hak mereka segala macam. Tapi, kaum LGBT hanya diberi porsi yang sangat kecil. Sedikit sekali media dalam acara-acara yang memperhatikan itu, bahkan sebenarnya mereka tidak memperhatikan, cuma diundang, diajak untuk press conference saja. Mereka memang tidak punya interest, gak punya ketertarikan di situ kalau menurut saya (John Badalu, pendiri Q! Film Festival, Wawancara, 19/072012).

Kutipan John di atas menunjukkan bahwa kelompok LGBT sebenarnya membutuhkan ruang untuk mengekspresikan diri. Mereka membutuhkan media berbicara atas mereka, menjadi penyambung li- dah mereka. Namun, hal ini tidak terjadi mengingat keterbatasan akses ke infrastruktur dan konten. Sebagai tambahan, aneka persoalan dan keprihatinan kelompok ini tampaknya juga kurang mendapat tanggapan hangat dari media. Kotak 2 berikut menggambarkan bagaimana representasi LGBT di me- dia dibuat berdasarkan syarat-syarat tertentu

65 Lihat “Melindungi Hak LGBT” oleh PBB http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=40743&Cr=discr imination&Cr1= atau di sini: http://www.huffingtonpost.com/2011/06/17/un-gay-rights-protection-resolution-pass- es-_n_879032.html.

66 Lihat http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php.

67 Komunikasi dan Informatika Indonesia: Whitepaper 2010, 2010 Indonesia ICT Whitepaper. Pusat Data Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta.

Centre for Innovation Policy and Governance Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 67

Kotak 2. Bagaimana Berita Diproduksi?

Proses produksi berita untuk televisi bermula dari pengumpulan materi dari publik—mengambil pemberitaan dari radio dan media daring dimungkinkan—atau dari keprihatinan publik. Menang- gapi permintaan ini, reporter dikirim ke lapangan untuk memperdalam informasi. Materi kemudian dikirim ke ruang redaksi di mana redaksi bertanggung jawab terhadap pemilihan dan melakukan pengecekan atas validitas informasi. Mekanisme di ruang redaksi kemudian memutuskan berita mana yang akan disampaikan. Putusan ini dibuat di dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh produser dan redaktur/koordinator berita.

Secara mengejutkan, proses produksi pemberitaan untuk media daring cukup mirip dengan produksi berita media konvensional. Pertama-tama, reporter lapangan mengirim berita ke re- daksi, melalui surat elektronik, atau bentuk komunikasi lain. Kedua, redaksi memiliki tanggung jawab untuk melakukan seleksi dan pengecekan terhadap validitas informasi. Ketiga, materi berita terpilih akan ditinjau ulang, dan jika perlu, ditulis ulang oleh editor. Keempat, editor mengunggah materi terpilih ke CMS (Content Management Sharing) sehingga editor CMS dapat melakukan pengecekan ulang dan melakukan koreksi cetakan berita. Terakhir, berita yang telah melalui CMS editor siap untuk dipublikasikan.

Sumber: Wawancara dengan Nezar Patria, vivanews.com, 12/10/11 dan wawancara Yuke Mayaratih, produser news ANTV, 08/05/2012.

Centre for Innovation Policy and Governance

Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 68

Sebagai tambahan, Yuke Mayaratih, produser berita ANTV mengilustrasikan sejumlah kriteria yang sebaiknya dipenuhi sehingga pemberitaan terkait LGBT dapat ditayangkan. Beberapa materi pem- beritaan terkait LGBT bisa ditayangkan jika dikemas dalam “cantolan berita” (news peg)68. Jika tidak

ada “cantolan berita” (misalnya kasus Ryan atau Hari HIV/AIDS internasional), hampir tidak mungkin menayangkan sesuatu tentang isu LGBT. Sebuah liputan mengenai isu LGBT pun harus sekaligus menunjukkan aspek dramatis, aspek informasi/edukasi, atau fakta dan tokoh unik. Sepertinya, inilah ciri alamiah liputan TV – harus berisi aspek-aspek ini sekaligus. Dari sini, tampaknya unsur “drama” harus dimasukkan dalam kriteria pemberitaan mengingat TV berasumsi bahwa pemirsa ingin melihat “hiburan, berita, keunikan, dan air mata” di dalam satu paket liputan.

Sementara akses terhadap infrastruktur dan konten masih belum memenuhi apa yang diharapkan, potret yang buruk mengenai kelompok LGBT di media massa Indonesia juga telah menciptakan suatu iklim di mana kelompok LGBT menjadi sangat enggan untuk mengakses media massa arus utama. Baik media cetak maupun elektronik tidak lagi dipandang populer sebagai sarana memperoleh informasi.

Sebenarnya saya orang yang paling malas baca media, terutama di Indonesia, karena dari dulu sudah tahu tidak pernah obyektif. Kurang lebih lima belas tahun lamanya saya tidak lagi baca Kompas, tidak pernah mau tahu headline-nya apa, nggak pernah. TV juga saya nggak pernah mau nonton. Jadi, fungsi TV buat saya hanya untuk alat nonton film. Jadi jarang sekali [mengakses informasi melalui TV]. Jadi jarang saya mau menyimak berita. Soalnya, sering kalau setiap kali mau nonton malah bikin marah (John Badalu, pendiri Q! Film Festival, Wawancara, 19/07/2012).

Kutipan di atas adalah reaksi umum sejumlah anggota kelompok LGBT mengenai penggunaan media. Buruknya potret LGBT di sejumlah media telah menyebabkan sebagian besar dari mereka enggan untuk mengakses informasi melaui media arus utama.

Kendati demikian, hal ini dapat dipahami dari sudut pandang lain. Tren umum memang menunjukkan bahwa konsumsi media massa telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana digam- barkan dalam Bagan 5.1.

68 Sebuah cantolan berita adalah serangkai informasi yang memiliki nilai ketertarikan. Dalam kasus ini, berita mengenai LGBT hanya akan terus berputar jika mereka dikaitkan dengan berita sensasional lain, seperti kejahatan atau perkawinan sesama jenis kelamin.

Centre for Innovation Policy and Governance Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 69 Bagan 5.1. Penggunaan media oleh warga di Indonesia: Penduduk usia 10 tahun ke atas.

Sumber: BPS – Sensus Nasional, 2009.

Bagan 5.1. di atas menunjukkan kendati penggunaan TV telah meningkat pesat sejak tahun 2003, ang- ka penggunaan masyarakat terhadap radio dan surat kabar justru mengalami kemerosotan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa televisi telah berkembang menjadi media utama dalam masyarakat. Sementara peran radio telah tergantikan dengan pemutar mp3 sebagai sarana hiburan, dan media ce- tak kehilangan banyak pembaca karena keengganan untuk membaca; kini TV menjadi sebuah pemain besar dalam penyebarluasan informasi. Sebagai bagian masyarakat, kelompok LGBT pun tidak lepas dari kondisi ini. Kendati ada keprihatinan mengenai potret/penggambaran mereka – yang cenderung merendahkan – di dalam televisi (yang merendahkan itu), televisi masih menjadi sarana paling umum yang digunakan oleh kelompok LGBT (Agustine, Ardhanary Institute, diskusi 24/07/2012) baik sebagai sarana mencari informasi atau untuk sekadar mencari hiburan. Sementara radio, di kalangan LGBT, hanya dipakai untuk mendengarkan musik dan cerita rakyat. Surat kabar dan majalah, sebagaimana dialami kebanyakan warga, masih menjadi kemewahan bagi sebagian besar kelompok LGBT.

Akses memadai kelompok LGBT terhadap media tidak hanya diukur dari infrastruktur dan sarana-sa- rana pendukung yang memungkinkan untuk mengakses konten, namun juga upaya untuk memastikan bahwa kelompok ini mampu memproduksi dan mendistribusikan konten. Demikian, mereka memiliki kesempatan untuk menghasilkan informasi, pengetahuan, dan kebudayaan dalam konteks mereka sendiri, dan bahkan lebih jauh lagi. Kendati kehadiran radio komunitas dan penyiaran televisi lokal secara resmi telah diakui sejak 2002 dan stasiun radio komunitas telah berkembang cukup pesat di Indonesia69, kelompok LGBT ternyata belum menggunakan penyiaran komunitas, baik radio maupun

televisi, sebagai sebuah medium untuk memperkuat suara mereka, membuat informasi atau berita mereka sendiri, maupun untuk secara aktif berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan (Har- toyo, Our Voice, diskusi, 14/05/2012). Namun, menyadari pentingnya peran media alternatif ini, Our- Voice pun menyediakan diri untuk mengisi kesenjangan ini:

Nah dari refleksi-refleksi seperti itulah akhirnya kita berpikir, ya sudah kita maksimalkan saja kawan-kawan LGBT. Biarlah, artinya kita harus membuat sejarah. Bahwa kita harus menorehkan sejarah sendiri. Maka lahirlah website ourvoice(dot)or(dot)id, yang menyajikan tulisan, autobio- grafi, dokumenter, atau reportase. Jadi kita mendokumentasikan berita-berita yang berkaitan dengan pengalaman kami, baik secara politik, misalnya waria yang jadi calon komnas HAM mas

69 Meskipun, dibandingkan dengan negara –negara Asia Pasifi k, menurut Suman Basnet, koordina-Meskipun, dibandingkan dengan negara –negara Asia Pasifik, menurut Suman Basnet, koordina- tor dari AMARC (Asosiasi Regional Asia Pasifik Penyiaran Komunitas) Indonesia lebih maju. Lihat Laksmi (2006).

Centre for Innovation Policy and Governance

Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Empat Kisah 70

Dede Utomo. Terus aneka pengalaman kecil kami bersama mereka yang dianggap sebagai kaum pinggiran, kami tuliskan di website. Kami buat videonya dengan peralatan yang sederhana. Lalu kita juga menerjemahkan berita-berita luar, berita tentang LGBT yang kami pikir bagus untuk jadi motivasi bagi kaum-kaum LGBT (Hartoyo, Our Voice, Wawancara, 14/05/2012).

Sementara penyiaran komunitas masih dalam tahapan embrional, menjadi hal yang berbeda ketika kita berbicara mengenai penggunaan Internet dan media sosial. Mengingat sebagian besar LGBT ma- sih hidup dalam zona kenyamanan mereka – masih cenderung menutup diri – Internet rupa-rupanya digunakan sebagai alat untuk bersosialisasi dengan LGBT lain. Ardhanary Institute, organisasi advokasi LGBT berbasis di Jakarta, mengklaim terdapat lebih dari 70 grup tertutup – di mana beberapa grup memiliki lebih dari 2.000 anggota – di Facebook (Agustine, Ardhanary Institute, diskusi 24/07/2012). Di sini kita dapat melihat bahwa kelompok-kelompok LGBT menggunakan media sosial terutama sebagai alat untuk berkomunikasi satu sama lain. Hal yang sama berlaku untuk blog di mana beberapa aktivis mulai menggunakan blog sebagai sarana untuk menyuarakan keprihatinan LGBT.

Secara umum, akses LGBT terhadap infrastruktur media dan (konten) media tidak jauh berbeda den- gan warga yang lain. Mereka yang tinggal di pulau Jawa dan Bali serta Sumatra menikmati infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah lain. Namun, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, komunitas LGBT sebenarnya adalah melulu konsumen; menikmati apa yang tersedia di kanal media, tetapi hampir tidak memiliki pengaruh untuk membentuk konten. Kehadiran Internet, dalam beberapa hal, memang telah mengubah pola interaksi mereka. Namun, penggunaan Internet masih sangat terbatas pada berbagi cerita. Penggunaan Internet belum mencapai tahapan mempromosikan keprihatinan LGBT maupun mendukung gerakan-gerakan mereka. Our Voice adalah sebuah contoh organisasi LGBT yang bercita-cita untuk menjawab kekosongan ini guna menyediakan sebuah sarana bagi LGBT yang tidak memiliki suara.