• Tidak ada hasil yang ditemukan

Informasi tentang Cukai dan Harga Tembakau

3.2. Cukai dan Harga Rokok

Dengan menggunakan data rumah tangga tentang harga yang dibayar untuk membeli rokok dan data cukai tentang penerimaan, dapat dihitung tarif cukai untuk tiga jenis rokok utama (Tabel 3.3). Rata-rata tarif cukai adalah sebesar 37 persen dari harga jual, dengan tarif terendah (21 persen) untuk SKT dan tertinggi (46 persen) untuk SKM (Tabel 3.3).

Untuk mengestimasi tingkat cukai yang aktual sebagai persentase dari HJE, diperlukan data dari Direktorat Cukai atau mengumpulkan data secara langsung dari lapangan karena HJE berbeda-beda menurut merek rokok. Sebuah survei harga dilakukan secara sederhana pada warung dan pedagang rokok jalanan, supermarket, dan pengecer kecil di kota Depok dan Jakarta. Informasi harga rokok yang disurvei termasuk merek-merek rokok yang populer. 3 Survei ini mengumpulkan data harga banderol dan harga jual. Harga banderol yang tertera pada pita cukai adalah HJE dikalikan dengan jumlah batang rokok. Sementara itu, bila harga jual melampaui harga banderol, perusahaan diwajibkan melaporkannya kepada Direktorat Cukai untuk melakukan penyesuaian HJE. Sehingga, oleh perusahaan, harga pada titik penjualan (point at sales) memang diatur lebih rendah dari harga banderol. Survei ini membuktikan bahwa harga jual pada titik penjualan berada di bawah harga banderol untuk hampir seluruh merek yang disurvei. Harga banderol diperkirakan 22 persen lebih tinggi untuk SKM, 19 persen lebih tinggi untuk SKT, dan 17 persen lebih tinggi untuk SPM. Dengan menggunakan estimasi tersebut, besar tarif

cukai sebagai persentase HJE diperkirakan mencapai 31 persen (Tabel 3.3). Perbedaan terbesar antara dua jenis cukai tersebut ditemui di jenis rokok SKM. Cukai untuk rokok kretek tangan adalah yang terendah dan perbedaan antara keduanya relatif kecil.

Tabel 3.3. Tarif Cukai Rokok terhadap Harga Jual dan HJE pada Tiga Jenis Rokok, 2005

Sumber : Harga per pak rokok dihitung dari data rumah tangga nasional SUSENAS 2005, data industri untuk total produksi menurut jenis

rokok, dan data dari Direktorat Cukai untuk penerimaan cukai menurut jenis rokok. HJE menunjukkan harga pabrik termasuk cukai dan keuntungan (laba). HJE diseluruh merek diestimasi dari survei harga yang melaporkan rata-rata harga premium terhadap harga jual.

Pada tahun 2007, dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Cukai Nomor 11 Tahun 1995, dimana batas cukai tembakau dinaikkan dari 55 persen ke 57 persen dari HJE, atau 250 persen ke 275 persen dari

biaya produksi.4 Dengan menerapkan cukai sampai batas maksimum yang

diperbolehkan Undang-Undang (57 persen dari HJE) diperkirakan akan sama dengan menaikkan cukai 64 persen dari harga jual.

“Secara keseluruhan, harga rokok riil relatif stabil antara tahun 1970 sampai 2005”

Disamping cukai, komponen utama dari harga rokok adalah marjin keuntungan, harga tembakau, cengkeh, tenaga kerja, kemasan, dan penambahan rasa. Gambar 3.1 menggambarkan proyeksi tahun 2005 untuk alokasi biaya masing-masing komponen pada jenis rokok SKT dan SKM yang diproduksi oleh perusahaan Gudang Garam, perusahaan rokok yang menguasai pangsa pasar terbesar. Rokok kretek merupakan campuran

Tarif Cukai Jenis Rokok

% harga jual % HJE

SKM (Sigaret Kretek Mesin) 46.0 37.7

SPM (Sigaret Putih Mesin) 39.9 34.2

SKT (Sigaret Kretek Tangan) 21.4 18.0

dari dua pertiga tembakau dan sepertiga cengkeh. Komponen tembakau tergantung pada daun tembakau impor sampai 30 persen, dan hal ini menyebabkan harga tembakau peka terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Hal yang sama juga terjadi pada komponen kemasan dan pemberian rasa, yang juga sangat tergantung pada barang impor. Perasa diberikan oleh

perusahaan multinasional.Biaya untuk kemasan lebih tinggi untuk jenis

SKM (4 persen) dibanding SKT (1,3 persen), hal ini mungkin disebabkan oleh adanya filter. Di lain pihak, produsen SKT hanya mempunyai cadangan cengkeh sedikit atau tidak sama sekali, yang dapat menerangkan mengapa ongkos produksi yang ditanggung SKT lebih mahal dibanding SKM (6,2 persen dibanding 3,1 persen). Pedagang cengkeh memainkan peran penting dalam menentukan penumpukan stok, dan pada akhirnya berdampak pada naiknya harga di antara produsen kecil. Biaya tenaga kerja mendekati 6 persen dari total biaya SKT yang diproduksi Gudang Garam, dibanding 0,2 persen untuk SKM. Proyeksi laba marjin adalah sebesar 52 persen untuk SKT, dan 41 persen untuk SKM. Di masa lalu, perusahaan bersedia untuk menyerap kenaikan cukai dan mengurangi laba marjin untuk

mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar. 5

Gambar 3.1. Proporsi Alokasi Biaya Produksi untuk Jenis Rokok SKT dan SKM Produksi Gudang Garam, Proyeksi untuk tahun 2005

Keterangan:

Excise duty = tarif cukai ; Tobacco = tembakau; Clove = cengkeh; Packaging = pembungkusan; Flavor = rasa; Labor = buruh ; Overhead = biaya pokok; Margin = tambahan

Perubahan harga nominal dan harga riil rokok antara tahun 1970 dan 2005 digambarkan dalam Gambar 3.2. Ketika harga nominal meningkat pesat setelah krisis ekonomi tahun 1997-1998, harga riil rokok tetap tidak berubah antara tahun 1970 dan 2002, setelah itu terjadi sedikit kenaikan yang dapat dikaitkan dengan adanya kenaikan tarif cukai.

Gambar 3.2. Perbandingan Harga Nominal dan Harga Riil Tembakau, 1970-2005

Sumber : Data harga sampai dengan 2001 dari Djutaharta, et al 2002; data terbaru diolah dari Susenas

Gambar 3.3 menunjukkan terjadinya penurunan konsumsi per kapita domestik antara tahun 2001 dan 2003 yang terkait dengan penurunan penjualan domestik. Tetapi, tingkat produksi tahun 2001 tercapai kembali pada tahun 2005, bersamaan dengan turunnya harga riil dan tidak adanya kenaikan cukai (Bab 6). Berdasarkan permintaan yang bersifat inelastik dan perubahan konsumsi yang berjalan lamban, penurunan kuantitas produksi barangkali lebih mencerminkan kemampuan industri untuk mengubah jumlah produksi sebagai tanggapan terhadap perubahan tarif cukai dibanding perubahan permintaan rokok. Data rumah tangga memperlihatkan terdapat 7,3 juta perokok baru antara tahun 2001 dan

2004, dan konsumsi rokok secara agregat mengalami kenaikan sampai 16 persen.6

“Tembakau di Indonesia menjadi 50 persen lebih terjangkau oleh masyarakat antara

tahun 1980 dan 1998”

Gambar 3.3. Perbandingan Harga Riil Rokok dengan per Kapita Tahunan Penjualan Domestik 1970-2005

Sumber : Data harga rokok sampai tahun 2001 dari Djutaharta et al 2005; Data terbaru diolah dari SUSENAS; nilai penjualan domestik dari

FAO dan laporan industri, dikurangi ekspor dan ditambah impor; penduduk dewasa usia 15 keatas dari BPS.

3.3. Kemampuan Masyarakat Membeli Produk Tembakau