• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Industri dan Pertanian Tembakau

5.1. Perkebunan Tembakau

5.1. Perkebunan Tembakau

Indonesia menyumbang 2,1 persen dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia (Lampiran 5.1).1 Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik dan produk-produk tembakau lainnya; namun antara tahun 1995-2005, sekitar 16-47 persennya diekspor.

Di saat yang sama, Indonesia mengimpor daun tembakau yang cukup banyak sebesar 31 persen dari produksi domestik pada tahun 2005 (Tabel 5.1). Hingga tahun 1990 nilai uang dalam dollar Amerika dari ekspor lebih tinggi dibanding nilai impor (Lampiran 5.2). Namun, sejak tahun 1990, nilai impor lebih tinggi dibanding nilai ekspor, sehingga nilai ekspor neto menjadi negatif (kecuali pada tahun 1999). Ekspor daun tembakau tidak berkontribusi secara nyata (signifikan) pada nilai tukar uang asing, dan hanya sejumlah 0,38 persen dari nilai ekspor total.

Pemanfaatan tanah pertanian di Indonesia untuk produksi daun tembakau adalah sekitar 1 persen (antara periode 1960 sampai 2000) dari luas lahan tanaman semusim, dan sejak tahun 2001 telah menurun sedikit (Lampiran 5.3).2 Fluktuasi produksi daun tembakau disebabkan oleh perubahan biaya input tenaga kerja, input sektor pertanian dan pengolahan daun tembakau. Biaya input yang lebih tinggi menyebabkan petani mengalokasikan lebih sedikit waktu dan investasi untuk tanaman mereka.3 Petani kecil mengelola hampir seluruh (98 persen) lahan tembakau.4 Penelitian di Jawa Tengah menyebutkan bahwa luas kebun

tembakau hanya sekitar 0,25-0,50 hektar.5 Sembilan puluh persen lahan

yang ditanami tembakau dan lebih dari 90 persen persediaan daun tembakau berasal dari tiga provinsi (Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat) (Lampiran 5.4). Pada tahun 2005, hanya 1,7 persen dari

semua petani menanam tembakau sebagai salah satu hasil panen mereka.6

Perkebunan tembakau bukan pekerjaan yang purna waktu (full-time); tembakau biasanya dirotasi dalam satu lahan setahun sekali setiap tiga tahun untuk mencegah habisnya unsur hara lahan.7 Pada umumnya, petani harus melakukan diversifikasi hasil lahan untuk mengurangi risiko kerugian finansial.8 Untuk mengestimasi kontribusi perkebunan tembakau terhadap penyerapan tenaga kerja, digunakan konsep full-time equivalent (FTE)9. Hasilnya dilaporkan bahwa perkebunan tembakau menyerap 1,2 persen dari penyerapan pekerja purna waktu di sektor pertanian dan 0,53 persen dari total penyerapan pekerja purna waktu di semua sektor (Lampiran 5.5).

“Perkebunan tembakau menyerap 1,2 persen dari penyerapan pekerja purna waktu di sektor pertanian dan 0,53 persen dari total penyerapan pekerja purna waktu di

Tabel 5.1. Produksi Tembakau, Rasio Ekspor dan Impor terhadap Produksi Domestik dan Nilai Ekspor Netto, 1995-2005

1995 140.169 34,21 15,69 -54.018 0,41 1996 151.025 29,84 22,08 -49.781 0,44 1997 209.626 22,47 20,17 -53.024 0,46 1998 105.580 21,99 47,32 71.581 0,52 1999 135.384 30,22 27,40 -36.185 0,44 2000 204.329 16,76 17,60 -43.546 0,36 2001 199.103 22,27 21,61 -48.206 0,49 2002 192.082 17,33 22,22 -27.286 0,43 2003 200.875 14,73 20,23 -32.317 0,34 2004 165.108 21,30 28,14 -30.236 0,36 2005 153.470 31,37 35,01 -34.923 0,38 Tahun Produksi domestik (ton) Rasio impor (%) Rasio ekspor (%) Nilai ekspor neto (US$ ‘000) Ekspor daun tembakau sebagai % dari total nilai ekspor (%)

Sumber : Departemen Pertanian dan FAO.

Cengkeh adalah bahan baku kedua terpenting dalam produksi kretek setelah tembakau. Indonesia memproduksi 76 persen dari persediaan cengkeh dunia.1 Lebih dari 90 persen produksi cengkeh dimanfaatkan secara domestik (kecuali tahun 1998, di mana 22 persen produksi cengkeh diekspor) (Lampiran 5.6). Sebagian besar (72 persen) permintaan cengkeh tahunan berasal dari industri kretek.10 Sekitar 1,2 juta petani kecil memiliki

90 persen pohon cengkeh.11 Namun, seperti tembakau, menanam cengkeh

bukan pekerjaan purna waktu. Penanaman cengkeh lebih tersebar, tetapi lebih dari dua pertiga persediaan cengkeh berasal dari pulau Sulawesi, provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Antara tahun 1995-2002, total produksi cengkeh menurun akibat monopoli cengkeh yang dibentuk pada tahun 1990, yang menetapkan harga beli dari petani. Setelah monopoli dibubarkan tahun 1998, harga riil cengkeh meningkat 13 kali lipat antara tahun 1998-2002 dan produksi juga meningkat.12 Pada tahun 2002, diberlakukan pembatasan impor cengkeh untuk memaksa kenaikan harga cengkeh demi kepentingan para petani.13

Perubahan tingkat cukai dan harga tembakau diprediksi tidak akan memiliki dampak yang besar terhadap perkebunan tembakau dan cengkeh karena beberapa alasan. Ditinjau dari segi makroekonomi, kurang dari 2 persen petani terlibat dalam perkebunan tembakau dan cengkeh, dan sebagian besar petani tembakau dan cengkeh terkonsentrasi di beberapa daerah tertentu. Pembatasan impor adalah faktor kunci yang mempengaruhi keuntungan dan pendapatan petani cengkeh, dibandingkan dengan perubahan permintaan rokok yang cenderung lamban. Faktor lain yang sangat mempengaruhi hasil panen dan tingkat produksi meliputi cuaca, kualitas bibit, dan ketersediaan dukungan teknis dan finansial untuk petani

serta ketersediaan pestisida dan pupuk.5 Petani tembakau dan cengkeh

memiliki hasil lahan yang sangat beranekaragam dan juga terlibat dalam kegiatan pertanian lain serta usaha non-tani sebagai bagian dari mata pencahariannya. Karena tanaman tembakau dalam setahun dirotasi setiap tiga tahun, umumnya petani menanamnya sebagai tanaman sekunder, bersamaan dengan tanaman lain seperti padi, bawang putih, cabai, kentang,

dan buah-buahan.5 Pohon cengkeh memerlukan tiga hingga empat tahun

untuk dipanen, dan juga ditanam bersamaan dengan pohon atau hasil lahan lainnya, seperti kelapa, jagung, vanila, dan kopi.14

Sebuah studi meneliti tingkat keuntungan dari penanaman tembakau di Jawa Tengah, dibandingkan dengan tujuh hasil pertanian lainnya.5 Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa cabai, kentang, dan nilam memberikan keuntungan dan tingkat pengembalian modal (rate of return) yang sama atau bahkan lebih besar daripada tembakau (Lampiran 5.7). Namun, petani kecil akan membutuhkan investasi eksternal beserta bantuan teknis untuk dapat melakukan transisi menuju produk pertanian yang lebih menguntungkan. Investasi tersebut dapat meliputi dukungan pertanian yang terspesialisasi atau jaringan perdagangan swasta yang dapat mendukung masuknya petani ke dalam pasar yang baru.

Petani tembakau menjual daun tembakau ke perantara dan/atau langsung ke perusahaan rokok, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tempat terpusatnya petani dan juga perusahaan rokok besar.5 Salah satu faktor yang mempengaruhi harga yang diterima oleh petani tembakau adalah skema kerja sama atau ‘partnership’ antara petani tembakau (terutama yang menanam tembakau Virginia) dengan perusahaan rokok besar. Keuntungan bagi petani adalah perusahaan menyediakan sumber daya, bantuan teknis, dan pinjaman kecil, yang dibalas dengan penjualan daun tembakau pada harga yang diminta oleh perusahaan. Perjanjian ini pada umumnya melemahkan posisi tawar petani. Terdapat banyak laporan mengenai ketidakpuasan petani karena harga daun tembakau ditentukan