• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini mengulas berbagai studi yang pernah dilakukan di Indonesia tentang permintaan (demand) rokok berdasarkan data agregat pada tingkat

rumah tangga.1 2 Literatur menunjukkan bahwa pola permintaan produk

tembakau mengikuti pola kurva dengan kemiringan negatif (downward-sloping curve) dengan permintaan terhadap tembakau dipengaruhi oleh perubahan harga. Berbagai macam studi ekonomi menunjukkan bahwa elastisitas permintaan di negara maju (high income countries) berkisar antara -0,25 dan -0,5, atau apabila harga naik sebesar 10 persen konsumsi akan turun sebesar 2,5 persen sampai 5 persen.3 Teori yang didukung oleh bukti-bukti empiris memprediksi bahwa permintaan tembakau di negara miskin lebih responsif terhadap harga. Sehubungan dengan hal tersebut, studi yang dilakukan di negara dengan pendapatan rendah (negara berkembang) juga melaporkan adanya penurunan konsumsi akibat kenaikan harga.4

Penelitian di Indonesia melaporkan hasil yang konsisten dengan hasil

studi-studi lain.2 Meskipun ada perbedaan data dan metode pengumpulan

data, penelitian tentang elastisitas harga (price elasticity) menunjukkan hasil estimasi yang konsisten yang berkisar antara -0,29 dan -0,67, atau bila ada kenaikan 10 persen pada harga rokok akan menurunkan konsumsi rokok antara 2,9 persen sampai 6,7 persen. Beberapa studi yang digunakan dalam laporan ini memprediksi nilai elastisitas pendapatan (income elasticity) antara 0,32 dan 0,76, atau jika pendapatan naik sebesar 10 persen akan meningkatkan konsumsi tembakau antara 3,2 persen dan 7,6 persen. Secara tidak langsung, nilai tersebut tersebut menunjukkan bahwa rokok termasuk barang normal. Peningkatan cukai bertujuan mengurangi konsumsi tembakau, sehingga kenaikannya harus cukup besar untuk menekan kenaikan konsumsi yang dipengaruhi kenaikan pendapatan rumah tangga. Temuan ini bertolak belakang dengan pengalaman di Amerika Serikat, Eropa, dan negara maju lainnya, dimana kenaikan pendapatan rumah tangga malah menurunkan permintaan rokok, atau rokok merupakan barang inferior di negara-negara maju. Di Indonesia simulasi yang mempertimbangkan kenaikan pendapatan untuk menekan efek perubahan harga menemukan bahwa 10 persen kenaikan cukai tembakau akan menghasilkan penurunan konsumsi antara 0,9 persen sampai 3,0 persen.

Bab ini juga menjelaskan simulasi yang memprediksi dampak kenaikan cukai terhadap pengeluaran dari kelompok rumah tangga berpendapatan rendah, terhadap kesehatan dan penerimaan cukai pemerintah. Kenaikan cukai tembakau akan memperbaiki distribusi pengeluaran jika harga sensitif mempengaruhi penurunan pengeluaran rumah tangga miskin. Kenaikan

pajak sampai dengan standar global sebesar 70 persen dari harga jual dalam sistim pajak yang berlaku saat ini dapat mencegah sebanyak 2,5 juta sampai 5,9 juta kematian akibat rokok. Pada saat yang sama, penerimaan negara juga akan diuntungkan dengan tambahan sebesar Rp 23,8 triliun sampai Rp 75,8 triliun (US$ 2,6 milyar sampai US$ 8,3 milyar) 4.1. Studi-studi yang Menggunakan Data Agregat

Beberapa studi telah menganalisis permintaan tembakau dengan menggunakan data agregat. Bird menggunakan data agregat tahunan antara tahun 1970 sampai 1994, untuk mengestimasi error corection model

yang memperhitungkan kondisi harga non-stasioner dan data pendapatan.5

Studi tersebut juga mengikutsertakan dampak beberapa perubahan kebijakan yang diperkirakan akan mempengaruhi konsumsi tembakau. Model ini juga memasukkan faktor mekanisasi produksi rokok kretek filter oleh Gudang Garam dan Djarum pada tahun 1980-1981. Selain itu dimasukkan juga faktor perubahan kebijakan yang melarang penayangan iklan rokok di televisi (1989-1994). Model Bird tersebut menghasilkan elastisitas harga dan pendapatan dalam jangka panjang masing-masing sebesar -0,43 dan 0,83. Dalam analisis yang memasukkan variabel dummy tentang keringanan pembatasan iklan rokok (1989-1994) memberikan hasil negatif signifikan. Penulis menjelaskan bahwa hasil tersebut mencerminkan dampak perubahan penggolongan cukai dan penetapan HJE minimum oleh Menteri Keuangan pada tahun 1991.

Pengaruh perkembangan mekanisasi produksi rokok kretek filter terhadap konsumsi adalah positif dan signifikan meningkatkan konsumsi rokok pada awal tahun 1980-an. Kenaikan produksi rokok kretek tersebut ditunjang dengan investasi industri rokok pada mesin-mesin, pengemasan yang lebih canggih, distribusi produk, dan iklan yang juga mempengaruhi kenaikan konsumsi (Lihat Bab 5).

De Beyer dan Yurekli menggunakan model log linear dengan data agregat time series tahun 1980 sampai 1995.6 Hasilnya dilaporkan Bank Dunia dalam bentuk makalah ringkas (briefing paper). Dengan membatasi analisis hanya untuk rokok kretek, studi ini menyimpulkan nilai elastisitas harga sebesar -0,51 dan elastisitas pendapatan sebesar 0.35.

Studi lanjutan yang dilakukan oleh Djutaharta et al., mengestimasi satu seri model menggunakan data tahunan (1970 sampai 2001) dan bulanan (1996 sampai 2001).7 Model tersebut menggunakan faktor peringatan kesehatan yang dicantumkan pada bungkus rokok di Indonesia saat itu (bernilai 1 untuk tahun 1991 sampai 2001), krisis ekonomi (bernilai

1 untuk tahun 1997-2001), dan trend waktu. Data tahunan dari 1970 sampai 1996 menghasilkan nilai elastisitas harga jangka panjang sebesar -0,57 dan elastisitas pendapatan sebesar 0,46. Dengan menggunakan data tahunan dari 1970 sampai 2001, model yang mereka kembangkan menghasilkan nilai elastisitas harga yang sedikit lebih rendah yaitu antara -0,33 sampai -0,47, dan elastisitas pendapatan antara 0,14 sampai 0,51. Pada periode krisis ekonomi di Indonesia beberapa fenomena perilaku konsumen melanggar asumsi teori ekonomi, seperti konsumsi rokok yang lebih besar 22 persen dibandingkan dengan periode sebelum krisis. Oleh penulis, alasan kenaikan konsumsi tersebut terkait dengan stres perokok karena krisis. Studi selama tahun 1991 sampai 2001, yang menyertakan peringatan kesehatan pada bungkus rokok sebagai variabel dummy melaporkan hasil yang tidak signifikan. Model linier runtun waktu antara tahun 1970 sampai 2000 yang menggunakan data tahun adalah signifikan; para penulis menyimpulkan bahwa konsumsi rokok meningkat sebesar 1 persen setiap tahunnya terlepas dari adanya perubahan pada harga atau pendapatan rumah tangga.

Dengan menggunakan data bulanan antara tahun 1996 sampai 2001, Djutaharta et al. melaporkan elastisitas harga antara -0,32 sampai -0,43. Elastisitas pendapatan adalah sekitar 0,47 meskipun hasilnya tidak signifikan. Penulis melaporkan bahwa data harga ini termasuk tembakau dan alkohol. Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam melarang peredaran alkohol, maka konsumsinya pun sangat rendah, sehingga elastisitas harga menjadi bias karena masuknya harga alkohol dalam analisis.

Guindon, Perucic, dan Boisclair menggunakan data Indonesia tahun 1970-2000 untuk analisis model runtun waktu (time series original), dimana analisis ini merupakan bagian dari keseluruhan analisis untuk Asia

Tenggara.2 Dengan menggunakan model konvensional yang tidak

memperhitungkan faktor adiksi, mereka melaporkan nilai elastisitas harga jangka pendek sebesar -0,29. Aplikasi model myopic addiction (keputusan yang tidak mempertimbangkan masa depan) menggunakan variabel lag untuk konsumsi, mereka melaporkan nilai elastisitas harga sebesar -0,32. Elastisitas pendapatan sebesar 0,72 dan 0,32 untuk masing-masing model konvensional dan myopic addiction.

Marks mengestimasi serangkaian model untuk elastisitas harga rokok menggunakan data agregat tahun 1999-2002, dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, pertumbuhan pendapatan dan substitusi antar produk tembakau.8 Ia melaporkan elastisitas harga berkisar antara -0,59 sampai -1,57 yang diestimasi dengan model yang menggunakan periode waktu

yang berbeda. Estimasi yang didasarkan pada data time series yang lebih panjang (1999-2002) menghasilkan nilai elastisitas harga antara -0,59 dan -0,67, dan nilai tersebut konsisten dengan studi sebelumnya. Hasil estimasi dari elastisitas harga untuk setiap jenis rokok adalah -0,82 untuk SKT, -1,37 untuk SKM, dan -2,11 untuk SPM; nilai elastisitas ini lebih tinggi karena sangat mudah bagi perokok untuk pindah dari satu jenis rokok ke jenis lain yang berbeda.1

Berdasarkan jumlah aktual rokok yang dikonsumsi, estimasi elastisitas pengeluaran mengkonfirmasi bahwa ketiga jenis rokok memberikan hasil elastistas harga yang serupa dengan barang normal, dengan nilai 0,10 untuk SKT, 0,65 untuk SKM, dan 0,74 untuk SPM, dengan rata-rata 0,46 untuk keseluruhan jenis. Marks juga menghitung elastisitas pengeluaran yang disesuaikan dengan kualitas yang diukur dari harga (quality adjusted expenditure elasticity), karena harga dan kuantitas produk dicerminkan oleh rata-rata proporsi pengeluaran rumah tangga. Rata-rata elastisitas tersebut adalah 0,63 untuk ketiga jenis rokok; 0,27 untuk SKT, 0,77 untuk SKM, dan 1,16 untuk SPM. Hal ini menunjukkan bahwa rokok putih termasuk barang superior (elastisitas diatas 1), artinya jika rata-rata proporsi pengeluaran naik 1 persen maka permintaan rokok putih (SPM) cenderung meningkat lebih dari 1 persen.

4.2. Studi-studi yang Menggunakan Data Rumah Tangga Data agregat lebih cenderung mengukur hasil penjualan produk tembakau yang membayar cukai, daripada konsumsi, karena rendahnya perdagangan gelap tembakau. Tetapi dalam kenyataan, terdapat perbedaan antara hasil penjualan produk tembakau yang membayar cukai dengan konsumsi rumah tangga. Analisis menggunakan data konsumsi tembakau di tingkat rumah tangga dan individu, memungkinkan eksplorasi yang lebih dalam menurut kelompok penduduk, umur, gender, pendapatan dan pendidikan. Erwidodo, Molyneaux, dan Pribadi menggunakan data cross-section SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Rumah Tangga Nasional) tahun

1999 untuk mengestimasi model Almost Ideal Demand System (AIDS).9

Mereka melaporkan nilai elastisitas harga (price elasticity) sebesar -1,0. Adioetomo et al. menggunakan data cross section tahun 1999 yang sama untuk menganalisis konsumsi tembakau secara lebih detail.10 Selain harga rokok, model OLS (Ordinary Least Square) juga mengikutsertakan pengeluaran rumah tangga, pengaruh cukai, wilayah, pulau terbesar, tempat tinggal, jenis kelamin, umur dan pendidikan sebagai variabel independen. Mereka melaporkan bahwa harga tidak memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap keputusan rumah tangga dalam mengkonsumsi tembakau, tetapi harga mempengaruhi jumlah rokok yang dikonsumsi (conditional price elasticity sebesar -0,60). Rumah tangga miskin lebih responsif terhadap perubahan harga, dan hal ini konsisten dengan teori (elastisistas harga = -0.70). Mereka juga melaporkan nilai elastisitas pendapatan sebesar 0,76. Witoelar, Rukumnuaykit, dan Strauss menggunakan data panel rumah tangga dari Survei Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Indonesia Familiy Life Survey) tahun 1997 dan 2000 untuk memprediksi jumlah rokok yang dikonsumsi oleh laki-laki serta data tahun 1993 dan 2000 untuk analisis deskripsi.11 Mereka menyebutkan adanya trend yang mengkhawatirkan pada prevalensi merokok di antara laki-laki umur 15-19 tahun yang meningkat dari 32 persen menjadi 43 persen antara tahun 1993 dan 2000. Mereka melaporkan bahwa pendidikan orang tua memiliki pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap kebiasaan dan intensitas merokok pada laki-laki usia 15-19 tahun, dan pendidikan individu juga signifikan untuk kelompok laki-laki dewasa usia 20-59 tahun. Dengan menggunakan proporsi pengeluaran rumah tangga untuk rokok, mereka melaporkan nilai elastisitas harga rokok sebesar -0,8. Kelompok rumah tangga yang berada di bawah dan di atas median pengeluaran rumah tangga per kapita memiliki elastisitas pengeluaran masing-masing sebesar 1,2 dan 0,7. Pengeluaran rumah tangga per kapita tidak berhubungan dengan perilaku merokok laki-laki usia 15-19 tahun. Remaja laki-laki memiliki nilai elastisitas harga kondisional sebesar -0,3 dari model yang mengikutsertakan faktor propinsi dan pengaruh daerah perkotaan (fixed effect).

Pelaporan bias yang sistematik dari data individu mungkin menjadi salah satu penyebab mengapa saat pertama menjadi perokok tidak signifikan dalam studi ini, karena temuan ini tidak konsisten dengan hasil penelitian pada tingkat internasional dan regional.2412 Kedua studi diatas juga melaporkan variasi harga yang cukup besar dalam data. Terutama pada data cross-section, variasi tersebut lebih mencerminkan preferensi pada masing-masing jenis rokok, kualitas dan rasa, daripada perbedaan harga aktual karena variasi harga regional tidak terlalu besar.

Dalam menyusun proyeksi penerimaan negara untuk tahun 2002, Direktorat Cukai mengestimasi elastisitas harga menurut jenis rokok, yaitu -1,12 untuk SKT, -0,52 untuk SKM, dan -0,14 untuk SPM.13 Estimasi tersebut telah diperbaharui, dan Direktorat Cukai saat ini menggunakan elastisitas

harga sebesar -1,34 untuk SKT, -1,12 untuk SKM, dan -0,55 untuk SPM.14

Studi-studi yang menghasilkan estimasi tersebut belum dipublikasikan untuk umum. Pada studi sebelumnya yang didanai oleh Departemen Keuangan, peneliti menggunakan data SUSENAS tahun 2002 untuk

mengestimasi elastisitas harga setiap jenis rokok dengan menerapkan model three double log ordinary least squares, yang bertujuan untuk menunjukkan elastisitas harga dari tiga tipe rokok terbesar.15 Estimasi model yang dilakukan secara terpisah, menghasilkan dampak perubahan harga yang terlalu tinggi, sebab substitusi antar produk tidak diperhitungkan dalam analisis dan juga tidak mempertimbangkan kenaikan pendapatan yang mengimbangi kenaikan harga. Selain SKT dan SKM yang dipromosikan serta dikonsumsi oleh segmen pasar tertentu, konsumen secara regular memilih salah satu dari ketiga produk yang dijual berdampingan di pasar. Kenaikan harga satu jenis rokok yang menurunkan konsumsi dapat diimbangi dengan kenaikan konsumsi rokok dari jenis lain atau yang lebih murah. Elastisitas harga dalam penelitian yang dikutip oleh Direktorat Cukai lebih tinggi dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lain, hal ini dapat menyebabkan pemerintah melakukan estimasi berlebihan tentang turunnya permintaan terhadap rokok yang disebabkan peningkatan harga rokok.

4.3. Dampak Kenaikan Harga Tembakau pada Rumah Tangga Miskin

Untuk menganalisis dampak kenaikan cukai rokok terhadap kelompok miskin, Marks melakukan simulasi perubahan pengeluaran untuk rokok sebagai hasil dari 99 persen kenaikan harga SKT yang umumnya dikonsumsi

orang miskin.8 Simulasi yang dilakukan adalah meningkatkan cukai pada

produk SKT sampai 60 persen (dari 20 persen), SKM sampai 57 persen (dari 46 persen), dan SPM sampai 46 persen (dari 45 persen). Total perubahan pada jumlah dan harga pada ketiga jenis rokok digunakan untuk menghitung alokasi pengeluaran yang baru.

Tabel 4.1 menunjukkan alokasi pengeluaran total untuk masing-masing jenis rokok. Pada kelompok 10 persen termiskin (desil 1), alokasi pengeluaran untuk rokok sebesar 5,9 persen dari total pengeluaran rumah tangga (3,1 persen untuk SKT; 2,5 persen untuk SKM; dan 0,3 persen untuk SPM). Pada kelompok 10 persen terkaya (desil 10), proporsi pengeluaran rokok sebesar 9,1 persen dari total pengeluaran rumah tangga (1,9 persen untuk SKT; 6,4 untuk SKM; dan 0,8 persen untuk SPM). Angka tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga kaya membeli jenis rokok dengan harga mahal, dan konsisten dengan rerata pengeluaran yang lebih tinggi, seperti yang dilaporkan Adioetomo et al.10

Tabel 4.1. Simulasi Dampak Kenaikan Cukai Pada Pengeluaran untuk Rokok Jenis SKT Menurut Desil Pengeluaran Rumah Tangga

Sumber : Marks, 2003. Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM); Simulasi dari Data SUSENAS

2002. Kenaikan harga 99% meningkatkan pajak sampai 60% dari harga jual aktual; simulasi juga dilakukan untuk tarif cukai 57% dan 46 % dari harga jual untuk SKM dan SPM.

Hasil simulasi di atas menunjukkan bahwa kenaikan harga SKT yang cukup besar menghasilkan perubahan pengeluaran rokok yang sangat kecil (-1 persentase). Untuk rumah tangga di kelompok desil terendah, kenaikan proporsi pengeluaran untuk SKT diimbangi oleh perubahan pengeluaran untuk rokok jenis lain. Tetapi simulasi ini memiliki asumsi bahwa elastisitas harga konstan pada seluruh kelompok pendapatan. Dengan mengasumsikan bahwa elastisitas harga lebih besar di kelompok miskin, kenaikan cukai akan memperbaiki distribusi pendapatan jika kelompok miskin yang sensitif terhadap perubahan harga tersebut mengurangi pengeluarannya.

4.4. Dampak Kenaikan Cukai Tembakau pada Konsumsi dan Penerimaan Pemerintah

Studi-studi di atas menunjukkan bahwa permintaan rokok bersifat inelastis, atau persentase penurunan permintaan lebih kecil daripada persentase kenaikan harga. Sehingga, kenaikan cukai tembakau akan menghasilkan peningkatan bersih pada total penerimaan negara dari cukai, karena perokok masih meneruskan kebiasaannya merokok meskipun harga

Rata-rata Proporsi Pengeluaran

Aktual Tahun 2002 Setelah kenaikan 99 % harga SKT Desil SKT SKM SPM Total SKT SKM SPM Total 1 3,1 2,5 0,3 5,9 3,4 2,3 0,3 5,9 2 3,9 3,8 0,3 8,0 4,2 3,5 0,3 8,0 3 4,6 4,5 0,4 9,4 5,0 4,1 0,3 9,4 4 4,4 5,1 0,5 9,9 4,7 4,7 0,5 9,9 5 4,5 5,5 0,4 10,4 4,9 5,1 0,4 10,3 6 4,4 6,4 0,5 11,3 4,8 5,9 0,5 11,1 7 4,2 6,6 0,5 11,3 4,6 6,1 0,5 11,2 8 3,4 7,3 0,6 11,3 3,7 6,7 0,6 11,0 9 2,8 7,4 0,5 10,7 3,1 6,8 0,5 10,4 10 1,9 6,4 0,8 9,1 2,1 5,9 0,7 8,8 Total 3,7 5,5 0,5 9,7 4,0 5,1 0,4 9,6

terus naik. Sunley, Yurekli, dan Chaloupka menganalisis dampak kenaikan cukai rokok pada konsumsi rokok dan penerimaan negara dari pajak di 70

negara.16 Mereka menyimpulkan bahwa kenaikan cukai tembakau yang

meningkatkan harga sebesar 10 persen akan menurunkan konsumsi sebesar 3,5 persen pada negara-negara miskin, dan 2,2 persen untuk negara-negara kaya. Kenaikan 10 persen harga rokok akan meningkatkan penerimaan cukai di semua negara, dengan rata-rata kenaikan 4,8 persen untuk negara miskin, dan 7,2 persen untuk negara kaya. Proporsi penerimaan yang dihasilkan dari kenaikan harga rokok lebih besar di negara kaya karena adanya penurunan konsumsi yang relatif kecil.

Sejumlah studi mensimulasikan dampak kenaikan cukai pada konsumsi dan penerimaan negara dengan menggunakan data Indonesia. Studi-studi yang menggunakan data agregat runtun waktu (time series) dan survei rumah tangga memprediksikan hasil yang sama; kenaikan 10 persen cukai rokok akan mengurangi konsumsi sebesar 0,9 persen sampai 3,0 persen dan kenaikan penerimaan dari cukai rokok sebesar 6,7 sampai 9,0 persen (Tabel 4.2). Bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, tambahan pada penerimaan cukai yang cukup besar di Indonesia dipengaruhi oleh lemahnya respons konsumen terhadap kenaikan harga dan mudahnya melakukan substitusi produk.

De Beyer dan Yurekli mengestimasi dampak kenaikan cukai pada penerimaan negara dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1998 dan mengasumsikan tidak ada perubahan penyelundupan atau substitusi.6 Mereka mengestimasi kenaikan 10 persen cukai akan menghasilkan kenaikan harga sebesar 3 persen dan penurunan konsumsi sebesar 2 persen. Sementara itu kenaikan penerimaan cukai rokok akan mencapai 8 persen atau sekitar 0,26 persen dari PDB. Dengan menggunakan asumsi dan data runtun waktu (time series) yang sama, Djutaharta et al. memprediksi kenaikan 10 persen cukai akan meningkatkan harga sebesar 2,6 persen, hampir sama dengan hasil studi De Beyer dan Yurekli sebesar 2,0 persen.7 Lebih lanjut Djutaharta et al. mengestimasi bahwa kenaikan cukai tersebut akan menurunkan konsumsi sebesar 0,9 persen dan meningkatkan penerimaan cukai sebesar 9,0 persen.

Dengan menggunakan data cross section rumah tangga tingkat nasional, Adioetomo et al. mengestimasi dampak yang lebih besar akibat kenaikan cukai 10 persen terhadap harga rokok (4,9 persen), dan penurunan konsumsi sebesar 3,0 persen.10 Mereka mengestimasi kenaikan 10 persen cukai rokok akan meningkatkan penerimaan negara sebesar 6,7 persen. Terakhir, Sunley, Yurekli, dan Chaloupka mengestimasi kenaikan

10 persen cukai rokok menghasilkan penurunan konsumsi rokok sebesar 2,4 persen dan kenaikan penerimaan cukai rokok sebesar 7,4 persen. Karena cukai rokok menerapkan tarif yang berbeda-beda, substitusi ke rokok yang lebih murah dan dengan cukai yang rendah tidak akan meningkatkan penerimaan negara.

Tabel 4.2. Simulasi Dampak Naiknya 10 persen Cukai Tembakau pada