• Tidak ada hasil yang ditemukan

Administrasi Cukai Produk Tembakau

6.2. Faktor Penentu Tarif Cukai Tembakau

Undang-undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.2 Undang-undang

No. 11 tahun 1995 memberlakukan tarif cukai maksimum untuk tembakau sebesar 250 persen dari harga pokok produsen atau 55 persen dari harga jual eceran (HJE). Undang-undang ini diamandemen tahun 2007, dan tarif maksimum dinaikkan menjadi 275 persen dari harga pokok produsen atau 57 persen dari HJE.3 Pemerintah awalnya berencana menaikkan tarif maksimum dari 55 persen menjadi 65 persen untuk meningkatkan penerimaan jangka panjang, namun gagal memperoleh dukungan dari parlemen untuk kenaikan sebesar itu. Alasan dibalik rendahnya kenaikan tarif cukai rokok adalah agar tidak mengurangi lapangan kerja sektor tembakau. Perusahaan rokok besar sudah hampir mencapai tarif cukai ad valorem maksimum (34 persen sampai 36 persen) sedangkan perusahaan kecil yang memproduksi rokok linting tangan hanya dikenakan cukai 0 sampai 22 persen. Undang-undang tersebut menjabarkan peran pemerintah dalam penggunaan cukai untuk mengontrol konsumsi berbagai komoditas (tembakau, alkohol, atau produk lain), mengurangi risiko terhadap kesehatan atau lingkungan, dan mendukung terciptanya keadilan dan kesetaraan.

Amandemen Undang-Undang Cukai pada tahun 2007 juga mengedepankan skema pembagian penerimaan. Dua persen dari penerimaan cukai tembakau harus dikembalikan pada daerah produsen tembakau, berdasarkan kontribusi cukainya. Dengan menggunakan target penerimaan tahun 2008 dan dengan asumsi bahwa 95 persen akan datang dari cukai tembakau, penetapan bagi hasil (earmark) 2 persen tersebut akan memberikan hasil Rp 836 milyar atau US$ 92 juta bagi daerah penghasil cukai hasil tembakau. Distribusi bagi hasil cukai tersebut adalah sebagai berikut: 30 persen diberikan kepada provinsi penghasil, 40 persen

kepada pemerintah kabupaten/kota daerah penghasil, dan sisanya yaitu 30 persen didistribusikan untuk kabupaten/kota lainnya. Bagi hasil cukai tembakau akan dialokasikan pada perbaikan industri tembakau, termasuk kualitas bahan baku, pembangunan industri tembakau, pembangunan lingkungan sosial, sosialisasi program cukai, dan pemusnahan produk ilegal dan pita cukai palsu.

Pencapaian Target Penerimaan. Alasan utama mengintervensi

pasar tembakau adalah untuk menghasilkan penerimaan cukai. Seperti mata anggaran lainnya, pemerintah setiap tahun mengajukan target penerimaan cukai, dan direvisi seiring dengan berjalannya tahun anggaran agar mempersempit perbedaan (gap) atau mendekatkan pada penerimaan yang sebenarnya. Untuk mencapai target penerimaan, Departemen Keuangan menyesuaikan tingkat ad valorem dan cukai spesifik per batang, jumlah skala produksi perusahaan, atau batasan tingkat tersebut. Target penerimaan cukai (tembakau dan alkohol) pada tahun 2008 adalah sebesar Rp 44 triliun (US$ 4,8 milyar) atau 1 persen dari PDB.4 Angka perencanaan anggaran tersebut memproyeksikan bahwa kontribusi cukai terhadap total penerimaan akan tetap sama, seperti tahun 2006 dan 2007, pada tingkat 5,8 persen dari total penerimaan dan hibah, dan 7,6 persen dari penerimaan pajak untuk tahun 2008 (Lampiran 6.3).

Melindungi industri kretek dalam negeri. Pada tahun 1920-an,

perusahaan multinasional milik asing berhasil mencapai tingkat produksi dan impor rokok putih yang menyaingi produksi rokok kretek.5 Pada tahun 1936, pemerintah memberlakukan pembedaan sistem cukai, dengan cukai yang lebih tinggi untuk rokok putih daripada rokok kretek, untuk melindungi pangsa pasar perusahaan rokok kretek dalam negeri. Terdapat perbedaan sebesar 30 persen antara tarif cukai perusahaan rokok kretek dengan rokok

putih pada tahun 1959,6 namun dengan berjalannya waktu perbedaan ini

mengecil. Antara tahun 2000 dan 2007, tarif cukai ad valorem disamakan untuk rokok kretek mesin dan rokok putih, dan harga eceran rokok putih lebih rendah, karena tidak menggunakan cengkeh dalam produksinya. Pada tahun 2008, tarif cukai ad valorem kembali dibedakan, namun kali ini dengan cukai ad valorem yang lebih rendah untuk rokok putih daripada rokok kretek dengan skala produksi yang sama. Sehingga proteksi industri rokok kretek tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menentukan cukai tembakau.

Mendorong penciptaan lapangan kerja. Menciptakan lapangan

kerja telah menjadi fokus kebijakan pemerintah pusat, dan tingkat

pengangguran dewasa ini stabil pada kisaran 10,3 persen.7 Pada tahun

meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Perusahaan diwajibkan untuk membuka usaha dengan produksi rokok kretek linting tangan, lalu dapat mengalihkan sebagian produksi ke mekanisasi dengan rasio 2 banding 3 terhadap rokok kretek linting tangan.8

Skala cukai tembakau dirancang untuk menciptakan lapangan kerja di perusahaan kecil melalui dua cara. Pertama, terdapat perbedaan yang besar antara tarif cukai untuk produk yang diproduksi dengan manual dan dengan mesin. Tarif cukai ad valorem berkisar antara 22 persen hingga 36 persen untuk produk rokok kretek mesin dan 15 persen sampai 34 persen untuk produk rokok putih mesin. Tetapi, tarif cukai rokok linting tangan jauh lebih rendah berkisar dari 0 persen sampai 18 persen. Produk rokok linting tangan lainnya yang diproduksi dalam skala sangat kecil (di bawah 1 persen produksi total) hanya dikenakan cukai 8 persen (termasuk klobot, klembak, dan rokok putih lintingan tangan). Bersamaan dengan ini pemerintah telah memperkenalkan cukai spesifik yang besarnya sama untuk semua jenis rokok dan skala produksi (Rp 35), kecuali untuk SKT golongan III sebesar Rp 30 (dengan tingkat cukai ad-valorem sebesar 0 persen)

Kedua, sistem cukai dirancang berdasarkan volume produksi, di mana perusahaan dengan produksi tertinggi dikenakan cukai tertinggi pula. Alasannya adalah untuk melindungi perusahaan kecil dengan cara menurunkan permintaan (demand) rokok produk perusahaan besar melalui kenaikan harga jual ecerannya.8 Proporsi penerimaan cukai tembakau dari sigaret kretek tangan (SKT) meningkat dari 13 hingga 14 persen antara tahun 1996 sampai 1998 dan kemudian menjadi sekitar 23 persen antara tahun 2001 sampai 2003. Kenaikan ini mungkin disebabkan oleh preferensi tarif cukai dan harga jual eceran minimal, yang menguntungkan perusahaan kecil (Tabel 6.1, Lampiran 3.2).

“Walaupun diberlakukan penyesuaian tarif cukai untuk mendorong produksi perusahaan kecil antara tahun 2000

sampai 2002, kontribusinya terhadap produksi dan penerimaan cukai terus menurun antara 2000 dan 2005.”

Tabel 6.1. Proporsi Penerimaan Cukai Berdasarkan Jenis Rokok dan Perubahan Tarif Cukai untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), 1996-2007

Keterangan : Perubahan tarif cukai untuk produk lain tidak disertakan disini; lihat Lampiran 3.3. Perlu

dicatat bahwa dalam tahun dimana ada perubahan, yang mungkin berbeda dengan tahun dimana peraturan Menteri dikeluarkan. Tanda + menunjukkan adanya peningkatan dan tanda – menunjukkan penurunan.

B Harga jual ritel. C Peningkatan pada skala produksi terkecil dan penurunan pada skala produksi tertinggi.

D Terdapat dua kali perubahan dalam satu tahun. E Terdapat tiga kali perubahan dalam satu tahun. Untuk ketiga perubahan , HJE yang seragam diberlakukan untuk semua skala produksi kecuali skala yang terkecil. F Penurunan pada skala produksi terkecil hanya sebesar 12 sampai 4%. G Peningkatan hanya untuk skala produksi tertinggi.

Pada tahun 1999, terjadi penurunan HJE untuk SKT yang diproduksi oleh perusahaan terkecil (dari Rp 80 pada tahun 1998 menjadi Rp 55 pada tahun 1999). Terjadi kenaikan pada cukai ad valorem dari 4 persen menjadi 12 persen untuk perusahaan dengan skala produksi paling kecil pada tahun 2000, walaupun pada akhirnya kembali diturunkan menjadi 10 persen di tahun yang sama, dan satu tahun kemudian kembali ke 4 persen. Selain itu, jumlah kategori skala produksi SKT bertambah dari 3 pada tahun 1999 menjadi 4 pada tahun 2001, dengan tarif cukai terendah diberlakukan pada skala produksi terendah. Pada tahun 2002, kenaikan cukai diberlakukan untuk SKT pada skala produksi tertinggi. Tidak terdapat perubahan pada tarif cukai SKT antara 2003-2007 dan hanya terjadi sedikit kenaikan HJE antara tahun 2005-2007. Maka, perusahaan SKT kecil menikmati tarif cukai terendah (4 persen) dari tahun 2001 sampai 2007 (Lampiran 3.2).

% total penerim aan cukai Perubahan tarif cukai SKT A Tahun

SKM SKT SPM , lainnya HJE B Ad valorem Skala produksi

1996 0,77 0,13 0,10 +/- C +/- C xx D 1997 0,78 0,12 0,10 + X 1998 0,77 0,14 0,09 + 1999 0,72 0,17 0,11 - + X 2000 0,71 0,20 0,10 ++ D - 2001 0,67 0,23 0,10 +++ E - F X 2002 0,66 0,23 0,11 + + G X

2003 0,69 0,23 0,09 Tidak ada perubahan pada SKT 2004 0,72 0,21 0,08 Tidak ada perubahan

Pada bulan Juli 2007, Direktorat Cukai memberlakukan tambahan cukai spesifik per batang untuk tiga jenis rokok utama, termasuk SKT. Pada mulanya cukai spesifik per batang juga dikenakan berdasarkan skala produksi, di mana cukai per batang tertinggi (Rp 7) dikenakan pada perusahaan dengan skala produksi terbesar dibandingkan cukai sebesar Rp 3 pada perusahaan dengan skala produksi terkecil. Tetapi, pada tahun 2008, cukai spesifik sebesar Rp 35 dikenakan pada semua produk kecuali pada produksi skala terkecil masih tetap sebesar Rp 30. Tingkat cukai untuk produk tembakau lain juga berubah pada waktu yang bersamaan dan kemungkinan berpengaruh pada komposisi penerimaan cukai yang didasarkan pada jenis produk.

“Enam perusahaan besar menyumbangkan 88 persen dari total penerimaan cukai rokok dan 75 persen

dari total produksi rokok”

Walaupun diberlakukan penyesuaian tarif cukai untuk mendorong produksi perusahaan kecil antara tahun 2000 sampai 2002, kontribusi perusahaan kecil terhadap produksi dan penerimaan cukai terus menurun antara 2000 dan 2005 (Tabel 6.2). Produksi SKT perusahaan kecil menyumbangkan 9,9 persen dari produksi total pada tahun 2000 dan hanya 5,8 persen pada tahun 2005; penurunan yang nyata terjadi pada perusahaan SKM kecil dari 13,4 persen menjadi 5,4 persen. Selain itu, perusahaan SKM dan SKT besar (>2 milyar batang per tahun) menyumbangkan 72 persen produksi dan 87 persen dari total penerimaan cukai pada tahun 2005. Pada tahun 2006, disebutkan bahwa enam perusahaan besar menyumbangkan 88 persen dari total penerimaan cukai rokok dan 75 persen dari total produksi rokok.9 Walaupun upaya mendorong produksi perusahaan kecil melalui sistem cukai tersebut terkesan gagal, namun revisi sistem cukai untuk tahun 2008 tetap memberikan keringanan pada perusahaan kecil (lihat Bab 3, Tabel 3.1).

Tabel 6. otal Penerimaan Cukai untuk SKM dan SKT berdasarkan Tingkat Produksi, 2000 dan 2005

Sumber : Road Map Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai, Departemen Perindustrian, 2007.

Promosi Industri Tembakau. Pada awal tahun 2007, Departemen

Perindustrian menerbitkan dokumen yang berjudul “Road Map Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai 2007-2020,” dengan tujuan untuk memastikan perkembangan industri tembakau ke depan. Peta jalan tersebut memiliki tiga tujuan: meningkatkan penerimaan pemerintah, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dan meningkatkan derajat kesehatan. Ketiga tujuan ini akan dicapai dengan cara meningkatkan produksi rokok sampai dengan 260 milyar batang mulai 2015 sampai tahun 2020. Rencana ini didukung oleh Departemen Keuangan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pertanian, dan asosiasi produsen rokok (GAPPRI dan GAPRINDO).

“Cara paling efisien untuk meningkatkan penerimaan pemerintah adalah dengan meningkatkan cukai tembakau,

dan bukan dengan meningkatkan konsumsi rokok pada segmen potensial yaitu perempuan dan anak-anak, karena

63 persen laki-laki dewasa di Indonesia sudah merokok.”

Pemerintah menyatakan bahwa road map tersebut sejalan dengan tujuan penerapan cukai rokok untuk mengurangi konsumsi rokok serta menciptakan masyarakat yang sehat.10 Namun, rencana ini memiliki banyak kelemahan. Penurunan volume penjualan rokok tidak berarti bahwa penerimaan pemerintah akan turun. Permintaan terhadap produk tembakau

2000 2005

Jenis Skala produksi

Produksi Cukai Produksi Cukai SKM I >2 milyar 39,7 63,0 47,2 68,8 II >500 juta-?2 milyar 5,3 5,4 6,1 4,4 III ?500 juta 13,4 9,6 5,4 5,4 SKT I >2 milyar 28,3 19,1 24,3 17,8 II >500 juta-?2 milyar 3,4 0,9 11,2 1,7

bersifat inelastis, yang berarti bahwa persentase penurunan permintaan lebih kecil daripada persentase kenaikan harga. Artinya, beberapa perokok akan mengurangi konsumsinya, tapi lebih banyak lagi perokok yang akan tetap melanjutkan kebiasaannya, walaupun dengan harga yang lebih tinggi. Hasil-hasil penelitian yang diulas pada Bab 4 memprediksi bahwa kenaikan cukai sebesar 10 persen akan menyebabkan penurunan konsumsi sebesar 0,9 sampai 3.0 persen. Dengan dampak yang relatif kecil pada basis cukai, kenaikan cukai akan menghasilkan peningkatan pada penerimaan pemerintah, walaupun volume penjualan menurun. Maka, cara paling efisien untuk meningkatkan penerimaan pemerintah adalah dengan meningkatkan cukai tembakau, dan bukan dengan meningkatkan konsumsi rokok pada segmen potensial yaitu perempuan dan anak-anak, karena 63 persen laki-laki dewasa di Indonesia sudah merokok. Industri rokok menyatakan bahwa sebagian besar dari peningkatan produksi ini akan diekspor. Namun, rencana tersebut akan terhambat oleh regulasi yang semakin ketat dan peringatan kesehatan dari akibat zat-zat aditif (tambahan) pada rokok sejalan dengan pelaksanaan FCTC secara global. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, pengajuan undang-undang (yang didukung Philip Morris) melarang impor rokok dengan zat aditif selain mentol.11

Untuk meningkatkan kesehatan, road map tersebut berencana untuk mengurangi kadar nikotin dalam rokok pada tahun 2020. Secara jelas, model bisnis di balik pasar rokok adalah menciptakan dan mempertahankan permintaan terhadap nikotin – sebuah zat yang sangat adiktif – serta

menyediakannya.12 Menurunkan kadar nikotin akan mengakibatkan perokok

melakukan kompensasi dengan merokok lebih banyak atau menghirup lebih dalam, untuk mendapatkan kadar nikotin yang sama. Perilaku kompensasi seperti menambah konsumsi rokok atau meningkatkan frekuensi merokok dapat mengakibatkan dampak kesehatan yang lebih buruk karena terpapar lebih banyak karbon monoksida dan zat-zat kimia lain yang terkandung dalam asap rokok. Hasil berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pengurangan kadar nikotin tidak ada manfaatnya terhadap kesehatan.13

Terlepas dari kandungan nikotin di dalam daun tembakau, zat-zat aditif (zat-zat tambahan) dapat meningkatkan sifat adiktif (kecanduan) nikotin. Contohnya, industri rokok telah menggunakan campuran amonium untuk meningkatkan tingkat alkalin dalam rokok, yang akan meningkatkan dampak adiksi pada nikotin.14 Rokok juga dapat diproduksi menggunakan kertas pembungkus yang lebih mudah menyerap air, sehingga menghasilkan kadar tar dan nikotin yang lebih rendah tanpa mengubah kandungan rokok itu sendiri. Pengukuran yang ada terhadap tar dan nikotin dibuat

berdasarkan metode pengujian yang sudah tidak dipergunakan lagi karena gagal menangkap reaksi tingkah laku dan reaksi fisiologis terhadap

zat-zat aditif dan kandungan rokok.15 Dengan kata lain, promosi konsumsi

dan penjualan produk-produk adiktif adalah mustahil akan menciptakan masyarakat yang lebih sehat.

Promosi kesehatan. Cukai tembakau adalah alat kesehatan publik

yang paling efektif dari segi biaya (cost-effective) dalam menurunkan morbiditas, kecacatan, dan mortalitas yang disebabkan oleh konsumsi tembakau. Beban penyakit akan meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade mendatang jika tingkat konsumsi adalah seperti sekarang. Namun, regulasi pemerintah yang ada mengenai pengendalian tembakau (PP No. 19 Tahun 2003) tidak memasukkan pasal-pasal mengenai harga dan cukai rokok. Rancangan Undang-Undang pengendalian dampak tembakau terhadap kesehatan sedang diajukan sebagai inisiatif parlemen. Rancangan Undang-Undang tersebut mengajukan tarif cukai sebesar 65 persen dari harga eceran dan menyisihkan 10 persen dari kenaikan cukai tersebut untuk kegiatan pengendalian tembakau dan peningkatan kesehatan (Lampiran 6.4), termasuk program untuk membantu pengalihan tenaga kerja dari industri tembakau ke sektor lain sebagai akibat kenaikan cukai. Saat laporan ini ditulis, undang-undang tersebut sedang menunggu persetujuan anggota parlemen untuk dimasukkan ke dalam agenda program legislasi nasional (PROLEGNAS). Undang-Undang Cukai membahas peran cukai dalam mengurangi konsumsi dan mengendalikan distribusi produk yang dianggap tidak sehat atau amoral.16 Selain itu, Departemen Keuangan menyatakan bahwa kenaikan cukai maksimum untuk tembakau dalam undang-undang cukai (dari 55 persen menjadi 57 persen) dilakukan untuk

alasan kesehatan.17 Namun, dalam kenyataannya, cukai dan harga rokok

tetap rendah, sehingga konsumsi rokok terus meningkat secara konsisten terutama pada anak dan remaja.

Konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau (Framework

Convention on Tobacco Control). Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian

Tembakau (FCTC) adalah traktat kesehatan masyarakat internasional yang dikembangkan oleh negara-negara anggota badan kesehatan dunia (WHO). Tujuannya adalah untuk “melindungi generasi kini dan mendatang dari konsekuensi kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi akibat konsumsi tembakau dan paparan asap tembakau dengan menciptakan kerangka kerja pengendalian tembakau untuk diimplementasikan oleh negara-negara anggota pada tingkatan nasional, regional, dan internasional agar dapat terus mengurangi angka prevalensi tembakau dan paparan asap tembakau secara nyata.” 18

Sebagai negara anggota WHO, pemerintah Indonesia diwakili Departemen Kesehatan, Departemen Luar Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan, dan Badan POM berpartisipasi dalam semua badan negosiasi traktat tersebut dan sebagai anggota intergovernmental negotiating body (INB) terlibat dalam penyusunan draf traktat antara tahun 1999 dan 2003. Dokumen FCTC diadopsi oleh semua negara anggota WHO pada World Health Assembly ke-56, pada bulan Mei tahun 2003. Traktat tersebut menetapkan standar minimum kebijakan pengendalian tembakau, termasuk pertimbangan kesehatan dalam implementasi harga dan cukai tembakau dan pembatasan penjualan bebas-cukai. Pada bulan Oktober 2007, 152 negara menjadi anggota FCTC melalui ratifikasi atau aksesi (termasuk produsen dan konsumen rokok besar seperti Cina, India, dan Brazil).19 Indonesia adalah satu-satunya dari 38 negara di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat yang belum menjadi anggota FCTC. Karena itu, posisi Indonesia menjadi lemah, khususnya dalam kebijakan lintas-negara skala regional seperti perdagangan dan penyelundupan, yang mempengaruhi kebijakan domestik dan status perdagangan yang menguntungkan di wilayah ASEAN.

Pengentasan kemiskinan. Melalui dampak negatifnya terhadap

kesehatan, konsumsi tembakau diperkirakan mengurangi produktivitas tenaga kerja dan mengakibatkan dampak ekonomi jangka panjang pada tingkat rumah tangga berupa penurunan pendapatan dan tabungan. Laporan Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia pada tahun 2004 dan tahun 2005 yang ditandatangani Presiden RI membahas isu kemiskinan

sebagai akibat dari konsumsi tembakau.20 Laporan itu menekankan pada

tingginya tingkat pengeluaran untuk tembakau dari rumah tangga miskin yang seharusnya pengeluaran tersebut dapat dimanfaatkan untuk kesehatan, pendidikan, makanan, dan kebutuhan lainnya. Kedua laporan tersebut merekomendasikan pengenaan cukai tembakau untuk menaikkan harga sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif konsumsi tembakau terhadap kesehatan dan kesejahteraan. Namun, dampak kemiskinan sebagai akibat konsumsi tembakau seolah tidak menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan tarif cukai rokok.

“Komisi Nasional Perlindungan Anak telah mengidentifikasi bahwa promosi produk tembakau merupakan pelanggaran UU Perlindungan Anak No. 23

Tahun 2003, yang mewajibkan pemerintah untuk melindungi anak dari zat-zat adiktif.”

Perlindungan anak. Harga tembakau yang tinggi diperkirakan

memiliki dampak paling besar bagi perokok pemula dan konsumsi pada anak dan remaja, yang mungkin tiga kali lebih sensitif terpengaruh sebagai akibat kenaikan harga rokok. Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS Anak) telah mengidentifikasi bahwa promosi produk tembakau merupakan pelanggaran UU Perlindungan Anak No. 23/2003, yang mewajibkan pemerintah untuk melindungi anak dari zat-zat adiktif. Akibat pelanggaran tersebut, 78 persen perokok di Indonesia memulai kebiasaan merokok sebelum mencapai usia 19 tahun. Nikotin adalah sangat adiktif. Dari anak-anak yang sudah merokok, sebanyak 83 hingga 93 persen berusaha berhenti sebelum mencapai usia remaja. Kebijakan yang mengatur akses anak terhadap rokok, seperti batasan usia pembelian rokok, terbukti tidak

efektif dalam mencegah anak-anak merokok.21 Ini menunjukkan bahwa

cukai memiliki peran yang penting dalam menjaga harga tetap tinggi, sehingga anak-anak dan remaja tidak akan mulai merokok. Namun, perlindungan anak seolah bukan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tarif cukai rokok.

Menggunakan cukai tembakau untuk menanggulangi eksternalitas negatif konsumsi tembakau. Tarif cukai tembakau harus

ditetapkan pada tingkat yang melampaui eksternalitas yang dihasilkan dari konsumsi tembakau. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan harga tembakau haruslah memasukkan pertimbangan biaya-biaya selain yang ditanggung oleh para perokok tetapi juga biaya yang diderita oleh orang lain dan masyarakat pada umumnya (perokok pasif). Pada tingkat masyarakat biaya yang ditanggung termasuk penurunan produktivitas pekerja, dan permintaan pelayanan kesehatan masyarakat akibat penyakit-penyakit dan kecacatan yang diderita oleh perokok maupun orang lain yang terkena asap rokok dari perokok lain.22 Terdapat kerugian ekonomi akibat kematian dini dan kerugian atas penurunan investasi modal manusia, misalnya investasi pendidikan untuk anak. Naskah kebijakan yang dirancang oleh Menteri Keuangan mengidentifikasi peran cukai tembakau untuk menurunkan dampak eksternalitas negatif, dan Undang-Undang Cukai mengidentifikasi peran pemerintah dalam menggunakan cukai untuk mengurangi dampak risiko terhadap kesehatan atau lingkungan, serta

mendorong keadilan dan kesetaraan.23

Ketika mengestimasi biaya yang sebenarnya akibat merokok, hal penting untuk diperhatikan adalah manusia tidak konsisten sepanjang waktu (time inconsistent) – mereka membuat keputusan yang berbeda di waktu yang berbeda pula. Orang menempatkan nilai yang lebih besar saat ini dibanding masa depan, tetapi memberikan bobot yang sama kepada kedua

periode tersebut. Hal ini mengakibatkan bahwa orang secara konsisten akan membuat keputusan pada hal yang memberikan manfaat dalam jangka pendek (antara lain merokok) dibandingkan manfaat jangka panjang (seperti tambahan tahun untuk hidup). Sementara itu, orang mencari cara untuk mengendalikan konflik internal antara tujuan jangka pendek dengan jangka panjang dalam dirinya. Sebagai contoh dapat dilihat besarnya persentase perokok yang mencoba berhenti tetapi gagal. Beberapa perokok dapat menerima harga rokok yang lebih tinggi dan upaya menciptakan udara yang lebih bersih karena hal tersebut membantu mereka berhenti atau mengurangi konsumsi rokok, sehingga tujuan jangka panjang mereka tercapai. Hasil studi di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa biaya satu bungkus rokok adalah sebesar US$ 35 atau setara dengan Rp 319.824 (setelah memperhitungkan berkurangnya umur akibat penyakit yang terkait dengan merokok—life years lost).24

6.3. Reaksi Industri terhadap Sistem Cukai Tembakau