• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian yang Mengevaluasi Dampak Cukai Terhadap Lapangan KerjaLapangan Kerja

Struktur Industri dan Pertanian Tembakau

sebesar 28 persen, dibandingkan pada saat ini yang besarnya kurang dari 6 persen.”

5.4. Penelitian yang Mengevaluasi Dampak Cukai Terhadap Lapangan KerjaLapangan Kerja

Seperti negara-negara lain yang memiliki industri tembakau, terdapat kekhawatiran bahwa peningkatan cukai tembakau akan berpengaruh negatif terhadap lapangan kerja di sektor pertanian tembakau dan industri rokok. Estimasi terhadap dampak tersebut harus mempertimbangkan re-alokasi pengeluaran tembakau ke komoditas lain dan investasi. Ahsan dan Wiyono melakukan estimasi dengan menggunakan analisis input-output yang membuat simulasi dampak kenaikan cukai, dengan mempertimbangkan keterkaitan antar sektor perekonomian.31 Berdasarkan elastisitas harga dan pendapatan dari penelitian yang dilakukan oleh Djutaharta et al. (lihat Bab 4),32 disimpulkan bahwa kenaikan cukai tembakau sebesar 100 persen akan menghasilkan penurunan konsumsi tembakau sebesar 8,9 persen. Akibat penurunan konsumsi rokok terjadi pengalihan pengeluaran untuk tembakau ke komoditas lain. Ahsan dan Wiyono mengestimasi bahwa enam sektor akan terkena dampak negatif (perdagangan, pupuk dan pestisida, industri kertas dan produk kertas, perkebunan cengkeh, perkebunan tembakau, dan industri rokok), namun, 60 sektor lain akan diuntungkan. Kenaikan cukai 100 persen akan memberikan dampak neto yang positif

dalam bentuk output ekonomi sebesar Rp 335,4 milyar atau sama dengan US$ 36,9 juta, kenaikan pendapatan rumah tangga sebesar Rp 491,6 milyar atau sama dengan US$ 54,1 juta, dan kenaikan penyerapan tenaga kerja sebesar 281.135 tenaga kerja.

Peningkatan output perekonomian, terutama disebabkan karena perkebunan tembakau dan industri rokok bukanlah sektor yang memiliki peringkat tinggi dalam kontribusi terhadap perekonomian nasional. Industri rokok dan perkebunan tembakau menduduki peringkat 34 dan 62 dalam hal output, 30 dan 48 dalam hal kontribusi tenaga kerja, 37 dan 60 dalam hal upah, serta 24 dan 61 dalam hal GDP menurut sektor, dari total keseluruhan 66 sektor.33 Rata-rata upah pekerja di sektor industri rokok relatif rendah dan pada sektor pertanian tembakau sangat rendah. Penurunan pengeluaran tembakau diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran untuk barang lainnya, baik makanan maupun bukan makanan. Mengalihkan proporsi pengeluaran rumah tangga yang besar dari tembakau ke produk lain akan menyalurkan uang ke sektor produktif lainnya dalam perekonomian, sehingga akan mendorong pertumbuhan. Dengan melakukan simulasi pengurangan yang kecil dan yang tinggi dari konsumsi tembakau, Ahsan dan Wiyono menyimpulkan bahwa penurunan konsumsi tembakau akan menyebabkan meningkatnya output perekonomian secara keseluruhan. Mereka menyimpulkan bahwa kenaikan cukai tembakau yang cukup tinggi akan meningkatkan output yang lebih besar, meningkatkan pendapatan, dan lapangan kerja. Tambahan penerimaan cukai dapat digunakan pemerintah untuk mendukung transisi tenaga kerja yang bekerja di sektor tembakau ke sektor lain dalam perekonomian.34

Studi-studi lain meneliti lapangan kerja secara sempit, dan tidak

mempertimbangkan adanya pengalihan pengeluaran tembakau ke barang dan jasa lainnya, sehingga menciptakan lapangan kerja baru pada sektor-sektor lain. Marks memprediksi dampak kenaikan cukai

terhadap lapangan kerja pada sektor industri rokok kretek tangan.7 Peneliti menggunakan estimasi elastisitas harga sebesar -0,78 dan kenaikan cukai yang menyebabkan kenaikan harga sebesar 80 persen pada harga riil, sehingga mengakibatkan penurunan permintaan terhadap rokok kretek tangan (SKT) sebesar 49 persen. Berdasarkan produktivitas rata-rata per pekerja, Marks memprediksi hilangnya lebih dari 86.000 pekerjaan di industri rokok kretek tangan (setara dengan setengah dari total pekerja di industri rokok kretek). Namun, beberapa asumsi yang digunakan memang

patut dipertanyakan.35 Penurunan permintaan kemungkinan lebih besar

dari sebenarnya (overestimated), karena tingginya elastisitas harga yang digunakan (-0,78). Model ini berasumsi bahwa produktivitas marjinal dan

produtivitas rata-rata 36 adalah sama, namun teori ekonomi mengatakan bahwa produktivitas marginal selalu lebih rendah daripada produktivitas rata-rata.

Pertimbangan terpisah tetapi penting bagi industri tembakau adalah keuntungan politik dari pengelolaan rokok kretek tangan, dan keuntungan finansial karena mengelola sistem pajak bertingkat dimana tingkat cukai tertinggi dapat dielak secara legal. Sebuah laporan Departemen Perindustrian mengusulkan adanya road map untuk memungkinkan bertahannya industri tembakau dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.37 Laporan itu mengestimasi bahwa total lapangan kerja yang diciptakan oleh industri tembakau sejumlah 4,5 juta pekerjaan. Kalau dibandingkan data road map dari Departemen Perindustrian dengan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik dan lembaga pemerintah lainnya, ditemukan bahwa data dari BPS dan pemerintah lainnya hanya sebesar setengah dari estimasi Departemen Perindustrian (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. Kontribusi Produksi Rokok dan Manufaktur Tembakau terhadap Lapangan Kerja Langsung: Membandingkan Estimasi dari

Berbagai Sumber

Sumber : Departemen Perindustrian 2007, BPS tahun-tahun terakhir.

Selain itu, estimasi Departemen Perindustrian menggunakan jumlah total petani tembakau dan cengkeh, dan bukan full-time equivalents, yang lebih akurat dalam menunjukkan dampak kerja paruh waktu. Kolom keempat melaporkan angka full-time equivalent untuk perkebunan tembakau yang disesuaikan oleh BPS, dengan pertimbangan bahwa cengkeh memerlukan 3-4 tahun hingga matang, dan seorang petani akan

Kategori pekerja (Menurut Departem en Perindustrian) Estimasi Departemen Perindustrian BPS dan estimasi pemerinta h lainnya Full-tim e equivalent % dari total tenaga kerja Langsung M anufaktur tembakau 600.000 258.678 258.678 0,28

Petani tem bakau 2.400.000 683.603 503.458 0,55

Petani cengkeh. 1.500.000 1.200.000 240.000-396.000 0,26-0,42 Total 4.500.000 2.142.281 1.002.136-1.158.136 1,09-1,25 Kategori pekerja (Menurut Departem en Perindustrian) Estimasi Departemen Perindustrian BPS dan estimasi pemerinta h lainnya Full-tim e equivalent % dari total tenaga kerja Langsung M anufaktur tembakau 600.000 258.678 258.678 0,28

Petani tem bakau 2.400.000 683.603 503.458 0,55

Petani cengkeh. 1.500.000 1.200.000 240.000-396.000 0,26-0,42

mencurahkan 20 hingga 33 persen dari waktunya untuk penanaman dalam jangka waktu tersebut. Ini menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja langsung dari perkebunan tembakau dan manufaktur rokok sekitar 1,0 juta sampai 1,2 juta orang. Namun jika dilihat dari proporsinya terlihat bahwa penyerapan tenaga kerja langsung sangat kecil yaitu 1,1 persen hingga 1,2 persen dari total tenaga kerja.

Laporan Departemen Perindustrian mengungkapkan bahwa lebih dari setengah penyerapan tenaga kerja dalam industri tembakau dan rokok (5,45 juta) terdiri dari tenaga kerja tidak langsung (pengecer, percetakan, transportasi, dll.) yang tidak dapat diverifikasi oleh sumber lain. Lebih lanjut laporan itu mengestimasi bahwa rokok menciptakan 4,9 juta pekerjaan untuk pengecer, atau sekitar 18 persen dari total lapangan kerja di sektor jasa. Ini berarti bahwa sekitar 1 dari 5 pekerja dalam sektor jasa bergantung pada penjualan rokok untuk mencari penghidupan. Hal tersebut tidak mungkin karena pengecer dan pedagang kaki lima mendapatkan penghasilan tidak hanya dari menjual rokok, melainkan juga dari menjual produk lain seperti makanan, buah-buahan, sayuran, bunga, permen karet, kartu telepon, majalah dan buku, alat elektronik kecil, dan sebagainya. Pengurangan pengeluaran untuk tembakau akan digantikan oleh peningkatan pengeluaran dari produk lainnya.

Dalam analisis-analisis tersebut yang tidak diperhitungkan adalah pengeluaran perusahaan-perusahaan untuk pemasaran dan iklan.38 Estimasi pada tahun 2004 menunjukkan bahwa pengeluaran perusahaan rokok besar di Indonesia untuk iklan elektronik dan iklan cetak sebesar US$ 134,4 juta atau Rp 1,2 triliun. Hal ini konsisten dengan laporan-laporan sebelumnya bahwa industri tembakau menyumbang sekitar 5-7 persen dari total

penerimaan iklan langsung setiap tahun.39 Dianggap bahwa pendapatan

pemerintah lokal dari pajak iklan tersebut cukup besar, namun pada kenyataannya, penerimaan pajak iklan baliho (billboard) kurang dari 2 persen rata-rata total pendapatan kabupaten/kota.40 Namun, jumlah uang yang dikeluarkan untuk promosi dan iklan tidak langsung, seperti menjadi sponsor konser serta acara budaya dan sosial, kupon dan potongan harga, tidak dapat dihitung. Sebagian disalurkan melalui yayasan yang dibiayai dari penjualan rokok, dan digunakan untuk mempromosikan citra positif perusahaan rokok .

1 FAOSTAT, Food and Agricultural Organization Statistics Division.

2 Departemen Pertanian, berbagai tahun

3 Global Agricultural Information Network (GAIN) Report #4027. Indonesia Tobacco and Products Annual. 2004. Washington, DC: United States Department of Agriculture.

4 Departemen Pertanian. 2006. Statistik Pertanian 2006. Jakarta.

5 JC. Keyser dan NR Juita. 2007. Smallholder Tobacco Growing in Indonesia: Costs and Profitability Compared with Other Agricultural Enterprises. World Bank HNP Discussion Paper. February..

6 Departemen Pertanian, berbagai tahun

7 S. Marks. 2003. Cigarette excise taxation in Indonesia, an economic analysis. Partnership for economic growth, BAPPENAS and USAID. July.

8 T. Kawague. 1994. Income and employment Income and Employment Generation from Agricultural Processing and Marketing at the Village Level: A Study in Upland Java, Dalam Von Braun, J, Kennedy E, eds. Agricultural Commercialization, Economic Development, and Nutrition. International Food Policy Research Institute.

9 FTE adalah curahan waktu riil yang dibutuhkan oleh petani untuk mengelola satu hektar lahan tembakau per musim.

10 Jardine Fleming, estimasi untuk tahun 1998.

11 Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Produk Pertanian, Direktorat Jenderal Pengembangan Pengolahan dan Pemasaran Produk Pangan, Departemen Pertanian. Dalam Bab 3 The Tobacco Source Book: Data to support a National Tobacco Control Strategy, Ministry of Health Republic of Indonesia, 2004.

12 Informasi-Harga Komoditas Pertanian di Pasar Domestik tahun 2002, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Produk Pertanian, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Produk Pertanian, Departemen Pertanian. Dalam Bab 3, The Tobacco Source Book: Data to support a National Tobacco Control Strategy, 2004, Ministry of Health Republic of Indonesia

13 Peraturan Pemerintah No.538/2002, 5 Juli 2002, dalam The Tobacco Source Book

14 CPA. Bennett, SV. Marks, dan L. Muslimin. 1998. “The Clove Monopoly: Lessons for the Future.” Trade Implementation And Policy Project. U.S. Agency for International Development and Ministry of Industry and Trade, Republic of Indonesia, Jakarta. November.

15 Global Agricultural Information Network (GAIN) Report #3021. Indonesia Tobacco and Products Annual 2003. Washington, DC: United States Department of Agriculture; September 16, 2003.

16 Euromonitor International 2007.

17 K. Bird. 1999. Industrial Concentration and Competition in Indonesian Manufacturing. Doctoral Thesis. Australian National University.

18 L. Tarmidi. 1996. Changing Structure and Competition in the Kretek Cigarette Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32(3): 85-107 .

19 FJ. Chaloupka, TW. Hu, KE. Warner, R. Jacobs, dan A. Yurekli. 2000. The taxation of tobacco products. Dalam Jha P, Chaloupka FJ (eds). Tobacco control in developing countries. New York: Oxford University Press.

20 Biaya marjinal adalah tambahan biaya terhadap total biaya produksi yang timbul akibat penambahan satu unit output yang diproduksi.

21 GS. Becker, M. Grossman, KM. Murphy. 1994. An empirical analysis of cigarette addiction. American Economic Review. 84 (3); 396-418.

22 Indonesia Foreign Trade Statistics. 2004. Central Bureau of Statistics,

23 Employment Trends in the Tobacco Sector. 2003. ILO Geneva.

24 L. Castles, 1967. Religion, Politics, and Economic Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry. Cultural Report Series No. 15, Southeast Asian Studies, Yale University.

25 A. Reid. 1985. From betel chewing to tobacco smoking in Indonesia. Journal of Asian Studies. XLIV:3.

26 AW. Istyastuti. 1992. Policy on In-direct Tax Policy: Case Study on Tobacco Excise in Indonesia 1969-1992. Post Graduate Program, Social and Economic Science, and Specialized Politic Science University of Indonesia

27 K. Bird. 1999. Industrial Concentration and Competition in Indonesian Manufacturing. Doctoral Thesis. Australian National University 1999.

28 GE. Guindon, A-M Perucic, dan D. Boisclair. 2003. “Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue.” World Bank Health, Nutrition and Population Discussion Paper. Economics of Tobacco Control Paper No. 11. October.

29 Badan Pusat Statistik

30 I. Tjandraningsih dan P. Anarita. 2002. Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau. Bandung. Akatiga; C. Manning. 1999. The Economic Crisis and Child Labour in Indonesia. Australian National University. International Labour Office. International Programme on the Elimination of Child Labour. Geneva.

31 A. Ahsan dan NH. Wiyono. 2007. The Impact Analysis of Higher Cigarette Prices to Employment in Indonesia. Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia. September .

32 T. Djutaharta, HV Surya, NHA. Pasay, Hendratno, dan SM. Adioetomo. 2005. “Aggregate Analysis of the Impact of Cigarette Tax Rate Increases on Tobacco Consumption and Government Revenue: The Case of Indonesia”. World Bank HNP Discussion Paper. Economics of Tobacco Control No. 25.

33 BPS 2003, dalam Ahsan A, Wiyono NH, Setyonaluri D, Prihastuti D, Yudistira, Sowwam M. Tobacco Control Country Study, Indonesia. Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia, 2007.

34 P. Jha dan FJ.Chaloupka. 2000. The economics of global tobacco control. BMJ;321;358-361.

35 Lihat ulasan artikel tersebut dalam H. Ross, An Overview of the Tobacco Control Economic Literature and Evidence for Indonesia, Open Society Institute and Research Triangle Park. June 2005.

36 Produktivitas Marjinal (Marginal Productivity) adalah tambahan output yang diproduksi oleh setiap tenaga kerja. Sedangkan Produktivitas Rata-rata (Average Productivity) adalah jumlah total output yang diproduksi oleh setiap tenaga kerja.

37 Departemen Perindustrian. 2007. The 2007-2020 Roadmap of Industry of Tobacco Related Product and Excise Policy. Maret.

38 K. Bird. 2002. “Advertise or die: advertising and market share dynamics revisited”. Applied Economics Letters. 9(12):763-767.

39 Indonesia Advertising Industry. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). 2006. US Department of Commerce.

B

A

B

6

Administrasi Cukai