• Tidak ada hasil yang ditemukan

total selama lebih dari 10 tahun sebesar Rp 83,1 trilun atau US$ 9 milyar.

Studi

De Beyer and Yurekli6

Djutaharta et al.7 Adioetomo et al.10

Sunley, Yurekli, Chaloupka16

% penurunan

konsumsi

2,0

0,9

3,0

2,4

% kenaikan

penerimaan

8,0

9,0

6,7

7,4

Tabel 4.3. Jumlah Perokok dan Proporsi Kematian yang Dapat Dihindarkan dari Berhenti Merokok Menurut Kelompok Umur, 2008

Sumber : Jumlah perokok dihitung berdasarkan angka prevalensi merokok: data Susenas 2004 dalam Ahsan et al. 2007a; dan proyeksi

penduduk tahun 2008: BPS, Bappenas, dan UNFPA 2005; estimasi persen kematian terhindarkan karena berhenti merokok dalam Ranson et al. 2002. Kami mengasumsikan tidak ada kenaikan prevalensi sejak tahun 2004.

Penulis menelaah dampak kenaikan cukai terhadap kematian dan penerimaan masa depan menggunakan model statis dari kohor perokok tahun 2008 (Tabel 4.3). Saat ini terdapat 57 juta perokok di Indonesia. Sebuah ulasan baru-baru ini melaporkan bahwa antara setengah sampai dua pertiga perokok akan meninggal karena penyakit yang disebabkan

oleh rokok.17 Dengan menimbang kematian akibat dari penyebab lain dan

karena masih rendahnya angka berhenti merokok di Indonesia, penulis mengasumsikan bahwa tingkat kematian pada kelompok ini mencapai 50 persen. Selain itu, manfaat kesehatan dari berhenti merokok akan menurun sejalan dengan meningkatnya umur. Jika 95 persen kematian dapat dihindarkan karena berhenti merokok pada umur 29 tahun atau lebih muda, maka hanya 10 persen kematian yang disebabkan rokok dapat dihindarkan bila berhenti merokok pada umur 60 tahun. Rata-rata proporsi kematian yang dapat dihindarkan karena berhenti merokok berkisar 70 persen dari jumlah kematian yang akan terjadi.

Untuk memprediksi perubahan konsumsi dan pendapatan, penulis menganalisis hasil tersebut menggunakan rentang elastisitas harga berdasarkan studi yang telah dipublikasikan dalam laporan ini. Nilai elastisitas harga yang terendah, medium, dan tertinggi masing-masing adalah -0.29, -0.40, dan -0.67, berdasarkan estimasi dalam rentang yang konsisten 2,7,10. Penulis mengasumsikan bahwa elastisitas harga adalah sama untuk laki-laki dan perempuan maupun pada setiap kelompok umur. Dampak peningkatan cukai rokok terhadap konsumsinya terdiri dari pengurangan prevalensi (40 persen dari elastisitas harga) dan pengurangan

K e lo m p o k U m u r P e ro k o k J u m la h % k e m a tia n y a n g d a p a t d ih in d a ri d a ri b e rh e n ti m e ro k o k ? 1 9 3 .7 9 4 .3 97 9 5 2 0 – 2 9 1 3 .5 6 2 .1 01 9 5 3 0 – 3 9 1 4 .2 4 0 .7 54 7 5 4 0 – 4 9 1 1 .9 2 9 .3 14 7 0 5 0 – 5 9 7 .2 7 2 .6 00 5 0 6 0 – 6 9 3 .3 2 0 .3 52 1 0 7 0 + 2 .7 8 3 .1 16 1 0 T o ta l 5 6 .9 0 2 .6 33 7 0

<

intensitas merokok di antara mereka yang masih merokok (60 persen dari elastisitas harga). Diasumsikan bahwa perokok yang belum berhenti merokok menghadapi risiko kematian yang sama seperti sebelumnya.

Hasil prediksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.4. Peningkatan tingkat cukai menjadi 50 persen dari harga jual dapat menghindarkan antara 0,6 juta sampai 1,4 juta kematian. Angka tersebut hampir sama dengan 2 sampai 5 persen kematian yang akan terjadi pada kohor tersebut. Karena rokok bersifat adiktif, dampak peningkatan cukai pada kesehatan dalam jangka pendek tidak terlalu besar dibandingkan dengan dampak jangka panjang. Pada saat yang sama, sebagian besar perokok (52,8 juta sampai 55,1 juta) akan terus merokok. Cukai yang lebih tinggi yang dibayar oleh perokok yang masih merokok akan menghasilkan tambahan penerimaan cukai sebanyak Rp 18,1 triliun sampai Rp. 25,1 triliun (US$ 2 milyar sampai US$ 2,8 milyar).

Bila diasumsikan HJE sekitar 17 persen sampai 22 persen lebih tinggi dari harga jual yang dibayar konsumen, maka dengan menerapkan tarif cukai maksimal sesuai dengan undang-undang (57 persen dari HJE) akan sama dengan menaikkan tarif cukai sampai 64 persen dari harga jual yang dibayar konsumen. Simulasi ini menunjukkan bahwa pemberlakuan tarif cukai maksimum akan menghindarkan kematian karena konsumsi rokok antara 1,7 juta sampai 4 juta orang, dan juga menciptakan kenaikan penerimaan cukai sebesar Rp 29,1 triliun sampai Rp 59,3 triliun (US$ 3,2 milyar sampai US$ 6,5 milyar). Hal yang perlu dicatat adalah dampak sesungguhnya pada penerimaan negara dari penerapan tarif cukai rokok maksimum akan lebih besar lagi karena hal ini juga mendorong kenaikan pajak dari semua jenis produk tembakau. Pemberlakuan cukai spesifik yang seragam akan meminimumkan perbedaan harga antar produk rokok sehingga akan menyelamatkan nyawa akibat konsumsi rokok.

“Hasil estimasi menunjukkan bahwa kenaikan cukai sampai dengan 70 persen dari harga jual akan mencegah kematian sebanyak 2,5 juta sampai 5,9 juta, atau sekitar 9 persen sampai 21 persen kematian yang

akan terjadi pada kelompok perokok saat ini.”

Kolom terakhir memprediksi dampak kenaikan cukai sampai dengan standar global, yaitu 70 persen dari harga jual. Diestimasi bahwa sekitar

2,5 juta sampai 5,9 juta kematian atau 9 persen sampai 21 persen dari kematian yang akan terjadi dari kohor perokok saat ini akan terhindarkan dengan menerapkan kenaikan cukai sampai 70 persen dari harga jual. Sementara itu, jumlah perokok yang tersisa akan mencapai 40,1 juta sampai 49,6 juta orang. Kenaikan cukai ini akan menciptakan tambahan penerimaan cukai sebesar Rp 23,8 triliun sampai Rp 75,8 triliun (US$ 2,6 milyar sampai US$ 8,3 milyar). Dengan menggunakan target cukai tahun 2008, simulasi ini memprediksi total penerimaan cukai tembakau sebesar Rp 65,6 triliun sampai Rp. 117,6 triliun (US$ 7,2 sampai US$ 12,9 milyar).

Tabel 4.4. Dampak Kenaikan Tarif Cukai Tembakau terhadap Kematian Akibat Rokok dan Penerimaan Negara

a HJE diestimasi sebagai proporsi dari harga jual

b Elastisitas harga rendah, menengah, dan tinggi adalah -0,29, -0,4, dan -0,67 berdasarkan urutan estimasi hasil studi yang terbaik: Lihat Guindon et al., Djutaharta et al., dan Adioetomo et al.

c Nilai penerimaan diestimasi menggunakan target penerimaan 2008, dengan asumsi bahwa 95 persen dari penerimaan cukai berasal dari produk tembakau.

Skenario Kenaikan Tarif Cukai

Kondisi Sekarang (1) (2) (3)

% tarif cukai terhadap

harga jual aktual 37% 50% 64% 70%

% tarif cukai terhadap HJE yang ditetapkan

pem erintah a

31% 43% 57% 64%

Jumlah Perokok

Elastisitas Harga b 56.9 juta orang Jum lah Perokok yang Berkurang (juta)

-0.29 1.8 5 7.3

-0.4 2.5 6.9 10

-0.67 4.1 11.5 16.8

Perkiraan kem atian

akibat m erokok 28.45 juta orang Kematian yang terhindarkan (juta)

-0.29 0.6 1.7 2.5 -0.4 0.9 2.4 3.5 -0.67 1.4 4 5.9 Kematian Terhindarkan (%) -0.29 2% 6% 9% -0.4 3% 8% 12% -0.67 5% 14% 21%

Jumlah Perokok yang Tersisa (juta)

-0.29 55.1 51.9 49.6

-0.4 54.4 50.0 46.9

-0.67 52.8 45.4 40.1

Penerim aan Cukai Rp 41.8 triliun Tambahan Penerimaan Cukai

c

(Rupiah triliun)

-0.29 25.1 59.3 75.8

-0.4 23 50.1 59.3

-0.67 18.1 29.1 23.8

Penerim aan Cukai US$ 4.6 m ilyar Tambahan Penerimaan Cukai

c

(US $ m ilyar)

-0.29 2.8 6.5 8.3

-0.4 2.5 5.5 6.5

Catatan Akhir Bab 4

1 H. Ross. 2005. An Overview of the Tobacco Control Economic Literature and Evidence for Indonesia, Open Society Institute and Research Triangle Park. Juni.

2 GE. Guindon, A-M. Perucic, dan D. Boisclair. 2003. Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue. World Bank. Health, Nutrition and Population Discussion Paper. Economics of Tobacco Control Paper No. 11, October.

3 FJ. Chaloupka dan K. Warner. 1999. The Economics and Smoking. National Bureau of Economic Research.

4 FJ. Chaloupka, TW. Hu, KE. Warner, R. Jacobs, dan A. Yurekli. 2000. “The taxation of tobacco products”. Dalam P. Jha dan FJ Chaloupka (eds). Tobacco control in developing countries. New York: Oxford University Press.

5 K. Bird. 1999. Industrial Concentration and Competition in Indonesian Manufacturing. Doctoral Thesis. Australian National University.

6 Curbing the Tobacco Epidemic in Indonesia. 2000. World Bank. Watching Brief.

7 T. Djutaharta, HV Surya, NHA. Pasay, Hendratno, dan SM. Adioetomo. 2005. “Aggregate Analysis of the Impact of Cigarette Tax Rate Increases on Tobacco Consumption and Government Revenue: The Case of Indonesia”. World Bank HNP Discussion Paper, Economics of Tobacco Control No. 25.

8 S. Marks. 2003. Cigarette excise taxation in Indonesia, an economic analysis. Partnership for economic growth, BAPPENAS and USAID.

9 Erwidodo, J. Molyneaux dan Ning Pribadi. 2002. Household Food Demand: An Almost Ideal. Demand Systems (AIDS). Working Paper.

10SM. Adioetomo, T. Djutaharta, dan Hendratno. 2005. Cigarette Consumption, Taxation, and Household Income: Indonesia Case Study. The World Bank HNP Discussion Paper No. 26.

11F. Witoelar, P. Rukumnuaykit, dan J. Strauss. 2005. Smoking Behavior among Youth in a Developing Country ; Case of Indonesia, Yale University. Desember.

12FJ. Chaloupka dan W. Price. 1997. Tobacco control policies and smoking among young adults. Journal of Health Economics. 16(3):359-373.

13Hasil Pertemuan dengan Direktur Bea dan Cukai, 10/2003

14Hasil Pertemuan dengan Direktur Bea dan Cukai, 2008.

15C. Tjahyaprijadi dan WD. Indarto. 2003. Analysis of Consumption Patterns for Machine-Made Kretek Cigarettes, Hand-Machine-Made Kretek Cigarettes, and Machine-Machine-Made Non-Clove Cigarettes. Economic and Fiscal Policy. 7(4). Satu studi tidak digunakan karena kurangnya deskripsi data dan analisisnya. Disimpulkan bahwa keuntungan suatu industri dapat meningkat dengan cara mengurangi cukai untuk perusahaan dengan skala produksi menengah. Lihat Brahmantio Isdijoso. Alternative Study of Revenues and Excise Tax Rates for 2004.

16EM. Sunley, A. Yurekli, dan FJ. Chaloupka. 2000. “The Design, Administration, and Potential Revenue of Tobacco Excises”. Dalam P. Jha dan FJ. Chaloupka (eds.) Tobacco control in developing countries. New York: Oxford University Press.

17P. Jha, FJ. Chaloupka, J. Moore, V. Gajalakshmi, PC. Gupta, R. Peck, S. Asma, dan W. Zatonski. 2006. Tobacco Addiction. Disease Control Priorities in Developing Countries (2nd Edition),ed. , 869-886. New York: Oxford University Press. DOI: 10.1596/978-0-821-36179-5/Chpt-46.

B

A

B

5

Struktur Industri dan