• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegagalan Pasar: Kekurangan Informasi tentang Risiko dan Kecanduan, dan Biaya Finansial dan Fisik yang Dialami oleh

Non-perokok dan Masyarakat

Prinsip ekonomi tentang kebebasan konsumen menyatakan bahwa konsumen sendirilah yang membuat keputusan terbaik tentang bagaimana ia membelanjakan uangnya. Argumen tersebut didasarkan pada dua asumsi. Pertama, konsumen mengambil keputusan tersebut berdasarkan pengetahuan yang penuh atas biaya dan manfaat dari keputusan yang diambilnya. Asumsi kedua adalah individu akan menanggung sendiri semua risiko atas keputusan konsumsi mereka; artinya si individu mengetahui

Rata-rata Kategori

Pengeluaran

Kuintil pengeluaran rumah tangga

Tembakau Ikan

Telur dan Susu Daging Kesehatan Pendidikan 1 (terendah) 2 3 4 5 (tertinggi) 11,9 5,6 2,6 1,0 2,1 1,8 12,3 6,1 3,0 1,6 2,1 2,6 12,4 6,2 3,3 2,1 2,2 3,0 11,7 6,0 3,6 2,5 2,4 3,6 9,2 4,9 3,8 2,9 2,7 4,9 11,5 5,7 3,3 2,0 2,3 3,2

bahwa orang lain tidak akan menanggung beban atas tindakan individu tersebut. Konsumsi tembakau melanggar kedua asumsi tersebut.

“Remaja usia 13 sampai 17 tahun di Jawa dapat menyebutkan kembali tulisan peringatan kesehatan yang

tertera pada bungkus rokok, tetapi juga berpendapat bahwa merokok satu hingga dua bungkus per hari tidak

berbahaya bagi kesehatan”

Pemberian informasi sehingga seseorang dapat menentukan pilihan sendiri (informed choice) membutuhkan penerangan atau informasi yang akurat. Namun, bahaya kesehatan terkait dengan konsumsi tembakau pada umumnya amat kurang dimengerti. Remaja di Jawa usia 13 hingga 17 tahun dapat berulang kali mengulang kembali tulisan peringatan kesehatan yang tertera pada bungkus rokok, namun mereka berpendapat bahwa mengkonsumsi rokok satu hingga dua bungkus per hari tidaklah berbahaya bagi kesehatan.2 Penelitian yang disponsori industri rokok menyatakan

bahwa rokok kretek menguntungkan kesehatan.3 Temuan tersebut jelas

bertentangan dengan penelitian mandiri yang menemukan bahwa rokok kretek sama berbahayanya dengan jenis rokok lain.4 Bahkan, hanya sedikit saja orang-orang yang memahami betapa seriusnya dampak kesehatan pada perokok pasif yang ditimbulkan oleh asap rokok dari perokok aktif.5

Satu hal yang membingungkan bagi konsumen di Indonesia adalah kenyataan bahwa peraturan dan kebijakan kesehatan dari pemerintah belum mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang terbaru. Pasal-pasal dalam peraturan tentang pengendalian konsumsi tembakau menghendaki bahwa setiap kemasan rokok harus memuat kandungan tar dan nikotin6 – terlepas dari fakta bahwa pengukuran kandungan tersebut didasarkan pada metodologi pengujian yang sulit dipercaya dan digunakan

untuk memasarkan rokok dengan kriteria “menyehatkan.”7 Hal tersebut

cenderung menimbulkan kenaikan tingkat penjualan rokok yang dipasarkan dengan label ‘mild’ (ringan). Dari hampir tidak mempunyai pangsa pasar pada tahun 1994, pangsa pasar untuk rokok kretek ‘mild’ pada tahun 2006 mencapai 34 persen dari total pangsa rokok kretek mesin atau 19 persen dari total pasar rokok.8 Industri rokok memperkirakan bahwa penjualan rokok jenis ’tar-rendah’ akan tumbuh tiga kali dari tahun 2007 sampai

’tar-rendah’ atau ’tar-tinggi’ menghadapi risiko kesehatan yang sama

buruknya.10 Oleh sebab itu, lembaga-lembaga kesehatan dunia

merekomendasikan untuk melarang sejumlah istilah seperti light’, ’mild’, dan ’low-tar’ karena hal tersebut mengelabui konsumen sehingga berpikir

bahwa rokok tersebut tidak berbahaya untuk dikonsumsi.11

“Rata-rata umur pertama kali merokok telah turun menjadi usia 17,4 tahun. Anak-anak telah dibiasakan sejak dini

untuk berpikir bahwa merokok adalah hal wajar dan diterima secara sosial”

Peraturan dan kebijakan pemerintah yang ada sangat lemah untuk hal-hal yang berkaitan dengan informasi kepada konsumen. Dalam hal peraturan yang mengharuskan menterakan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan pada setiap kemasan produk-produk rokok, hanya satu jenis peraturan peringatan bahaya merokok yang diharuskan untuk digunakan dan tidak ada standar tentang ukuran minimum. Peraturan ini berbunyi “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Ukuran minimum peringatan bahaya kesehatan dari merokok pada baliho (billboard) dan iklan pada umumnya sebesar 15 persen dari ukuran baliho.12 Pesan-pesan yang efektif sangat dibutuhkan untuk menginformasikan risiko kesehatan yang baru akan terlihat 20 sampai 25 tahun sejak pertama kali merokok hingga mulai mengidap berbagai jenis penyakit terkait dengan merokok. Perbedaan yang mencolok terlihat jelas menurut tingkat pendidikan, dimana 67,3 persen laki-laki yang tidak bersekolah/tidak tamat sekolah merokok, sedangkan diantara laki-laki yang tamat perguruan tinggi hanya 47,8 persen yang merokok (tahun 2004). Hal ini mengindikasikan perlunya menginformasikan secara jelas dan mudah dimengerti mengenai berbagai risiko kesehatan akibat dari merokok (Lampiran 2.3).

Keputusan untuk mulai merokok pertama kali umumnya terjadi masa kanak-kanak atau remaja, dan kini usia mulai merokok jauh lebih muda dibanding masa-masa sebelumnya. Rata-rata umur pertama kali merokok telah menurun menjadi 17,4 tahun di tahun 2004, dan 78 persen perokok di Indonesia mulai merokok sebelum berumur 19 tahun (Lampiran 2.7, 2.8). Antara tahun 1995 dan 2004, prevalensi perokok remaja laki-laki umur 15 – 19 tahun meningkat menjadi dua kali lipat dan meningkat hampir 50 persen untuk kelompok umur 20 – 24 tahun (Tabel 2.2, Lampiran 2.1). Penurunan prevalensi perokok pada kelompok umur yang lebih tua mengindikasikan tingginya jumlah yang berhenti merokok dan mungkin termasuk mereka yang berhenti karena sakit atau kedapatan

Sum senas Kelompok Umur Prevalensi Perokok 1995 2004 Persentase Perubahan 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+ Rata-rata 13,7 42,6 57,3 64,4 67,3 67,3 68,0 66,8 66,1 64,7 64,3 56,9 53,3 53,4 32,8 63,6 69,9 68,9 67,7 66,9 67,9 67,9 64,1 60,0 58,7 55,3 47,4 63,1 139,4% 49,3% 22,0% 7,0% 0,6% -0,6% -0,2% 1,7% -3,0% -7,3% -8,7% -2,8% -11,1% 18,2%

Tabel 2.2. Prevalensi Perokok Laki-Laki menurut Kelompok Umur, 1995 dan 2004, dan Persentase Perubahannya

mengidap penyakit serius yang berkaitan dengan konsumsi rokok (Tabel 2.2, Lampiran 2.1).

Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang dilaksanakan di

6 lokasi pada anak-anak sekolah usia 13 – 15 tahun di Indonesia (Tabel 2.3) menemukan bahwa sekitar 24 hingga

41 persen anak-anak laki-laki usia 13 – 15 tahun adalah perokok. Cukup mengejutkan bahwa antara 83 hingga 93 persen dari anak-anak yang aktif merokok pernah berusaha berhenti merokok tapi belum berhasil. Hal ini menunjukkan

bahwa anak-anak kurang memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan risiko-risiko dari merokok dan ketagihan akan nikotin yang dikandung dalam rokok. Ketika

anak-anak tersebut pertama kali merokok, kemungkin kecil sekali mereka mendapat informasi tentang kecanduan rokok seumur hidup yang lengkap sehingga mereka dapat

memilih tindakan.

Tabel 2.3. Ringkasan Global Youth Tobacco Surveys di Indonesia untuk Kelompok Umur 13-15 tahun (Kelas 1-3 SMP), 2004-2006

Sumber : Centers for Disease Control and Prevention, Global Youth Tobacco Surveys Country Fact Sheets.

Respon Bekasi Medan Tengah Jawa Sumatra Surakarta Jakarta Saat ini mengkonsumsi

tembakau (%)

Laki-laki 34,8 40,5 25,0 24,0 29,3 32,1

Perempuan 9,4 8,1 4,3 5,0 3,4 7,4

Diantara perokok aktif anak-anak, % yang mencoba berhenti selama setahun terakhir

88,7 88,4 83,3 93,3 90,7 91,8 Dari semua anak-anak,

% yang terpapar asap rokok di luar rumah

76,1 79,5 81,1 81,0 79,7 81,6

% yang melihat poster iklan rokok

Nikotin merupakan zat dengan kadar adiksi yang sangat tinggi, sehingga sangat sulit bagi perokok untuk berhenti. Tidak seperti zat-zat lain yang juga menimbulkan efek ketagihan yang dianggap ilegal, perokok secara terus-menerus diberikan kesempatan luas untuk membeli produk-produk tembakau dan dihadapkan pada iklan-iklan yang membuat rokok seolah-olah merupakan kebiasaan yang diterima masyarakat.1 Hampir semua anak-anak (89 hingga 95 persen) pernah melihat baliho rokok dalam sebulan terakhir sebelum survei (Tabel 2.3). Hal ini mengindikasikan bahwa anak-anak tersebut disosialisasi dalam usia sangat muda untuk mengenal kebiasaan merokok sebagai sesuatu yang normal dan merupakan kebiasaan yang bisa diterima secara sosial.

Asumsi kedua yang mendukung kedaulatan konsumen adalah konsumen sendiri yang menanggung semua risiko dan biaya-biaya yang timbul atas keputusannya untuk mengkonsumsi suatu barang atau jasa. Namun, kenyataannya perokok mengakibatkan biaya secara fisik dan finansial tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain dan masyarakat secara luas. Studi yang dilakukan pada sebuah rumah sakit di Jakarta mengestimasi bahwa biaya perawatan bagi pasien rawat inap yang mengidap penyakit akibat konsumsi tembakau diperkirakan sebesar Rp. 2,9 triliun per tahun (US$ 319 juta).2 Biaya tersebut belum memperhitungkan biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh non-perokok yang terpapar asap rokok dari non-perokok aktif. Biaya kesehatan akibat konsumsi rokok (baik perokok maupun non perokok) di Indonesia diduga sangat besar karena jumlah penduduk yang besar, rendahnya kesadaran akan dampak buruk merokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif, serta kurangnya kebijakan udara bersih. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, alokasi biaya total perawatan kesehatan untuk merawat dan menyembuhkan penyakit yang terkait dengan konsumsi tembakau mencapai 6 hingga 15 persen.3 Jika menggunakan dasar perhitungan pengeluaran bidang kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta di Indonesia pada tahun 20054 (sejumlah Rp. 73,5 triliun atau US$ 8,1 milyar) dan asumsi bahwa antara 6 hingga 15 persen pengeluaran kesehatan adalah untuk perawatan penyakit akibat konsumsi tembakau, biaya total untuk mortalitas dan morbiditas karena tembakau akan mencapai kisaran Rp 4,4 triliun – 11 triliun per tahun (US$ 484 juta – 1,2 milyar), atau sekitar 0,12 persen hingga 0,29 persen dari total Pendapatan Domestik Bruto

(PDB) Indonesia.5 Porsi belanja pemerintah untuk membiayai pelayanan

kesehatan masyarakat baru mencapai 35 persen dari total belanja bidang kesehatan secara keseluruhan, dan sisanya harus dibiayai sendiri oleh masing-masing individu (out-of-pocket payments).

Perhitungan tersebut di atas kemungkinan besar jauh lebih rendah dari angka yang sesungguhnya karena pemanfaatan pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia masih relatif rendah, dan masyarakat tidak selalu bisa memperoleh perawatan kesehatan yang memadai ketika mereka membutuhkannya. Biaya sosial lain akibat dari konsumsi tembakau adalah menurunnya produktivitas tenaga kerja di lapangan kerja, kerugian ekonomi akibat kematian dini, dan penurunan investasi modal manusia di masa depan dalam bentuk rendahnya pengeluaran untuk investasi kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari rumah tangga perokok. Di negara maju, para pelaku usaha dan pemilik perusahaan mendorong para pekerja mereka untuk berhenti merokok demi memperoleh manfaat ekonomi dan produktivitas kerja, selain juga mengurangi biaya perawatan kesehatan, hari-hari absen karena sakit yang semakin berkurang, mengurangi biaya pemeliharaan dan risiko terjadinya kebakaran.6 Di Amerika Serikat, total biaya per tahun untuk mortalitas akibat tembakau (termasuk pengeluaran perawatan medis dan kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas tenaga kerja) adalah sebesar Rp.701 triliun (US$ 77,1 milyar).7 Tingkat prevalensi perokok laki-laki di Indonesia sekarang adalah sama dengan di Amerika Serikat pada tahun 1950-1960-an, perbandingan tersebut dapat memberikan wacana ukuran tentang berapa kebutuhan biaya perawatan kesehatan akibat konsumsi tembakau di masa depan.

2.4. Penciptaan Penerimaan Pemerintah: Penetapan Tarif