• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBAGA DEMOGRAFI Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ekonomi Tembakau di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LEMBAGA DEMOGRAFI Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ekonomi Tembakau di Indonesia"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ISBN 979-525-146-5

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union)

68 boulevard Saint Michel, 75006 Paris – France

Tel: +33-1 44.32.03.60, Fax: +33-1 43.29.90.87

Email : union@iuatld.org; web :www.iuatld.org

Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan, A., dan Setyonaluri, D.

Ekonomi Tembakau di Indonesia. Paris: International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease; 2008.

“Penerapan cukai tembakau sampai pada batas maksimum yang diperbolehkan undang-undang (57 persen) dapat mencegah terjadinya

1,7 juta sampai 4 juta kematian akibat rokok diantara perokok, serta memberikan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 29,1 triliun sampai Rp 59,3 triliun. Kenaikan tarif cukai tembakau dua kali lipat dapat meningkatkan kesempatan kerja lebih dari seperempat juta.”

Rangkaian laporan tentang pajak tembakau yang didukung oleh Bloomberg Philanthropies sebagai bagian dari Inisiatif Bloomberg

(3)

Laporan ini dikembangkan oleh tim yang dipimpin oleh Dr. Sarah Barber, University of California di Berkeley, dan Profesor Dr. Sri Moertiningsih Adioetomo, Abdillah Ahsan, dan Diahhadi Setyonaluri, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Anggota tim adalah Nur Hadi Wiyono, Dewi Prihastuti, Muhammad Halley Yudistira, dan Muhammad

Sowwam.1

Tim juga melakukan wawancara terstruktur untuk mengumpulkan data mengenai administrasi dan implementasi pajak pada tembakau. Hasil wawancara lengkap dipublikasikan secara terpisah2. Bagian ketiga dari

laporan ini ditujukan untuk menguatkan dan mengembangkan sebuah studi terdahulu yang dibiayai oleh Rockefeller Foundation, yang menguji implikasi dari kenaikan cukai terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur dan pertanian. Laporan ini disusun oleh Abdillah Ahsan dan Nur Hadi Wiyono, dengan bantuan teknis Dr. Hana Ross dari American Cancer

Society.3 Sebagian besar dari data dasar disusun dari sumber dan kutipan

dalam “The Tobacco Sourcebook”, sebuah pengumpulan data selama bertahun-tahun tentang semua aspek konsumsi dan produksi tembakau, dipublikasikan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2004.

Bapak Frans Rupang, Direktur Cukai, serta Bapak Soenaryo dari Direktorat Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan bertindak sebagai nara sumber yang sangat penting dalam penyempurnaan laporan ini. Kami mengucapkan terimakasih atas komentar dan saran dari Prof. Dr. Teh-Wei Hu dari School of Public Health, University California, Berkeley; Dr. Suahasil Nazara dari Lembaga Demografi (LD) FEUI; Dr. Ari Kuncoro dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI; Dr. Frank Chaloupka, University of Chicago; Dr. Michael Ong dari University of California, Los Angeles; Dr. Anne-Marie Perucic, dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) Jenewa; dan Dr. Tom Frieden serta Dr. Kelly Henning, Bloomberg Philanthropies. Selain itu, Burke Fishburne dari WHO, WPRO juga telah memberikan masukan yang bermanfaat. Dr. Widyastuti Soerojo, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) yang telah menyediakan data prevalensi, dan Dr.Ayda Yurekli, Research for International Tobacco Control (RITC), yang menyediakan data perbandingan antar negara tentang harga dan pajak. Kami juga berterimakasih kepada Bloomberg Philanthropies yang telah mendanai kegiatan ini. Pengelolaan

(4)

1 Abdillah Ahsan, Nur Hadi Wiyono, Diahhadi Setyonaluri, Dewi Prihastuti, Muhammad

Halley Yudistira, Muhammad Sowwam. “Tobacco Control Country Study, Indonesia”, Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia, 2007.

2 Abdillah Ahsan, Nur Hadi Wiyono, Diahhadi Setyonaluri, Dewi Prihastuti, Muhammad

Halley Yudhistira, Muhammad Sowwam, Implementation of tobacco tax, tobacco control country study, Indonesia,2007.

3 Abdillah Ahsan, dan Nur Hadi Wiyono, ”The Impact Analysis of Higher Cigarette Price to

Employment in Indonesia”, Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia 2007.

dana dilakukan oleh The International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases (The UNION) dan IAKMI. Kami berterimakasih kepada Diahhadi Setyonaluri atas penerjemahan laporan ini.

Para penulis bertanggung jawab untuk semua kesalahan dan kekurangan dalam penulisan laporan ini.

(5)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Rendahnya harga rokok, pertumbuhan penduduk, kenaikan pendapatan rumah tangga, dan mekanisasi industri rokok kretek ikut menyumbang meningkatnya konsumsi tembakau yang signifikan di Indonesia sejak tahun 1970-an. Sebagian besar perokok di Indonesia (88 persen) mengkonsumsi rokok kretek yaitu rokok yang terdiri dari tembakau yang dicampur cengkeh. Angka prevalensi perokok adalah 34 persen dimana prevalensi perokok laki-laki 63 persen. Konsumsi per kapita penduduk dewasa naik sebesar 9,2 persen antara tahun 2001 dan 2004. Dengan tenggang waktu lebih dari 25 tahun antara saat pertama mulai merokok sampai dengan munculnya berbagai penyakit kronis, maka dampak buruk akibat konsumsi rokok baru disadari saat ini. Lebih dari separuh dari 57 juta perokok di Indonesia akan meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh rokok.

“Mayoritas perokok (88 persen) mengkonsumsi rokok kretek “

Akibat informasi yang tidak sempurna yang dimiliki oleh konsumen tentang risiko kesehatan dan efek adiktif (kecanduan) menyebabkan terjadinya kegagalan pasar pada konsumsi tembakau. Sebanyak 78 persen dari perokok Indonesia mulai merokok sebelum usia 19 tahun. Nikotin bersifat sangat adiktif (mencandu), hal ini ditunjukkan oleh perokok usia di bawah 15 tahun, dimana 8 dari 10 diantaranya gagal dalam usahanya untuk berhenti merokok. Tidak seperti barang konsumsi adiktif lainnya yang ilegal, konsumen rokok secara terus menerus dihadapkan pada gencarnya iklan yang mempromosikan rokok sebagai sesuatu yang umum diterima di lingkungan sosial. Cukai rokok berperan penting dalam menjaga tingginya harga rokok untuk mencegah anak-anak dan orang dewasa yang belum merokok agar tidak mulai merokok, yang mengakibatkan kecanduan seumur hidup.

“Lebih dari 97 juta penduduk Indonesia yang tidak merokok terpapar asap rokok secara terus-menerus” Merokok menyebabkan timbulnya biaya bagi mereka yang tidak merokok dan masyarakat pada umumnya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menyembuhkan penyakit yang terkait dengan konsumsi rokok mencapai Rp 2,9 triliun sampai Rp11 triliun per tahun (US$ 319 juta – US$ 1,2 milyar). Selain itu, asap rokok bersifat karsinogenik (penyebab kanker). Lebih dari 97 juta penduduk Indonesia yang tidak merokok terpapar asap rokok orang lain . Rumah tangga perokok menghabiskan 11,5 persen dari

(6)

total pengeluaran bulanan untuk membeli rokok. Tingginya pengeluaran tersebut memiliki dampak serius terhadap kesejahteraan. Hasil studi pada masyarakat miskin perkotaan menyimpulkan bahwa rumah tangga yang kepala keluarganya merokok akan mengalihkan pengeluarannya dari makanan ke rokok dan meningkatkan prevalensi kurang gizi pada anak-anaknya.

“Separuh dari 57 juta perokok di Indonesia saat ini akan meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Hampir 80 persen perokok mulai merokok sebelum

umur 19 tahun”

Undang-undang cukai No. 39 tahun 2007 menetapkan bahwa cukai berfungsi untuk mengurangi konsumsi dan mengendalikan distribusi produk tembakau karena produk tersebut berkibat buruk bagi kesehatan. Namun dalam prakteknya, faktor utama yang diperhatikan ketika menetapkan tarif cukai tembakau adalah target penerimaan pemerintah tahunan. Sistem ini membuat harga produk tembakau menjadi lebih terjangkau sejak tahun 1980-an, dan mengakibatkan prevalensi merokok diantara anak-anak meningkat drastis. Harga dan tarif cukai rokok di Indonesia lebih rendah dibandingkan harga dan tarif cukai rokok di negara lain. Harga riil rokok di Indonesia relatif stabil sejak tahun 1980-an sehingga harga rokok menjadi lebih terjangkau dibandingkan harga barang lainnya. Tarif cukai saat ini (37 persen dari harga jual) masih rendah dibandingkan standar global yaitu 70 persen dan tarif tersebut sebenarnya masih di bawah tarif maksimum menurut undang-undang (57 persen). Road map Industri Rokok yang dikeluarkan oleh pemerintah dimaksudkan untuk memberi pedoman tentang kebijakan cukai tembakau. Akan tetapi, hal itu dapat mengakibatkan dampak kesehatan yang lebih buruk karena mendorong konsumsi yang lebih tinggi. Salah satu tujuan dari road map adalah untuk menciptakan masyarakat yang sehat melalui pengurangan kadar nikotin dan tar pada fase terakhir (2015-2020). Namun, tidak ada bukti bahwa pengurangan kadar nikotin memiliki efek positif terhadap kesehatan.

“Enam perusahaan rokok menyumbang 88 persen penerimaan negara dari cukai tembakau”

Permintaan terhadap produk tembakau dipengaruhi oleh perubahan harga. Kenaikan tarif cukai sampai dengan standar baku global sebesar 70 persen dari harga jual dapat mencegah antara 2,5 juta sampai 5,9 juta kematian yang berhubungan dengan rokok. Sementara itu, permintaan produk tembakau bersifat inelastic, atau persentase berkurangnya permintaan

(7)

lebih kecil daripada persentase kenaikan harga. Dengan dampak yang relatif kecil terhadap penurunan permintaan, kenaikan cukai tersebut akan memberikan kontribusi terhadap tambahan penerimaan negara sebesar Rp 23,8 triliun sampai Rp. 75,8 triliun (US$ 2,6 sampai US$ 8,3 milyar). Dampak kebijakan perubahan harga dan cukai produk tembakau terhadap kesehatan dan penerimaan negara tergantung pada struktur pasar, respon industri dan konsumen terhadap peningkatan harga, dan implementasi cukai tembakau. Struktur cukai tembakau sendiri cukup rumit. Beberapa faktor yang menentukan pengenaan cukai tembakau adalah jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan skala produksi. Struktur ini berkembang untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang terkadang saling bertentangan, tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga perlindungan tenaga kerja dan pengembangan industri kecil. Kebijakan yang ada umumnya dibuat untuk melindungi industri kecil, dengan mengurangi permintaan produk dari perusahaan besar melalui peningkatan harga jual eceran dan tarif cukai untuk perusahaan besar.

“Sekitar 71 persen pangsa pasar dikuasai oleh tiga perusahaan”

Dari sisi penerimaan negara, cukai tembakau lebih mudah dikelola, karena enam perusahaan rokok besar berkontribusi sekitar 88 persen pada total penerimaan cukai tembakau. Tetapi, industri pengolahan tembakau melakukan beberapa cara untuk menyiasati penerapan cukai berjenjang berdasarkan skala produksi perusahaan. Tarif cukai berjenjang memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk memperoleh cukai yang lebih rendah dengan cara: a). membatasi produksinya sehingga masuk dalam kelompok cukai yang lebih rendah, b). membuat atau membeli perusahaan yang lebih kecil, c). memberikan kontrak produksi kepada perusahaan kecil. Adanya penjenjangan produksi dalam sistem cukai tembakau memberikan ruang bagi perusahan rokok untuk secara sah (legal) menghindari pembayaran tingkat cukai yang tertinggi. Hal ini secara nyata mengurangi penerimaan negara dari cukai tembakau dan menghambat tercapainya tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial. Selain itu, industri rokok mempunyai kekuatan untuk melobi pembuat kebijakan karena 71 persen pangsa pasar dikuasai tiga perusahaan. Di masa lampau, perusahaan bersedia menanggung kenaikan cukai tembakau dan mengurangi tambahan keuntungan untuk mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar. Perlu dicatat bahwa peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04 tahun 2007 yang efektif berlaku per 1 Januari 2008 memberlakukan cukai spesifik

(8)

yang hampir seragam untuk seluruh produk tembakau. Hal ini merupakan perubahan yang cukup besar dari sistem cukai sebelumnya. Dampak perubahan peraturan ini harus diawasi secara terus-menerus.

“Industri rokok berkontribusi kurang dari 1 persen terhadap total tenaga kerja nasional sejak tahun 1970-an”

Perubahan cukai dan harga tembakau tidak diharapkan memiliki dampak yang besar terhadap pertanian tembakau dan cengkeh karena beberapa alasan. Kurang dari 2 persen petani Indonesia terlibat dalam pertanian tembakau, dan sebagian besar petani tembakau dan petani cengkeh terkonsentrasi di daerah geografis tertentu. Baik petani tembakau maupun petani cengkeh telah melakukan diversifikasi tanaman dan telah terlibat di sektor pertanian lain yang bukan tembakau atau pada kegiatan non-pertanian sebagai bagian dari upaya meningkatkan pendapatan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pertanian tembakau mencapai masing-masing 1,8 persen dan 0,5 persen dari total tanah pertanian yang digarap. Industri pengolahan tembakau lebih merupakan kepentingan di tingkat lokal dibanding dengan tingkat nasional. Berlawan dengan persepsi umum, industri tembakau bukanlah penyerap tenaga kerja terbesar di tingkat nasional. Menurut BPS, industri ini hanya menduduki peringkat ke-48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Kontribusi industri rokok terhadap total tenaga kerja sektor industri terus menurun secara tajam dari 28 persen pada era 1970-an menjadi kurang dari 6 persen saat ini, dan kontribusi pada total tenaga kerja tetap berada di bawah 1 persen sejak tahun 1970-an. Jumlah perusahaan rokok berfluktuasi dari waktu ke waktu, tetapi distribusi secara geografis terus terkonsentrasi di 14 kabupaten sepanjang tahun 1960 dan 1990. Mayoritas perusahaan rokok ini berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana diperkirakan perusahaan tembakau berkontribusi masing-masing 2,0 persen dan 2,9 persen dari total penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut.

Dalam mengestimasi dampak ekonomi dari menurunnya pengeluaran untuk rokok perlu dipertimbangkan pula bagaimana pengeluaran tembakau dapat direalokasi untuk pengeluaran barang lainnya atau untuk investasi. Penelitian yang dilakukan dengan membuat simulasi dampak kenaikan cukai tembakau sebanyak dua kali lipat melaporkan adanya kenaikan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,3 persen (281.135 pekerja). Hal ini terutama disebabkan karena pertanian dan industri tembakau tidak menempati peringkat yang cukup tinggi berdasarkan output ekonomi, tenaga kerja, dan upah. Pengeluaran rumah tangga untuk tembakau cukup

(9)

besar. Bila pengeluaran tersebut dialihkan ke sektor ekonomi yang lebih produktif, hal ini akan mengakibatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

“Cukai spesifik yang menerapkan tarif yang sama per batang rokok lebih efektif dalam mendukung upaya pengurangan

konsumsi rokok”

“ Penerapan tingkat cukai yang sama dengan standar global sebesar 70 persen dari harga jual melalui cukai spesifik lebih

efektif daripada ad valorem, dan akan memberikan dampak yang besar bagi kesehatan”

Dari penelitian ini, dapat ditarik lima rekomendasi. Pertama, laporan ini merekomendasikan penyederhanaan sistem cukai tembakau dengan menghapuskan sistem penjenjangan berdasarkan skala produksi (production tier), meningkatkan tarif cukai untuk semua produk tembakau, dan penyesuaian cukai spesifik secara otomatis terhadap tingkat inflasi. Cukai spesifik yang memberlakukan cukai yang sama per batang rokok lebih efektif dalam menekan konsumsi rokok. Peningkatan cukai yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi perlu lebih tinggi dari tingkat inflasi dan cukup besar untuk mengimbangi kenaikan pendapatan. Kedua, laporan ini menganjurkan penerapan cukai sampai batas tertinggi sesuai dengan Undang-Undang Cukai No. 39 tahun 2007. Hal ini perlu diterapkan untuk membalikkan kecenderungan kemampuan membeli rokok serta mulai mengatasi dampak berbagai penyakit yang berhubungan dengan tembakau. Penerapan tingkat cukai yang sama dengan standar global sebesar 70 persen melalui cukai spesifik daripada ad valorem, dan akan memberikan dampak yang besar bagi kesehatan. Ketiga, penelitian ini merekomendasikan penelaahan kembali apakah sistem cukai rokok yang bertujuan untuk menciptakan kesempatan kerja lebih efektif dibandingkan program atau kebijakan lain. Keempat, penelitian ini juga merekomendasikan bahwa tarif cukai tembakau harus ditetapkan pada tingkat yang dapat mengkoreksi kegagalan pasar. Hal ini terjadi akibat langkanya atau tidak cukupnya informasi tentang dampak buruk dari konsumsi produk tembakau dan biaya dampak merokok yang sebenarnya ditanggung oleh masyarakat.

Akhirnya, laporan ini merekomendasikan bahwa penyisihan penerimaan cukai sebesar 2 persen diarahkan secara efektif untuk membantu pihak-pihak yang terkena pengaruh negatif dari penurunan konsumsi tembakau dan untuk menerapkan program pengendalian tembakau secara lebih menyeluruh.

(10)

DAFTAR ISI

hal Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif ... Daftar Isi ... Daftar Tabel ... Daftar Gambar ... Daftar Lampiran ... Daftar Istilah ... 1. Latar Belakang

1.1. Tujuan dan Ruang Lingkup ... 1.2. Sumber Data ... 1.3. Kelemahan dan Keterbatasan Data ...

2. Pendahuluan

2.1. Prevalensi Perokok dan Beban Penyakit ... 2.2. Hubungan antara Kesehatan dan Produktifitas Ekonomi 2.3. Kegagalan Pasar: Kekurangan Informasi tentang Risiko

dan Kecanduan, dan Biaya Finansial dan Fisik

yang Dialami oleh Non-perokok dan Masyarakat ... 2.4. Penciptaan Penerimaan Pemerintah:

Pengukuran Cukai dan Harga Rokok ...

3. Informasi Cukai dan Harga Tembakau

3.1. Struktur Cukai Tembakau ... 3.2. Cukai dan Harga Rokok ... 3.3. Kemampuan Masyarakat Membeli Produk Tembakau .... 3.4. Catatan tentang Sistim Cukai Ad Valorem

(11)

4. Studi Permintaan Rokok

4.1. Studi-studi yang Menggunakan Data Agregat ... 4.2. Studi-studi yang Menggunakan Data Rumah Tangga ... 4.3. Dampak Kenaikan Harga Tembakau pada

Rumah Tangga Miskin ... 4.4. Dampak Kenaikan Cukai Rokok pada Konsumsi

dan Penerimaan Pemerintah ...

5. Struktur Pasar Industri Tembakau dan Tenaga Kerja

5.1. Perkebunan Tembakau ... 5.2. Struktur Pasar Industri Rokok ... 5.3. Industri Pengolahan Tembakau ... 5.4. Penelitian yang Mengevaluasi Dampak Cukai

Terhadap Lapangan Kerja ...

6. Administrasi Cukai Produk Tembakau

6.1. Penerimaan Cukai Rokok ... 6.2. Faktor Penentu Tarif Cukai Tembakau ... 6.3. Reaksi Industri terhadap Sistim Cukai Tembakau ... 6.4. Administrasi Cukai, Pemalsuan dan Penyelendupan ...

7. Kesimpulan dan Rekomendasi ... Lampiran ... Daftar Pustaka ...

(12)

DAFTAR TABEL

hal Tabel 2.1. Persentase Pengeluaran Total per bulan untuk Tembakau,

Makanan, Kesehatan dan Pendidikan

di Rumah Tangga Perokok, Menurut Kuantil, 2005 ... Tabel 2.2. Prevalensi Perokok Laki-laki menurut Kelompok Umur

dan Persentase Perubahannya, 1995 dan 2004 ... Tabel 2.3. Ringkasan Global Youth Tobacco Surveys di Indonesia

untuk kelompok umur 13-15 tahun (Kelas 1-3 SMP), 2004-2006

Tabel 3.1. Tarif Cukai Tembakau Produksi dan Konsumsi Domestik, 2007 dan 2008

Tabel 3.2. Perubahan Penggolongan Cukai Tembakau untuk

Produksi dan Konsumsi Domestik, 1996-2007 ... Tabel 3.3. Tarif Cukai Rokok Terhadap Harga Jual dan HJE

pada Tiga Jenis Rokok, 2005... Tabel 3.4. Pengeluaran per bungkus untuk Tiga Jenis Rokok

menurut Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga, 2005 ... Tabel 4.1. Simulasi Dampak Kenaikan Cukai Pada Pengeluaran

untuk Rokok Jenis SKT menurut Desil Pengeluaran

Rumah Tangga ... Tabel 4.2. Simulasi Dampak Naiknya 10 persen Cukai pada

Konsumsi dan Penerimaan Cukai ... Tabel 4.3. Kohor Perokok menurut Kelompok Umur, 2008, dan

Proporsi Kematian yang Terhindarkan Karena

Berhenti Berokok ... Tabel 4.4. Dampak Kenaikan Cukai Tembakau terhadap Kematian

karena Rokok dan Penerimaan Negara ... Tabel 5.1. Produksi Tembakau, Rasio Ekspor dan Impor Terhadap

Produksi Domestik, dan Nilai Ekspor Neto,1995-2005... Tabel 5.2. Pangsa Pasar, Perusahaan Rokok Besar, 1979-2005... Table 5.3. Pangsa Pasar Merek Rokok (%), 2003 ...

(13)

Tabel 5.4. Produksi Rokok, Rasio Impor dan Ekspor, dan Nilai Ekspor Rokok sebagai Persentase dari Nilai

Total Ekspor ... Tabel 5.5. Kontribusi Produksi Rokok dan Manufaktur Tembakau

Terhadap Lapangan Kerja Langsung: Membandingkan Estimasi dari Berbagai Sumber ... Tabel 6.1. Proporsi Penerimaan Cukai Berdasarkan Jenis Rokok, dan

Perubahan Tarif Cukai untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), 1996-2007

Tabel 6.2. Total Produksi dan Total Penerimaan Cukai untuk SKM dan SKT Berdasarkan Tingkat Produksi, 2000 dan 2005 Tabel 6.3. Perubahan pada Tingkat Produksi Rokok Djarum sebagai

Reaksi Terhadap Perubahan Tarif Cukai Berdasarkan Tingkat Produksi, 1988-1992

Tabel 6.4. Jumlah Perusahaan Rokok Berdasarkan Skala Produksi, dan Kontribusinya pada Penerimaan Cukai, 2005-2006

(14)

D a f t a r G a m b a r

hal

Gambar 3.1. Proporsi Alokasi Biaya Produksi untuk Jenis Rokok SKT dan SKM Produksi Gudang Garam, Proyeksi untuk Tahun 2005

Gambar 3.2. Perbandingan Harga Nominal dan Harga Riil Tembakau, 1970-2005

Gambar 3.3. Perbandingan Harga Rokok Riil Dengan Per Kapita Tahunan Penjualan Domestik 1970-2005

Gambar 3.4. Keterjangkauan Produk Tembakau, 1980-2000 Gambar 3.5. Harga Rokok Per Pak Dan Persen Cukai dari Harga,

2004-2005

Gambar 5.1. Produksi Rokok, 1960-2005

Gambar 6.1. Persentase Penerimaan Cukai Tembakau Terhadap Total Penerimaan Pemerintah dan Total Penerimaan Pajak, Indonesia, 1979-2007

(15)

Lampiran 2.1. Angka Prevalensi Merokok Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin. 1995, 2001, 2004

Lampiran 2.2. Angka Prevalensi Merokok Laki-laki dan Perempuan menurut Propinsi dan Jenis Daerah, 1995, 2001, 2004

Lampiran 2.3. Angka Prevalensi Merokok menurut Tingkat Pendidikan dan Pengeluaran, dan Jenis Kelamin, 1995, 2001 and 2004

Lampiran 2.4. Persentase Perokok berdasarkan Preferensi terhadap Jenis Rokok, menurut Kelompok Usia Lampiran 2.5. Persentase Pengeluaran Bulanan Rumah Tangga

berdasarkan Jenis Pengeluaran dan Jenis Rumah Tangga (Perokok dan Non-perokok), 2005

Lampiran 2.6. Pengeluaran Tembakau dan Sirih sebagai Proporsi terhadap Total Pengeluaran Rumah Tangga, 1995-2005

Lampiran 2.7. Usia rata-rata mulai merokok untuk perokok kini (dalam tahun)

Lampiran 2.8. Persentase Perokok Kini menurut Kelompok Usia Pertama Merokok

Lampiran 2.9. Prevalensi Merokok diantara Laki-laki, 1995, 1997, 2000

Lampiran 3.1. Formulir kalkulasi Harga Jual Eceran (HJE) untuk produk tembakau domestik (CK-21A)

Lampiran 3.2. Perubahan Tarif Cukai Rokok berdasarkan Jenis Produk dan Skala Produksi, 1996-2007

Lampiran 3.3. Skala Cukai Tembakau untuk Net Eksportir (jumlah ekspor lebih tinggi dari penjualan domestik) (A), dan Skala Pajak Produk Tembakau Impor (B)

DAFT AR LAMP IRAN

(16)

Lampiran 3.4. Formulir kalkulasi Harga Jual Eceran untuk Produk Tembakau Impor (CK-21B)

Lampiran 5.1. Peringkat Negara Produsen Daun Tembakau, 2005 Lampiran 5.2. Produksi Daun tembakau per tahun, Kuantitas Ekspor

dan Impor Daun, dan Rasio Impor Ekspor

Lampiran 5.3. Persentase Area Penanaman Tembakau terhadap Total Lahan, Indonesia, 2000-2005

Lampiran 5.4. Persentase Area Penanaman Tembakau terhadap Lahan Total menurut Propinsi, 2005

Lampiran 5.5. Proporsi Petani Tembakau terhadap Total Tenaga Kerja, 1996-2005

Lampiran 5.6. Produksi Cengkeh, Rasio Ekspor dan Impor, dan Nilai Net Ekspor, 1990-2005

Lampiran 5.7. Rangkuman Biaya, Penerimaan, dan Laba (dalam Rp) dari Tembakau dibandingkan dengan Hasil Lahan Lain dalam Tingkat Input Tinggi dan Rendah, Jawa Tengah, Indonesia.

Lampiran 5.8. Pangsa Pasar 8 Perusahaan Rokok 1979, 1989, 1994 (%)

Lampiran 5.9. Pangsa Pasar Industri Kretek dan Rokok Putih, 1995-1998

Lampiran 5.10. Produksi Rokok Tahunan, Kuantitas Ekspor dan Impor Daun Tembakau, dan Rasio Ekspor Impor

Lampiran 5.11. Jumlah Perusahaan Manufaktur Tembakau, Skala Industri berdasarkan Jumlah Pekerja, Indonesia, 2004 Lampiran 5.12. Lapangan Kerja Produksi Rokok, Persentase terhadap

Lapangan Kerja Manufaktur dan Total

Lampiran 5.13. Peringkat Kontribusi Semua Sektor terhadap Lapangan Kerja (Tabel Input-Output, BPS, dalam Ahsan 2007) Lampiran 5.14. Jumlah Perusahaan Rokok Kretek dan Rokok Putih,

1961-2004

(17)

Lampiran 5.16. Lapangan Kerja Sektor Manufaktur Tembakau di Beberapa Propinsi

Lampiran 6.1. Persentase Penerimaan Cukai terhadap Total

Penerimaan Pemerintah dan terhadap Total Penerimaan Pajak, 1979-2006

Lampiran 6.2. Proporsi Penerimaan Cukai berdasarkan Jenis Rokok, 1979-2005

Lampiran 6.3. APBN 2008 (miliar rupiah)

Lampiran 6.4. Perubahan Regulasi Tembakau dan RUU, Indonesia, 1999-2007

Lampiran 6.5. Perbandingan Ukuran Perusahaan menurut BPS dan Direktorat Cukai

(18)

DAFTAR ISTILAH

AIDS : Almost Ideal Demand System

ASEAN : Association of South-East Asia Countries BAT : British American Tobacco

BKF : Badan Koordinasi Fiskal BPS : Badan Pusat Statistik

CRT : Cerutu

FAO : Food and Agricultural Organization

FCTC : Framework Convention on Tobacco Control FTE : Full Time Equivalent

GYTS : Global Youth Tobacco Survey

HJE : Harga Jual Eceran

HPTL : Hasil Produk Tembakau lainnya

IAKMI : Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia IFLS : Indonesia Family Life Survey

IHK : Indeks Harga Konsumen

IHT : Indutri Hasil Tembakau

KLB : Klobot

KLM : Klembak Menyan

KOMNAS Anak : Komisi Nasional Perlindungan Anak MDGs : Millenium Develoment Goals

NA : Tidak tersedia

PDB : Produk Domestik Bruto PMK : Peraturan Menteri Keuangan PPN : Pajak Pertambahan Nilai

RITC : Research for International Tobacco Control SAKERTI : Survei Keadaan Rumah Tangga Indonesia

(19)

SIDS : Sudden Infant Death Syndrome SKM : Sigaret Kretek Mesin

SKT : Sigaret Kretek Tangan SKTF : Sigaret Kretek Tangan Filter SPM : Sigaret Putih Mesin

STTC : Sumatra Tobacco Trading Company SUSENAS : Survei Sosial-Ekonomi Nasional

Then UNION : The International Union Against Tobacco and Lung Diseases

TIS : Tembakau Iris dan Kunyah

USAID : United States Agency for International Development

VAT : Value Added Tax

WHO : World Health Organization WPRO : Western Pacific Regional Office

(20)

B

A

B

1

(21)
(22)

1.1. Tujuan dan Ruang Lingkup

Laporan ini bertujuan untuk mengulas secara sistematis kajian-kajian yang telah ada dan menyajikan sebuah laporan yang komprehensif tentang aspek-aspek ekonomi tembakau di Indonesia. Pertama akan dijelaskan mengenai pentingnya kajian atas ekonomi tembakau dan mengapa pemerintah perlu mengintervensi konsumsi tembakau. Dalam upaya memenuhi target penerimaan negara, intervensi pasar tembakau yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya bertujuan untuk (1) menunjukkan adanya beban akibat penyakit yang berkaitan dengan konsumsi tembakau, (2) mengurangi dampak buruk konsumsi tembakau pada produktivitas dan kemiskinan, (3) mengkoreksi kegagalan pasar terkait dengan kurangnya informasi kesehatan dan efek adiktif tembakau khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Aspek sosial dan demografis dari konsumsi tembakau juga didiskusikan dalam bab dua.

Bab tiga menjelaskan sejarah dan kondisi masa kini tentang struktur cukai dan harga tembakau di Indonesia, serta membandingkan harga rokok, cukai, dan kemampuan daya beli antarnegara. Bab empat mengulas penelitian-penelitian sebelumnya tentang permintaan terhadap rokok, baik yang menggunakan data agregat maupun data rumah tangga. Bab ini juga menyajikan berbagai hasil estimasi dampak kenaikan cukai terhadap pengeluaran rumah tangga untuk tembakau, konsumsi rokok, kematian akibat tembakau, dan penerimaan pemerintah dari cukai tembakau. Bab lima mengulas tentang struktur industri rokok, pertanian dan pengolahan tembakau, produksi, perdagangan dan ketenagakerjaan. Bab ini juga menyajikan berbagai hasil studi dampak kenaikan cukai tembakau terhadap tenaga kerja dan perekonomian. Kemudian pada bab enam diuraikan tentang (1) penerimaan cukai tembakau, (2) faktor-faktor yang menentukan penerimaan cukai tembakau, (3) aspek-aspek pelaksanaan penerapan cukai tembakau, (4) reaksi kalangan industri terhadap kenaikan cukai, dan (5) tindak pemalsuan dan penyelundupan. Laporan ini diakhiri dengan rekomendasi kebijakan.

“Studi ini bertujuan untuk mengulas secara sistematis berbagai hasil penelitian dan menyajikan laporan yang

komprehensif tentang aspek ekonomi tembakau di Indonesia”

(23)

1.2. Sumber Data

Prevalensi dan tingkat konsumsi tembakau dalam laporan ini menggunakan hasil survei nasional berskala besar yang representatif terhadap seluruh penduduk, termasuk Survei Sosial-Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Survei Keadaan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) (Indonesia Family Life Survey-IFLS). Berbagai data terbaru yang mendukung kajian ini meliputi data konsumsi dan pengeluaran untuk tembakau di tingkat rumah tangga, umur pertama kali merokok, ketenagakerjaan, dan pangsa pasar industri.1 Indeks

Harga Konsumen (IHK) untuk tembakau diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Tarif cukai dihitung untuk tiga jenis rokok utama (Sigaret Kretek Mesin—SKM, Sigaret Kretek Tangan—SKT, dan Sigaret Putih Mesin—SPM) berdasarkan data konsumsi dan harga di tingkat rumah tangga, data industri untuk produksi total menurut jenis rokok, sedangkan data mengenai penerimaan cukai menurut jenis rokok diambil dari data Direktorat Cukai. Untuk keperluan penulisan laporan ini dilaksanakan survei harga rokok pada tingkat pengecer dan penjual di Jakarta dan sekitarnya yang hasilnya diuraikan secara terpisah dari laporan ini.2 Sejarah perkembangan dan

kondisi terkini struktur harga dan cukai atas produk-produk tembakau diperoleh dari Surat Keputusan Menteri Keuangan yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tentang cukai produk tembakau. Angka-angka tentang penerimaan cukai diperoleh dari publikasi Departemen Keuangan. Nilai rupiah dalam laporan ini dikonversi ke dalam Dolar Amerika berdasarkan kurs tahun 2007 (kecuali yang diberi catatan).

Kami menyajikan rangkuman analisis-analisis sebelumnya tentang permintaan terhadap rokok dan simulasi dampak kenaikan cukai terhadap konsumsi dan penerimaan cukai. Tinjauan ini didasarkan atas publikasi makalah-makalah penelitian di Indonesia dan Asia Tenggara.3 Pertama,

“An Overview of the Tobacco Control Economic Literature and Evidence for Indonesia” yang dikerjakan oleh Research Triangle Institute termasuk tinjauan kritis terhadap hampir semua kajian yang disajikan dalam makalah tersebut. Kedua, “Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue” yang didukung oleh World Health Organization (WHO) dan Bank Dunia, yang menjelaskan tentang harga pada tingkat regional dan kebijakan cukai. Masing-masing kajian ini dikutip di catatan akhir laporan ini.

Struktur industri dan pangsa pasar dikumpulkan dari grup riset pasar dan publikasi sumber-sumber industri. Data-data terbaru tentang produksi pertanian, manufaktur dan perdagangan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Food and Agricultural Organization (FAO). Data ketenagakerjaan diperoleh dari BPS. Selain itu, dalam laporan ini juga dikutip dua studi yang mengkaji dampak perubahan cukai terhadap

(24)

ketenakerjaan, pertama adalah studi yang diterbitkan oleh United States

Agency for International Development (USAID)4, dan kedua adalah studi

yang menganalisis implikasi kenaikan cukai terhadap ketenagakerjaan. Studi ini menggunakan data survei rumah tangga nasional termasuk SUSENAS dan publikasi hasil analisis input-output mengenai dampak kenaikan cukai tembakau terhadap kesempatan kerja. Studi tersebut merupakan pengembangan dan kelanjutan studi yang sudah dilakukan sebelumnya oleh Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.5

Dalam upaya melengkapi laporan ini dilakukan wawancara ke pejabat pemerintah di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Badan Koordinasi Fiskal (BKF), di Departemen Keuangan untuk mengumpulkan informasi mengenai sistem administrasi cukai tembakau dan penerapannya. Wawancara dilakukan oleh tim peneliti dari Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Temuan-temuan studi disarikan dalam laporan, dan rincian wawancara disajikan secara tersendiri .6

“Data tentang pemasaran dan periklanan tembakau sangat terbatas. Hal ini bisa menjadi topik menarik untuk studi selanjutnya, terutama mengenai pemasaran rokok di kalangan pemuda (youth)”

1.3. Kelemahan dan Keterbatasan Data

Data mengenai penyakit yang disebabkan konsumsi tembakau diperoleh dari studi-studi yang ada sebelumnya. Analisis yang lebih komprehensif tentang disease burden (beban kesakitan) dan biaya perawatan kesehatan merupakan fokus dari rencana penelitian terpisah yang akan didanai oleh U.S. National Institutes of Health Fogarty International Center (Universitas Indonesia dan University of California, Berkeley) pada tahun 2008. Penelitian lain juga telah direncanakan untuk menganalisis permintaan rokok di kalangan penduduk dewasa dan anak-anak, dan laporan ini hanya akan memfokuskan pada studi yang telah dilakukan di Indonesia dan memberikan hasil yang konsisten. Laporan ini tidak membahas secara komprehensif aspek-aspek kemiskinan yang terkait dengan konsumsi tembakau. Karena aspek ini akan dijadikan perhatian utama dalam penelitian yang akan dilakukan di masa depan oleh Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Laporan ini juga tidak mencakup isu-isu pemasaran produk-produk tembakau. Keterbatasan data tentang pemasaran dan periklanan produk-produk tembakau menjadi alasan penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut di masa depan, terutama tentang kegiatan pemasaran yang banyak ditujukan untuk para remaja.

(25)

Catatan Akhir untuk Bab 1

1 A. Ahsan, et al. 2007a. Tobacco control country study. Lembaga Demografi, Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia.

2 A. Ahsan, et al. 2007b. An opportunistic survey of retail prices for cigarettes. Lembaga

Demografi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

3 H. Ross. 2005. An Overview of the tobacco control economic literature and evidence

for Indonesia, Open Society Institute and Research Triangle Park, E. Guindon, A-M Perucic, D. Boisclair. 2003. “Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue.” World Bank Health, Nutrition and Population Discussion Paper. Economics of Tobacco Control Paper No. 11.

4 S. Marks. 2003. Cigarette excise taxation in Indonesia, an economic analysis.

Partnership for Economic Growth, BAPPENAS and USAID.

5 A. Ahsan dan N.H. Wiyono. 2007. The Impact Analysis Of Higher Cigarette Price To

Employment In Indonesia. Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

6 A. Ahsan, et al. 2007c. Implementation of tobacco tax. Lembaga Demografi, Fakultas

(26)

B

A

B

2

(27)
(28)

Bab ini akan menjelaskan mengapa kajian ekonomi tembakau penting dan mengapa pemerintah perlu mengintervensi konsumsi tembakau. Selain untuk memenuhi target penerimaan negara, peran pemerintah dalam intervesi konsumsi tembakau adalah untuk (1) mengungkapkan beban penyakit yang disebabkan oleh konsumsi tembakau, (2) mengurangi dampak buruk konsumsi tembakau atas produktivitas dan kemiskinan, dan (3) mengkoreksi kegagalan pasar terkait dengan kurangnya informasi kesehatan dan efek adiktif, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Perokok umumnya adalah laki-laki atau 63 persen laki-laki merokok. Sebagian besar perokok mengisap jenis rokok kretek, dengan risiko kesehatan yang sama seperti produk-produk tembakau lainnya. Konsumsi tembakau mengakibatkan kematian paling sedikit 200.000 orang per tahun di Indonesia, dan mempunyai dampak buruk terhadap kesehatan seluruh organ tubuh manusia. Satu dari 8 orang yang meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok adalah non-perokok atau paling tidak sekitar 25.000 kematian adalah perokok pasif. Konsumsi rokok memberikan andil terhadap rendahnya produktivitas ekonomi akibat penurunan fungsi fisik, kapasitas paru-paru, dan tingkat kesakitan yang lebih tinggi. Kematian dini yang dialami oleh setengah dari jumlah perokok di Indonesia akan berdampak pada pengurangan jumlah relatif angkatan kerja, yang dalam jangka panjang berdampak penting terhadap ekonomi karena pengurangan penghasilan dan tingkat tabungan. Selain itu, pengeluaran rumah tangga untuk tembakau yang tinggi juga berdampak negatif terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga di Indonesia.

Kebijakan tarif cukai dan harga tembakau merupakan tindakan yang paling efektif untuk mengurangi tingkat kematian dan kesakitan yang terkait dengan konsumsi tembakau. Hal ini disebabkan karena permintaan terhadap produk-produk tembakau sangat responsif terhadap perubahan harga. Pada situasi yang sama, permintaan produk-produk tembakau bersifat inelastik, atau persentase penurunan permintaan lebih kecil dibandingkan persentase kenaikan harga. Dengan kata lain, para perokok akan tetap mengkonsumsi rokok meskipun harga relatif mahal. Dengan relatif kecilnya dampak permintaan terhadap kenaikan cukai secara keseluruhan, maka kenaikan cukai tembakau tersebut akan meningkatkan total penerimaan cukai pemerintah – terlepas dari penurunan volume penjualan rokok. Oleh karena itu, dengan tetap menjaga tingkat harga rokok yang tinggi melalui peningkatan cukai secara berkala, terbukti efektif memberikan dampak kesehatan yang positif dan peningkatan penerimaan pemerintah.

(29)

2.1. Prevalensi Perokok dan Beban Penyakit

Kepedulian tentang dampak kesehatan dan ekonomi dari konsumsi tembakau di Indonesia baru mendapat perhatian akhir-akhir ini. Hal ini merupakan cermin dari meningkatnya standar dan kualitas hidup secara umum. Pada era 1960an, angka harapan hidup hanyalah 38 tahun; berdasarkan proyeksi penduduk Bappenas, seorang bayi yang di lahirkan

pada tahun 2007 diharapkan hidup mencapai umur 69 tahun.1 Meskipun

tembakau telah lama dikonsumsi bersamaan dengan sirih dan cengkeh, namun konsekuensinya terhadap kesehatan belum banyak diketahui karena hanya beberapa orang yang mencapai umur panjang pada saat itu.

Mengisap asap tembakau mengantarkan nikotin dalam jumlah yang besar ke dalam otak secara cepat.2 Rokok kretek menggantikan sirih dan

tembakau kunyah yang banyak dikonsumsi laki-laki di pedesaan pada era awal pertengahan 1900-an, dan merokok kemudian menjadi semakin tersebar luas setelah mekanisasi rokok kretek filter pada tahun 1970-an.3

Produksi rokok kemudian meningkat dengan pesat dari 38 milyar batang di tahun 1971 menjadi lebih dari 220 millyar batang saat ini.4 Harga riil

rokok yang rendah ditambah dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, serta meningkatnya pendapatan rumah tangga berkontribusi pada kenaikan prevalensi dan konsumsi rokok. Diperlukan waktu hingga 25 tahun antara waktu pertama kali merokok sampai timbulnya gejala berbagai penyakit kronis. Oleh sebab itu, dampak buruk kesehatan yang disebabkan oleh peningkatan konsumsi rokok sejak tahun 1970-an sampai 1980-an baru mulai terlihat di masa sekarang ini. Data terbaru menunjukkan bahwa prevalensi perokok masih terus meningkat dari 27 persen di tahun 1995 menjadi 34 persen di tahun 2004.

“Tembakau adalah komposisi terbesar (60-70 persen) dari rokok kretek; sehingga rokok jenis ini memiliki risiko

(30)

Gambar 2.1. Prevalensi Perokok Laki-Laki Menurut Kuantil Pengeluaran, Tahun 1995 dan 2004

Sumber : Susenas

Hampir seluruh (97 persen) konsumen tembakau di Indonesia adalah perokok. Umumnya perokok didominasi oleh kaum laki-laki, meskipun tingkat prevalensi perokok perempuan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Sekitar 53 persen laki-laki merokok di tahun 1995 dan persentase ini meningkat menjadi 64 persen pada tahun 2004. Merokok di kalangan perempuan sering dikaitkan dengan stigma negatif di wilayah Jawa – Bali, meskipun hal ini mulai berubah seiring dengan perubahan target pemasaran kepada perempuan.1 Prevalensi perokok perempuan

meningkat dari 1,7 persen menjadi 4,5 persen pada periode yang sama (1995-2004, Lampiran 2.1). Persentase perempuan yang merokok jauh lebih tinggi di daerah luar Jawa-Bali; yakni 10 persen perempuan di Papua, dan 9 persen perempuan di Kalimantan Timur (Lampiran 2.2). Dengan menggunakan data kuintil pengeluaran rumah tangga pada tahun 1995, rumah tangga miskin memiliki tingkat prevalensi perokok yang lebih tinggi dibandingkan rumah tangga kaya (Gambar 2.1.). Namun, perbedaan antar kuintil telah berkurang drastis. Pada tahun 2004, prevalensi perokok diantara laki-laki dari rumah tangga kaya paling rendah tapi antar empat kuintil lain tidak berbeda banyak (Lampiran 2.3.).

Sebagian besar (88 persen) perokok mengkonsumsi rokok kretek, dan hanya sebagian kecil perokok di daerah pedesaan yang mengkonsumsi rokok linting dan tembakau pipa.2 Proporsi yang sedikit lebih tinggi

(31)

ditunjukkan oleh penduduk remaja (15 – 19 tahun) yang memilih mengkonsumsi rokok putih (21 persen) (Lampiran 2.4.). Rokok kretek mengandung 60 persen – 70 persen tembakau; sehingga, rokok ini akan memberikan risiko kesehatan yang sama seperti produk-produk tembakau

lainnya.3 Selain cengkeh, rokok kretek umumnya mengandung komponen

tambahan lainnya yang tercampur dalam “saus”-nya. Setelah dicampur dengan tembakau, komponen tambahan tersebut membantu menjaga rasa merk rokok tertentu selama kurun waktu yang lama. Meskipun secara umum tambahan yang biasa digunakan seperti ekstrak buah-buahan dan herbal diyakini cukup aman untuk dikonsumsi, namun dampak kesehatan yang mungkin ditimbulkan dari pembakaran dan asap yang dihisap belum diketahui secara pasti.4 Cengkeh mengandung eugenol yang dianggap

mempunyai kemungkinan karsinogen (penyebab kanker) bagi manusia; zat lain yang berbahaya bagi kesehatan yang ditemukan dalam rokok kretek termasuk coumarin dan anethole.5 Demikian juga halnya rokok putih juga

mengandung tambahan kimia untuk berbagai alasan, seperti melegakan tenggorokan, menghilangkan bau bagi non-perokok, dan meningkatkan

komponen nikotin yang menyebabkan ketagihan.6 Tidak seperti

produk-produk yang dikonsumsi dan obat-obatan lainnya, kandungan kimia dalam rokok (“saus” dan tambahannya) tidaklah diketahui dengan jelas baik oleh konsumen maupun badan pemerintah yang mengawasinya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM). Kandungan kadar tar dan nikotin tercatat yang ada saat ini tidak mencakup informasi yang rinci mengenai komponen tambahan atau dampak kesehatan yang ditimbulkan. Pengukuran tersebut saat ini hanya didasarkan pada pengujian metodologis yang seharusnya tidak digunakan lagi .7

Bukti-bukti dari penelitian yang dilakukan selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen perokok meninggal akibat

kecanduan.8 Di negara-negara berpendapatan tinggi kematian yang

berhubungan dengan konsumsi tembakau diproyeksikan menurun, namun di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah diduga akan meningkat pesat dari 3,4 juta hingga 6,8 juta per tahun.9 Sepertiga dari

kematian ini disebabkan oleh kanker, sedangkan kardiovaskular dan penyakit pernafasan kronis masing-masing berkontribusi sebesar 30 persen. Proyeksi tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2015 merokok akan membunuh manusia 50 persen lebih banyak dari kematian akibat HIV/ AIDS, dan berkontribusi pada 10 persen dari semua kematian secara umum. Hasil perkiraan menunjukkan bahwa konsumsi tembakau menyebabkan sampai 200.000 kematian setiap tahunnya di Indonesia.10 Seperti perkiraan

global, penyebab utama kematian di Indonesia yang terkait dengan konsumsi tembakau adalah penyakit jantung, stroke, kanker, penyakit

(32)

pernafasan khususnya chronic obstructive pulmonary disease (penyakit paru obstruktif kronik).11 Berbagai temuan dan penelitian yang ada

menunjukkan bahwa tembakau mengakibatkan dampak buruk bagi

kesehatan semua organ tubuh.12

Asap rokok yang diisap oleh non perokok (perokok pasif) bersifat karsinogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia.12 Asap rokok

membunuh satu non-perokok dari setiap 8 orang yang meninggal akibat

merokok.13 Beberapa penelitian menemukan peningkatan risiko penyakit

yang serius disebabkan terpapar oleh asap rokok. Perempuan non-perokok yang terpapar pada asap rokok di lingkungan rumah memiliki peningkatan risiko mengidap kanker paru-paru sebesar 25 persen, dimana semakin lama durasi terpapar akan meningkatkan risiko tersebut.14 Penelitian di

Indonesia menunjukkan bahwa perempuan yang bersuamikan perokok mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengidap kanker paru-paru dibandingkan perempuan yang suaminya tidak merokok.15 Hasil penelitian

lainnya menunjukkan terdapat peningkatan risiko terkena penyakit jantung akibat terpapar asap rokok antara 23 hingga 25 persen.16 Bahkan tingkat

paparan yang rendah akan meningkatkan risiko serangan jantung dan berbagai penyakit jantung.17 Juga telah dilaporkan adanya penurunan

yang signifikan dari coronary flow velocity reserve (kecepatan aliran darah) pada non-perokok setelah 30 menit terpapar asap rokok, mengakibatkan menurunnya fungsi endothelial sehingga terkena penyakit-penyakit kardiovaskuler.18 Hal ini menunjukkan walaupun seseorang

terpapar asap rokok dalam waktu pendek dapat menghasilkan efek negatif terhadap kesehatan dalam jangka panjang. Lebih dari 97 juta non-perokok di Indonesia secara rutin terpapar pada asap rokok .19

Paparan terhadap asap rokok akan menimbulkan penyakit-penyakit serius pada anak-anak, termasuk risiko tinggi terkena sudden infant death syndrome (SIDS/ sindroma kematian bayi mendadak), infeksi saluran pernafasan akut, penyakit telinga, dan asma akut.20 Dari anak-anak usia

sekolah di Jakarta dan Jawa, terdapat 76 persen sampai 82 persen terpapar asap rokok di tempat umum.21 Sekitar 70 persen anak-anak Indonesia di bawah usia 15 tahun secara teratur terpapar sebagai perokok pasif.22 2.2. Hubungan antara Kesehatan dan Produktivitas Ekonomi

Berdasarkan teori yang menyatakan bahwa kesehatan merupakan

bentuk modal sumber daya manusia,23 Bloom dan Canning menjelaskan

empat cara kesehatan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi.24 Pertama,

(33)

pada kemampuan bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang, lebih sedikitnya hari-hari absen dari pekerjaan karena sakit, dan produktifitas yang tinggi baik di tempat kerja maupun di sekolah. Kedua, individu yang sehat memiliki umur harapan hidup yang lebih lama. Hal ini memberi insentif bagi investasi di bidang kesehatan, pendidikan, dan bentuk modal manusia lainnya. Ketiga, usia hidup yang panjang mengarah pada tingkat tabungan pensiun yang semakin membesar selama masa kerja. Investor asing akan tertarik pada perekonomian yang memiliki tenaga kerja yang sehat. Keempat, penduduk yang lebih sehat berdampak pada penurunan jumlah anak yang diinginkan karena mortalitas rendah. Perubahan dari tingkat mortalitas dan fertilitas yang tinggi ke tingkat yang rendah mengakibatkan meningkatnya proporsi penduduk usia kerja – sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi.

Kesehatan yang baik berkontribusi pada kinerja ekonomi yang baik, demikian pula sebaliknya. Kesehatan yang buruk dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus tembakau, merokok dapat menurunkan kekuatan fisik dan kemudian mengurangi kemampuan paru-paru. Selain menimbulkan dampak jangka panjang yang serius, konsumsi tembakau dapat mengurangi fungsi kekebalan tubuh, yang mengarah pada tingkat infeksi umum yang lebih tinggi di kalangan perokok.25 Prevalensi

perokok laki-laki di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (67 persen di daerah pedesaan dan 59 persen di daerah perkotaan, Lampiran 2.2). Menurunnya fungsi fisik di daerah pedesaan cenderung akan memiliki dampak penting terhadap perekonomian setempat yang sangat tergantung pada sektor pertanian atau tenaga kerja fisik. Hilangnya pendapatan individu akibat hari-hari sakit cenderung sulit dikompensasikan dari sektor informal atau buruh tani.

Saat ini Indonesia menikmati hasil dari menurunnya tingkat mortalitas dan fertilitas yang menghasilkan harapan hidup yang panjang dan kemungkinan meningkatnya insentif untuk menabung. Namun, penelitian antar negara-negara dengan konsumsi tembakau jangka panjang secara konsisten menunjukkan bahwa risiko kematian di kalangan perokok adalah tinggi. Sekitar separuh dari total perokok meninggal karena kecanduan rokok, dan kira-kira setengah dari kematian tersebut terjadi dalam masa produktif mereka sebelum pensiun (antara umur 35 hingga 69 tahun) – yang mengakibatkan hilangnya 10 hingga 15 tahun kehidupan.26 Pada

tingkat rumah tangga, hal tersebut berarti hilangnya pendapatan, tabungan, dan investasi. Kematian dini orang tua cenderung memiliki dampak jangka panjang pada tingkat pendidikan dan kualitas hidup anak-anak mereka. Analisis terhadap data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

(34)

menunjukkan bahwa kematian orang tua menyebabkan penurunan yang besar atas tingkat partisipasi sekolah anak-anak yang terlihat pada tingginya angka putus sekolah.27

“Proporsi pengeluaran untuk membeli produk tembakau dari rumah tangga dengan perokok adalah 11,5 persen;

angka ini yang lebih besar dibandingkan untuk belanja ikan, daging, telur dan susu (11 persen); 2,3 persen untuk

pembiayaan kesehatan, dan 3,2 persen untuk biaya pendidikan.”

Pengeluaran rumah tangga yang cukup besar untuk produk tembakau memiliki implikasi kesejahteraan yang serius. Tahun 2005, rumah tangga perokok membelanjakan rata-rata 11,5 persen pengeluaran bulanan rumah tangga untuk produk tembakau – dibandingkan dengan 11,0 persen untuk ikan, daging, telur dan susu; 2,3 persen untuk kesehatan dan 3,2 persen untuk pendidikan (Tabel 2.1., Lampiran 2.5). Khususnya bagi rumah tangga berpendapatan rendah dengan sumber daya terbatas, pengeluaran untuk konsumsi tembakau dapat mengurangi pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan, makanan bergizi dan kebutuhan dasar lainnya.

Dengan mengecualikan rumah tangga dari kelompok berpendapatan tinggi yang mempunyai proporsi pengeluaran produk tembakau terendah, pengeluaran tembakau diketahui cukup proporsional dengan distribusi pengeluaran secara umum. Belanja produk-produk tembakau antara tahun 2002 sampai 2005 sedikit meningkat untuk rumah tangga yang berada pada kuintil terendah dan tertinggi, serta cenderung tetap pada kelompok kuintil tengah (Lampiran 2.6).

(35)

Tabel 2.1. Persentase Pengeluaran Total per Bulan untuk Tembakau, Makanan, Kesehatan dan Pendidikan di Rumah Tangga Perokok, Menurut

Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga, 2005

Mengalihkan sumber dana rumah tangga untuk belanja tembakau memiliki dampak buruk terhadap kesehatan keluarga. Studi di daerah miskin perkotaan yang dilakukan pada lebih dari 175.000 rumah tangga melaporkan bahwa ayah yang merokok meningkatkan probabilitas

malnutrisi kronis pada anak.1 Temuan ini lebih mengejutkan lagi bahwa

prevalensi perokok menyebabkan kecanduan di kalangan laki-laki, yang dimulai sejak masih anak-anak atau remaja karena kurang mendapat cukup informasi tentang bahaya merokok.

2.3. Kegagalan Pasar: Kekurangan Informasi tentang Risiko dan Kecanduan, dan Biaya Finansial dan Fisik yang Dialami oleh Non-perokok dan Masyarakat

Prinsip ekonomi tentang kebebasan konsumen menyatakan bahwa konsumen sendirilah yang membuat keputusan terbaik tentang bagaimana ia membelanjakan uangnya. Argumen tersebut didasarkan pada dua asumsi. Pertama, konsumen mengambil keputusan tersebut berdasarkan pengetahuan yang penuh atas biaya dan manfaat dari keputusan yang diambilnya. Asumsi kedua adalah individu akan menanggung sendiri semua risiko atas keputusan konsumsi mereka; artinya si individu mengetahui

Rata-rata Kategori

Pengeluaran

Kuintil pengeluaran rumah tangga

Tembakau Ikan

Telur dan Susu Daging Kesehatan Pendidikan 1 (terendah) 2 3 4 5 (tertinggi) 11,9 5,6 2,6 1,0 2,1 1,8 12,3 6,1 3,0 1,6 2,1 2,6 12,4 6,2 3,3 2,1 2,2 3,0 11,7 6,0 3,6 2,5 2,4 3,6 9,2 4,9 3,8 2,9 2,7 4,9 11,5 5,7 3,3 2,0 2,3 3,2

(36)

bahwa orang lain tidak akan menanggung beban atas tindakan individu tersebut. Konsumsi tembakau melanggar kedua asumsi tersebut.

“Remaja usia 13 sampai 17 tahun di Jawa dapat menyebutkan kembali tulisan peringatan kesehatan yang

tertera pada bungkus rokok, tetapi juga berpendapat bahwa merokok satu hingga dua bungkus per hari tidak

berbahaya bagi kesehatan”

Pemberian informasi sehingga seseorang dapat menentukan pilihan sendiri (informed choice) membutuhkan penerangan atau informasi yang akurat. Namun, bahaya kesehatan terkait dengan konsumsi tembakau pada umumnya amat kurang dimengerti. Remaja di Jawa usia 13 hingga 17 tahun dapat berulang kali mengulang kembali tulisan peringatan kesehatan yang tertera pada bungkus rokok, namun mereka berpendapat bahwa mengkonsumsi rokok satu hingga dua bungkus per hari tidaklah berbahaya bagi kesehatan.2 Penelitian yang disponsori industri rokok menyatakan

bahwa rokok kretek menguntungkan kesehatan.3 Temuan tersebut jelas

bertentangan dengan penelitian mandiri yang menemukan bahwa rokok kretek sama berbahayanya dengan jenis rokok lain.4 Bahkan, hanya sedikit

saja orang-orang yang memahami betapa seriusnya dampak kesehatan pada perokok pasif yang ditimbulkan oleh asap rokok dari perokok aktif.5

Satu hal yang membingungkan bagi konsumen di Indonesia adalah kenyataan bahwa peraturan dan kebijakan kesehatan dari pemerintah belum mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang terbaru. Pasal-pasal dalam peraturan tentang pengendalian konsumsi tembakau menghendaki bahwa setiap kemasan rokok harus memuat kandungan tar dan nikotin6 – terlepas dari fakta bahwa pengukuran kandungan tersebut

didasarkan pada metodologi pengujian yang sulit dipercaya dan digunakan

untuk memasarkan rokok dengan kriteria “menyehatkan.”7 Hal tersebut

cenderung menimbulkan kenaikan tingkat penjualan rokok yang dipasarkan dengan label ‘mild’ (ringan). Dari hampir tidak mempunyai pangsa pasar pada tahun 1994, pangsa pasar untuk rokok kretek ‘mild’ pada tahun 2006 mencapai 34 persen dari total pangsa rokok kretek mesin atau 19 persen dari total pasar rokok.8 Industri rokok memperkirakan bahwa penjualan

rokok jenis ’tar-rendah’ akan tumbuh tiga kali dari tahun 2007 sampai

(37)

’tar-rendah’ atau ’tar-tinggi’ menghadapi risiko kesehatan yang sama

buruknya.10 Oleh sebab itu, lembaga-lembaga kesehatan dunia

merekomendasikan untuk melarang sejumlah istilah seperti light’, ’mild’, dan ’low-tar’ karena hal tersebut mengelabui konsumen sehingga berpikir

bahwa rokok tersebut tidak berbahaya untuk dikonsumsi.11

“Rata-rata umur pertama kali merokok telah turun menjadi usia 17,4 tahun. Anak-anak telah dibiasakan sejak dini

untuk berpikir bahwa merokok adalah hal wajar dan diterima secara sosial”

Peraturan dan kebijakan pemerintah yang ada sangat lemah untuk hal-hal yang berkaitan dengan informasi kepada konsumen. Dalam hal peraturan yang mengharuskan menterakan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan pada setiap kemasan produk-produk rokok, hanya satu jenis peraturan peringatan bahaya merokok yang diharuskan untuk digunakan dan tidak ada standar tentang ukuran minimum. Peraturan ini berbunyi “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Ukuran minimum peringatan bahaya kesehatan dari merokok pada baliho (billboard) dan iklan pada umumnya sebesar 15 persen dari ukuran baliho.12 Pesan-pesan

yang efektif sangat dibutuhkan untuk menginformasikan risiko kesehatan yang baru akan terlihat 20 sampai 25 tahun sejak pertama kali merokok hingga mulai mengidap berbagai jenis penyakit terkait dengan merokok. Perbedaan yang mencolok terlihat jelas menurut tingkat pendidikan, dimana 67,3 persen laki-laki yang tidak bersekolah/tidak tamat sekolah merokok, sedangkan diantara laki-laki yang tamat perguruan tinggi hanya 47,8 persen yang merokok (tahun 2004). Hal ini mengindikasikan perlunya menginformasikan secara jelas dan mudah dimengerti mengenai berbagai risiko kesehatan akibat dari merokok (Lampiran 2.3).

(38)

Keputusan untuk mulai merokok pertama kali umumnya terjadi masa kanak-kanak atau remaja, dan kini usia mulai merokok jauh lebih muda dibanding masa-masa sebelumnya. Rata-rata umur pertama kali merokok telah menurun menjadi 17,4 tahun di tahun 2004, dan 78 persen perokok di Indonesia mulai merokok sebelum berumur 19 tahun (Lampiran 2.7, 2.8). Antara tahun 1995 dan 2004, prevalensi perokok remaja laki-laki umur 15 – 19 tahun meningkat menjadi dua kali lipat dan meningkat hampir 50 persen untuk kelompok umur 20 – 24 tahun (Tabel 2.2, Lampiran 2.1). Penurunan prevalensi perokok pada kelompok umur yang lebih tua mengindikasikan tingginya jumlah yang berhenti merokok dan mungkin termasuk mereka yang berhenti karena sakit atau kedapatan

Sum senas Kelompok Umur Prevalensi Perokok 1995 2004 Persentase Perubahan 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+ Rata-rata 13,7 42,6 57,3 64,4 67,3 67,3 68,0 66,8 66,1 64,7 64,3 56,9 53,3 53,4 32,8 63,6 69,9 68,9 67,7 66,9 67,9 67,9 64,1 60,0 58,7 55,3 47,4 63,1 139,4% 49,3% 22,0% 7,0% 0,6% -0,6% -0,2% 1,7% -3,0% -7,3% -8,7% -2,8% -11,1% 18,2%

Tabel 2.2. Prevalensi Perokok Laki-Laki menurut Kelompok Umur, 1995 dan 2004, dan Persentase Perubahannya

(39)

mengidap penyakit serius yang berkaitan dengan konsumsi rokok (Tabel 2.2, Lampiran 2.1).

Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang dilaksanakan di

6 lokasi pada anak-anak sekolah usia 13 – 15 tahun di Indonesia (Tabel 2.3) menemukan bahwa sekitar 24 hingga

41 persen anak-anak laki-laki usia 13 – 15 tahun adalah perokok. Cukup mengejutkan bahwa antara 83 hingga 93 persen dari anak-anak yang aktif merokok pernah berusaha berhenti merokok tapi belum berhasil. Hal ini menunjukkan

bahwa anak-anak kurang memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan risiko-risiko dari merokok dan ketagihan akan nikotin yang dikandung dalam rokok. Ketika

anak-anak tersebut pertama kali merokok, kemungkin kecil sekali mereka mendapat informasi tentang kecanduan rokok seumur hidup yang lengkap sehingga mereka dapat

memilih tindakan.

Tabel 2.3. Ringkasan Global Youth Tobacco Surveys di Indonesia untuk Kelompok Umur 13-15 tahun (Kelas 1-3 SMP), 2004-2006

Sumber : Centers for Disease Control and Prevention, Global Youth Tobacco Surveys Country Fact Sheets.

Respon Bekasi Medan Tengah Jawa Sumatra Surakarta Jakarta Saat ini mengkonsumsi

tembakau (%)

Laki-laki 34,8 40,5 25,0 24,0 29,3 32,1

Perempuan 9,4 8,1 4,3 5,0 3,4 7,4

Diantara perokok aktif anak-anak, % yang mencoba berhenti selama setahun terakhir

88,7 88,4 83,3 93,3 90,7 91,8 Dari semua anak-anak,

% yang terpapar asap rokok di luar rumah

76,1 79,5 81,1 81,0 79,7 81,6

% yang melihat poster iklan rokok

(40)

Nikotin merupakan zat dengan kadar adiksi yang sangat tinggi, sehingga sangat sulit bagi perokok untuk berhenti. Tidak seperti zat-zat lain yang juga menimbulkan efek ketagihan yang dianggap ilegal, perokok secara terus-menerus diberikan kesempatan luas untuk membeli produk-produk tembakau dan dihadapkan pada iklan-iklan yang membuat rokok seolah-olah merupakan kebiasaan yang diterima masyarakat.1 Hampir

semua anak-anak (89 hingga 95 persen) pernah melihat baliho rokok dalam sebulan terakhir sebelum survei (Tabel 2.3). Hal ini mengindikasikan bahwa anak-anak tersebut disosialisasi dalam usia sangat muda untuk mengenal kebiasaan merokok sebagai sesuatu yang normal dan merupakan kebiasaan yang bisa diterima secara sosial.

Asumsi kedua yang mendukung kedaulatan konsumen adalah konsumen sendiri yang menanggung semua risiko dan biaya-biaya yang timbul atas keputusannya untuk mengkonsumsi suatu barang atau jasa. Namun, kenyataannya perokok mengakibatkan biaya secara fisik dan finansial tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain dan masyarakat secara luas. Studi yang dilakukan pada sebuah rumah sakit di Jakarta mengestimasi bahwa biaya perawatan bagi pasien rawat inap yang mengidap penyakit akibat konsumsi tembakau diperkirakan sebesar Rp. 2,9 triliun per tahun (US$ 319 juta).2 Biaya tersebut belum

memperhitungkan biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh non-perokok yang terpapar asap rokok dari non-perokok aktif. Biaya kesehatan akibat konsumsi rokok (baik perokok maupun non perokok) di Indonesia diduga sangat besar karena jumlah penduduk yang besar, rendahnya kesadaran akan dampak buruk merokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif, serta kurangnya kebijakan udara bersih. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, alokasi biaya total perawatan kesehatan untuk merawat dan menyembuhkan penyakit yang terkait dengan konsumsi tembakau mencapai 6 hingga 15 persen.3 Jika menggunakan dasar perhitungan

pengeluaran bidang kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta di Indonesia pada tahun 20054 (sejumlah Rp. 73,5 triliun atau US$ 8,1 milyar)

dan asumsi bahwa antara 6 hingga 15 persen pengeluaran kesehatan adalah untuk perawatan penyakit akibat konsumsi tembakau, biaya total untuk mortalitas dan morbiditas karena tembakau akan mencapai kisaran Rp 4,4 triliun – 11 triliun per tahun (US$ 484 juta – 1,2 milyar), atau sekitar 0,12 persen hingga 0,29 persen dari total Pendapatan Domestik Bruto

(PDB) Indonesia.5 Porsi belanja pemerintah untuk membiayai pelayanan

kesehatan masyarakat baru mencapai 35 persen dari total belanja bidang kesehatan secara keseluruhan, dan sisanya harus dibiayai sendiri oleh masing-masing individu (out-of-pocket payments).

(41)

Perhitungan tersebut di atas kemungkinan besar jauh lebih rendah dari angka yang sesungguhnya karena pemanfaatan pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia masih relatif rendah, dan masyarakat tidak selalu bisa memperoleh perawatan kesehatan yang memadai ketika mereka membutuhkannya. Biaya sosial lain akibat dari konsumsi tembakau adalah menurunnya produktivitas tenaga kerja di lapangan kerja, kerugian ekonomi akibat kematian dini, dan penurunan investasi modal manusia di masa depan dalam bentuk rendahnya pengeluaran untuk investasi kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari rumah tangga perokok. Di negara maju, para pelaku usaha dan pemilik perusahaan mendorong para pekerja mereka untuk berhenti merokok demi memperoleh manfaat ekonomi dan produktivitas kerja, selain juga mengurangi biaya perawatan kesehatan, hari-hari absen karena sakit yang semakin berkurang, mengurangi biaya pemeliharaan dan risiko terjadinya kebakaran.6 Di

Amerika Serikat, total biaya per tahun untuk mortalitas akibat tembakau (termasuk pengeluaran perawatan medis dan kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas tenaga kerja) adalah sebesar Rp.701 triliun (US$ 77,1 milyar).7 Tingkat prevalensi perokok laki-laki di Indonesia sekarang

adalah sama dengan di Amerika Serikat pada tahun 1950-1960-an, perbandingan tersebut dapat memberikan wacana ukuran tentang berapa kebutuhan biaya perawatan kesehatan akibat konsumsi tembakau di masa depan.

2.4. Penciptaan Penerimaan Pemerintah: Penetapan Tarif Cukai dan Harga Rokok

Salah satu alasan penting yang mendasari keterlibatan pemerintah dalam pengendalian pasar tembakau adalah untuk menciptakan penerimaan pemerintah dari cukai. Cukai rokok memberikan sumber pendapatan yang penting bagi pemerintah, yang menyumbang 5,7 persen dari penerimaan total pemerintah Indonesia di tahun 2007. Jika diketahui bahwa harga dan cukai rokok masih relatif rendah, maka ada peluang yang tinggi untuk meningkatkan penerimaan yang lebih tinggi dari cukai rokok.

Meningkatkan harga dan cukai produk-produk tembakau merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat konsumsi tembakau terkait. Hal tersebut disebabkan permintaan terhadap produk-produk tembakau sangat dipengaruhi oleh perubahan harga produk tersebut. Beberapa studi ekonomi tentang kenaikan harga produk tembakau secara konsisten menunjukkan bahwa elastisitas permintaan atas harga produk tembakau turun antara -0,25 dan -0,50 di negara-negara maju. Dengan kata lain, 10 persen kenaikan harga akan menghasilkan 2,5 hingga

(42)

5,0 persen penurunan konsumsi produk tembakau.8 Studi yang dilakukan

di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah menunjukkan temuan yang serupa atau bahkan menunjukkan penurunan konsumsi yang lebih besar.9 Studi-studi tersebut memberikan nilai elastisitas harga yang

bervariasi antara -0,50 hingga -0,70 di kawasan Asia Tenggara;10 -0,09 di

Thailand, -0,23 di Sri Lanka,53 dan -0,54 di Cina.11 Hasil yang konsisten

juga ditunjukkan oleh studi di Indonesia yang menemukan elastisitas harga antara -0,29 hingga -0,67, atau setiap kenaikan 10 persen harga rokok akan menyebabkan penurunan konsumsi rokok sebesar 2,9 hingga 6,7 persen. Karena rokok merupakan produk yang bersifat adiktif, maka dampak jangka panjangnya akan jauh lebih besar dibandingkan dampak jangka pendeknya.

Secara global, bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa penduduk muda dan penduduk berpendapatan rendah cenderung lebih tanggap (responsif) terhadap kenaikan harga rokok. Di Indonesia seperti halnya juga di negara-negara lainnya, penduduk mulai merokok pertama kali pada usia anak-anak atau remaja. Perkiraan terkini menunjukkan bahwa elastisitas harga atas permintaan tembakau di kalangan remaja dapat mencapai tiga kali lebih besar dibandingkan elastisitas harga di kelompok dewasa12 – yang

berarti bahwa kelompok remaja lebih mudah untuk berhenti merokok, mengurangi konsumsi rokok atau tidak mulai mengkonsumsi rokok sebagai akibat adanya peningkatan harga. Oleh karena itu, dengan menjaga harga riil rokok tetap tinggi melalui penetapan cukai merupakan media yang efektif untuk mencegah remaja menjadi perokok baru dan mendorong mereka yang sudah merokok untuk berhenti. Hal ini menjadi penting mengingat kebijakan yang langsung ditujukan bagi remaja (seperti pembatasan umur untuk membeli rokok) terbukti tidak efektif.13 Demikian

pula halnya dengan hasil yang ditunjukkan dalam penelitian di negara-negara maju, bahwa elastisitas harga lebih tinggi di antara kelompok perokok berpendapatan rendah dibandingkan dengan kelompok perokok berpendapatan tinggi.55,14 Studi-studi tersebut menyimpulkan bahwa

kenaikan harga riil rokok dapat mempersempit kesenjangan sosial-ekonomi di bidang kesehatan.

Di banyak negara maju, rokok dianggap sebagai barang inferior. Namun, untuk kasus di Indonesia, rokok dianggap sebagai barang normal yang ditunjukkan dengan elastisitas pendapatan yang positif. Oleh sebab itu, penurunan konsumsi sebagai hasil dari kenaikan harga rokok akan diimbangi oleh kenaikan konsumsi akibat kenaikan pendapatan rumah tangga. Studi yang mengkaji hal tersebut memperhitungkan bahwa elastisitas pendapatan berkisar antara 0,32 hingga 0,76, atau kenaikan pendapatan sebesar 10 persen akan menyebabkan kenaikan konsumsi

(43)

rokok sebesar 3,2 persen dan 7,6 persen. Kenaikan cukai bertujuan untuk mengurangi konsumsi rokok, oleh karena itu diperlukan kenaikan cukai yang cukup besar untuk menutupi dampak kenaikan pendapatan rumah tangga tersebut.

Apabila cukai secara efektif dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga, dampak yang cukup besar akan dirasakan dari sisi kesehatan berupa meningkatnya jumlah perokok yang berhenti merokok, berkurangnya calon perokok baru, dan menurunnya konsumsi rokok. Di kawasan Asia-Pasifik sendiri, kenaikan harga sebesar 33 persen dapat mengurangi sekitar 10 juta hingga 28 juta kematian dan kenaikan sebesar 50 persen dapat mengurangi antara 15 juta hingga 38 juta kematian.44 Di Indonesia yang memiliki 56,9 juta perokok, kenaikan cukai

yang relatif moderat sampai 50 persen dari harga jual bahkan dapat mencegah sekitar 0,6 juta sampai 1,4 juta kematian akibat rokok. Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok dapat menjadi penentu kebijakan yang efektif untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penduduk melalui penurunan prevalensi perokok dan jumlah calon perokok baru, serta konsumsi rokok.

Pada saat yang sama, permintaan terhadap rokok dikatakan bersifat inelastis atau persentase penurunan permintaan relatif lebih rendah dibandingkan persentase kenaikan harga. Dengan kata lain, banyak perokok akan tetap melanjutkan ketagihan mereka terhadap rokok – meskipun harus membayar harga yang cukup tinggi. Dengan memperhatikan tarif cukai yang relatif rendah, kenaikan tarif cukai akan meningkatkan total penerimaan pemerintah dari cukai – terlepas dari menurunnya jumlah penjualan rokok. Sebuah simulasi sederhana dengan kenaikan 5 persen harga riil rokok memberikan kenaikan pendapatan cukai yang cukup besar, yang selama 10 tahun secara kumulatif menghasilkan total penerimaan sebesar Rp. 83,1 triliun (US$ 9 milyar).53

Menjaga harga rokok yang tinggi melalui peningkatan cukai, terbukti efektif untuk menciptakan tidak hanya peningkatan penerimaan pemerintah tapi juga berpengaruh positif terhadap kesehatan. Namun, pengaruh harga dan cukai terhadap kesehatan dan penerimaan pemerintah juga tergantung pada beberapa faktor seperti struktur pasar, reaksi industri terhadap kenaikan harga, pendapatan rumah tangga (sampai sejauh mana konsumen mengalihkan konsumsi rokok ke jenis rokok yang lebih murah), struktur dan pelaksanaan pemungutan cukai, serta berbagai kebijakan pemerintah.

Gambar

Gambar  2.1.  Prevalensi Perokok Laki-Laki Menurut Kuantil Pengeluaran, Tahun 1995 dan 2004
Tabel 2.1.  Persentase Pengeluaran Total per Bulan untuk Tembakau, Makanan, Kesehatan dan Pendidikan di Rumah Tangga Perokok, Menurut
Tabel 2.2.  Prevalensi Perokok Laki-Laki menurut Kelompok Umur, 1995 dan 2004, dan Persentase Perubahannya
Tabel 2.3. Ringkasan Global Youth Tobacco Surveys di Indonesia untuk Kelompok Umur 13-15 tahun (Kelas 1-3 SMP), 2004-2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kandungan sia yang relatif tinggi pada kolostrum (susu yang diperoleh pada awal masa laktasi, ≈1,415 mg/mL) dibandingkan dengan susu yang diperoleh pada 7 bulan masa laktasi

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa sistem pakar dapat digunakan untuk membantu memecahkan permasalahan dalam beragam bidang salah satunya

Pemberlakuan Gardu Toll Otomatis (GTO) di jalan toll mengharuskan para pengguna kendaraan untuk menggunakan kartu electronic toll dan dijelaskan dengan teori

Adapun tujuan dan manfaat dari kegiatan pengabdian ini yaitu: (1) memberikan edukasi serta membiasakan mengunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada

Bagaimanapun, jenis kapal layar yang dapat melawan angin dengan jauh lebih baik daripada jenis- jenis perahu tradisional Nusantara maupun full-rigged-ship Eropa itu sempat

8 ANALISIS RISIKO-IMBAL HASIL SELLING OPTION ON WTI 106 Premi di Semua Strike Menurun Terendah di Tahun 2009 107 Analisis Deskriptif Menunjukkan bahwa Data Memiliki Efek ARCH

Dari 2 (dua) indikator kinerja SKPD yang tercantum dalam RPJMD Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2013-2018 yang menjadi tanggung jawab Badan Diklat Provinsi Sumatera

Minat beli terlihat masih cukup kuat baik dari investor local maupun asing, namun sentiment negative bursa regional dapat menghambat pergerakan indeks sehingga