• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepedulian tentang dampak kesehatan dan ekonomi dari konsumsi tembakau di Indonesia baru mendapat perhatian akhir-akhir ini. Hal ini merupakan cermin dari meningkatnya standar dan kualitas hidup secara umum. Pada era 1960an, angka harapan hidup hanyalah 38 tahun; berdasarkan proyeksi penduduk Bappenas, seorang bayi yang di lahirkan

pada tahun 2007 diharapkan hidup mencapai umur 69 tahun.1 Meskipun

tembakau telah lama dikonsumsi bersamaan dengan sirih dan cengkeh, namun konsekuensinya terhadap kesehatan belum banyak diketahui karena hanya beberapa orang yang mencapai umur panjang pada saat itu.

Mengisap asap tembakau mengantarkan nikotin dalam jumlah yang besar ke dalam otak secara cepat.2 Rokok kretek menggantikan sirih dan tembakau kunyah yang banyak dikonsumsi laki-laki di pedesaan pada era awal pertengahan 1900-an, dan merokok kemudian menjadi semakin tersebar luas setelah mekanisasi rokok kretek filter pada tahun 1970-an.3

Produksi rokok kemudian meningkat dengan pesat dari 38 milyar batang di tahun 1971 menjadi lebih dari 220 millyar batang saat ini.4 Harga riil rokok yang rendah ditambah dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, serta meningkatnya pendapatan rumah tangga berkontribusi pada kenaikan prevalensi dan konsumsi rokok. Diperlukan waktu hingga 25 tahun antara waktu pertama kali merokok sampai timbulnya gejala berbagai penyakit kronis. Oleh sebab itu, dampak buruk kesehatan yang disebabkan oleh peningkatan konsumsi rokok sejak tahun 1970-an sampai 1980-an baru mulai terlihat di masa sekarang ini. Data terbaru menunjukkan bahwa prevalensi perokok masih terus meningkat dari 27 persen di tahun 1995 menjadi 34 persen di tahun 2004.

“Tembakau adalah komposisi terbesar (60-70 persen) dari rokok kretek; sehingga rokok jenis ini memiliki risiko

Gambar 2.1. Prevalensi Perokok Laki-Laki Menurut Kuantil Pengeluaran, Tahun 1995 dan 2004

Sumber : Susenas

Hampir seluruh (97 persen) konsumen tembakau di Indonesia adalah perokok. Umumnya perokok didominasi oleh kaum laki-laki, meskipun tingkat prevalensi perokok perempuan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Sekitar 53 persen laki-laki merokok di tahun 1995 dan persentase ini meningkat menjadi 64 persen pada tahun 2004. Merokok di kalangan perempuan sering dikaitkan dengan stigma negatif di wilayah Jawa – Bali, meskipun hal ini mulai berubah seiring dengan perubahan target pemasaran kepada perempuan.1 Prevalensi perokok perempuan meningkat dari 1,7 persen menjadi 4,5 persen pada periode yang sama (1995-2004, Lampiran 2.1). Persentase perempuan yang merokok jauh lebih tinggi di daerah luar Jawa-Bali; yakni 10 persen perempuan di Papua, dan 9 persen perempuan di Kalimantan Timur (Lampiran 2.2). Dengan menggunakan data kuintil pengeluaran rumah tangga pada tahun 1995, rumah tangga miskin memiliki tingkat prevalensi perokok yang lebih tinggi dibandingkan rumah tangga kaya (Gambar 2.1.). Namun, perbedaan antar kuintil telah berkurang drastis. Pada tahun 2004, prevalensi perokok diantara laki-laki dari rumah tangga kaya paling rendah tapi antar empat kuintil lain tidak berbeda banyak (Lampiran 2.3.).

Sebagian besar (88 persen) perokok mengkonsumsi rokok kretek, dan hanya sebagian kecil perokok di daerah pedesaan yang mengkonsumsi rokok linting dan tembakau pipa.2 Proporsi yang sedikit lebih tinggi

ditunjukkan oleh penduduk remaja (15 – 19 tahun) yang memilih mengkonsumsi rokok putih (21 persen) (Lampiran 2.4.). Rokok kretek mengandung 60 persen – 70 persen tembakau; sehingga, rokok ini akan memberikan risiko kesehatan yang sama seperti produk-produk tembakau

lainnya.3 Selain cengkeh, rokok kretek umumnya mengandung komponen

tambahan lainnya yang tercampur dalam “saus”-nya. Setelah dicampur dengan tembakau, komponen tambahan tersebut membantu menjaga rasa merk rokok tertentu selama kurun waktu yang lama. Meskipun secara umum tambahan yang biasa digunakan seperti ekstrak buah-buahan dan herbal diyakini cukup aman untuk dikonsumsi, namun dampak kesehatan yang mungkin ditimbulkan dari pembakaran dan asap yang dihisap belum diketahui secara pasti.4 Cengkeh mengandung eugenol yang dianggap mempunyai kemungkinan karsinogen (penyebab kanker) bagi manusia; zat lain yang berbahaya bagi kesehatan yang ditemukan dalam rokok kretek termasuk coumarin dan anethole.5 Demikian juga halnya rokok putih juga mengandung tambahan kimia untuk berbagai alasan, seperti melegakan tenggorokan, menghilangkan bau bagi non-perokok, dan meningkatkan

komponen nikotin yang menyebabkan ketagihan.6 Tidak seperti

produk-produk yang dikonsumsi dan obat-obatan lainnya, kandungan kimia dalam rokok (“saus” dan tambahannya) tidaklah diketahui dengan jelas baik oleh konsumen maupun badan pemerintah yang mengawasinya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM). Kandungan kadar tar dan nikotin tercatat yang ada saat ini tidak mencakup informasi yang rinci mengenai komponen tambahan atau dampak kesehatan yang ditimbulkan. Pengukuran tersebut saat ini hanya didasarkan pada pengujian metodologis yang seharusnya tidak digunakan lagi .7

Bukti-bukti dari penelitian yang dilakukan selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen perokok meninggal akibat

kecanduan.8 Di negara-negara berpendapatan tinggi kematian yang

berhubungan dengan konsumsi tembakau diproyeksikan menurun, namun di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah diduga akan meningkat pesat dari 3,4 juta hingga 6,8 juta per tahun.9 Sepertiga dari kematian ini disebabkan oleh kanker, sedangkan kardiovaskular dan penyakit pernafasan kronis masing-masing berkontribusi sebesar 30 persen. Proyeksi tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2015 merokok akan membunuh manusia 50 persen lebih banyak dari kematian akibat HIV/ AIDS, dan berkontribusi pada 10 persen dari semua kematian secara umum. Hasil perkiraan menunjukkan bahwa konsumsi tembakau menyebabkan sampai 200.000 kematian setiap tahunnya di Indonesia.10 Seperti perkiraan global, penyebab utama kematian di Indonesia yang terkait dengan konsumsi tembakau adalah penyakit jantung, stroke, kanker, penyakit

pernafasan khususnya chronic obstructive pulmonary disease (penyakit paru obstruktif kronik).11 Berbagai temuan dan penelitian yang ada menunjukkan bahwa tembakau mengakibatkan dampak buruk bagi

kesehatan semua organ tubuh.12

Asap rokok yang diisap oleh non perokok (perokok pasif) bersifat karsinogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia.12 Asap rokok membunuh satu non-perokok dari setiap 8 orang yang meninggal akibat

merokok.13 Beberapa penelitian menemukan peningkatan risiko penyakit

yang serius disebabkan terpapar oleh asap rokok. Perempuan non-perokok yang terpapar pada asap rokok di lingkungan rumah memiliki peningkatan risiko mengidap kanker paru-paru sebesar 25 persen, dimana semakin lama durasi terpapar akan meningkatkan risiko tersebut.14 Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa perempuan yang bersuamikan perokok mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengidap kanker paru-paru dibandingkan perempuan yang suaminya tidak merokok.15 Hasil penelitian lainnya menunjukkan terdapat peningkatan risiko terkena penyakit jantung akibat terpapar asap rokok antara 23 hingga 25 persen.16 Bahkan tingkat paparan yang rendah akan meningkatkan risiko serangan jantung dan berbagai penyakit jantung.17 Juga telah dilaporkan adanya penurunan yang signifikan dari coronary flow velocity reserve (kecepatan aliran darah) pada non-perokok setelah 30 menit terpapar asap rokok, mengakibatkan menurunnya fungsi endothelial sehingga terkena penyakit-penyakit kardiovaskuler.18 Hal ini menunjukkan walaupun seseorang terpapar asap rokok dalam waktu pendek dapat menghasilkan efek negatif terhadap kesehatan dalam jangka panjang. Lebih dari 97 juta non-perokok di Indonesia secara rutin terpapar pada asap rokok .19

Paparan terhadap asap rokok akan menimbulkan penyakit-penyakit serius pada anak-anak, termasuk risiko tinggi terkena sudden infant death syndrome (SIDS/ sindroma kematian bayi mendadak), infeksi saluran pernafasan akut, penyakit telinga, dan asma akut.20 Dari anak-anak usia sekolah di Jakarta dan Jawa, terdapat 76 persen sampai 82 persen terpapar asap rokok di tempat umum.21 Sekitar 70 persen anak-anak Indonesia di bawah usia 15 tahun secara teratur terpapar sebagai perokok pasif.22 2.2. Hubungan antara Kesehatan dan Produktivitas Ekonomi

Berdasarkan teori yang menyatakan bahwa kesehatan merupakan

bentuk modal sumber daya manusia,23 Bloom dan Canning menjelaskan

empat cara kesehatan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi.24 Pertama,

pada kemampuan bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang, lebih sedikitnya hari-hari absen dari pekerjaan karena sakit, dan produktifitas yang tinggi baik di tempat kerja maupun di sekolah. Kedua, individu yang sehat memiliki umur harapan hidup yang lebih lama. Hal ini memberi insentif bagi investasi di bidang kesehatan, pendidikan, dan bentuk modal manusia lainnya. Ketiga, usia hidup yang panjang mengarah pada tingkat tabungan pensiun yang semakin membesar selama masa kerja. Investor asing akan tertarik pada perekonomian yang memiliki tenaga kerja yang sehat. Keempat, penduduk yang lebih sehat berdampak pada penurunan jumlah anak yang diinginkan karena mortalitas rendah. Perubahan dari tingkat mortalitas dan fertilitas yang tinggi ke tingkat yang rendah mengakibatkan meningkatnya proporsi penduduk usia kerja – sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi.

Kesehatan yang baik berkontribusi pada kinerja ekonomi yang baik, demikian pula sebaliknya. Kesehatan yang buruk dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus tembakau, merokok dapat menurunkan kekuatan fisik dan kemudian mengurangi kemampuan paru-paru. Selain menimbulkan dampak jangka panjang yang serius, konsumsi tembakau dapat mengurangi fungsi kekebalan tubuh, yang mengarah pada tingkat infeksi umum yang lebih tinggi di kalangan perokok.25 Prevalensi perokok laki-laki di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (67 persen di daerah pedesaan dan 59 persen di daerah perkotaan, Lampiran 2.2). Menurunnya fungsi fisik di daerah pedesaan cenderung akan memiliki dampak penting terhadap perekonomian setempat yang sangat tergantung pada sektor pertanian atau tenaga kerja fisik. Hilangnya pendapatan individu akibat hari-hari sakit cenderung sulit dikompensasikan dari sektor informal atau buruh tani.

Saat ini Indonesia menikmati hasil dari menurunnya tingkat mortalitas dan fertilitas yang menghasilkan harapan hidup yang panjang dan kemungkinan meningkatnya insentif untuk menabung. Namun, penelitian antar negara-negara dengan konsumsi tembakau jangka panjang secara konsisten menunjukkan bahwa risiko kematian di kalangan perokok adalah tinggi. Sekitar separuh dari total perokok meninggal karena kecanduan rokok, dan kira-kira setengah dari kematian tersebut terjadi dalam masa produktif mereka sebelum pensiun (antara umur 35 hingga 69 tahun) – yang mengakibatkan hilangnya 10 hingga 15 tahun kehidupan.26 Pada tingkat rumah tangga, hal tersebut berarti hilangnya pendapatan, tabungan, dan investasi. Kematian dini orang tua cenderung memiliki dampak jangka panjang pada tingkat pendidikan dan kualitas hidup anak-anak mereka. Analisis terhadap data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

menunjukkan bahwa kematian orang tua menyebabkan penurunan yang besar atas tingkat partisipasi sekolah anak-anak yang terlihat pada tingginya angka putus sekolah.27

“Proporsi pengeluaran untuk membeli produk tembakau dari rumah tangga dengan perokok adalah 11,5 persen;

angka ini yang lebih besar dibandingkan untuk belanja ikan, daging, telur dan susu (11 persen); 2,3 persen untuk

pembiayaan kesehatan, dan 3,2 persen untuk biaya pendidikan.”

Pengeluaran rumah tangga yang cukup besar untuk produk tembakau memiliki implikasi kesejahteraan yang serius. Tahun 2005, rumah tangga perokok membelanjakan rata-rata 11,5 persen pengeluaran bulanan rumah tangga untuk produk tembakau – dibandingkan dengan 11,0 persen untuk ikan, daging, telur dan susu; 2,3 persen untuk kesehatan dan 3,2 persen untuk pendidikan (Tabel 2.1., Lampiran 2.5). Khususnya bagi rumah tangga berpendapatan rendah dengan sumber daya terbatas, pengeluaran untuk konsumsi tembakau dapat mengurangi pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan, makanan bergizi dan kebutuhan dasar lainnya.

Dengan mengecualikan rumah tangga dari kelompok berpendapatan tinggi yang mempunyai proporsi pengeluaran produk tembakau terendah, pengeluaran tembakau diketahui cukup proporsional dengan distribusi pengeluaran secara umum. Belanja produk-produk tembakau antara tahun 2002 sampai 2005 sedikit meningkat untuk rumah tangga yang berada pada kuintil terendah dan tertinggi, serta cenderung tetap pada kelompok kuintil tengah (Lampiran 2.6).

Tabel 2.1. Persentase Pengeluaran Total per Bulan untuk Tembakau, Makanan, Kesehatan dan Pendidikan di Rumah Tangga Perokok, Menurut

Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga, 2005

Mengalihkan sumber dana rumah tangga untuk belanja tembakau memiliki dampak buruk terhadap kesehatan keluarga. Studi di daerah miskin perkotaan yang dilakukan pada lebih dari 175.000 rumah tangga melaporkan bahwa ayah yang merokok meningkatkan probabilitas

malnutrisi kronis pada anak.1 Temuan ini lebih mengejutkan lagi bahwa

prevalensi perokok menyebabkan kecanduan di kalangan laki-laki, yang dimulai sejak masih anak-anak atau remaja karena kurang mendapat cukup informasi tentang bahaya merokok.

2.3. Kegagalan Pasar: Kekurangan Informasi tentang Risiko dan