• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Defenisi Culture Shock

Keanekaragaman kebudayaan dalam dunia yang semakin terbuka atau mengglobal sangat memungkinkan terjadinya percampuran identitas-identitas kebudayaan yang berbaur dalam tiap daerah karena pada masa kini setiap individu sangat mudah berpindah tempat dengan waktu yang relatif singkat dengan melintasi pulau bahkan benua yang memungkinkan terjadinya lintas budaya. Namun, terdapat konsekuensi dari terjadinya lintas budaya bagi individu-individu yang melakukannya, salah satu dari konsekuensi ini ialah yang disebut dengan culture shock atau gegar budaya. Culture shock merupakan fenomena yang dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda, seperti individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya dalam negeri sendiri, atau individu yang sampai berpindah ke luar negeri lain yang dapat merasa kehilangan relasi, objek atau pendeknya kehilangan kulturnya (Dayakisni,2004).

Culture shock merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Kalervo Oberg (1960) yakni seorang antropolog yang menggambarkan culture shock sebagai sebuah kecemasan yang dihasilkan dari kehilangan semua tanda dan simbol dari hubungan sosial yang dikenali (Irwin, 2007) atau untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru (Dayakisni, 2004 : 359).

Kecemasan merupakan bentuk perasaan khawatir, gelisah dan perasaan-perasaan lain yang kurang menyenangkan dimana biasanya perasaan ini disertai dengan rasa kurang percaya diri, tidak mampu, merasa rendah diri, dan tidak mampu menghadapi suatu masalah (Hurlock, 1990).

17 Kecemasan yang dihasilkan dari kehilangan semua tanda dan simbol dari hubungan sosial yang dimaksudkan dalam fenomena culture sohck ialah ialah ribuan cara dimana individu biasa mengorientasikan diri sendiri didalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana memberikan petunjuk serta kapan dan dimana individu dapat merespon.

Petunjuk tersebut dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan, yang kesemuanya itu ialah bagian dari budaya sama halnya dengan bahasa yang digunakan serta diucapkan dan kepercayaan yang kita terima (Oberg, dalam Andani 2018).

Pada awalnya, defenisi culture shock cenderung pada kondisi gangguan mental (Dayakisni, 2004:360). Bowlby (1960, dalam Dayakisni, 2004 : 360) menggambarkan kondisi ini sama dengan seperti kesedihan, berduka cita, dan kehilangan sehingga dikaitkan mirip dengan kondisi ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai namun bedanya dalam culture shock individu merasa kehilangan relasi, objek atau pendeknya adalah kehilangan kulturnya.Menurut Furhan dan Bochner (1970, dalam dayakisni 2004 : 359) culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika mengenalnya, ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan prilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu.

Littlejohn (1998, dalam Intan 2019) menyatakan bahwasannya ketika individu masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, kemudian merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, ia telah mengalami gegar budaya. Ward (2001 dalam Intan, 2019) mendefenisikan gegar budaya sebagai suatu proses aktif yang dialami individu dalam menghadapi perubahan saat berada didalam lingkungan yang tidak familiar, dimana proses aktif itu terdiri dari affective , behavior, dan cognitif yaitu sebuah reaksi individu pada keadaan merasa, berprilaku, dan berpikir, ketika menghadapi pengaruh budaya kedua.

Edward Hall (1959, dalam Nalarati 2015) melalui bukunya yang berjudul Silent Language mendeskripsikan culture shock sebagai gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru atau asing. Menurut Adler (1975 dalam Nalarati 2015) mengemukakan bahwa culture shock merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan

18 perasaan tidak berdaya, mudah marah dan ketakutan akan di tipu, dilukai ataupun dia acuhkan. Menurut Kim (2004, dalam Nalarati 2015) culture shock merupakan proses generick yang muncul setip kali komponen sistem hidup tidak cukup memadai untuk tuntutan lingkungan budaya baru.

Dalam Dayakini (2004 : 359) Culture shock biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini, yakni :

1. Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Cues adalah bagian dari kehiduan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan-gerakan bagian tubuh (gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.

2. Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari maupun tidak disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan dimana halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan ini

3. Krisis identitas, kondisi ini ialah seperti ketika seseorang pergi keluar negeri , seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.

b. Dimensi Culture Shock

Dimensi dari culture shock mengacu pada defenisi yang telah dipaparkan oleh Ward, dimana Ward (2001, dalam Intan 2019) membagi culture shock kedalam beberapa dimensi yakni dimensi afffective, behavior, dan cognitive yang dikenal dengan ABCs of Culture Shock yakni sebagai berikut :

1. Dimensi Affective

Dimensi affctive merupakan dimensi yang berhubungan dengan perasaan dan emosi yang bisa berbentuk positif atau negatif. Individu bisa mengalami kebingungan atau kewalahan karena masuk kedalam lingkungan baru yang tidak familiar, yang dapat menimbulkan rasa cemas, bingung, disorientasi, curiga, sedih, tidak tenang, tidak aman, takut ditipu atau dilukai, merasa kehilangan keluarga, teman-teman, merindukan kampung halaman,hingga merasa kehilangan identitas diri.

19 2. Dimensi behavior

Dimensi behavior berhubungan dengan pembelajaran budaya dan pengembangan keterampilan sosial dimana individu mengalami kekeliruan aturan, kebiasaan, dan asumsi-asumsi yang mengatur interaksi interpersonal mencakup komunikasi verbal dan nonverbal yang bervariasi diseluruh budaya. Seseorang yang masuk kelingkungan baru yang tidak familiar tanpa memiliki pengetahuan dan keterampilan sosial yang memadai, akan mengalami kesulitan dalam memulai dan mempertahankan hubungan harmonis di lingkungan yang tidak familiar baginya itu sehingga dapat beresiko pada perilaku individu yang tidak tepat yang dapat menimbulkan kesalahpahaman dan pelanggaran.

Kondisi tersebut juga dapat berdampak pada kehidupan personal dan profesional yang tidak efektif serta akan sulit menyesuaikan diri atau beradaptasi dalam lingkungan baru. Pada dimensi ini biasanya individu akan mengalami kesulitan tidur, selalu ingin buang air kecil, mengalami sakit fisik, tidak nafsu makan dan lain-lain sehingga individu yang tidak terampil secara budaya akan sulit mencapai tujuan seperti contohnya mahasiswa Aceh yang lebih suka berbicara atau berinteraksi dengan teman yang sama daerah asal atau suku bangsanya atau lebih memilih diam dan tidak banyak bicara dengan orang yang tidak berasa dari Aceh.

3. Dimensi cognitive

Dimensi cognitive adalah hasil dari aspek affective dan behavior, yakni berupa perubahan persepsi individu dalam mengidentifikasi etnis dan nilai-nilai akibat kontak budaya, dimana kontak budaya itu dapat menyebabkan hilangnya hal-hal yang dianggap benar oleh idividu tidk dapat dihindarkan sehingga individu tersebut akan memiliki pandangan negatif dimana pikiran hanya terpaku pada satu ide saja dan kemudian memiliki kesulitan dalam interaksi sosial.

c. Fase Culture Shock

Terdapat beberapa fase yang digambarkan sebagai bentuk proses adaptasi yang akan dilewati atau dialami oleh individu yang mengalami culture shock. Setiap individu bereaksi berbeda-beda dalam menanggapi culture shock atau gegar budaya sehingga Oberg (1960, dalam Irwin 2007) mengemukan ada yang tidak maju ketahap selanjutnya

20 dalam proses adaptasi pada lingkungan baru yang sebagai akibat dari culture shock tetapi seseorang tersebut malah kembali ke tahap sebelumnya. Menurut Oberg, tahapan-tahapan yang dimaksudkan dalam fenomena Culture shock ini dibedakan menjadi 4 tahap yakni:

1. Fase Kegembiraan dan optimistik (Fase Honeymoon)

Fase kegembiraan dan optimistik merupakan fase pertama dalam culture shock. Fase ini bisa bertahan beberapa hari atau hingga bulan dimana seseorang merasa pada tahap ini semuanya adalah baru, mengasyikkan dan mempesona.

Seseorang akan merasa optimis dengan lingkungan barunya. Pada fase ini individu akan merasa antusias dan kagum terhadap lingkungan barunya dan belum merasakan berbagai perbedaan yang akan memicu ketidaknyamanan layaknya seperti ketika kita berlibur ke suatu daerah.

2. Fase Krisis

Tidak simpatik, acuh tak acuh, atau bahkan agresi dan frustasi sebagai bentuk penolakan pada lingkungan baru (tidak nyaman). Pada fase ini, individu yang memasuki lingkungan baru aakan mulai dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang dialami oleh dirinya sendiri. Fase inilah yang disebut sebagai krisis penyakit dan pada titik ini seseorang akan tinggal atau pergi.

3. Fase Penyesuaian atau pemulihan

Jika seseorang tetap tinggal maka tahap ketiga dimulai yakni seseorang mulai belajar bahasa dan bernegoisasi dengan kehidupan sendiri. Masih banyak kesulitan yang dialami namun berusaha mampu menanganinya. Dalam fase ini, kehidupan individu perantau akan berangsur-angsur semakin membaik yang ditandai dengan mulai dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dengan baik dimana suudah tedapat perasaan nyaman dengan lingkungan tersebut

4. Fase Penguasaan

Tahap keempat ini adalah ketika sudah mampu menerima dan menyesuaikan diri.

Pada fase ini individu perantau yang memasuki lingkungan baru sudah merasakan kenyamanan dan ada perasaan aman dilingkungan baru serta dapat merasa bahwa lingkungan tesebut adalah rumah kedua bagi mereka.Lebih jelas lagi, Dayakisni (2004 : 360) mengemukakan terdapat teori yang menggambarkan culture shock dengan kurva U

21 untuk membantu individu yang mengalami culture shock dalam beradaptasi di lingkungan baru yakni sebagai berikut:

Gambar 1. Kurva U1

Kurva U tersebut merupakan gambaran tahapan terjadinya Culture Shock yang di alami oleh pelaku culture shock (Samovar, dkk dalam Pramono 2016).Teori ini berpendapat bahwa orang-orang yang menyeberang ke kultur lain akan mengalami tiga penyesuaian, yaitu pada awalnya timbul kegembiraan dan optimisme, kemudian diikuti oleh frustasi, depresi dan kebingungan hingga akhirnya muncul keadaan adaptasi atau penyesuaian.

Berdasarkan fase-fase yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bawasannya ketika memasuki lingkungan kebudayaan baru, seorang individu perantau akan selalu merasa terpesona, senang, dan bahagia dengan lingkungan baru yang ditempatinya seakan-akan sedang melakukan liburan. Namun perlahan-lahan rasa kekaguman tersebut hilang digantikan dengan perasaan cemas, tertekan, seakan-akan lingkungan tersebut sangat tidak sesuai dengan dirinya yang menimbulkan perasaan ingin pulang ke tempat asal dimana seorang individu merasa familiar dengan segala sesuatu yang ada disana baik lingkungannya, keluarga dan kerabatnya, suasananya, semua kebudayaan yang hidup di daerah asalnya ataupun kerinduan akan segala sesuatu yang biasa dirasakan, dilihat, ataupun dilakukan di daerah asalnya.

1 http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

22 Hal ini sebenarnya adalah umum dirasakan oleh orang-orang yang memasuki lingkungan kebudayaan baru. Namun, pada fase ini jika seseorang tidak mampu melewatiya maka ia akan gagal mencapai tujuannya dan memilih pulang ke kampung halaman. Ketika seorang individu perantau mampu melewati ketiga fase sebelumnya dan ia telah mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sudah merasa nyaman dan menyukai lingkungan kebudayaan barunya maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut telah mampu melewati fase-fase menyulitkan untuk hidup di lingkungan barunya, yakni berhasil melewati apa yang dikatakan culture shock.