• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CULTURE SHOCK DALAM PROSES ADAPTASI MAHASISWA ACEH DI KOTA MEDAN

4.1 Hasil Focus Group Discussion

Focus Group Discussion (FGD) dibuka oleh peneliti sendiri yang berperan sebagai moderator sekaligus sebagai pengamat dalam proses diskusi. Topic awal diskusi diawali peneliti dengan meminta pendapat atau argumentasi para informan mengenai apa itu fenomena culture shock. Sebelum melakukan FGD, peneliti telah melakukan wawancara mendalam bersama para informan secara individu per individu. Dalam proses wawancara tersebut, peneliti telah memaparkan apa itu culture shock sehingga diskusi awal mengenai pendapat para informan mengenai fenomena culture shock adalah pembukaan topik saja dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman para informan mengenai fenomena culture shock ini. Dalam diskusi awal ini, keaktifan atau responsive dalam diskusi ditampilkan oleh informan Kahlil, Fitri, SA, dan Rikzy. Dua informan lainnya yakni HM dan IZ masih lebih pasif dibandingkan keempat informan lainnya.

Dalam bahasan awal tersebut, Kahlil dan AS lebih dahulu menyampaikan apa yang mereka pahami mengenai fenomena culture shock. Kahlil menyatakan bahwa ia dapat menangkap culture shock adalah sebagai sebuah fenomena yang mana indvidu perantau akan menjumpai perbedaan-perbedaan kebudayaan yang memberikan tekanan tersendiri terhadap diri individu itu sehingga itulah yang disebutnya sebagai Culture shock. Informan AS pun demikian menyatakan bahwa Culture Shock adalah fenomena yang menurutnya akan dirasakan oleh setiap orang yang berpindah daerah karena menurutnya kehidupan seperti akan dimulai dari awal lagi. Fitri berpendapat bahwa Culture Shock adalah ketidaktahuan individu tentang lingkungan yang baru sehingga menurutnya akan menimbulkan perasaan asing. Rizky berpendapat sama dengan Fitri dimana ia menyatakan berada dalam lingkungan berbeda akan menjumpai perbedaan pula, sehingga akan banyak hal baru yang masih terasa asing.

122 Menurut peneliti melalui pendapat keempat informan, mereka sudah jauh lebih memahami apa itu culture shock dibandingkan saat pertama kali peneliti melontarkannya ketika melakukan wawancara mendalam. Hal tersebut dikatakan sendiri oleh para informan bahwasannya fenomena culture shock baru saja mereka ketahui setelah peneliti melakukan penelitian ini dan bahkan mereka mengakui bahwa mereka adalah orang yang mengalaminya. Melalui jawaban-jawaban tersebut, dapat disimpulkan peneliti bahwasannya mereka atau setiap individu yang melakukan perpindahan atau migrasi ke daerah baru yang beresiko mengalami culture shock, cenderung tidak mengetahui bahwasannya mereka sedang mengalami culture shock itu.

Topik selanjutnya, peneliti melontarkan pembahasan mengenai bahasa, pergaulan, pakaian, agama, makanan, keadaan lingkungan fisik serta unsur kepribadian sebagai faktor penyebab mahasiswa Aceh mengalami culture shock di kota Medan dalam proses adaptasinya. Pembahasan tersebut merupakan topic yang dideskripsikan peneliti melalui hasil penelitian yang telah di analisis dan dikategorikan serta disimpulkan oleh peneliti melalui wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan. Informan Kahlil dengan sigap menyambut argumen peneliti tersebut. Ia menyatakan setuju dengan apa yang peneliti lontarkan mengenai penyebab-penyebab mahasiswa Aceh mengalami culture shock di kota Medan. Namun informan menyatakan ketidakpahamannya mengenai unsur kepribadian yang menjadi salah satu hal yang menyebabkan terjadinya culture shock.

Sama halnya dengan informan SA dan HM yang kemudian turut ikut menyampaikan mengapa kepribadian menjadi salah satu diantara penyebab tersebut.

Peneliti kemudian mencoba meminta tanggapan informan lain untuk menyampaikan pendapat jika mereka memahami pertanyaan informan Kahlil agar proses diskusi tidak berjalan satu arah saja. Informan Rizky kemudian menyampaikan argumentasinya bahwa kepribadian tentu menjadi hal yang akan mempengaruhi culture shock dimana menurutnya seseorang yang memiliki kepribadian tertutup akan cenderung lebih merindukan kampung halaman dibandingkan orang-orang yang terbuka dan menikmati suasana lingkungan baru. Peneliti menyatakan kesetujuan terhadap pendapat informan Rizky.

123 Pada proses diskusi ini informan LI adalah informan yang paling pasif, beliau hanya cenderung tersenyum dan mengangguk selama diskusi berlangsung. Namun, terdapat satu pembahasan yang kurang disetujuinya yakni mengenai kepribadian sebagai penyebab salah satu faktor yang berpengaruh terhadap fenomena culture shock. informan LI menyatakan ketidaksetujuannya karena menurutnya betapapun seseorang memiliki kepribadian terbuka dan mudah bergaul, mereka akan mengalami apa yang dinamakan culture shock karena keterpisahan dari lingkungan yang sudah familiar. Informan HM menyatakan setuju dengan informan LI, namun beliau menyatakan unsur kepribadian lebih kepada faktor pemicu dan bukan penyebab terjadinya culture shock.

Dalam Proses FGD ini peneliti memperoleh karakteristik-karakteristik dari para informan. Informan Kahlil dan Fitri memiliki kesamaan dalam kemampuan bersosialisasi yang baik. Mereka mampu mencairkan suasana agar proses diskusi tidak terlalu tegang dan cenderung sangat tanggap. Informan Rizky sebenarnya memiliki kemiripan dengan kedua informan tersebut, namun informan Rizky cenderung lebih serius. Informan Kahlil dan Fitri cenderung sangat komunikatif dan responsive selama proses diskusi berlangsung. Mereka cenderung lebih sering mengeluarkan pendapat-pendapat dan seperti terhanyut dalam diskusi tersebut. Hal ini tampak pada raut wajah, tawa, gerak anggota tubuh yang seperti ikut mendeskripsikan maksud mereka dan juga semangat mereka saat berdiskusi.

Informan AS menurut peneliti adalah informan yang memiliki kepribadian religius yang tinggi dimana perkataan dan jawaban-jawaban yang diberikan selalu menunjukkan sifatnya yang religius tersebut. Informan AS sangat santai ketika diskusi, dan cenderung setuju dengan apa yang dilontarkan peneliti juga Kahlil dan Fitri. Beliau sering mengangguk dan tersenyum saat disukusi berlangsung. Informan juga menyatakan bahwasannya merantau juga merupakan proses pendewasaan diri dalam mengatur berbaagai aspek kehidupan. Berbeda halnya dengan informan Rizky, beliau tampak memiliki kepribadian yang serius dan selalu berusaha menampilkan kesempurnaan dalam setiap diskusi dan jawaban yang disampaikannya. Informan LI dan informan HM cenderung pasif, mereka hanya beberapa kali menanggapi atau menyampaikan pendapat dalam diskusi yang berlangsung selama 55 menit dan ekspresi mereka tidak seantusias informan yang lainnya.

124 Melalui hasil FGD yang dilakukan peneliti dengan berdiskusi bersama para informan melalui media Zoom Meeting, peneliti menyimpulkan bahwasannya para informan cenderung memberikan pendapat yang sama. Pendapat tersebut adalah mereka menyatakan bahwasannya perbedaan agama, bahasa, tingkah laku perempuan atau laki-laki (norma kesopanan), pakaian, makanan, lalu lintas, dan peraturan-peraturan dalam kehidupan pergaulan yang sangat berbeda, merupakan faktor-faktor perbedaan-perbedaan yang amat sangat dirasakan pada awal merantau. Selain itu mereka juga menyatakan bahwasannya kondisi ekonomi dan cara mengatur keuangan sendiri juga turut berpengaruh dalam kehidupan mereka sebagai perantau di kota Medan.

Menurut peneliti kecenderungan kesamaan pendapat atau argumentasi tentang hambatan-hambatan dan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang dirasakan para informan sangat sesuai dengan teori struktur kepribadian dasar menurut Kardiner, Linton dkk (1959, Dalam J.Danandjaja 1994 : 51). Mereka menyatakan bahwasannya intisari dari kepribadian yang dimiliki oleh kebanyakan anggota masyarakat, sebagai akibat pengalaman mereka pada masa kanak-kanak yang sama. Kesamaan adat, budaya dan segala ciri khas cara hidup yang diterima oleh mahasiswa Aceh di kampung halaman mulai masa kanak-kanak menyebabkan mereka cenderung mengalami kesulitan atau penolakan terhadap hal yang sama di kota Medan seperti teori yang telah dikemukakan Kardiner, dkk tersebut.

4.2 Penyebab yang Melatarbelakangi Terjadinya Culture Shock Pada Mahasiswa