• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi. Oleh ELDINA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi. Oleh ELDINA"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA PERANTAU DI KOTA MEDAN (STUDI KASUS PADA MAHASISWA ACEH YANG TERGABUNG DALAM IKATAN

PEMUDA TANAH RENCONG UNIVERSITAS SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi

Oleh ELDINA 170905054

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)
(4)

i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA PERANTAU DI KOTA MEDAN (STUDI KASUS PADA MAHASISWA ACEH YANG TERGABUNG DALAM IKATAN PEMUDA TANAH RENCONG UNIVERSITAS SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwasannya di dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dan diacu dalam naskah ini disebut dalam daftar pustaka

Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Juli 2021 Penulis

Eldina

(5)

ii ABSTRAK

Eldina, 170905054 (2021). Judul Skripsi: Culture Shock Pada Mahasiswa Perantau di Kota Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Aceh Yang Tergabung Dalam Ikatan Pemuda Tanah Rencong Universitas Sumatera Utara).

Tulisan ini berjudul Culture Shock Pada Mahasiswa Perantau di kota Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Aceh Yang Tergabung Dalam Ikatan Pemuda Tanah Rencong Universitas Sumatera Utara). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana fenomena Culture Shock yang di alami mahasiswa Aceh perantau di kota Medan khususnya bagi mereka yang tergabung dalam organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) Universitas Sumatera Utara. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apa-apa saja hal-hal yang menyebabkan terjadinya Culture Shock dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh yang menjadi fokus penelitian tersebut di kota Medan, sebagai lingkungan yang baru.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk berusaha menganalisis fenomena yang diteliti dan kemudian mendeskripsikannya secara apa adanya. Proses pengumpulan data dimulai dengan membangun rapport bersama para informan, kemudian dilanjutkan dengan teknik pengumpulan data yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif yakni observasi, wawancara mendalam, dan dibantu dengan melakukan studi kepustakaan dan dokumentasi. Disamping itu, peneliti juga menggunakan teknik Focus Group Discussion (FGD) untuk melontarkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi yang digunakan untuk memperkuat data hasil penelitian dan sangat bermanfaat untuk melakukan observasi secara bersamaan terhadap para informan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwasannya Culture Shock yang dialami mahasiswa Aceh IPTR USU cenderung diakibatkan ketidaksiapan mereka dalam menghadapi perubahan dan perbedaan-perbedaan yang di dapati dalam lingkungan kota Medan sebagai lingkungan baru. Faktor pendorong merantau, persepsi, prasangka ataupun stereotype tentang kota Medan adalah faktor awal yang turut mendorong terjadinya Culture Shock dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh di kota Medan sebagai lingkungan yang baru. Bentuk-bentuk Culture Shock yang dihadapi mahasiswa Aceh perantau diantaranya adalah timbulnya kesedihan yang mendalam, keinginan kembali pulang kekampung halaman, adanya perasaan kehilangan, berkurangnya kepercayaan diri, membatasi diri dalam berinteraksi dan bersosialisasi, bahkan memusuhi lingkungan baru hingga munculnya pandangan etnosentrisme. Penyebab yang melatarbelakangi Culture Shock yang dihadapi Mahasiswa Aceh IPTR USU cenderung disebabkan oleh perbedaan dalam lingkungan sosial budaya seperti suasana, bahasa, adat istiadat, agama, makanan, serta pada lingkungan fisik dan juga dipengaruhi oleh kepribadian.

Kata-Kata Kunci: Kebudayaan, Adaptasi, Culture Shock

(6)

iii UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya yang tiada pernah terhenti dilimpahkan kepada penulis dalam setiap langkah perjalanan kehidupan yang dilalui, hingga pada tahap demi tahap penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi penulis yang berjudul “Culture Shock pada mahasiswa perantau di kota Medan, dengan studi kasus pada organisasi IPTR Komisariat USU”

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial dalam bidang Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, di Univesitas Sumatera Utara.

Terimakasih yang begitu tulus dan mendalam penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis yakni Ayahanda Obedi Harefa dan Ibunda Rosianna Tumanggor yang senantiasa selalu ada bagi penulis, mendoakan penulis dan memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penulis termasuk cinta dan kasih sayang yang tiada hentinya.

Semoga Tuhan selalu memberkati dan melindung serta memberikan kalian umur yang panjang. Begitupun kepada ke-empat saudara kandung penulis yang terkasih yakni Andriadi Kristianto, Kristiana Laurita, Alfian Kriswan, dan Rika Dinarti, terimakasih atas dukungan, nasehat, dan motivasi yang juga selalu diberikan kepada penulis dan telah menjadi contoh yang baik bagi penulis selaku anak bungsu dalam keluarga ini. Terkhusus kepada Abang pertama penulis yakni Andriadi yang telah pergi saat penulis sedang berada pada tahap penyusunan skripsi ini, terimakasih atas segala bentuk perhatian dan kasih sayang yang telah engkau beri kepada adik terkecilmu ini, semoga engkau tenang berada di surga-Nya.

Selanjutnya, terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si selaku dosen Penasehat Akademik penulis sekaligus merupakan dosen Pembimbing penulisan Skripsi ini. Terimakasih untuk segala arahan, ilmu pengetahuan, waktu, serta kebaikan-kebaikan lainnya yang Bapak berikan kepada penulis baik selama masa perkuliahan hingga diselesaikannya skripsi ini. Setiap bimbingan yang bapak berikan merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi penulis, yang juga membentuk karakter penulis menjadi sosok yang lebih disiplin, tangguh dan berani. Semoga bapak selalu diberikan kesehatan dan umur yang panjang, serta dibalas segala kebaikannya oleh yang Maha Kuasa.

(7)

iv Terimakasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M. Ant selaku Ketua Departeman Antropologi Sosial yang juga merupakan salah satu dosen pengajar yang difavoritekan penulis selama masa perkuliahan. Terimakasih untuk segala ilmu, motivasi dan arahan yang diberikan kepada penulis dan juga seluruh mahasiswa Antropologi, semoga jurusan Antropologi semakin maju lagi kedepannya. Terimakasih pula kepada Bapak Drs. Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi Sosial yang juga merupakan dosen pengajar yang telah banyak memberikan ilmu yang sangat bermanfaat dengan segala kesabaran yang dimiliki dalam proses mendidik para mahasiswa.

Terimakasih yang setulusnya juga penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Nita Savitri M.Hum dan Ibu Dra. Tjut Syahriani M.Soc.Sc selaku dosen antropologi yang juga merupakan dosen penguji penulis saat melaksanakan ujian skripsi, yang telah begitu banyak memberikan ilmu pengetahuan, saran dan kritik yang sangat membangun terhadap penulis yang sangat bermanfaat dalam proses penyusunan skripsi ini. Begitupun kepada seluruh dosen Antropologi Sosial yang telah memberikan ilmu pengetahuan, wawasan dan segala pelajaran hidup selama penulis menimba ilmu di Universitas Sumatera Utara yang tentunya sangat bermanfaat bagi penulis dan menjadi bekal bagi penulis untuk hari-hari kedepan, penulis sangat berterimakasih sebesar-besarnya telah memperoleh itu semua. Terimakasih pula kepada kedua staff administrasi Departemen Antropologi Sosial yang begitu baik dan sabar serta selalu memberikan petunjuk dan kemudahan dalam hal administrasi kepada penulis dan seluruh mahasiswa Antropologi.

Selain itu, terimakasih penulis ucapkan kepada seluruh informan penelitian penulis di lapangan khususnya kepada orang-orang yang berada dalam organisasi IPTR Komisariat Universitas Sumatera Utara begitu baik dan terbuka serta meluangkan waktu untuk memberikan informasi-informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian penulis, semoga Tuhan membalas kebaikan-kebaikan yang kalian berikan.

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh teman terdekat penulis terutama selama berada di bangku perkuliahan seperti Winda Kartika Manalu, penulis bersyukur bisa memiliki sahabat seperti beliau yang sudah penulis anggap seperti saudara penulis sendiri, yang memiliki perwatakan baik, lembut dan ikhlas dimana tangis, canda dan tawa pernah dilalui bersama-sama selama berada pada bangku

(8)

v perkuliahan dan hingga sampai pada saat ini. Semoga jalinan persahabatan tersebut tidak hanya sebatas sampai pada kelulusan meraih ilmu dan gelar kesarjanaan melainkan untuk selamanya. Begitupun dengan Dina Febyanti dengan segala jiwa humorist dan kemudahan tawanya, terimakasih juga sudah menjadi sahabat penulis selama berada dalam bangku perkuliahan. Terimakasih juga kepada m.n yang menjadi salah satu teman terdekat penulis selanjutnya, yang bersedia disusahkan dan mendengarkan segala keluh kesah penulis, memberikan bantuan, semangat dan hiburan juga dukungan dan motivasi kepada penulis baik dalam proses penyusunan skripsi ini, pun dalam hal lainnya.

Kepada teman-teman seperjuangan lainnya seperti Arie, Ara, Ira, Ida, Fery, yang telah menjadi teman bertukar pikiran selama pengerjaan skripsi dan juga seluruh kerabat antropologi 2017 yang tidak bisa penulis sebut satu-persatu, terimakasih telah menjadi bagian dari perjalanan hidup penulis khususnya dalam mengisi hari-hari semasa berada dalam bangku perkuliahan. Semangat untuk kita semua. Selain itu masih ada sahabat- sahabat penulis lainnya diluar bangku perkuliahan seperti Lolo, Nobel, Mario, Melisa, Dumayanti, Shecilia, Irwanda dan Rosa yang juga menjadi salah satu support system penulis dalam proses penyusunan skripsi ini, terimakasih penulis ucapkan untuk dukungan dan desakan kalian kepada penulis yang juga berfungsi mendorong penulis agar cepat menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang tiada terhingga kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebut satu-persatu, semoga Tuhan senantiasa selalu memberkati dan melindungi setiap langkah dalam kehidupan kita.

Medan, Juli 2021 Penulis

Eldina

(9)

vi RIWAYAT HIDUP PENULIS

Eldina, Lahir di Medan, 27 Desember 1998.

Merupakan anak kelima dari lima bersaudara melalui pasangan Bapak Obedi Harefa dan Ibu Rosianna Tumanggor. Lulus sekolah Dasar (SD) pada tahun 2011 melalui SDN 064990 di Kota Medan.

Kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Santo Petrus Medan dan lulus pada tahun 2014. Setelah lulus SMP, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMA) Swasta Primbana dan lulus pada tahun 2017. Setelah lulus SMA, penulis mengikuti ujian SBMPTN dan dinyatakan lulus menjadi Mahasiswa Strata 1 (S-1) pada jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara pada tahun 2017. Adapun alamat gmail penulis adalah eldinayustika2712@gmail.com

Selama menjadi mahasiswa, terdapat beberapa kegiatan dan prestasi yang pernah di raih penulis selama menjadi mahasiswa, baik kegiatan di dalam kampus maupun di luar kampus diantaranya adalah:

1. Penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) di Universitas Sumatera Utara pada tahun 2018 dan 2019

2. Mengikuti organisasi GGart tahun 2018 dan menjadi Panitia Workshop GGArt dengan tema“ Literasi Media Sosial Untuk Budaya Bersih” tahun 2018

3. Panitia Natal Antropologi Sosial tahun 2018

4. Peserta Seminar “Pengenalan Arkeologi dalam Rangka Pekan Pendidikan Kebudayaan” di PPPTK (P4TK) BBL Medan, tahun 2019

5. Mengikuti Acara Warkop Antro dengan Tema “Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat” tahun 2019

6. Panitia dan Pengisi Acara Penyambutan Mahasiswa Baru Antropologi Sosial yang bertemakan “ Wonderful Of Culture” tahun 2019

(10)

vii 7. Mengikuti “Training Of Fasilitator (TOF)” yang diadakan oleh mata uliah

Pengembangan Masyarakat di hotel Islami Aceh House, Medan Tahun 2019 8. Mengikuti temu ilmiah Arkeologi yang dibawakan oleh Prof. Dr. Bungaran

Antonius Simanjuntak di Balai Arkeologi Sumatera Utara, Medan Tuntungan, Medan tahun 2020

9. Peserta Seminar “4 Pilar Kebangsaan” oleh DPR RI Sofyan Tan di Auditorium Politeknik Wilmar Bisnis Indonesia (WBI), tahun 2020

10. Menjadi Tim Pemantau Dalam Pemilu Walikota Medan periode 2021-2024, di Salah satu TPS Kelurahan Kwala Bekala, Medan Johor, Medan tahun 2020.

(11)

viii KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial pada bidang Antropologi Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “Culture Shock Pada Mahasiswa Perantau di Kota Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Aceh yang Tergabung Dalam Ikatan Pemuda Tanah Rencong Universitas Sumatera Utara)” yang berisikan tentang deskripsi pengalaman Culture Shock yang dihadapi mahasiswa Aceh perantau di kota Medan, bentuk-bentuk Culture shock yang mereka hadapi, serta hal-hal yang menyebabkan terjadinya Culture Shock dalam proses adaptasi mereka di kota Medan sebagai lingkungan yang baru.

Penulisan skripsi ini disusun berdasarkan hasil wawancara mendalam dan pengamatan yang di lakukan di lapangan.

Penulis sangat menyadari bahwasannya di dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan dan pembelajaran pada tulisan-tulisan selanjutnya. Penulis berharap, semoga kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pembacanya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Juli 2021 Penulis

Eldina

(12)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH... iii

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 7

1.2.1 Kebudayaan ... 7

1.2.2.Adaptasi ... 14

1.2.3 Culture Shock ... 16

1.2.4 Etnosentrisme ... 24

1.2.5 Integrasi Sosial ... 25

1.2.6 Merantau ... 27

1.2.7 Penelitian Terdahulu ... 28

1.3 Rumusan Masalah ... 31

1.4 Batasan Masalah ... 31

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 37

1.6 Metode Penelitian ... 38

1.6.1 Tipe Penelitian ... 38

1.6.2 Sumber Data ... 38

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data ... 39

1.6.4. Analisis Data ... 47

1.7 Pengalaman Penelitian ... 49

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Kota Medan ... 52

2.1.1 Letak Geografis Kota Medan ... 52

2.1.2 Heterogentitas Kota Medan ... 55

2.2 Universitas Sumatera Utara ... 58

2.2.1 Sejarah Berdirinya Universitas Sumatera Utara (USU) ... 58

2.3 Organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) USU ... 61

2.3.1 Sejarah Berdirinya IPTR ... 61

2.3.2 Makna Lambang Organisasi IPTR ... 64

2.3.3 Profil Komisariat IPTR USU ... 65

2.3.4 Visi dan Misi IPTR USU ... 67

2.3.5 Struktur Organisasi IPTR USU ... 68

BAB III CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA ACEH PERANTAU YANG TERGABUNG DALAM ORGANISASI IPTR USU DI KOTA MEDAN 3.1 Kebudayaan Aceh ... 71

3.1.1 Karateristik Masyarakat Aceh ... 72

3.1.2 Agama ... 75

(13)

x

3.1.3 Sistem Pemerintahan ... 76

3.1.4 Bahasa ... 80

3.1.5 Pendidikan... 81

3.2 Latar Belakang Informan dan Faktor Pendorong Memilih Berkuliah di Kota Medan ... 83

3.3 Persepsi Mahasiswa Aceh Tentang Kota Medan ... 90

3.2.1 Persepsi Negatif... 91

3.2.2 Persepsi Positif ... 94

3.4 Pengalaman Culture Shock Mahasiswa Aceh di kota Medan ... 96

3.4.1 Informan LI ... 97

3.4.2 Informan HM ... 102

3.4.3 Informan AS ... 105

3.4.4 Informan Fitri ... 109

3.4.5 Informan Rizky ... 112

3.4.6 Informan Kahlil ... 115

3.5 Bentuk-Bentuk Culture Shock yang di Alami ... 119

BAB IV FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CULTURE SHOCK DALAM PROSES ADAPTASI MAHASISWA ACEH DI KOTA MEDAN 4.1 Hasil Focus Group Discussion ... 121

4.2 Penyebab yang Melatarbelakangi Terjadinya Culture Shock Pada Mahasiswa Aceh ... 124

4.2.1 Lingkungan Sosial Budaya ... 125

4.2.1.1 Bahasa ... 125

4.2.1.2 Adat Istiadat... 126

4.2.1.3 Agama ... 128

4.2.1.4 Makanan ... 128

4.2.2 Lingkungan Fisik ... 129

4.2.3 Kepribadian ... 130

4.3 Upaya-upaya mahasiswa Perantau dalam mengatasi Culture Shock ... 131

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 135

5.2 Saran ... 136

DAFTAR PUSTAKA... 138

LAMPIRAN ... 142

(14)

xi DAFTAR GAMBAR

Gambar I Kurva U ... 21

Gambar II Peta Kota Medan ... 54

Gambar III Universitas Sumatera Utara ... 58

Gambar IV Sekretariat IPTR Kota Medan... 63

Gambar V Lambang IPTR ... 64

Gambar VI Sekretariat IPTR USU ... 66

(15)

xii DAFTAR TABEL

Tabel I Informan Penelitian ... 42

Tabel II Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan tahun 2015 ... 53

Tabel III Perbandingan Etnis di Kota Medan Tahun 1930, 1980, 2000 ... 56

Tabel IV Agama di Kota Medan ... 57

Tabel V Jumlah mahasiswa USU Tahun 2001/2002 – 2017/2018 ... 60

Tabel VI Struktur Organisasi IPTR Komisariat USU Periode 2019-2020... 68

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Setiap daerah memiliki kebudayaan yang dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakatnya. Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar dimana dengan demikian maka seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya sedikit tindakan manusia yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar (Koentjaraningrat 2016 : 144). Melalui defenisi tersebut dapat diketahui bahwasannya hampir seluruh peri kehidupan manusia baik yang bersifat konkret maupun abstrak merupakan kebudayaan. Manusia yang pada hakekatnya merupakan makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain, mendorong terbentuknya suatu komunitas atau kelompok kebudayaan. Terbentuknya kelompok kebudayaan tersebut biasanya didorong oleh beberapa faktor diantaranya adalah adanya kesamaan lingkungan, seperti geografis, kesamaan nasib, keluarga, nilai-nilai, praktik keagamaan, kebiasaan, atau adat istiadat dari suatu kelompok budaya manusia ikut mendorong terbentuknya identitas komunitasnya (Andre Ata Ujan, dkk, 2011).

Indonesia merupakan negara multikultural dengan keanekaragaman masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, agama, dan ras yang berbeda-beda yang menjadikannya sebagai bangsa yang majemuk. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, terdapat 1.340 suku bangsa atau etnik yang ada di tanah air.

Keanekaragaman tersebut tersebar di tiap-tiap daerah di Indonesia dari sabang sampai merauke. Hal ini menyadarkan kita bahwasannya terdapat berbagai perbedaan yang menjadi kekayaan Indonesia khususnya dalam ruang lingkup kebudayaan. Perbedaan tersebut dapat ditemui pada ciri khas unsur-unsur kebudayaan di tiap daerahnya, yang dianut oleh kelompok masyarakatnya. Ciri khas unsur-unsur kebudayaan tersebut kemudian akan diwariskan secara turun temurun oleh penganutnya melalui lintas generasi yang dikenal dengan istilah “enkulturasi”.

(17)

2 Proses enkulturasi adalah proses dimana seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaan (Koentjaraningrat, 2016 : 189). Berdasarkan teori tersebut dapat diketahui bahwasannya kebudayaan merupakan sesuatu yang telah dipelajari sejak kecil oleh setiap individu dalam lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga, lingkungan tempat tinggal sebagai lingkungan kebudayaan atau daerah asal tempat individu hidup, memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk konsep pemikiran, tingkah laku serta kepribadian masyarakat yang tentunya berbeda-beda tiap daerahnya sesuai dengan bagaimana ciri khas dari unsur kebudayaan yang dimiliki.

Dalam dunia yang semakin canggih, modern dan terbuka di masa kini, pertemuan dan pergaulan antar kebudayaan dari berbagai daerah sangatlah mudah terjadi. Salah satu pendorong terjadinya adalah karena adanya mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk merupakan perpindahan yang dilakukan dari daerah asal menuju lingkungan baru baik secara permanen ataupun tidak, dengan berbagai alasan dan tujuan tertentu. Perpindahan yang dilakukan secara permanen atau tidak ke lingkungan yang baru tentunya akan menimbulkan terjadinya kontak antar budaya berbeda, yang tentunya akan dihadapkan pada hal-hal yang baru dan akan menimbulkan berbagai perubahan atau merasakan perbedaan bagi diri individu baik dalam situasi sosial, budaya maupun lingkungan.

Dalam menghadapi perbedaan tersebut, akan wajar jika muncul berbagai kesulitan yang mendorong individu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang baru baik pada unsur kebudayaan, perbedaan suasana kultur atau segala kebiasaan hidup yang di jalani seperti di lingkungan asal sebagai tempat yang sudah familiar. Kontak antar budaya berbeda akan dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, kecemasan, rindu akan daerah asal hingga dapat menyebabkan tekanan mental sebagai reaksi psikis dan fisik (Yusnia, 2016). Keadaan inilah yang dikenal dengan istilah gegar budaya atau culture shock.

Culture shock sebuah fenomena yang pertama kali dicetuskan oleh seorang antropolog bernama Kalervo Oberg (1960, dalam Irwin 2007) dimana ia menggambarkan fenomena ini sebagai sebuah kecemasan dan gangguan emosional yang dihasilkan dari kehilangan semua tanda dan simbol dari hubungan sosial yang dikenali. Kecemasan dan

(18)

3 gangguan emosional tersebut dialami oleh seseorang ketika realitas dan konseptualitas bertemu. Kecemasan ini dihasilkan karena merasa kehilangan semua tanda dan simbol dari hubungan sosial yang dikenali sehingga dapat berakibat pada timbulnya perasaan terisolasi, tidak aman (tidak nyaman), kegelisahan umum dengan situasi baru, ketakutan irasional, kesulitan tidur, kecemasan bahkan depresi, sibuk dengan kesehatan, mual, dan kerinduan yang berlebihan untuk kembali pulang ke kampung halaman akibat culture Shock yang dialami (irwin, 2007).

Culture shock pada umumnya biasa terjadi pada orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah dari daerah asalnya ke daerah baru yang dapat menimbulkan tekanan mental serta ketidaknyamanan terhadap budaya dan lingkungan barunya yang akan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial juga dapat menimbulkan gejala seperti stres, frustasi, serta susah beradaptasi dalam menerima nilai-nilai sosial baru yang tentunya akan memakan waktu cukup lama (Damai Andani, 2017). Manusia akan senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di sekitanya, seperti halnya individu yang berada dalam lingkungan kebudayaan baru. Dalam proses penyesuaian tersebut segala kebiasaan hidup yang dijalani biasanya akan memiliki perbedaan dalam lingkungan baru yang dijumpainya sehingga akan beresiko pada terjadinya culture shock akibat adanya berbagai unsur kebudayaan berbeda dan suasana kultur yang berbeda pula.

Koentjaraningrat (2016) menyatakan bahwasannya dalam tiap batas wilayah tampak kesatuan-kesatuan manusia yang lebih khusus, berbeda antara satu dengan yang lainnya, yang disebabkan karena adat istiadat dan bahasa suku bangsa, kadang-kadang juga karena agama, atau kombinasi dari keduanya. Contohnya adalah pada Indonesia di pulau Sumatera terdapat suku bangsa Aceh yang letak daerahnya berada di ujung utara pulau Sumatera yang berbeda dengan suku bangsa Batak Toba, bukan hanya mengenai adat-istiadat atau bahasanya, melainkan juga mengenai agamanya; suku bangsa Aceh yang dominan Islam, dan suku bangsa Batak Toba yang dominan Kristen.

Suatu “daerah kebudayaan” (culture area) merupakan suatu penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang beragam kebudayaannya, tetapi mempunyai beberapa unsur dan ciri yang mencolok yang serupa, ciri-ciri tersebut tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik seperti perhiasan,

(19)

4 gaya pakaian, bentuk kediaman alat-alat transportasi dan lain sebagainya, melainkan juga unsur-unsur kebudayaan yang bersifat abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya misalnya unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, perekonomian, upacara-upacara kegamaan, unsur cara berpikir, dan adat istiadat (Koentjaraningrat,2016). Oleh sebab itu dapat dietahui bahwa dalam setiap daerah, akan selalu ada unsur kebudayaan baik yang sifatnya konkret maupun abstrak, yang menjadi ciri khas mencolok suatu masyarakatnya dan tentu sedikit banyaknya sudah melekat dalam diri setiap individu dalam masyarakatnya yang akan mempengaruhi pula bagaimana kepribadian individu dalam masyarakatnya terbentuk.

Kota Medan merupakan salah satu kota yang terletak di pulau Sumatera sebagai ibu kota dari provinsi Sumatera Utara yang dikenal identik dengan suku Batak.

Keidentikan tersebut sebenarnya adalah salah satu stereotipe yang melekat pada kota Medan, padahal suku bangsa asli kota Medan adalah suku bangsa Melayu. Adapula stereotipe yang menganggap bahwa Medan dipenuhi oleh orang-orang dengan jiwa yang keras dan juga kasar sehingga menimbulkan persepsi negatif bagi orang-orang yang tidak berasal dari kota Medan. Seperti pada penelitian yang dilakukan Atiqa (2013) yang mengungkapkan representasi karakter masyarakat kota Medan melalui desain kaos, menonjolkan karakter masyarakat kota Medan yang dikenal garang, kasar, dan menantang.

Stereotipe-stereotipe seperti itu tentu akan mempengaruhi cara pandang orang- orang yang bukan berasal dari kota Medan atau hendak mendatangi kota Medan. Hal tersebut karena sudah tertanam stigma negatif tentang kota Medan yang tentu saja akan menimbulkan rasa khawatir, sensitif atau was-was sebagai reaksi negatif akibat stereotype tentang kota Medan. Menurut penulis, stereotype demikian sebenarnya dipengaruhi oleh dialek penduduk kota Medan atau logat bahasa dan intonasi suara yang cukup besar sehingga menimbulkan penilaian kasar, garang, atau menantang bagi orang- orang yang tidak berasal dari kota Medan.

Terdapat individu-individu pendatang yang berasal dari luar kota Medan, yang tidak tinggal untuk menetap melainkan untuk mencapai suatu tujuan dalam jangka waktu tertentu dan biasanya cukup lama seperti halnya adalah para pelajar atau mahasiswa

(20)

5 perantau yang berasal dari luar daerah kota Medan. Hal tersebut menuntut mereka untuk beradaptasi dan memahami bagaimana kebudayaan yang hidup di kota Medan sebagai lingkungan baru yang akan ditempati dalam kurun waktu yang cukup lama dengan tujuan untuk menempuh pendidikan khususnya di perguruan tinggi.

Mahasiswa perantau bukanlah suatu hal yang baru dalam lingkup kehidupan di perguruan tinggi. Mahasiswa di tiap universitas sangat identik dengan yang namanya merantau karena sebagian besar mahasiswa adalah orang-orang yang berasal dari luar daerah. Universitas Sumatera Utara merupakan universitas negeri yang menjadi salah satu kampus favorite khususnya di pulau Sumatera. Banyak diantara mahasiswa yang berjuang dari berbagai asal daerah untuk dapat berkuliah di USU sehingga tidak heran jika kampus USU juga memiliki nuansa multikultural melalui mahasiswanya.

Terdapat berbagai alasan dan pertimbangan bagi mereka yang berasal dari luar daerah ketika memilih sebuah Universitas yang dijadikan tujuan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi yang bukan berada di daerah asalnya. Alasan-alasan tersebut bisa jadi dikarenakan kualitas sebuah Universitas yang dianggap bagus, dorongan dari orang tua, adanya kerabat di daerah universitas yang dituju, atau keinginan diri sendiri untuk merantau dan menempuh pendidikan di luar daerah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tidak heran jika dalam kehidupan di lingkungan Universitas terdapat berbagai identitas kebudayaan yang berbeda yang berpeluang pada terjadinya culture shock bagi individu yang tidak berasal dari kota Medan.

Melalui pengamatan lapangan, fenomena culture shock secara sadar maupun tidak banyak dialami oleh mahasiswa-mahasiswi perantau dari berbagai asal daerah di luar kota Medan yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Beberapa bentuk culture shock yang sebenarnya dapat diamati dilapangan adalah seperti ketidak inginan mereka untuk bergaul dengan teman yang berbeda daerah asal atau suku, kritikan mereka pada rasa makanan, gaya berpakaian, gaya bicara atau berbahasa baik dialek, intonasi suara atau ejaan kata, tingkah laku perempuan dan laki-laki, kebersihan, keadaan lalu lintas dan transportasi lalu lintas, cuaca, serta gaya hidup orang-orang yang diamati di kota Medan. Hal-hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk ketidaknyamanan yang umumnya di tunjukkan oleh mahasiswa perantau yang berasal dari luar kota Medan.

(21)

6 Proses penyesuaian diri yang dilakukan dengan mempelajari lingkungan kebudayaan baru sebagai tempat tinggal tidak mungkin dapat dilakukan dengan cepat karena tentunya didapati berbagai hal yang berbeda dengan lingkungan asal sehingga dalam proses penyesuaian diri ini lah peluang terjadinya culture shock atau syok budaya sangat memunginkan terjadi. Setiap individu tentunya memberikan reaksi yang berbeda-beda ketika mengalami culture shock, ada yang menyerah namun ada pula yang maju dan menikmati lingkungan barunya.

Fokus penelitian ini dilakukan pada mahasiswa perantau yang berasal dari luar kota Medan di Universitas Sumatera Utara yakni pada mahasiswa Aceh perantau yang tergabung dalam organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) Universitas Sumatera Utara yang mengalami culture shock. Penulis memilih mahasiswa Aceh perantau sebagai fokus penelitian peneliti karena selain tentunya terdapat perbedaan-perbedaan antara lingkungan sosial budayadi Aceh dan dikota Medan, peneliti juga memilih mahasiswa Aceh karena fenomena culture shock yang penulis angkat sebagai fokus penelitian berangkat dari pengamatan di lapangan terhadap mahasiswa Aceh yang mengalami culture shock.

Penulis mengamati kehidupan sosial salah satu mahasiswa Aceh perantau yang berkepribadian tertutup di lingkungan tempat tinggalnya, tidak ingin bergaul dengan orang lain selain teman yang berasal dari daerah asal, mudah menangis dan selalu ingin pulang ke kampung halaman. Hal tersebut menarik perhatian penulis untuk mengkaji lebih dalam dan lebih lanjut mengenai fenomena ini sehingga peneliti memfokuskan penelitian pada mahasiswa Aceh khususnya yang tergabung dalam organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) Komisariat di Universitas Sumatera Utara, sebagai salah satu wadah perkumpulan mahasiswa Aceh perantau di kota Medan. Peneliti merasa fenomena culture shock yang dikhususkan peneliti pada mahasiswa Aceh merupakan kajian yang masih sangat menarik untuk di teliti terkhusus melalui sudut pandang Antropologi.

(22)

7 1.2 Tinjauan Pustaka

1.2.1 Kebudayaan

a. Defenisi Kebudayaan

Berbicara mengenai manusia maka tidak akan terlepas dari yang namanya kebudayaan karena kebudayaan mengacu pada seluruh aspek kehidupan manusia. Kata

“kebudayaan’ berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang artinya ialah budi atau akal sehingga diartikan bahwasannya kebudayaan merupakan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.

Menurut Ilmu antropologi kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan miilk diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2016). Dengan demikian, dapat diketahui bahwasannya kebudayaan begitu melekat dengan diri manusia karena hampir seluruh tindakan yang dilakukan oleh manusia dilakukan melalui proses belajar terlebih dahulu.

Tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar adalah seperti hanya beberapa dari tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan proses fisiologis, atau kelakuan membabi buta (Koentjaraningrat, 2016:146).

Berdasarkan defenisi tersebut, maka manusia tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya kebudayaan karena dalam kehidupan sehari-hari, ketika berbicara, bertindak atau melakukan apapun manusia akan senantiasa terlibat dengan yang namanya kebudayaan.

Sejak tahun 1871, E.B Taylor (dalam Poerwanto, 2000 : 52) telah mencoba mendefenisikan kata kebudayaan yakni sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbgai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat Namun, defenisi ini tampaknya lebih kepada unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan tanpa menyebutkan sifat dan karakteristik dari unsur-unsur kebudayaan itu. Defenisi tersebut kemudian dianggap kurang esensisal sehingga Wilson (1966, dalam Robert 2004) mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisi dan disebarkan secara sosial baik bersifat eksistensial, normatif maupun simbolis, yang tercermin dalam tindakan (act) dan benda-benda hasil karya manusia (artifact).

(23)

8 C.Geertz (dalam Hari Poerwanto, 2000 : 58) berpendapat bahwa kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersana dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan perorangan. A.L. Kloeber dan Kluckhohn dalam buku mereka yang berjudul Culture: A Critical Review of Concepts and Defenition (1952, dalam Hari Poerwanto, 2000 : 52) mengutarakan bahwa yang dimaksudkan dengan kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik ekspit maupun implisit, yang diperoleh maupun diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.

Selanjutnya Goodenough (1986, dalam Robert 2004) kemudian dengan tegas mengatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui dan diyakini manusia agar bertindak dengan suatu cara yang dapat dierima oleh anggota-anggota masyarakat dan agar dapat berperan sesuai dengan peran yang diteirma oleh anggota masyarakat. Menurut Robert (2004 : 3) Kebudayaan selalu diartikan sebagai sesuatu yang dimiliki manusia untuk dapat berfungsi, berperan, dan berada dalam kehidupan masyarakat, dengan demikian kebudayaan diartikan sebagai cara mengetahui yang harus dimiliki seseorang untuk menjalani tugas-tugas kehidupan sehari-hari dan kebudayaan mencakup pengetahuan tentang musik, sastra, seni, dan sebagainya

b. Wujud Kebudayaan

Talcot Parson dan A.L Kroeber (dalam Koentjaraningrat, 2016) merupakan ahli yang menganjurkan untuk membedakan kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide dan konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola sehingga kemudian J.J Honigmann (1959 dalam Koentjaraningrat,2016:150) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan yaitu ideas, activities, dan artifacts, sehingga dalam Koentjarningrat (2016:150) berpendirian bahwasannya terdapat tiga wujud kebudayaan yang kemudian diuraikan satu persatu, yaitu : 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya.

Wujud pertama ini merupakan wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto, lokasinya ada didalam kepala atau dalam alam pikiran

(24)

9 warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Jika warga masyarakat menyatakan gagasan mereka kedalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal mereka berada dalam karangan atau buku-buku yang merupakan hasil karya warga masyarakat yang bersangkutan. Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan antara satu dengan yang lain dalam masyarakat itu selalu berkaitan dan membentuk suatu sistem yang para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini dengan sistem budaya atau cultural system. Dalam bahasa indonesia wujud ideal dari kebudayaan ini disebut dengan adat atau adat istiadat

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktiivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri sistem sosial ni terdiri atas aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu dan selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan pada dat dan tata kelakuan.

Sebagai rangkaian aktivitas manusia daam suatu masyarakat maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, atau didokumentaskan.

2. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud terakhir yaitu wujud ketiga dari kebudayaan, yang disebut dengan kebudayaan fisik. Wujud kebudayaan ini berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifat dari wujud kebudayaan ini adalah paling konkret karena dan berupa benda-benda atau hal yang dapat diaba, dilihat dan difoto.

c. Unsur-unsur Kebudayaan

Kebudayaan memiliki unsur-unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur kebudayaan bersifat universal karena unsur-unsur tersebut terdapat dalam semua kebudayaan yang ada di dunia sehingga C. Kluckhohnn dalam sebuah karangannya yang berjudul Universal Categories of Cultures menguraikan unsur-unsur kebudayaan yang selanjutnya dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya (2016 : 163) yang terdiri

(25)

10 dari tujuh unsur kebudayaan yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.

1. Bahasa

Bahasa dikatakan sebagai jantung kebudayaan, yang mana dalam hal ini bahasa menjadi alat atau sarana utama untuk mengkomunikasikan, membahas, membagikan, dan mewariskan arti-arti kebudayaan kepada generasi selanjutnya (Andre Ata Ujan, dkk 2009). Bahasa bukan hanya sekedar lisan atau ucapan melainkan juga tulisan dan ada pula bahasa tubuh. Robert (2004:35) mengatakan bahwasannya hampir semua ahli bahasa setuju dengan defenisi bahwa bahasa adalah sistem lambang yang digunakan oleh masyarakat sebagai alat komunikasi.

Setiap individu sudah pasti memiliki bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai sarana yang digunakan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupannya. Setiap daerah pasti memiliki bahasa daerahnya sendiri atau dalam kesatuan yang lebih khusus setiap daerah memiliki berbagai suku bangsa dengan bahasanya daerahnya sendiri seperti bahasa Aceh, bahasa Jawa, dan lain sebagainya. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, bahasa juga memiliki karakteristik yang sama dengan yang terdapat dalam kebudayaan. Kebudayaan yang merupakan milik anggota masyarakat sama seperti bahasa juga milik anggota masyarakat, bahasa juga ditransmisi secara sosial, bahasa tercermin dalam ide, tindakan, dan hasil karya manusia dan juga sebagai sarana bagi manusia untuk berperan, bertindak, berinteraksi, dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat dimana bahasa juga harus dipelajari terlebih dahulu (ibid).

Melalui bahasa, setiap individu mampu berinteraksi menyampaikan ide, tindakan atau segala maksud dan keinginan hati kepada orang lain atau lawan bicaranya. Ketika individu berpindah kedalam suatu daerah baru dan telah memahami bahasa daerah yang ada pada lingkungan baru itu, hal ini akan sangat membantu individu tersebut beradaptasi dengan lingkungn barunya karena kesamaan bahasa dapat membuat seseorang merasa lebih dekat dan lebih diterima dalam sebuah situasi. Dalam hal ini, bahasa sebagai unsur kebudayaan merupakan aspek yang penting bagi setiap individu untuk dapat berbaur dan

(26)

11 memahami serta menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, serta tata krama yang ada dalam suatu masyarakat.

2. Sistem pengetahuan

Sistem pengetahuan sebagai unsur kebudayaan merupakan pengetahuan dari manusia tentang berbagai unsur yang ada dan digunakannya. Sistem pengetahuan merpuakan salah satu unsur dari kebudayaan yang tidak bisa dilihat secara nyata karena letak dari sistem pengetahuan tentu berada dalam alam pikiran namun memainkan peranan yang sangat penting bagi individu manusia dalam menentukan tingkah lakunya.

Koentjaraningrat (2016 : 291) memfokuskan sistem pengetahuan yang dimaksud dengan tiap suku bangsa di dunia. Menurut peneliti, yang dimaksud dalam gagasan tersebut adalah setiap individu bersuku bangsa tentu memiliki sistem pengetahuan akan budaya dan lingkungan kebudayaannya.

Sistem pengetahuan yang merupakan salah satu dari unsur kebudayaan membantu setiap individu atau masyarakat dalam menganalisis pengetahuan tentang alam tempat tinggalnya sehingga dapat mengupasnya dan mewariskannya kepada generasi-generasi selanjutnya. Sistem pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial merupakan suatu akumulasi dari perjalanan hidupnya dalam hal berusaha memahami alam sekitar, alam flora di daerah tempat tinggal, alam fauna di daerah tempat tinggal, zat-zat bahan mentah dan atau benda-benda dalam lingkungannya, tubuh manusia, sifat- sifat dan tingkah laku sesama manusia, serta ruang dan waktu (Elly, dkk 2006 : 30)

3. Organisasi sosial

Manusia merupakan makhluk sosial karena antara satu dengan yang lain harus saling membantu untuk dapat bertahan hidup. Dalam kehidupan bermasyarakat, organisasi sosial akan senantiasa hadir untuk mengatur berbagai macam tatanan dalam kesatuan yang terdapat dalam lingkungan tempat tinggal setiap individu manusia. Setiap kehidupan masyarakat diorganisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat individu hidup dan bergaul dari hari ke hari diamana kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah

(27)

12 kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kaum kerabat lain (Koentjaraningrat 2016 : 285)

Dalam lingkungan kebudayaan yang tidak familiar, keluarga dan kaum kerabat sebagai kesatuan sosial yang paling dekat merupakan hal yang paling sering menimbulkan keinginan untuk pulang ke kampung halaman bagi individu perantau.

Menurut peneliti para individu perantau mengalami perasaan kehilangan relasi atau merasa sendiri di lingkungan baru sehingga menimbulkan kerinduan mendalam pada keluarga dan kerabat yang dapat menyebabkan kegagalan pada tujuan awal individu tersebut merantau.

3. Sistem peralatan hidup dan teknologi

Setiap individu tentu membutuhkan peralatan dan teknologi untuk membantu bertahan hidup baik pada masa kini maupun pada zaman tradisional dulu. Sistem peralatan hidup dan teknologi merupakan salah satu unsur kebudaayaan yang berisikan tentang cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari suku bangsa yang dalam karangan etnografi, cukup membatasi diri terhadap teknologi yang tradisional. Sistem peralatan dan teknologi ini merupakan slah satu wujud dari kebudayaan fisik yang dimiliki oleh suku bangsa.

Dengan adanya teknologi, manusia tentu dapat secara intensif berhubungan dengan alam. Dalam kemajuan zaman yang semakin modern, sistem peralatan hidup dan teknologi khususnya di perkotaan tentu akan lebih canggih dibandingkan pada pedesaan sehingga perbedaan dalam sistem peralatan hidup dan teknologi yang canggih juga memiliki resiko pada timbulnya syok budaya pada indvidu perantau.

4. Sistem mata pencaharian hidup

Sistem mata pencaharian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mana penelitian para ahli antropologi terdahulu terbatas pada sistem-sistem yang bersifat tradisional, terutama perhatian terhadap kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik (Koentjaraningrat 2016 : 275). Seiring perkembangan zaman yang semakin modern tentu mata pencaharian yang ada pada tiap-tiap daerah semakin maju. Dalam hal ini perbedaan mata pencaharian di pusat kota akan berbeda dengan pedesaan. Seperti yang kita ketahui

(28)

13 kota akan menghadirkan berbagai macam mata pencaharian dengan berbagai fasilitas modern seperti adanya gedung-gedung tinggi seperti tempat perkantoran, hotel, mall dan lain sebagainya yang.

Mata pencaharian masyarakat kota akan mayoritas pada sektor perindustrian, perdagangan, jasa, dan lain sebagainya dengan ke heterogenan masyarakatnya sedangkan pada masyarakat desa mata pencaharian akan lebih cenderung pada bertani, berternak, dan berdagang dengan masyarakatnya yang homogen. Dalam hal ini terdapat perbedaan mata pencaharian antara daerah sehingga ketika individu memasuki sebuah daerah yang lebih maju dari daerah asalnya ataupun sebaliknya, maka kemungkinan akan terjadi kesukaan atau malah kecemasan, ketidaksukaan, atau penolakan terhadap lapangan pekerjaan sebagai sistem mata pencaharian yang diamati pada daerah tersebut.

5. Sistem religi

Dalam ilmu antropologi, sistem religi merupakan suatu kepercayaan yang dianut oleh individu dalam tiap-tiap suku bangsa yang mana kepercayaan ini mengandung arti yang lebih luas dari agama. Religi pada dasarnya adalah kerpercayaan terhadap adanya kekuatan gaib luar biasa atau sepernatural yng berpengaruh teradap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap gejala alam yang menimbulkan perilaku tertentu dari individu atau masyarakat yang mempercayainya seperti berdoa atau memuja yang menimbulkan sikap mental tertentu seperti takut, pasrah, ataupun optimis (Alfiandri, 2018). Suatu sistem religi akan sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan di antara pengikut-pengikutnya yang terdiri dari sistem keyakinan, sistem upacara keagamaaan, dan suatu umat yang menganut religi itu Koenjaraningrat (2016 : 295).

Perbedaan-perbedaan sistem religi yang ada pada tiap individu atau masyarakat dapat diihat pada tempat upacara kegamaan dijalankan, saat-saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat upacara yang digunakan, serta orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Indonesia yang merupakan negara multikultural memiliki banyak suku bangsa yang tiap suku bangsa itu sebenarnya memiliki kepercayaan atau keyakinan lokal yang mayoritas dianut oleh masyarakatnya seperti halnya suku bangsa Aceh mayoritas menganut agama islam sedangkan suku bangsa

(29)

14 Batak Toba mayoritas menganut agama kristen. Keyakinan atau kepercayaan yang dianut oleh tiap suku bangsa juga ikut campur sebagai salah satu identitas budaya.

6. Kesenian

Kesenian merupkan unsur kebudayaan yang mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Setiap kebudayaan pasti mempunyai cara untuk berekspresi, entah lewat seni, teknologi, atau kepercayaan kepada gaib untuk menunjukkan tentang keberdaannya kepada dunia (Andre, dkk 2011 : 28). Menurut Koentjaraningrat (2016 : 298) dipandang dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan itu dinikmati, maka ada dua hal lapangan besar yaitu seni rupa, atau kesenian yang dinikmati manusia dengan mata, dan seni suara, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga.

Setiap suku bangsa memiliki kesenian yang khas yang dimiliki masyarakatnya sehingga indonesia yang multikultural memiliki beragam kesenian yang khas dan tradisional pada tiap suku bangsa. Karya seni mampu mengungkapkan makna hakiki yang hanya dapat ditangkap atau dihayati dengan kepekaan perasaan estetis yang tinggi, yang juga dapat dijadikan sebagai media komunikasi (Andre, dkk 2011 : 29)

Unsur-unsur kebudayaan tersebut diatas tentu berbeda-beda dalam tiap kebudayaan sehingga pada individu yang memasuki lingkungan kebudayaan baru. Keseluruhan atau beberapa diantara unsur-unsur kebudayaan yang ada dan berbeda dalam tiap-tiap daerah akan mampu menimbulkan terjadinya resiko fenomena kejut budaya bagi individu yang mengalaminya.

1.2.2 Adaptasi

Adaptasi merupakan salah satu konsep dasar yang terdapat dalam antropologi ekologi. Julian H. Steward (1930, dalam Yuliati, 2011 : 20-21) sebagai antropolog ekologi budaya dalam teorinya menegaskan bahwa lingkungan dan budaya bukan dua hal yang terpisah melainkan suatu proses yang timbal balik dimana lingkungan berpengaruh terhadap prilaku manusia dan pada waktu yang bersamaan manusia juga mempengaruhi terbentuknya lingkungan atau dengan kata lain manusia dan lingkungan adalah setara. Alland (1975, dalam Wahyu 2011 : 11-83) mendefenisikan bahwa adaptasi

(30)

15 merupakan strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengatasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial.

Bennet (1970) menyatakan bahwa adaptasi adalah suatu proses dimana organisme menghadapi perubahan yang bersifat responsif pada unsur, struktur, dan komposisi yang mengatur homestatis (proses yang dilakukan makhluk hidup untuk mempertahankan kondisi konstan agar tubuh dapat berfungsi dengan normal meski terjadi perubahan pada lingkungan di dalam atau di luar tubuh) baik perubahan lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang dimana mereka berada.

Menurut Bennet adaptasi dapat di lihat melalui tiga hal. Pertama, perilaku adaptif, sebagai bentuk prilaku yang menunjukkan penyesuaian dan cara-cara mencapai tujuan, melakukan pilihan-pilihan dan menolak melakukan tindakan-tindakan atau keterlibatan dengan maksud untuk beradaptasi. kedua strategi tindakan, yakni tindakan khusus yang dilakukan dan direncanakan untuk menyelesaikan upaya penyelesaian demi tercapainya tujuan dan yang ketiga strategi adaptasi merupakan upaya manusia dalam mengutamakan hasil dari prilaku. Teori tersebut tampaknya menegaskan bahwa individu akan berusaha untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan tantangan yang dihadapi pada lingkungan baru dan perubahannya.

Menurut Usman pelly (1998 : 83) Adaptasi merupakan kemampuan atau kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup dengan baik, dimana adaptasi juga bisa diartikan sebagai cara-cara yang dipakai oleh perantau untuk mengatasi rintangan-rintangan yang dihadapi dan untuk memperoleh keseimbangan-keseimbangan positif dengan kondisi latar belakang perantau. Uraian defenisi tersebut memberikan gambaran bahwasannya agar mampu bertahan dalam menghadapi perubahan di lingkungan baru maka individu cenderung harus melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungnnya agar rintangan yang dihadapi akibat perbedaan-perbedaan atau perubahan dalam berbagai situasi kondisi dapat dihadapi.

Proses adaptasi dalam lingkungan baru yang tidak mudah dapat dilalui dalam jangka waktu pendek akan memungkinkan terjadinya berbagai guncangan perasaan akibat perbedaan-perbedaan dalam berbagai unsur kebudayaan yang dihadapi sehingga

(31)

16 dalam proses adaptasi tersebut akanada resiko terjadinya culture shock sebagai gejala sosial yang tak jarang dialami oleh individu yang memasuki lingkungan baru. Culture shock sebagai masalah sosial yang umum dialami individu perantau dalam menghadapi perubahan di lingkungan yang baru akan dapat dilihat melalui proses adaptasi mereka di lingkungannya yang baru sehingga akan terlihat unsur-unsur mana yang menyebabkan terjadinya culture shock pada individu yang berada dalam lingkungan baru.

1.2.3 Culture Shock

a. Defenisi Culture Shock

Keanekaragaman kebudayaan dalam dunia yang semakin terbuka atau mengglobal sangat memungkinkan terjadinya percampuran identitas-identitas kebudayaan yang berbaur dalam tiap daerah karena pada masa kini setiap individu sangat mudah berpindah tempat dengan waktu yang relatif singkat dengan melintasi pulau bahkan benua yang memungkinkan terjadinya lintas budaya. Namun, terdapat konsekuensi dari terjadinya lintas budaya bagi individu-individu yang melakukannya, salah satu dari konsekuensi ini ialah yang disebut dengan culture shock atau gegar budaya. Culture shock merupakan fenomena yang dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda, seperti individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya dalam negeri sendiri, atau individu yang sampai berpindah ke luar negeri lain yang dapat merasa kehilangan relasi, objek atau pendeknya kehilangan kulturnya (Dayakisni,2004).

Culture shock merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Kalervo Oberg (1960) yakni seorang antropolog yang menggambarkan culture shock sebagai sebuah kecemasan yang dihasilkan dari kehilangan semua tanda dan simbol dari hubungan sosial yang dikenali (Irwin, 2007) atau untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang- orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru (Dayakisni, 2004 : 359).

Kecemasan merupakan bentuk perasaan khawatir, gelisah dan perasaan-perasaan lain yang kurang menyenangkan dimana biasanya perasaan ini disertai dengan rasa kurang percaya diri, tidak mampu, merasa rendah diri, dan tidak mampu menghadapi suatu masalah (Hurlock, 1990).

(32)

17 Kecemasan yang dihasilkan dari kehilangan semua tanda dan simbol dari hubungan sosial yang dimaksudkan dalam fenomena culture sohck ialah ialah ribuan cara dimana individu biasa mengorientasikan diri sendiri didalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana memberikan petunjuk serta kapan dan dimana individu dapat merespon.

Petunjuk tersebut dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan, yang kesemuanya itu ialah bagian dari budaya sama halnya dengan bahasa yang digunakan serta diucapkan dan kepercayaan yang kita terima (Oberg, dalam Andani 2018).

Pada awalnya, defenisi culture shock cenderung pada kondisi gangguan mental (Dayakisni, 2004:360). Bowlby (1960, dalam Dayakisni, 2004 : 360) menggambarkan kondisi ini sama dengan seperti kesedihan, berduka cita, dan kehilangan sehingga dikaitkan mirip dengan kondisi ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai namun bedanya dalam culture shock individu merasa kehilangan relasi, objek atau pendeknya adalah kehilangan kulturnya.Menurut Furhan dan Bochner (1970, dalam dayakisni 2004 : 359) culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika mengenalnya, ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan prilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu.

Littlejohn (1998, dalam Intan 2019) menyatakan bahwasannya ketika individu masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, kemudian merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, ia telah mengalami gegar budaya. Ward (2001 dalam Intan, 2019) mendefenisikan gegar budaya sebagai suatu proses aktif yang dialami individu dalam menghadapi perubahan saat berada didalam lingkungan yang tidak familiar, dimana proses aktif itu terdiri dari affective , behavior, dan cognitif yaitu sebuah reaksi individu pada keadaan merasa, berprilaku, dan berpikir, ketika menghadapi pengaruh budaya kedua.

Edward Hall (1959, dalam Nalarati 2015) melalui bukunya yang berjudul Silent Language mendeskripsikan culture shock sebagai gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru atau asing. Menurut Adler (1975 dalam Nalarati 2015) mengemukakan bahwa culture shock merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan

(33)

18 perasaan tidak berdaya, mudah marah dan ketakutan akan di tipu, dilukai ataupun dia acuhkan. Menurut Kim (2004, dalam Nalarati 2015) culture shock merupakan proses generick yang muncul setip kali komponen sistem hidup tidak cukup memadai untuk tuntutan lingkungan budaya baru.

Dalam Dayakini (2004 : 359) Culture shock biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini, yakni :

1. Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Cues adalah bagian dari kehiduan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan-gerakan bagian tubuh (gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.

2. Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari maupun tidak disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan dimana halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan ini

3. Krisis identitas, kondisi ini ialah seperti ketika seseorang pergi keluar negeri , seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.

b. Dimensi Culture Shock

Dimensi dari culture shock mengacu pada defenisi yang telah dipaparkan oleh Ward, dimana Ward (2001, dalam Intan 2019) membagi culture shock kedalam beberapa dimensi yakni dimensi afffective, behavior, dan cognitive yang dikenal dengan ABCs of Culture Shock yakni sebagai berikut :

1. Dimensi Affective

Dimensi affctive merupakan dimensi yang berhubungan dengan perasaan dan emosi yang bisa berbentuk positif atau negatif. Individu bisa mengalami kebingungan atau kewalahan karena masuk kedalam lingkungan baru yang tidak familiar, yang dapat menimbulkan rasa cemas, bingung, disorientasi, curiga, sedih, tidak tenang, tidak aman, takut ditipu atau dilukai, merasa kehilangan keluarga, teman-teman, merindukan kampung halaman,hingga merasa kehilangan identitas diri.

(34)

19 2. Dimensi behavior

Dimensi behavior berhubungan dengan pembelajaran budaya dan pengembangan keterampilan sosial dimana individu mengalami kekeliruan aturan, kebiasaan, dan asumsi-asumsi yang mengatur interaksi interpersonal mencakup komunikasi verbal dan nonverbal yang bervariasi diseluruh budaya. Seseorang yang masuk kelingkungan baru yang tidak familiar tanpa memiliki pengetahuan dan keterampilan sosial yang memadai, akan mengalami kesulitan dalam memulai dan mempertahankan hubungan harmonis di lingkungan yang tidak familiar baginya itu sehingga dapat beresiko pada perilaku individu yang tidak tepat yang dapat menimbulkan kesalahpahaman dan pelanggaran.

Kondisi tersebut juga dapat berdampak pada kehidupan personal dan profesional yang tidak efektif serta akan sulit menyesuaikan diri atau beradaptasi dalam lingkungan baru. Pada dimensi ini biasanya individu akan mengalami kesulitan tidur, selalu ingin buang air kecil, mengalami sakit fisik, tidak nafsu makan dan lain-lain sehingga individu yang tidak terampil secara budaya akan sulit mencapai tujuan seperti contohnya mahasiswa Aceh yang lebih suka berbicara atau berinteraksi dengan teman yang sama daerah asal atau suku bangsanya atau lebih memilih diam dan tidak banyak bicara dengan orang yang tidak berasa dari Aceh.

3. Dimensi cognitive

Dimensi cognitive adalah hasil dari aspek affective dan behavior, yakni berupa perubahan persepsi individu dalam mengidentifikasi etnis dan nilai-nilai akibat kontak budaya, dimana kontak budaya itu dapat menyebabkan hilangnya hal-hal yang dianggap benar oleh idividu tidk dapat dihindarkan sehingga individu tersebut akan memiliki pandangan negatif dimana pikiran hanya terpaku pada satu ide saja dan kemudian memiliki kesulitan dalam interaksi sosial.

c. Fase Culture Shock

Terdapat beberapa fase yang digambarkan sebagai bentuk proses adaptasi yang akan dilewati atau dialami oleh individu yang mengalami culture shock. Setiap individu bereaksi berbeda-beda dalam menanggapi culture shock atau gegar budaya sehingga Oberg (1960, dalam Irwin 2007) mengemukan ada yang tidak maju ketahap selanjutnya

(35)

20 dalam proses adaptasi pada lingkungan baru yang sebagai akibat dari culture shock tetapi seseorang tersebut malah kembali ke tahap sebelumnya. Menurut Oberg, tahapan-tahapan yang dimaksudkan dalam fenomena Culture shock ini dibedakan menjadi 4 tahap yakni:

1. Fase Kegembiraan dan optimistik (Fase Honeymoon)

Fase kegembiraan dan optimistik merupakan fase pertama dalam culture shock. Fase ini bisa bertahan beberapa hari atau hingga bulan dimana seseorang merasa pada tahap ini semuanya adalah baru, mengasyikkan dan mempesona.

Seseorang akan merasa optimis dengan lingkungan barunya. Pada fase ini individu akan merasa antusias dan kagum terhadap lingkungan barunya dan belum merasakan berbagai perbedaan yang akan memicu ketidaknyamanan layaknya seperti ketika kita berlibur ke suatu daerah.

2. Fase Krisis

Tidak simpatik, acuh tak acuh, atau bahkan agresi dan frustasi sebagai bentuk penolakan pada lingkungan baru (tidak nyaman). Pada fase ini, individu yang memasuki lingkungan baru aakan mulai dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang dialami oleh dirinya sendiri. Fase inilah yang disebut sebagai krisis penyakit dan pada titik ini seseorang akan tinggal atau pergi.

3. Fase Penyesuaian atau pemulihan

Jika seseorang tetap tinggal maka tahap ketiga dimulai yakni seseorang mulai belajar bahasa dan bernegoisasi dengan kehidupan sendiri. Masih banyak kesulitan yang dialami namun berusaha mampu menanganinya. Dalam fase ini, kehidupan individu perantau akan berangsur-angsur semakin membaik yang ditandai dengan mulai dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dengan baik dimana suudah tedapat perasaan nyaman dengan lingkungan tersebut

4. Fase Penguasaan

Tahap keempat ini adalah ketika sudah mampu menerima dan menyesuaikan diri.

Pada fase ini individu perantau yang memasuki lingkungan baru sudah merasakan kenyamanan dan ada perasaan aman dilingkungan baru serta dapat merasa bahwa lingkungan tesebut adalah rumah kedua bagi mereka.Lebih jelas lagi, Dayakisni (2004 : 360) mengemukakan terdapat teori yang menggambarkan culture shock dengan kurva U

(36)

21 untuk membantu individu yang mengalami culture shock dalam beradaptasi di lingkungan baru yakni sebagai berikut:

Gambar 1. Kurva U1

Kurva U tersebut merupakan gambaran tahapan terjadinya Culture Shock yang di alami oleh pelaku culture shock (Samovar, dkk dalam Pramono 2016).Teori ini berpendapat bahwa orang-orang yang menyeberang ke kultur lain akan mengalami tiga penyesuaian, yaitu pada awalnya timbul kegembiraan dan optimisme, kemudian diikuti oleh frustasi, depresi dan kebingungan hingga akhirnya muncul keadaan adaptasi atau penyesuaian.

Berdasarkan fase-fase yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bawasannya ketika memasuki lingkungan kebudayaan baru, seorang individu perantau akan selalu merasa terpesona, senang, dan bahagia dengan lingkungan baru yang ditempatinya seakan-akan sedang melakukan liburan. Namun perlahan-lahan rasa kekaguman tersebut hilang digantikan dengan perasaan cemas, tertekan, seakan-akan lingkungan tersebut sangat tidak sesuai dengan dirinya yang menimbulkan perasaan ingin pulang ke tempat asal dimana seorang individu merasa familiar dengan segala sesuatu yang ada disana baik lingkungannya, keluarga dan kerabatnya, suasananya, semua kebudayaan yang hidup di daerah asalnya ataupun kerinduan akan segala sesuatu yang biasa dirasakan, dilihat, ataupun dilakukan di daerah asalnya.

1 http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

(37)

22 Hal ini sebenarnya adalah umum dirasakan oleh orang-orang yang memasuki lingkungan kebudayaan baru. Namun, pada fase ini jika seseorang tidak mampu melewatiya maka ia akan gagal mencapai tujuannya dan memilih pulang ke kampung halaman. Ketika seorang individu perantau mampu melewati ketiga fase sebelumnya dan ia telah mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sudah merasa nyaman dan menyukai lingkungan kebudayaan barunya maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut telah mampu melewati fase-fase menyulitkan untuk hidup di lingkungan barunya, yakni berhasil melewati apa yang dikatakan culture shock.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Culture Shock

Culture shock tidak akan terjadi jika tidak ada faktor-faktor penyebab yang mempengaruhinya. Menurutu Parillo (2008, dalam Intan, 2019) Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya culture shock adalah faktor intrapersonal, yang meliputi keterampilan (keterampilan komunikasi), pengalaman sebelumnya (dalam konteks lintas budaya, karakter personal (mandiri atau toleransi), dan akses ke sumber daya, serta ciri fisik seperti penampilan, umur, kesehatan, dan juga kemampuan sosialisasi. Menurut Furnham dan Bochner (Dalam Nalarati, 2015 : 29) faktor-faktor yang mempengaruhi individu mengalami culture shock saat masuk ke lingkungan baru dan berinteraksi dengan budaya baru adalah sebagai berikut :

1. Adanya perbedaan budaya, kualitas dan kuantitas, serta lamanya culture shock yang dialami individu dipengaruhi oleh tingkat perbedaan budaya antara lingkungan asal dan lingkungan baru individu. Dalam hal ini, culture shock akan lebih cepat dialami individu yang mengalami erbedaan kebudayaan yang signifikan atau sangat berbeda seperti sosial, prilaku, adat-istiadat, agama, pendidikan, norma dalam masyarakat, dan bahasa. Bochner (2003, dalam Nalarati 2015) mengemukakan bahwasannya semakin berbeda kebudayaan antar dua individu yang berinteraksi, maka akan semakin sulit kedua indvidu tersebut membangun dan memelihara hubungan baik.

2. Adanya perbedaan individu. Faktor ini berkaitan dengan perbedaan kepribadian dan kemampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya yang

Gambar

Gambar 1. Kurva U 1
Tabel 2. Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan, tahun 2015  Sumber : BPS Kota Medan tahun 2015
Tabel 3. Perbandingan etnis di Kota Medan pada tahun 1930, 1980, dan 2000 5
Tabel 4. Agama di kota Medan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan di latar belakang, maka yang akan menjadi fokus permasalahan dari penelitian ini adalah strategi para pedagang di Pasar Sembada dalam menghadapi

Usaha lainnya yang dilakukan oleh pihak pengelola Bandara Kuala Namu adalah memberikan ruang pada masyarakat setempat dalam mengisi beberapa lowongan pekerjaan di Bandara

Unit analisis dalam penelitian ini adalah semua tanda-tanda dalam komposisi audio dan visual yang terdapat dalam iklan 3 versi kebebasan wanita di televisi yang kemudian

Namun dalam kenyataannya, pendidikan di Binjai khususnya di daerah marjinal di Binjai belum merata sehingga perlu bentuan dari pihak-pihak yang peduli dengan

Ketertarikan untuk melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku adaptif masyarakat di lingkunganya, faktor penyebab utama bencana banjir yang

Berdasarkan penelitian di lapangan bahwasanya setiap bengkel yang ada di jalan HOS Cokroaminoto melakukan kerjasama, salah satu bentuk kerjasama yang dilakukan adalah

Dan dari hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti maka dapat disimpulkan bahwasannya para Informan Utama I, II dan III yang merupakan korban

Kekerasan seksual adalah aktivitas seksual yang dilakukan pelaku tanpa persetujuan atau kerelaan dari orang lain yang di kenai tindakan. Pelaku adalah orang yang