• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. Gejala-Gejala atau Komponen Culture Shock

3.4 Pengalaman Culture Shock Yang Dialami Mahasiswa IPTR di kota Medan Culture shock sebagai fenomena yang seyogyanya terjadi pada individu-individu

3.4.4 Informan Fitri

Fitri merupakan subjek penelitian selanjutnya yang mengalami culture shock di kota Medan dalam proses adaptasinya sebagai mahasiswa perantau. Informan Fitri yang berdasarkan observasi peneliti memiliki kemampuan berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik ternyata mengalami culture shock dalam proses adaptasinya. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwasannya informan pada awalnya tidak mendapat persetujuan dari orang tua untuk merantau ke kota Medan karena persepsi yang buruk tentang kota Medan, namun informan tetap bertekad untuk merantau ternyata memberikan dampak negative dalam proses penyesuaian dirinya di kota Medan. Hal tersebut karena informan tidak mendapatkan dukungan sosial dari orang tuanya di tempat rantau begitupun sebaliknya informan tidak menyampaikan fase-fase menyedihkan yang dialaminya ketika awal merantau ke kota Medan sebagai bentuk culture shock yang dihadapinya.

Berdasarkan hasil wawancara, informan Fitri yang mendatangi kota Medan pada awalnya memiliki ketakutan tersendiri akibat persepsinya terhadap kota Medan. Informan yang pada awalnya beranggapan bahwasannya Kota Medan memiliki tingkat kriminal yang tinggi sebenarnya memberikan tekanan mental pada dirinya, karena pikiran informan membuatnya merasa ketakutan seperti yang dinyatakannya

“ Awal datang ada rasa takut karna aku sendirian. Ayahku memang nganterin tapi besoknya langsung balek ke kampung. Aku takut aja diapa-apain sama orang sini dulunya karna aku juga awalnyakan mikir criminal disini ngeri”

Jawaban informan menunjukkan hubungan persepsinya tentang kota Medan dengan mentalnya setelah berada di kota Medan. Namun informan juga sangat merasa bahagia karena pada akhirnya bisa merantau ke kota Medan dan berkuliah di USU, seperti yang dinyatakannya

“Kalo merasa bahagia pas waktu itu, bahagia kalilah kak.

Keinginanku tercapai. Antusias juga, Medan megah, awak tengok.

Nengok USU ajapun bahagia, dulu rasaku USU luasnya bukan main,

110 cantik lagi karna pepohonannya, cocoklah dibilang kampus green.

Makanya awal dulu semangat kali mau kuliah aja terus”

Informan menyatakan bahwa ia sangat antusias berada di kota Medan yang menurutnya megah. Informan juga merasa sangat bahagia melihat kampus USU yang menurutnya luas dan cantik yang mendorongnya menjadi semangat untuk berkuliah. Namun ketika peneliti mempertanyakan lingkungan sosialnya di awal merantau, Fitri menyatakan di awal merantau ia lebih mendekatkan diri dengan sesama orang Aceh.

“Pertama-tama aku berteman sama yang orang Aceh aja. Karna aku ngerasa pasti lebih nyaman dan lebih nyambung, jadi aku gak begitu gabung sama anak-anak yang lain”

Informan fitri menarik diri dari lingkungan yang tidak familiar baginya sehingga ia menetap dengan teman-teman yang sama-sama berasal dari Aceh. ini merupakan bentuk culture shock yang dihadapi informan, karena ia tidak terbiasa berada dalam lingkungan yang heterogen sehingga informan berusaha berada dalam lingkungan familiar yakni zona yang menurutnya nyaman sesuai dengan lingkungan kebudayaannya. Tidak hanya sampai pada itu, informan juga langsung memasuki organisasi IPTR untuk menemukan suasana kulturnya di kota Medan

“Awal dulu karna aku merasa kalau sesama Aceh lebih saling memahami jadi aku langsung masuk organisasi IPTR, jadi ngerasa ada keluarga di sini”

Namun, sifat informan Fitri yang memilih berteman dengan sesama orang Aceh saja adalah disebabkan culture shock yang dihadapinya. Informan sangat merasa terkejut dengan beberapa hal yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya di kampung halaman seperti perempuan merokok dan pakaian wanita yang sangat terbuka, berbanding terbalik dengan lingkungan kebudayaaannya:

“Kenapa aku hanya berteman sama orang Aceh dan langsung masuk IPTR itu karna aku ngeliat anak-anak Medan yang terlalu bebas. Aku beneran shock pas ngeliat perempuan ngumpul-ngumpul sambil ngerokok, gak wajar kali rasanya. Udah gitu karna dulu belum terbiasa, aku juga risih ngeliat pakaian perempuan disini, terlalu terbuka”

Akibat pemandangan demikianlah ternyata informan menarik diri dari lingkungan di luar etnis Aceh. Tidak hanya itu informan juga mengalami shock pada awal merantau ketika

111 melihat perempuan di Medan masih berkeliaran di atas jam 10.00, informan menarik persepsi bahwasannya kota Medan terlalu bebas.

“Dulu masih aneh rasanya ngeliat perempuan di Medan jam sebelasan masih ada di luar. Dissini rasanya terlalu bebas makanya aku membatasi diri berteman sama non Aceh dulunya ya”

Selain itu, informan juga merasa was-was dalam hal makanan karena kondisi keberagaman yang ada di kota Medan, sehingga informan cukup berhati-hati.

“Dalam hal makanan dulu aku takut-takut juga. Agak pemilih, karna kan kita tau kota Medan beragam, jadi gak ada salahnya hati-hati”

Informan juga menyatakan memiliki kendala dalam bahasa dimana. Informan pada awal merantau sering merasa sedih ketika berbicara dengan orang Medan asli karena orang Medan suka bercanda berlebihan yang menyakiti perasaan, dan informan mengatakan tak jarang menemui orang-orang yang suka berbicara kasar baik teman di kampus maupun di luar kampus dengan nada bicara dan volume suara yang keras seperti membentak sehingga sulit bagi informan untuk mengetahui mana situasi bercanda dan mana situasi serius. Informan juga menyatakan bahwasannya orang Medan sangat temperamental.

Namun pada saat ini informan menyatakan sudah mulai terbiasa dengan segala perbedaan yang dijumpai antara kota Medan dengan kampung halaman. Informan juga menyatakan sudah bergaul dengan orang-orang non Aceh karena menurut informan, waktulah yang dapat menyembuhkan keadaan-keadaan krisis yang dialaminya.

“ Sekarang udah terbiasa sama semua perbedaan yang ku alami, terbiasa karna biasa. Itulah yang cocok untuk keadaanku dulu. Tapi sekarang walaupun udah mulai nyaman disini tapi kalau ada waktu libur 2-3 hari aku langsung balek kampung, tetaplah Aceh nomor satu’’

Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui bahwasannya informan Fitri merasakan culture shock akibat tidak adanya dukungan dari orang tua, perbedaan-perbedaan dalam lingkungan kebudayaan seperti bahasa, makanan, cara berpakaian, dan tingkah laku perempuan. Hasil wawancara dengan informan juga menunjukkan bahwasannya jika di ukur melalui fase yang terdapat pada culture shock, informan masih berada pada tahap penyesuaian.

112 3.4.5 Informan Rizky

Informan Rizky yang memilih berkuliah di kota Medan karena kemauannya sendiri juga mengalami culture shock secara bertahap. Pada awalnya informan menyatakan bahagia mendatangi kota Medan. Selain karena menurutnya kota Medan besar dan Modern, informan juga merasa bahagia bisa berada dalam lingkungan yang beranekaragam. Namun fase honeymoon yang dialami informan dikatakan tidak terlalu lama karena dalam rentan waktu dua bulan di kota Medan, informan merasakan dua bulanan, terasa berat menjalani hidup sendiri. Keras rupanya kehidupan merantau apalagi di Medan. ngapa-ngapain dilakukan sendiri, sakit pun gak ada yang urus. Waktu-waktu itu mulailah perasaan sedih rindu rumah, keluarga dan suasana di kampung halaman”

Culture shock awal yang di alami informan adalah karena merasakan perbedaan tinggal bersama orang tua dengan kehidupan merantau yang dijalani sendiri di kota Medan. Informan merasa kehidupan menjadi lebih keras ketika sudah merantau.

Selanjutnya informan mengalami beberapa perbedaan kebudayaan yang memiliki kesamaaan dengan informan-informan sebelumnya seperti yang dikatakannya

“Paling heran disini sama bahasa orang-orang Medan, mau di pasar di kampus ada aja orang yang suka ngomong kasar. Terus kadang bercanda tapi main fisik. Aku mikirnya apa aku jadi orang yang mudah tersinggung sejak di Medan atau orang Medan ini semua gak mudah tersinggung makanya gampang ngeluarin kata-kata kasar atau ngebully orang. Apalagi supir angkot selain cara bawaknya yang barbar, emosionalnya juga tinggi.”

Informan merasa orang Medan memiliki perwatakan yang kasar dan emosional yang tinggi seperti halnya supir angkutan umum yang menurutnya kasar. Menurutnya kata-kata kasar dan sifat membully seolah menjadi hal yang biasa di kota Medan, seperti mengatakan “Aceh pungo” dengan sembarangan. Informan juga menyatakan pernah merasa minder akibat menyebutkan sepeda motor dengan sebutan honda. Hal-hal demikian menuut informan cukup menyerang kondisi mental seseorang

113

“Dulu aku mudah tersinggung awal-awal disini. Pernah pas lagi sama kawan-kawan becanda, mereka tiba-tiba bilang Aceh pungo. Itukan artinya Aceh gilak. Adalagi, pas mau naik motor aku bilangnya honda.

Honda itu sebutan motor di Aceh, aku juga gak tau kenapa bisa gitu.

entah karna dulu kendaraan yang dikenl orang aceh cuma honda, atau merk honda dulu pertama dipasarkan membuat itu jadi sebutan motor di Aceh, gak tau lah. Tapi pas ngomong gitu aku, habis diledekin sama kawan-kawan. Jadinya kan muncul perasaan minder dan mudah tersinggung. Tapi sekarang biasa aja, karna memang gitu watak orang Medan, to the point. Auto kenak mental orang kalau belum beradaptasi”

Berdasarkan pernyataannya tersebut, informan merasa di kota Medan dirinya menjadi seorang yang mudah tersinggung dan tidak percaya diri. Hal tersebut membentuk pandangan negative informan tentang kota Medan sebagai lingkungan barunya.

Timbulnya perasaan tidak percaya diri dan mudah tersinggung merupakan salah satu dampak culture shock yang dialami informan, yang mana kemungkinan di kampung halaman informan tidak akan pernah mendengar sebutan aceh pungo atau ejekan terhadap penyebutan motor sebagai honda. Berbeda halnya dengan yang dialaminya di kota Medan dimana hal tersebut dianggapya menjadi suatu bullyan. Culture shock selanjutnya yang dialami informan ketika berusaha beradaptas dengan melihat banyak wanita muslim yang tidak berjilbab di kota Medan, lalu tingkah laku laki-laki dan perempuan dimana menurutnya gaya berpacaran antara laki-laki dan perempuan di kota Medan sangat berlebihan:

“Gaya pacaran di kota Medan juga berlebihan. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan dianggap wajar bersentuhan. Itu salah satu perbedaan Aceh dengan kota Medan yang paling sering dijumpai.

Disini orang pacaran aja udah kayak suami istri, kadang malu sendiri nengoknya”

Informan menyatakan perasaan asing dengan pemandangan berpacaran orang-orang di kota Medan yang menurutnya berlebihan dimana wujud shock informan juga tampak pada ekspresi informan yang diamati peneliti, seperti terheran-heran ketika menceritakan topik demikian.

“Pokoknya hal-hal yang ga wajar di Aceh gampang di jumpai disini. Selain itu ada masalah juga sih dalam hal belajar. Ya harus lebih bertanggung jawab, kita gak dipaksa untuk belajar atau nyelesaikan tugas tapi itu tanggung jawab sendiri. Kalau engga dikerjaakan ya dapat sendiri resikonya. Gak kayak masih sekolah kan disuruh terus sama guru kalau nggak dihukum. ”

114 Selanjutnya informan juga mengatakan tidak begitu bergabung dengan teman-teman yang non-muslim pada awalnya karena informan menyatakan mengalami kesulitan dalam hal makananan karena tempat-tempat yang dikunjungi oleh teman-teman non muslim dikatakannya cenderung tidak menunjukkan simbol-simbol Islami sehingga informan merasa bingung menghadapi situasi demikian:

“Ada masalah dalam hal makanan. Sebenarnya karna baru-baru dulu.

Karna makanan ini aku jadi gak terlalu gabung sama teman yang non muslim, karna kalau mereka pergi ke tempat makan, kadang tempatnya gak nunjukin symbol-simbol islam, ya tentunya aku menjagalahkan larangan agama. Jadi karna masalah makanan itu awalnya gak terlalu gabung sama yang non muslim, tapi sekarang dah biasa aja. Wajar dulu canggung takut merka tersinggung kalau aku ga ikutan makan. Tapi sekarang udah lebih rileks lah, sama-sama ngerti.

Itulah indahnya Medan, toleransi dia. Tapi rasa makanan di Medan memang agak beda juga sih, cenderung pedas. Kalau di Aceh lebih ke rasa asam-asam enak gitu, dan rempah-rempah lebih terasa di Aceh kalau menurut aku”

Informan juga menyatakan sedikit terkejut untuk pertama kalinya mencium aroma makanan yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di Aceh :

“ Orang Muslim di sini mungkin dah biasa ya gak sengaja kecium bau BPK, nah kalo aku pertama kali pas kuliah inilah. Ya agak gimana gitulah. Itulah kalo salah satu hal yang mengejutkan”

Selanjutnya informan menyatakan pernah mengalami sedikit masalah dalam perkuliahan yang membuatnya merasa jenuh. Hal tersebut karena proses belajar yang drastis berubah dimana pembelajaran dalam perguruan tinggi menurutnya sangat sulit dan banyak.

“Kesulitan dikampus juga sama proses belajar, padat kali, tugas banyak, praktek banyak. Munculah rasa jenuh, mulailah ingat-ingat kampung. Dikampung dulu beban sekolah belum terlalu berat, ada pula orang tua yang kasih support, disini total telan sendiri susah-susahnya”

Informan selanjutnya menyatakan, mengetahui adanya organisasi IPTR dan menjadi bagian didalamnya merupaan sebuah kesenangan tersendiri dimana ia merasa menemukan keluarga di kota Medan

“ Senang kali gitu masuk IPTR, merasa ada keluarga dari asal yang sama, terus sering ngumpul, ada tempat tongkrongan, bisa membagi beban. Apalagi kami disitu ngomong pake bahasa daerah, dapat feel

115 Acehnya walau bukan di tanah kelahiran. Itu ngebantu kali sih pas aku

melewati masa-masa sulit di sini”