• Tidak ada hasil yang ditemukan

Organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong .1 Sejarah Berdirinya IPTR .1 Sejarah Berdirinya IPTR

6. Gejala-Gejala atau Komponen Culture Shock

2.3 Organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong .1 Sejarah Berdirinya IPTR .1 Sejarah Berdirinya IPTR

Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) merupakan salah satu organisasi kesukuan beretnik Aceh yang terdapat di kota Medan yang juga terdapat di Universitas Sumatera Utara. IPTR bukanlah sebuah organisasi baru di kota Medan melainkan telah ada sejak tahun 1953 yang didirikan dengan semangat perantauan para pelajar, pemuda dan mahasiswa Aceh ksusnya yang berada di kota Medan. Seperti pada umumnya, membentuk sebuah ikatan organisasi kesukuan sebagai identitas suku bangsa atau asal daerah merupakan suatu hal yang tak jarang ditemui pada kelompok-kelompok etnis pendatang dalam suatu daerah.

Organisasi-organisasi tersebut tentunya memiliki tujuan dan manfaat tertentu bagi komunitasnya, seperti halnya organisasi IPTR yang didirikan para pemuda Aceh yang merantau ke kota Medan. Sejarah berdirinya organisasi IPTR sebenarnya juga tidak terlepas dari proses migrasi orang-orang Aceh ke kota Medan yang tidak hanya didominasi oleh karena factor ekonomi dan keamanan, namun juga karena pendidikan

62 yakni ada waktu itu fasilitas pendidikan di kota Medan lebih mendukung sehingga mendorong orang-orang Aceh untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke kota Medan6. Para pemuda dan pelajar Aceh yang kemudian bermigrasi atau merantau ke kota Medan berinisiatif membentuk suatu perkumpulan untuk berdiskusi dan membahas permasalahan yang dihadapi para pelajar dan pemuda Aceh di kota Medan serta berusaha mengakomodasi kepentingan-kepentingan para pemuda dan pelajar Aceh yang juga didorong oleh keinginan mereka yang merasa senasib sepenanggungan, ingin bersama membentuk suatu organisasi yang didasari oleh sebuah rasa kebersamaan, kekeluargaan dan keakraban serta memiliki rasa aman dalam ikatan silahturahmi yang erat di kota Medan sebagai tanah rantau.

Melalui sebuah rapat yang dihadiri oleh para pemuda dan pelajar Aceh di Balai Prajurit Jalan Bukit Barisan Medan, organisasi IPTR secara resmi didirikan pada tanggal 12 Juli 1953 oleh para pemuda dan pelajar Aceh di kota Medan yang diantaranya adalah Zainnudin Jusuf, M. Noor Nikmat, Mustafa Sulaiman, Said Ibrahim, Yacob Ahmad, Cut Zahara, Mahyuddin Amin, dan beberapa pemuda Aceh lainnya dan kemudian di sahkan melalui rapat anggota pada tanggal 2 Agustus 1953. Organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) mempunyai sebuah doktrin yang mereka sebut sebagai Tri Darma IPTR yakni berisikan Keilmuan, Keimanan, dan Solidaritas.Nama organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong yang disingkat menjadi IPTR ini di usulkan oleh seorang pelajar bernama Idris, dimana seperti yang diketahui Rencong adalah senjata khas yang dimiliki rakyat Aceh sehingga nama “Ikatan Pemuda Tanah Rencong” dijadikan sebagai nama organisasi yang disingkat menjadi IPTR, sedangkan lambang IPTR diciptakan oleh Yacob Ahmad yang juga merupakan salah satu anggota pendiri IPTR.

Adapun pengurus periode pertama IPTR di kota Medan yakni pada tahun 1953-1954 ialah Zainnudin Jusuf sebagai ketua, M.. Jusuf Hanafiah sebagai wakil ketua, dan Bahdi sebagai sekertaris. Sekretariat IPTR pada saat itu berada di rumah salah seorang anggota pengurus yang kemudian pada tahun 1954-1955 ketika ketua umum IPTR dijabati oleh M Noernikmat, organisasi IPTR membeli sebuah rumah yang dijadikan

6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh, Jakarta : Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional DIREKTORAT Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984, hlm 4

63 sebagai tempat perkumpulan IPTR hingga sampai pada saat ini menjadi sekret DPD-IPTR yakni berlokasi di Jalan Amaliun nomor 25 Kelurahan Kota Maksum, Kecamatan Medan Area.

Gambar 4. Sekretariat IPTR Kota Medan Sumber: Dokumentasi Penulis

64 2.3.2 Makna Lambang IPTR

Gambar 5. Lambang Organisasi IPTR Sumber: Internet

Adapun makna yang terkandung didalam lambang organisasi IPTR di atas ialah : 1. Perisai

Bentuk perisai pada logo tersebut adalah melambangkan pelindung 2. Rantai

Bentuk rantai pada logo tersebut adalah melambang persaudaraan yang kuat 3. Rencong

Bentuk Rencong yang tepat berada ditengah di dalam tersebut adalah melambangkan semangat kepahlawanan dan sifat kedaerahan, yakni rencong sebagai senjata khas Aceh

4. Warna Hijau

Warna hijau pada logo IPTR di atas adalah melambangkan ideology ke Islaman 5. Warna Kuning

Warna kuning pada logo adalah melambangkan Keagungan, Mulia dan Polpulis 6. IPTR

Melambangkan nama organisasi 7. 1953

1953 adalah melambangkan tahun berdirinya IPTR

8. Medan, Medan melambangkan tempat lahirnya organisasi IPTR

65 2.3.3 Profil Komisariat IPTR USU

Ikatan Pemuda Tanah Rencong di Universitas Sumatera Utara merupakan sebuah ikatan paguyuban mahasiswa mahasiswi Aceh yang pada mulanya didirikan sebagai wadah perkumpulan mahasiswa mahasiswi maupun pelajar yang berasal dari Aceh.

Komisariat IPTR di USU didirikan untuk membawahi mahasiswa mahasiswi Aceh yang ada di USU dan tidak menutup kemungkinan untuk memperbolehkan orang-orang yang bukan bersuku Aceh untuk bergabung didalam organisasi tersebut dimana yang bukan tidak bersuku Aceh akan disebut sebagai anggota kehormatan.

Ikatan Pemuda Tanah Rencong Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu komisariat yang ada di kota Medan, berawal dari Dewan Pimpinan Pusat(DPP), Dewan Pimpinan Cabang (DPC), dan Dewan Pengurus Komisariat (DPK) seperti IPTR USU.

Sebenarnya, komisariat IPTR tidak hanya terdapat di USU namun terdapat di kampus-kampus lainnya namun IPTR USU adalah salah satu yang paling aktif dan eksis karena terdapat banyak orang Aceh yang menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara.

Namun demikian, IPTR USU sempat vakum pada tahun 2009 dan didirikan kembali pada tahun 2011 dan sampai resmi aktif kembali pada tahun 2014.

Setelah aktif kembali, anggota organisasi IPTR USU mulai kembali menggelar beberapa acara yang berkenaan dengan Aceh seperti Peringatan Hari Besar islam (PHBI), Ulang Tahun Provinsi Aceh, Peringatan Tsunami, Festival Kebudayaan Aceh, Pengajian, Buka Puasa Bersama, Sahur pagi bersama, hingga mengadakan kegiatan IPTR Road ToSchool yakni para anggotanya menyebar ke sekolah di bagian Aceh untuk melakukan sosialisasi kampus USU dan jurusan-jurusan yang terdapat di dalamnya agar para pelajar atau adik-adik yang masih bersekolah berani merantau, menempuh pendidikan di luar daerah seperti di kota Medan dimana IPTR akan menjadi wadah yang mengayomi mereka. Tak hanya itu organisasi IPTR juga aktif dalam kegiatan social seperti aksi dana peduli korban gempa Aceh ataupun Rohingya yang terdampar di Aceh, juga rutin memberikan santunan kepada anak yatim melalui aksi dana yang mereka adakan dimana

66 aksi dana dengan turun ke jalanan untuk bersama-sama mengumpulkan sumbangan dan menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang membutuhkan7.

Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus IPTR usu saat ini (periode 2019/2020), kegiatan-kegiatan yang biasa di lakukan oleh organisasi IPTR seperti yang telah dipaparkan sebelumnya sementara tidak berjalan karena adanya Covid-19. Hal tersebut juga berdampak kepada sekretariat IPTR USU. Sebelumnya sekret Komisariat IPTR USU berada di Jalan Harmonika Baru No.41 Padang Bulan Selayang II, namun akibat adanya Covid-19 pada periode saat ini sekretariat IPTR USU (DPK) merangkap dengan DPD IPTR di kota Medan yang berada di Jalan Amaliun, Kota Matsum IV, Kec.

Medan Area8.

Gambar 6. Sekretariat IPTR USU

Sumber: Dokumentasi Sekretariat IPTR USU

7 Wawancara dengan Ketua umum Komisariat IPTR USU

8 Wawancara dengan Sekretaris Umum Komisariat IPTR USU

67 2.3.4 Visi dan Misi IPTR USU

Visi

Adapun visi dari organisasi IPTR ialah, menghimpun dan membina generasi muda untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam meraih cita-cit yang sesuai dengan tuntunan islam.

Misi

Terdapat beberapa hal yang menjadi misi dari organisasi IPTR usu, yakni sebagai berikut:

1. Mengadakan pertemuan-pertemuan baik bersifat langsung sesama anggota maupun umum

2. Mengadakan hubungan kerjasama dengan organisasi kemahaiswaan, ormas, instansi pemerintahan, dan organisasi-organisasi lainnya yang dianggap perlu serta tidak mengikat

3. Mengadakan kegiatan-kegiatan di bidang agama dan da’wah dalam usaha meningkatkan ilmu, amal, dan iman

4. Mengadakan kegiatan pada bidang pendidikan baik berupa bimbingan studi, tentoran, penataran, kursus-kursus, seminar-seminar, diskusi-diskusi dan bentuk-bentuk perkaderan lainnya

5. Mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kecakapan hidup untuk mewujudkan kesejahteraan anggota

6. Menggali, mengembangkan dan melestarikan kebudayaan Aceh juga untuk memperkaya khazanah kebudayaan

7. Mengadakan usaha-usaha lainnya yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar.

68 2.3.5 Struktur Organisasi IPTR USU

Tabel VI

Susunan Badan Pengurus Umum (BPU) dan Badan Pengurus Harian (BPH) IPTR USU Periode 2019/2020

Ketua Umum

Sekretaris

Bendahara

Wakil Bendahara

Kerohanian Pembinaan Anggota

Kesenian Pendidikan Akademik

Olahraga Hubungan Masyarakat

69 Keterangan:

Badan Pengurus Umum (BPU) Ketua Umum : Zauzan Arief Sekretaris : Kahlil Mirzani Bendahara : R. Intan Pratiwi Wakil Bendahara : Risma Dwiyanti

Badan Pengurus Harian Bidang Pembinaan Anggota

Ketua : M. Husni Baihaqi

Sekretaris : Metria Dwi N.S

Anggota : M. Fathan Farizi Bangun Resi Syahrani Tausya Fitri Naziyah Razma Aulia khadafi

Bidang Pendidikan Akademik

Ketua : Rizki Martin Maulana Sekretaris : Hajarani Nitura

Anggota : Yudhitya Febrian Izhar Elvina Rosa

Ilham Maulana Bidang Hubungan Masyarakat

Ketua : Rifqi Athallah

Sekretaris : Syarafina

Anggota : Farah Ismi

Andriansyah Zakia Riski

Teuku Husnul Huda

Bidang Kerohanian

Ketua : Saryulis Auliahad

70 Sekretaris : Nurul Husna

Anggota : Siduqul Fuad

Isfahani. S Siti Sabbiah Bidang Kesenian

Ketua : Halqi Rizkiansyah Sekertaris : Intan Husnul

Anggota : Nurul Uzlah

Sayed Nazri Akbar Maghfirah Izza Bidang Olahraga

Ketua : Agung Rahmawan

Sekertaris : Nabila Al Firabalqis Anggota : Fadthah Faisal

M. Huzaifi Cut Adlia Shiba Milda Silvana

71 BAB III

Culture Shock pada Mahasiswa Aceh yang tergabung dalam Organisasi

IPTR USU di Kota Medan 3.1 Kebudayaan Aceh

Sebelum memasuki pembahasan mengenai bagaimana culture shock yang dialami mahasiswa Aceh di kota Medan, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana kebudayaan Aceh itu sendiri yang tentunya memiliki pengaruh terhadap bagaimana terbentuknya kepribadian masyarakatnya. Aceh yang terletak di penghujung pulau Sumatera bagian Utara merupakan sebuah daerah yang menjunjung tinggi agama dan adat istiadat dalam masyarakatnya. Budaya dan adat di Aceh tersebut tidak lain adalah norma dalam agama Islam. Islam merupakan identitas yang begitu kental bagi masyarakat Aceh. Pengaruh agama dan kebudayaan Islam di Aceh begitu besar sehingga Aceh mendapat julukan sebagai Seeuramoe Mekkah (Serambi Mekkah). Perpaduan agama islam dengan kebudayaan yang ada di Aceh melahirkan pedoman bagi masyarakat Aceh yang tertuang dalam sebuah hadih maja (pepatah)yang berbunyi “Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut” artinya adalah hukum dan adat bagaikan zat dengan sifat9. Kalimat tersebut menegaskan bahwasannya antara hukum agama dan adat yang ada di Aceh merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam hal ini, harmonisasi antara adat dan agama islam di Aceh berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya sehingga menurut penulis Islam telah menjadi pribadi kebudayaan bagi masyarakat Aceh. Hubungan antara kepribadian dan kebudayaan sangatlah erat. Hal tersebut dikarenakan menurut peneliti, kebudayaan yang diterima oleh setiap individu dalam masyarakatnya akan memiliki pengaruh yang menentukan bagaimana karakteristik atau kepribadian individu yang terbentuk.

Kebudayaan akan menentukan apa yang harus diwariskan oleh pendahulu (orang tua) kepada generasi selanjutnya dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nilai-nilai tertentu yang diterima oleh para pewarisnya akan melahirkan tipe kepribadian tertentu yang serupa.

9 T. Ibrahim Alfian, dkk,”Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh”. Proyeksi dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1977/1978, hlm 14.

72 Menurut peneliti, gagasan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Mead (1953, dalam Danandjaja) tentang konsep watak bangsa yang dipandang sebagai watak kebudayaan yaitu kesamaan (regularities) sifat di dalam organisasi intra-psikis individu anggota suatu masyarakat tertentu, yaitu diperoleh karena mengalami cara pengasuhan anak yang sama, didalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat Aceh yang didaerahnya menerima warisan keterpaduan antara Islam dengan hampir segala sendi kehidupan masyarakatnya secara turun temurun maka akan cenderung memiliki kesamaan sifat. Berikut akan dipaparkan seperti apa karakteristik masyarakat Aceh dan harmonisasi Islam dalam beberapa sendi kehidupan masyarakatnya yang sejalan dengan kajian peneliti.

3.1.1 Karakteristik Masyarakat Aceh

Bagaimana karakteristik kepribadian kebudayaan pada masyarakat Aceh yang terbentuk berdasarkan kebudayaannya, peneliti mengutip apa yang di nyatakan oleh Irwan Abdullah (Dalam Samad, 2017) yang merupakan seorang Antropolog kelahiran Aceh Utara mengenai karakteristik orang Aceh. Dengan melihat posisi geografis dan historis pada masa kesultanan Iskandar Muda (1607-1675 M) Aceh merupakan daerah modal yang penting dalam konstelasi sosial, ekonomi, dan politik nasional. Mengutip apa yang dikatakan oleh Irwan Abdullah, setidaknya terdapat beberapa karakteristik orang Aceh.

Karakteristik pertama adalah Aceh dikenal sebagai tempat dimana agama dan adat menjadi dua pilar yang sangat penting dalam penataan sosial, sebagaimana disebutkan dalam hadih maja yaitu Adat bak Poe Teumeureuhom Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Rusam bak Lakseumana. Poteumeurehom (kekuasaan eksekutif) adalah sultan, Syiah Kuala (yudikatif) adalah Ulama, dan Putroe Phang (Legislatif), Laksamana (Pertahanan tentara). Dalam hal ini sisi kehidupan sosial budaya Aceh dibangun atas dasar agama dan adat yang membentuk suatu penataan sosial yang berlangsung di Aceh. Keberadaan ulama merupakan wujud dari adanya pilar agama dan adat yang peranannya sangat penting sepanjang sejarah di Aceh sehingga Islam menjadi

“way of life” yang menjadi dasar budaya adat Aceh yang memiliki daya juang tinggi untuk menjangkau masa depan.

73 Karakteristik kedua ialah masyarakat Aceh dikenal sangat pemberani. Hal demikian mendapatkan pembenaran melalui historis pada masa perang Aceh, sejak maklumat perang disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Keberanian dan patriotisme masyarakat Aceh dalam berjuang memperlihatkan betapa mereka setia pada cita-cita dan pemimpin yang adil, yang menjadi suatu sifat yang di utamakan oleh masyarakat Aceh.

Karakteristik ketiga ialah, orang-orang Aceh memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi disebabkan oleh adanya kebanggaan mereka sebagai orang Aceh. Kebanggaan tersebut dapat dilihat melalui sumber sejarah dan hikayat yang terus menerus dikomunikasikan oleh orang Aceh dari generasi ke generasi. Hikayat berisikan cerita kejayaan Aceh dan Keberhasilan perang melawan Belanda. Demikian pula tempat-tempat bersejarah dan peninggalan budaya yang juga telah mendorong kebanggaan dan rasa percaya diri yang tinggi pada orang Aceh.

Karakteristik keempat adalah orang Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivitas. Hal tersebut tampak pada kebiasaan orang Aceh untuk berkumpul, mulai dari fenomena warung kopi, saling kunjung, kenduri, serta upacara-upacara yang melibatkan banya orang. Dalam kumpulan semacam itu, sosialisasi nilai ke Acehan dan identitas bersama dibangun dan tumbuh melalui kesenian-kesenian seperti Seudati, Saman, Debus, dan berbagai tarian Aceh menegaskan ritme yang berorientasi kolektivitas. Berdasarkan keempat karakteristik tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwasannya adat dan budaya di Aceh tidak lain adalah ruang lingkup Islam sendiri.

Budaya dan ajaran Islam telah berbaur, saling berinteraksi dan berasimilasi secara harmonis di sana. Wujud konkret lain dari keterpaduan tersebut juga dapat dilihat dalam adatnya.

Jika berbicara mengenai adat di Aceh, maka secara otomatis akan melibatkan Syari’at Islam yang merupakan pedoman hidup masyarakatnya. Adat merupakan bagian dari aturan perbuatan dan kebiasaan hidup yang berlaku pada masyarakat Aceh dan ha bersendikan syari’at Islam sebagai dua unsur penting yang saling berkaitan. Adat tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat Aceh yang aturannya tertulis dan tidak tertulis. Keberadaan adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama Islam. Adat tersebut harus melahirkan nilai-nilai budaya, norma, dan aturan

74 yang sejalan dengan syari’at Islam sebagai suatu kebanggan, kekayaan dan ciri khas masyarakat Aceh yang harus dibina dan dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat istiadat di Aceh tersebut harus memiliki asas, maksud dan tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat yang tertulis pada Bab III yakni harus berasaskan keislaman, keadilan, kebenaran, kemanusiaan, keharmonisasian, ketertiban dan keamanan, ketentraman, kekeluargaan, kemanfaatan, kegotongroyongan, kedamaian, permusyawaratan, dan kemaslatan umum. Adapun maksud dari pembinaan dan pengembangan tersebut adalah untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang harmonis dan seimbang antara hubungan sesama manusia, manusia dengan lingkungannya dan rakyat dengan pemimpinnya.

Wali Nanggroe adalah yang bertanggung dalam pembinaan dan pengembangan kehidupan adat istiadat dan budaya masyarakat melalui Majelis Adat dan lembaga adat lainnya. Dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh, terdapat adat pergaulan bahkan adat bertamu dan menerima tamu bagi masyarakatnya. Jika terdapat pelanggaran, perselisihan atau sengketa dalam kehidupan bermasyarakat maka penyelesaian akan diselesaiakn secara bertahap dan diberikan kesempatan untuk diselesaikan secara adat di tingkat gampong. Penyelesaian tersebut akan dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat baik ditingkat gampong, mukim, dan seterusnya.

Pada Qanun Aceh nomor 9 tahun 200, bab VII pasal 16 mengenai bentuk-bentuk sanksi adat, terdapat beberapa sanksi dalam penyelesaian sengketa adat meliputi nasehat, teguran, pernyataan maaf, saya,. Diyat, denda, ganti kerugian, dikucilkan oleh masyarakat gampong, dieluarkan dari masyarakat gampong, pencabutan gelar adat dan bentuk sansi lain sesuai dengan peraturan adat setempat. Selain itu, keluarga juga akan turut bertanggung jawab atas terlaksananya sanksi yang dijatuhkan kepada anggot keluarganya. Untuk kelengkapan lebih lanjut dan meluas mengenai kehidupan adat istiadat masyarakat Aceh dapat dilihat melalui Qanun Aceh nomor 9 tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat serta pada Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008 tentang lembaga adat.

75 Melalui aturan-aturan adat yang tertulis tersebut, dapat diketahui bahwasannya aturan adat yang bersendian syariat Islam, turut menjiwai kehidupan masyarakat Aceh sebagai pedoman hidup masyarakatnya. Dapat pula diketahui bahwasannya, aturan tersebut tentu memiliki pengaruh dalam membentuk karakter setiap individu dalam masyarakatnya. Selain itu, wujud konkret dari Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh juga dapat dilihat pada sistem pemerintahan juga sistem pendidikannya.

3.1.2 Agama di Aceh

Agama Islam merupakan agama yang mayoritas dianut oleh penduduk di Aceh dimana Berdasarkan sensus penduduk 2010, yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 4.413.244 atau 98,18 persen penduduk Aceh beragama Islam. Pembahasan mengenai agama sebenarnya hampir menyentuh seluruh pembahasan mengenai kebudayaan Aceh karena, Aceh merupakan sebuah provinsi yang amat sangat kental budayanya yang adalah norma-norma agama Islam itu sendiri. Dalam Koentjaraningrat (2007 : 243) tentang sistem religi masyarakat Aceh, Orang Aceh pada umumnya adalah pengikut Imam Madzhab Sjafii yang mana Qur’an dan Hadis Nabi merupakan satu-satunya pedoman hidup masyarakat. Kenyataan tersebut benar tampak adanya dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Aceh hingga sampai saat ini pedoman hidup masyarakat Aceh disesuaikan dengan unsur-unsur syari’at Islam. Agama Islam sangatlah menonjol dalam kehidupan masyarakat Aceh yang berpengaruh terhadap kereligiusan dan kepribadian setiap individu dalam masyarakatnya. Budaya dengan ajaran agama Islam yang telah berasimilasi, membentuk kepribadian setiap individu dalam masyarakatnya yang tampak membentuk sifat lebih religius dan teratur sesuai norma-norma yang terkandung dalam ajaran agama Islam sendiri. Seperti wawancara yang dilakukan peneliti dengan informan AS, beliau menyatakan :

“Penyelesaian konflik dalam masyarakat Aceh biasanya tu diselesaikan dulu melalui kerangka adat. Nah biasanya penyelesaiannya itu harus tetap berkaitan dengan kereligiusan masyarakat Aceh sendiri”

Penegasan kalimat tersebut mengartikan bahwasannya penyelesaian konflik melalui adat sekalipun, harus tetap berpusat pada ke religiusan masyarakat (sistem religinya).

Namun, dalam tulisan Koenjaraningrat (2007 : 244) walaupun orang Aceh hampir

76 seluruhnya menganut agama Islam, terdapat juga agama-agama lain dan rumah ibadah lain seperti hal nya g ereja disana. Agama Islam memang sangatlah berpengaruh dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat Aceh dan dengan diberlakukannya syari’at islam disana seluruh pelanggaran yang dilakukan akan lebih banyak diputuskan oleh hukum Islam.

3.1.3 Pemerintahan Aceh

Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mana menurut undang-undang NKRI 1945, mengakui dan menghormati adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat “Khusus” dan

“Istimewa”. Aceh merupakan daerah provinsi yang kesatuan atau masyarakat hukumnya bersifat isitimewa dan memiliki kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945 yang dipimpin oleh seorang gubernur. Keistimewaan tersebut diberikan karena karakter khas sejarah perjuangan masyarakatnya yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi .

Ketahanan dan daya juang tinggi yang menjadi karakter khas masyarakat Aceh tersebut bersumber dari pandangan hidup masyarakatnya yang berlandaskan syari’at Islam yakni kehidupan yang relgius, adat yang kukuh, serta budaya Islam yang kuat dalam melawan kaum penjajah. Syari’at Islam yang telah melahirkan budaya Islam yang kuat bagi masyarakat Aceh, menjadi modal bagi perjuangan mereka dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Atas pertimbangan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap sejarah panjang perjuangan Aceh tersebut, dikeluarkanlah undang-undang RI yang mengatur tentang keistimewaan dan kekhususan Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut di atur dalam undang-undang RI nomor 44 taun 1999. Berikut beberapa penggal bunyi dari penyelenggaraan keistimewaan Aceh dalam UU Nomor 44 tahun 1999: