• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. Gejala-Gejala atau Komponen Culture Shock

1.2.5 Integrasi Sosial

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), integrasi merupakan pembauran hingga menjadi kesatuan. Integrasi adalah usaha saling membantu mempertahankan dan memelihara core cultur (budaya inti) masing-masing yang pada suatu waktu dilebur dan diakui sebagai inti kebudayaan (baru) sebagai identitas mereka, menadi superordinasi dalam kelompok yang lain, dan secara bersama mengakui superordinasi tersebut (Dayakisni, 2004 : 369). Integrasi sosial dapat juga dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Karena setiap individu yang memasuki lingkungan kebudayaan baru harus beradaptasi terlebih, maka culture shock tentu akan mendukung terjadinya integrasi sosial sebagai bentuk dari hasil proses adaptasi yang dilakukan oleh individu.

1. Akulturasi

Menurut ilmu antropologi istilah akulturasi atau disebut juga dengan acculturation atau culture contact, adalah konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koenjaraningrat, 2016 : 206). Dalam setiap masyarakat bersuku bangsa akan selalu ada individu-individu yang memiliki sikap etnosentrisme atau berwatak kolot yang tidak suka dengan kebudayaan lain selain kebudayaannya sendiri sehingga menolak hal-hal baru yang berbeda, namun ada juga yang suka dan cepat menerima kebudayaan baru tersebut.

26 Mahasiswa perantau yang berasal dari Aceh tentu akan mengalami culture contact di Kota medan sehingga proses akulturasi tentu sesuai untuk mahasiswa perantau khususnya pada mahasiswa yang berasal dari Aceh sebagai fokus penelitian. Adalah baik jika para mahasiswa perantau mampu merespon dan mengolah dengan unsur-unsur kebudayaan yang didapati di lingkungan barunya secara perlahan yakni dikota Medan, tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan Aceh yang telah melekat dalam dirinya karena mau tidak mau setiap individu akan dihadapkan dengan berbagai macam kebudayaan yang berbeda dengan kondisi tanah air yang Multikultural.

2. Asimilasi

Dalam Koentjaraningrat (2016) Asimilasi atau asimilation adalah proses sosial yang timbul bila ada:

a. Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda b. Saling bergaul secara langsung untuk waktu yang lama, sehingga

c. Kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tersebut masing-masing berubah sifat khas nyadan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.

Golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan-golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas yang dalam hal ini golongan minoritas mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas, sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk kedalam kebudayaan mayoritas.

Berdasarkan konsep ini, melalui pengamatan lapangan peneliti terhadap beberapa individu yang tidak berasal dari kota Medan, terdapat individu yang mengalami asimilasi dimana kontak budaya membuat diri individu kehilangan kepribadian kebudayaannya sehingga malah lebih mencintai dan menyukai kebudayaan baru yang didapatinya di kota Medan.

Dengan kata lain akulturasi dan asimilasi sebagai hasil adaptasi akibat kontak budaya individu dengan lingkungan kebudayaan baru dapat disimpulkan sebagai proses

27 adopsi berbagai unsur kebudayaan dominan yang pada umumnya dapat didapati di lingkungan kebudayaan baru yang dapat diterima oleh individu perantau.

1.2.6 Merantau

Merantau merupakan sebuah fenomena yang tidak jarang terjadi di Indonesia dan bahkan sudah seperti menjadi kebudayaan khususnya pada etnis-etnis tertentu seperti contohnya yang paling popular adalah pada etnis Minangkabau atau Batak. Merantau adalah pergi atau berpindah ke suatu daerah yang tentunya meninggalkan daera asal.

Menurut Naim (2013) Merantau adalah meninggalkan kampung halaman dengan kemauan sendiri, memiliki jangka waktu lama, dengan tujuan tetentu, menuntut ilmu dan mencari pengalaman, yang namun suatu saat akan kembali pulang. Dalalm KBBI merantau didefenisikan sebagai berlayar atau mencari penghidupan di sepanjang rantau.

Merantau sebenarnya identik dengan migrasi atau perpindahan yang dilakukan seseorang atau kelompok baik secara permanen ataupun relative permanen (dalam artian memiliki jangka waktu tertentu, dengan menempuh jarak mminimal tertentu, berpindah dari satu unit gografis ke unit geografis lainnya (Said Rusli, dalam Sholik, dkk 2016).

Sedangkan perantauan, menurut KBBI adalah negeri lain tempat mencari penghidupan dan sebagainya atau daerah yang didiami oleh orang lain yang berasal dari daerah lain.

Merantau menjadi sebuah kebiasaan yang akhirnya menjadi sebuah kebudayaan bagi etnis-etnis tertentu di Indonesia. Tentunya terdapat berbagai alasan dan tujuan ketika seseorang atapun sekelompok orang memilih untuk merantau. Mochtar Naim (2013, dalam Yanti, 2019) mengemukakan setidaknya terdapat enam unsur pokok yang terkait dengan merantau :

1. Meninggalkan kampung halaman, 2. Kemauan sendiri,

3. Dalam jangka waktu lama atau tidak,

4. Tujuan mencari kehidupan atau menuntut ilmu dan mencari pengalaman, 5. Adanya maksud untuk kembali pulang,

6. Merantau merupakan lembaga social yang membudaya di masyarakat

28 1.2.7 Penelitian Terdahulu

Cuture shock bukanlah sebuah fenomena yang baru pertama kali dikaji, melainkan sudah terdapat berbagai sudut pandang ilmu yang telah mengkaji fenomena ini sebelumnya termasuk ilmu antropologi. Culture shock sebagai sebuah fenomena yang jika ditarik dalam kajian antropologi mengacu kepada bidang antropologi psikologi, sebelumnya sudah pernah di kaji oleh antroplog berkebangsaan Indonesia sendiri. Dua ahli antropologi lulusan Universitas Indonesia yang mengkaji fenomena culture shock sebagai sebuah penelitian dalam bidang Antropologi Psikologi adalah Istutiah Gunawan-Mitchel dan Puspa Vasanty Hendarto, yang walaupun dalam penelitiannya tidak langsung mencantumkan istilah culture shock, namun kedua penelitian tersebut mengacu kepada fenomena itu. Penelitian kedua ahli antropologi tersebut sangat berguna untuk dijadikan sebagai bahan referensi. Adapun inti dari kajiannya adalah sebagai berikut:

1. Istitutiah Gunawan Mitchel (1969, dalam Danandjaja 1994 : 24): Dalam penelitiannya, Istitutiah Gunawan Mitchel melakukan penelitian mengenai penyakit jiwa seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri dan beragama Kristen, pada orang-orang Minangkabau yang bermukim di Jakarta. Mereka yang mengalami penyakit jiwa tersebut adalah korban dari perubahan kebudayaan, yang telah menjadi pasien di rumah sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta.

Kesimpulan penelitiannya adalah, penyakit jiwa yang diderita oleh para pasien yang berasal dari Minangkabau adalah disebabkan arena mereka tidak dapat menyesuaikan diri terhadap pertentangan nilai lama yaitu kebudayaan yang mereka bawa dari daerah asalnya dengan nilai baru ketika mereka di ibukota.

2. Penelitian Puspa Vasanty Hendarto (1969, dalam Danandjaja 1994 : 24):

Penelitian ahli Antropologi Indonesia yang kedua ini, objek penelitiannya adalah mengenai penghambat pembauran orang-orang Indonesia keturunan Cina ke dalam suu-suku bangsa “pribumi” yang ada di Nusantara. Kesimpulan dari hasil penelitian Hendarto adalah penghambat terjadinya pembauran orang Indonesia keturunan Cina ke dalam suku bangsa yang disebut pribumi, hal utama yang menyebabkan penghambata tersebut adalah karena msih kurang adanya kesempatan untuk bergaul antara mereka dengan penduduk pribumi.

Kekurangakraban perrgaulan tersebut diperkuat lagi dengan pandangan yang

29 bersifat stereotipik, yang ada pada kedua belah pihak terhadap masing-masing pihak. Stereotipik tersebut adalah orang Indonesia keturunan Cina menganggap orang Indonesia dari kalangan pribumi mempunyai watak negative seperti malas, pemboros, hanya memikirkan hari ini saja, dan sebagainya. Sebaliknya orang Indonesia pribumi menganggap orang Indonesia keturunan Cina semuanya memiliki watak negatif seperti licik, egoistis, kikir, materialistis, suka hidup eksklusif, dan sebagainya.

Menurut penulis, penelitian Antropologi Psikologi oleh Gunawan-Mitchel merupakan feomena culture shock yang sudah mengalami culture shock dengan level yang parah, karena sudah mengalami depresi akibat menghadapi perbedaan kebudayaan dan ketidakmampuan menyesuaikan diri. Sedangkan penelitian Antropolog Hendarto mencerminkan beratnya pembauran kebudayaan etnis Cina dan Indonesia pada masa ini menyebabkan terjadinya fenomena culture shock akibat “stereotype negative” antara kedua belah pihak.

Selain peneltian yang dilakukan Antropolog Indonesia, dalam buku Antropologi Psikologi James Danandjaja (1994) terdapat pula sebuah penelitian menarik yang berkaitan dengan fenomena culture shock yang dikaji oleh P.M. van Wulfften Palthe mengenai amok (mengamuk), yakni suatu keadaan emosi yang sangat bergairah berkecendrungan untuk membunuh orang yang dijumpai. Penelitiannya mengungkapkan ini adalah penyakit jiwa yang sering terdapat pada orang-orang Melayu. Menurutnya, penyakit jiwa ini umumnya menyerang orang-orang yang meninggalkan lingkungannya ke suatu lingkungan asing, yang tak dapat mereka sesuaikan diri mereka.

Penelitian Wulfften Palthe ini merupakan salah satu bukti selanjutnya yang menegaskan bahwasannya begitu beratnya proses penyesuaian diri individu dengan kebudayaan yang baru dan berbeda dengan apa yang telah dipelajari sejak individu kecil sehingga sangat berdampak terhadap kondisi fisik dan psikis individu yang mengalaminya. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan begitu tertariknya peneliti mengangkat fenomena culture shock sebagai fokus penelitian karena individu-individu yang merantau dari daerah asal menuju daerah baru akan dihadapkan dengan berbagai

30 perbedaan kebudayaan yang tentunya akan berpengaruh terhadap kondisi kehidupannya di lingkungan baru tersebut.

Demikianlah penelitian-penelitian terdahulu yang mengkaji tentang fenomena culture shock dari berbagai sudut pandang ilmu. Namun, setelah penelitian-penelitian tersebut, penulis belum menemukan kajian terbaru mengenai fenomena culture shock berdasarkan sudut Antropologi Psikologi. Adapun perbedaan penelitian yang akan dikaji peneliti dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah, penelitian tidak hanya berusaha mengkaji lingkungan, sosial, dan budaya individu yang menjadi penyebab culture shock pada mahasiswa Aceh, tetapi juga mengkaji isu kepribadian dalam melihat individu perantau untuk menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya culture shock.

Penelitian ini memiliki fokus kepada isu kepribadian individu per individu yang terbentuk melalui pengaruh kebudayaan yang dianutnya sehingga peneliti berusaha mengkaji pengaruh kepribadian kebudayaan terhadap individu-individu tersebut sehingga dapat menyebabkan teradinya culture shock.

Selain itu belum pernah pula terdapat kajian mengenai fenomena culture shock pada mahasiwa perantau yang berasal dari Aceh di Universitas Sumatera Utara, yang walaupun masih berada dalam satu pulau, Aceh dengan kota Medan memiliki perbedaan dalam berbagai aspek khususnya dalam konteks kebudayaan yang ada dalam kedua lingkungan tersebut, yang melekat pada diri individu dalam masyarakatnya. Hal-hal demikianlah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti berbagai perbedaan dan kesulitan yang dialami oleh mahasiwa Aceh di kota Medan yang menyebabkan terjadinya culture shock melalui sudut pandang ilmu antropologi.

31 1.3 Rumusan Masalah

Setiap individu sejak kecil telah diresapi dengan nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu sejak lama berakar dalam alam jiwa mere.

Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu yang singkat (Koentjaraningrat, 2016). Ketika mahasiswa perantau yang berasal dari Aceh datang ke kota Medan untuk menempuh pendidikan, mereka akan mendapati berbagai perbedaan dalam berbagai konteks kebudayaan. Perbedaan-perbedaan yang didapati tentu memberikan efek terhadap diri para mahasiswa perantau tersebut. Efek yang dimaksudkan dalam hal ini ialah resiko terjadinya culture shock akibat perubahan lingkungan kebudayaan.

Proses penyesuaian diri dalam lingkungan kebudayaan baru yang tidak dapat dilakukan dengan waktu yang singkat akan sangat berpeluang pada terjadinya fenomena culture shock pada mahasiswa perantau di kota Medan. Fenomena culture shock sebagai masalah sosial budaya pada individu perantau akibat berada dalam kultur berbeda memungkinkan terjadinya gangguan pada psikis dan fisik mahasiswa perantau tersebut.

Sehubungan dengan hal itu maka peneliti menarik rumusan masalah yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana fenomena culture shock yang dialami mahasiswa Aceh perantau yang tergabung dalam IPTR di Universitas Sumatera Utara, Medan ?

2. Apa yang menyebabkan terjadinya culture shock dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh perantau yang tergabung dalam IPTR di Universitas Sumatera Utara, Medan?