• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM KASUS SISTEM ADMINISTRASI BADAN HUKUM

Dalam dokumen Buku Advokasi Dengan Hati Nurani (Halaman 97-101)

P

ada tanggal 28 Agustus 2009, Prof. Romli Atmasasmita yang merupakan Mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM melaporkan BAS selaku Ketua Koperasi Pegawai Pengayoman Departe-men Kehakiman (KPPDK) atas dugaan pemalsuan surat perjanjian pembagian

access fee antara Direktorat Jenderal AHU dengan KPPDK dan

diterima oleh polisi selaku penyidik dengan nomor 2488/K/ VIII/2009/SPKUNITII. Laporan ini diajukan terkait dengan kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum), dimana Prof. Romli Atmasasmita pada kasus ini telah ditetapkan sebagai salah satu terdakwa oleh Kejaksaan Agung.

Mantan Dirjen AHU Departemen Hukum dan HAM itu memang sejak semula yakin bahwa surat perjanjian pembagian

access fee antara Direktorat Jenderal AHU dengan KPPDK yang

diajukan sebagai alat bukti di persidangan sama sekali palsu. Pasalnya, surat asli perjanjian tersebut tidak pernah diperlihatkan di persidangan, dan tanda tangan di fotokopi surat perjanjian tersebut bukanlah tanda tangan dia. Atas laporan Prof. Romli Atmasasmita tersebut, dan setelah melakukan penyidikan sejak tanggal 1 September 2009, Penyidik menetapkan BAS sebagai tersangka dan disangka dengan Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pemalsuan surat.

Apabila benar bahwa surat perjanjian tersebut adalah palsu, maka hal ini sungguh mengherankan karena bagaimana mungkin Jaksa Penuntut Umum mendakwa atas dasar bukti palsu dan juga seharusnya majelis hakim tidak meneruskan memeriksa dan mengadili perkara tersebut karena adanya bukti palsu. Prof. Romli Atmasasmita pun pernah menyatakan

Frans Hendra Winarta

80

dalam sidang perkaranya tentang adanya bukti palsu ini dan menyatakan akan melaporkannya ke polisi. Namun yang terjadi adalah majelis hakim tetap meneruskan proses persidangan dan pada 7 September 2009, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan putusan 2 (dua) tahun penjara dan denda Rp. 100 juta subsider 2 (dua) bulan kurungan dengan uang pengganti sebesar US$ 2 ribu dan Rp 5 juta subsider 2 (dua) bulan penjara. Kemudian pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 20 Januari 2010 telah menjatuhkan pidana penjara 1 (satu) tahun dan uang pengganti US$ 2.000 dan Rp. 5 juta. Atas hal ini, Prof. Romli Atmasasmita telah mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI. Apa yang dialami oleh Prof. Romli Atmasasmita tersebut merupakan suatu kegagalan mencapai keadilan (miscarriage of

justice) yang sering terjadi dalam proses persidangan perkara

pidana di Indonesia.

Berdasarkan Black’s Law dictionary, pengertian miscarriage

of justice adalah “A grossly unfair outcome in a judicial proceeding as when a defendant is convicted despite a lack of evidence on an essential element of the crime.-- also termed failure of justice”. Hal ini bisa terjadi

karena penegak hukum dan pengadilan pada saat ini sangat dipengaruhi oleh opini publik yang dibentuk oleh pers dan LSM tentang suatu perkara. Kecenderungan proses peradilan yang dipengaruhi opini publik seringkali terjadi khususnya dalam perkara korupsi dan perkara yang menyedot perhatian umum. Ini bisa dimaklumi karena semangat memberantas korupsi yang menggebu, sehingga fairness dan rasa adil kurang diperhatikan. Akibat logis dari sikap apriori tersebut adalah sikap curiga pers dan masyarakat terhadap setiap orang khususnya pejabat atau eks pejabat yang dianggap semua pernah terlibat dan melakukan korupsi baik secara aktif maupun pasif.

Seharusnya, sejak awal Jaksa Penuntut Umum mengetahui bukti surat perjanjian pembagian access fee antara Direktorat Jenderal AHU dengan KPPDK adalah palsu. Untuk itu, pada saat itu sebenarnya Jaksa Penuntut Umum dapat segera menerbitkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP) kepada

ADVOKASI dengan Hati Nurani 81

Prof. Romli Atmasasmita atas dasar tidak cukup bukti. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf (a) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang menyatakan:

”Dalam hal penuntut umum memutuskan menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.”

Begitu pula majelis hakim perkara ini seharusnya menunda dan menghentikan perkara pidana ini sampai diperoleh penjela-san tentang keaslian surat perjanjian tersebut. Pada dasarnya proses persidangan perkara pidana adalah dilakukan demi keadilan (Pro Justitia). Sehingga kesungguhan majelis hakim dalam memeriksa perkara pidana mutlak diperlukan. Terlebih lagi, pemeriksaan pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil. Oleh karena itu, sudah seharusnya dengan adanya laporan pemalsuan surat yang dilakukan sebelum putusan dijatuhkan, majelis hakim menghentikan sementara proses persidangan dengan alasan untuk kepentingan dan demi keadilan (adjournment of trial), terlebih dengan telah adanya penetapan BAS sebagai tersangka. Sepanjang suatu bukti mempunyai pengaruh yang besar dan signifikan terhadap isi putusan, maka sudah selayaknya demi keadilan majelis hakim menghentikan semen-tara proses persidangan dan menunggu putusan pengadilan yang memeriksa bukti palsu tersebut.

Patut pula kita perhatikan bahwa janganlah kasus tragis yang menimpa Sengkon dan Karta pada tahun 1974 kembali terulang pada kasus Sisminbakum yang melibatkan Prof. Romli Atmasasmita ini. Dimana pada tahun 1974, Sengkon dan Karta ditangkap polisi dengan tuduhan merampok dan membunuh pasangan suami-istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Kemudian, majelis hakim memutus perkara tersebut karena sangat yakin atas tuduhan jaksa penuntut umum, sehingga memutuskan Sengkon dan Karta masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara. Belakangan seorang yang

Frans Hendra Winarta

82

bernama Gunel mengaku sebagai pelaku sebenarnya. Sengkon dan Karta kemudian mengajukan peninjauan kembali (herziening) dan Mahkamah Agung menyatakan mereka bukanlah pelaku kejahatan tersebut.

Dengan demikian, diharapkan majelis hakim terutama Majelis Hakim tingkat kasasi yang memeriksa kasus Sisminbakum yang melibatkan Prof. Romli Atmasasmita, dapat mengedepan-kan kebenaran dan keadilan, serta mencegah adanya suatu kegagalan mencapai keadilan (miscarriage of justice).

(15)

Dalam dokumen Buku Advokasi Dengan Hati Nurani (Halaman 97-101)