• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan-permasalahan yang timbul

Dalam dokumen Buku Advokasi Dengan Hati Nurani (Halaman 155-162)

Selama kurang lebih 60 (enam puluh) tahun gera-kan separatis di Aceh, mulai dari Daud Beureuh sampai dengan GAM, sekelompok orang Aceh telah berupaya memisahkan diri dengan berbagai dalih dan menyatakan mewakili rakyat Aceh. Meskipun Aceh sudah diberi status daerah khusus dan otonomi khusus sesuai dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, namun tidak tertutup kemungkinan terdapat beberapa anggota GAM yang belum mengakhiri niatnya memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (“NKRI”). Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Rl untuk mempertahankan agar Aceh tetap berada dalam wilayah NKRI. Walaupun hampir semua pihak mendukung upaya perdamaian, tetapi isi MoU RI-GAM itu dijadikan obyek kritisi karena dikuatirkan mengurangi kedaulatan Republik Indonesia serta mengancam keutuhan wilayah dan konsep NKRI.

Kalau dilihat dari paham monisme kedaulatan, maka MoU RI-GAM telah mengurangi kedaulatan Republik Indonesia, khususnya dalam kerangka berpikir NKRI. Tetapi kalau dilihat dari sudut pandang paham pluralisme kedaulatan, belum tentu

MoU RI-GAM mengurangi kedaulatan Republik Indonesia.

Kembali kepada isi laporan dari komisi di Amerika Serikat selama Perang Dunia II, yang pada intinya menyatakan bahwa suatu negara berdaulat menuntut kekuasaan untuk mengadili perselisihan-perselisihannya sendiri, untuk melaksanakan konsepsinya sendiri tentang hak-haknya, untuk menambah persenjataannya tanpa batas, untuk memberlakukan warga

Frans Hendra Winarta

138

negaranya menurut apa yang dianggapnya pantas, dan mengatur perekonomiannya tanpa mempertimbangkan akibat peraturan-peraturannya bagi tetangga. Untuk itu, menurut Komisi ini, tanda-tanda penerapan kedaulatan semacam ini harus dibatasi.

Abad kedua puluh adalah abad kerjasama internasional yang luas dan memiliki intensitas kegiatan tiada taranya dalam sejarah umat manusia. Dalam pandangan sarjana Barat klasik pada waktu itu, dikatakan bahwa abad kedaulatan (the

age of sovereignty) telah berlalu dan digantikan abad kerjasama

Internasional (Internasional co-operation). Mereka berpendapat bahwa adanya hubungan dan kerjasama Internasional itu tidak lain sebagai pembuktian keadaan interdependensi negara-negara.45

Dalam MoU RI-GAM, kedua belah pihak sepakat menunjuk AMM (Aceh Monitoring Mission) yang dibentuk oleh Uni Eropa (European Union) dan negara-negara ASEAN yang bertugas sebagai berikut:

a. Monitor the demobilization of GAM and decommissioning of its armaments;

b. Monitor the relocation of non-organic military forces and non-organic police troops;

c. Monitor the reintegration of active GAM members; d. Monitor the human rights situation and provide assistance

in this field;

e. Monitor the process of legislation change; f. Rule on disputed amnesty cases;

g. Investigate and rule on complains and alleged violations of the MOU;

h. Establish and maintain liaison and good cooperation with the parties.

Keterlibatan orang asing, dalam hal ini Uni Eropa (European Union) dan negara-negara ASEAN membuka peluang

ADVOKASI dengan Hati Nurani 139

pengakuan internasional (recognition) terhadap Aceh sebagai suatu pemerintahan atau suatu negara. Hal ini mengingat pemberontakan GAM sudah berlangsung lama dan berlarut-larut, GAM mempunyai angkatan perang sendiri, menguasai beberapa bagian wilayah Aceh, memperoleh dukungan cukup luas dari rakyat Aceh dan mempunyai pemerintahan sendiri. Dengan ditandatanganinya MoU RI-GAM, maka status GAM dapat dinyatakan bukan lagi sebagai Criminal tetapi dinyatakan sebagai pemberontak (insurgent atau rebel).

Menurut paham pluralisme kedaulatan, MoU RI-GAM tidaklah mengurangi kedaulatan Republik Indonesia karena keinginan untuk mengadili perselisihan-perselisihannya sen-diri, melaksanakan konsepsinya sendiri tentang hak-haknya dan menuntut kekuasaan tanpa batas harus dibatasi. Hal ini bertentangan dengan paham negara nasional atau kebangsaan (nation state) yang dengan kelengkapan lembaga-lembaga pemerintahannya ingin melaksanakan pengawasan, sepanjang waktu dan pada semua bagian dari daerah kekuasaannya.46

Dari sudut pandang negara nasional atau kebangsaan (nation

state), MoU RI-GAM jelas telah mengurangi kedaulatan Republik

Indonesia untuk menyelesaikan perselisihannya sendiri dan mengawasi sepanjang waktu dan pada semua bagian dari wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Begitu pula, kalau dilihat dari paham pluralisme kedaulatan, ada beberapa masalah yang dapat dicatat dan timbul dari MoU RI-GAM, khususnya tentang konsesi yang begitu besar kepada GAM atau menimbulkan dari provinsi-provinsi lain, antara lain tentang:

• Jika ada perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan negara lain tentang Aceh harus berkonsultasi dan atas persetujuan dari DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Aceh.47

46 Brierly, op.cit., hal. 23.

47 Hal ini dikuatkan dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatakan: “Rencana Persetujuan Internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.”

Frans Hendra Winarta

140

• Pemerintah Republik Indonesia akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat serta kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak.

Konsesi yang begitu besar kepada GAM telah memperbesar kemungkinan GAM memperoleh legiti-masi dan mengokohkan statusnya sebagai insurgent atau rebel.48

Analisis

Istilah “former combatants” dalam MoU RI-GAM telah juga melegitimasi GAM sebagai insurgent atau rebel terhadap NKRI, seolah-olah gerakan kemerdekaan terhadap penjajahan oleh Republik Indonesia. Inilah yang menjadi pertanyaan penting tentang konsep NKRI yang diabaikan dalam penandatangan

MoU RI-GAM. Hal ini akan membawa dampak yang luas

terhadap konsep NKRI, yang dikuatirkan setelah MoU RI-GAM akan berakibat Aceh menjadi negara merdeka yang terpisah dari NKRI. Kekuatiran ini bisa dipahami, mengingat gerakan untuk memisahkan Aceh dari NKRI sudah dimulai kurang lebih 60 (enam puluh) tahun yang lalu. Walaupun MoU RI-GAM ini bukan merupakan dokumen hukum dan mengikat (legally

binding) tetapi secara moral harus ditaati kedua belah pihak.

Secara esensial, MoU RI-GAM merupakan pacta sunt servanda yang harus ditepati. Potensi gagalnya pelaksanaan isi MoU RI-GAM ada, seperti kalau DPRD Aceh tidak menyetujui perjanjian Internasional Republik Indonesia dengan negara lain atau suatu korporasi karena korporasi juga dianggap sebagai subyek hukum dalam pergaulan Internasional (hukum internasional). Bagaimana alokasi pertanahan akan dilaksanakan tanpa menimbulkan

48 Di tahun 2007 secara de facto partai lokal GAM telah dibentuk, hal ini juga semakin menunjukkan adanya upaya untuk legitimasi GAM. Chusman Maghribi, ”Pembentukan Parlok GAM Harus Ditolak (Refleksi Dua Tahun MoU Helsinki)”

(http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view& id=7388&Itemid=62).

ADVOKASI dengan Hati Nurani 141

protes dan kecemburuan sosial keluarga prajurit TNI yang gugur di Aceh selama ini.

Walaupun MoU RI-GAM adalah dokumen politik, akan tetapi tidak dapat dihindarkan akan membawa akibat hukum seperti dalam bidang ketatanegaraan dan konsep NKRI. Paling tidak, “leges imperii” yaitu UUD 1945 tidak mendelegasikan kekuasaan pemerintah Republik Indonesia kepada suatu provinsi seperti yang dinyatakan dalam MoU RI-GAM. Memang benar seperti dinyatakan oleh Jean Bodin, kekuasaan tertinggi itu bukan “potestas legibus omnibus soluta” (suatu kekuasaan tertinggi tanpa batas).49 Tetapi penyerahan sebagai kedaulatan Pemerintah Republik Indonesia dalam konsep NKRI akan menimbulkan persoalan ketatanegeraan dikemudian hari. Apakah konsep NKRI sekarang sudah bergeser ke arah kerjasama Internasional (international co-operation) meninggalkan the age of

sovereignty? dimana hal itu belum jelas. Oleh karena itu, DPR

(Dewan Perwakilan Rakyat) telah meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk berkonsultasi kepada DPR sebelum dan sesudah penandatanganan MoU RI-GAM. Permintaan ini penting untuk diperhatikan mengingat MoU RI-GAM menyangkut kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Kesimpulan

Dari sudut pandang negara nasional atau negara kebangsaan (nation state), maka RI-GAM telah mengurangi kedaulatan Pemerintah Republik Indonesia terhadap wilayah dan kekuasaan Provinsi Aceh karena apa yang diatur dalam UUD 1945 mengenai konsep NKRI telah direduksi dengan adanya campur tangan asing (Uni Eropa dan ASEAN dalam AMM)50

dalam menyelesaikan gerakan separatis GAM.

49 Bodin mendifinisikan Negara sebagai “.. a multitude of families and the possessions

that they have in common ruled by a supreme power and by reason”. Kekuasaan

tertinggi itu di definisikan secara umum sebagai kekuasaan tertinggi tanpa batas.

50 Pada tanggal 15 Desember 2006 Aceh Monitoring Mission telah menyelesaikan semua tugasnya, walaupun demikian tidak menghapus sejarah bahwa penandatanganan MoU RI-GAM telah terdapat campur tangan pihak asing.

Frans Hendra Winarta

142

MoU RI-GAM dapat dianggap sebagai perjanjian

inter-nasional (treaty) karena individu yang mewakili GAM adalah orang asing dan oleh karena itu dengan paspor Swedia bisa dianggap subyek hukum internasional yang mewakili rakyat Aceh, apalagi kalau pemerintah Aceh memperoleh pengakuan (recognition) dari negara lain baik secara terbuka, tertutup atau secara diam-diam.

Pasca penandatanganan MoU RI-GAM, Aceh sedang dalam proses menjaga perdamaian, sehingga diperlukan tindakan yang cerdas dari Pemerintah Republik Indonesia dalam menjaga perdamaian tersebut. Koordinasi antara Pemerintah Republik Indonesia dengan DPR sangat diperlukan dalam menindaklanjuti MoU RI-GAM. Hal ini demi menjaga kedaulatan NKRI dan demi kesejahteraan masyarakat Aceh.

DAFTAR PUSTAKA

Vincent, Andrew, Theories of The State, dalam Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum

Pengadilan Asing, Bandung: Alumni, 1999,

J.L. Brierly, The Law of Nations, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra,

Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing,

Bandung: Alumni, 1999.

Muchtar Afandi, Ilmu-ilmu Negara, dalam Yudha Bhakti Ardhi-wisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan

Asing, Bandung: Alumni, 1999.

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi

dan Pelaksanaanya di Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru. Van

Hoeve, 1994

Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Binacipta, 1980 Indonesia. Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh. UU No. 11

Tahun 2006

Sianturi, Eddy MT, SSi Puslitbang Strahan Balitbang Dephan,

ADVOKASI dengan Hati Nurani 143

Integrasi Nasional. http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.

asp?mnorutisi=5&vnomor=15.

Maghribi, Chusman, Pembentukan Parlok GAM Harus

Dito-lak (Refleksi Dua Tahun MoU Helsinki, http://www.

wawasandigital.com/index.php?option=com_content&tas k=view&id=7388&Itemid=62.

Dalam dokumen Buku Advokasi Dengan Hati Nurani (Halaman 155-162)