• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Dalihan Na Tolu” berasal dari kata “Dalihan” yang artinya tungku yang dibuat dari batu, “Na” artinya yang dan “Tolu” artinya tiga. Jadi “Dalihan Na Tolu” berarti Tiga Tiang Tungku. Tungku merupakan tempat untuk memasak dengan menggunakan batu dan tungku tersebut terdiri dari tiga batu. “Dalihan” dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga

bentuknya menjadi bulat panjan, ujungnya yang satu tumpul dan ujung yang lain agak bersegi empat sebagai kaki dalihan, kakinya kurang lebih 10cm, panjangnya kurang lebih 30cm, dan diameter lebih kurang dari 12cm yang ditanamkan dekat dapur dan tempat yang telah disediakan terbuat dari papan empat persegi panjang berisi tanah liat yang dikeraskan. Ketiga “Dalihan” yang ditanam berdekatan tadi berfungsi sebagai tungku tempat alat masak dijerangkan. Besar “Dalihan” harus sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain dan terlihat harmonis (Rajamarpodang, 1992 : 52).

Periuk atau belanga tidak selamanya dapat menjadi alat masak yang cocok dijerangkan diatas tungku, mungkin alat masak terlalu kecil. Untuk itu supaya alat masak tidak lolos atau luncas kebawah harus dibantu dengan batu-batu kecil yang dipipih cocok untuk dalihan sehingga alat masak dapat dijerangkan, batu pembantu demikian disebut “sihal-sihal”. Jelasnya semua tungku yang tidak dibuat dari batu, seperti tungku-tungku alat modern atau keluaran pabrik tidak boleh dinamai “Dalihan”. Karena “Dalihan Na Tolu” bukan sekedar tiga tungku untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur. Demikianlah keadaan kekerabatan suku Batak Toba dan pandangan hidupnya, bahwa “dongan”, “hula-hula”, dan “boru” masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri tahu akan hak dan kewajiban sebagai pelaksana tanggung jawab terhadap kedudukannya pada suatu saat.

Pada saat melihat tiang tungku atau “Dalihan Na Tolu” sebagai tungku pemasak, kita melihat bahwa apa saja yang dimasak diatas tungku yang baik dan masakan itu dimakan untuk perseorangan atau bersama. Masakan akan baik ketika “Dalihan” tersebut tersusun dengan baik. Segala masakan dapat diolah diatasnya untuk dimakan keluarga atau bersama. Melihat penjelesan sederhana tersebut, nenek moyang suku Batak melihat kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai keluarga sama seperti “Dalihan Na Tolu”. Bahwa segala sesuatu yang perlu demi kepentingan manusia dan keluarga yang menjadi sumber sikap perilaku seseorang dalam kehidupan sosial budaya haruslah bersumber dari tiga

unsur kekerabatan ibarat tiga tiang tungku yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dalam bentuk kerjasama. Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak akan ada arti, tetapi harus bekerja sama satu dengan yang lain barulah bermanfaat. Unsur pertama suhut atau dongan tubu, unsur kedua adalah saudara suhut yang perempuan dengan suaminya disebut boru, dan unsur ketiga laki-laki dari istri suhut disebut hula-hula.

Ketiga unsur tersebut diuraikan sebagai berikut (Rajamarpodang,1992) : 1. Somba Marhula-hula

“Hula-hula” merupakan sapaan terhadap saudara laki-laki dari isteri, saudara laki-laki ibu yang melahirkan kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan kakek kita.“Somba marhula-hula” artinya bahwa “hula-hula” adalah sumber berkat kepada “boru”. “Hulahula” sebagai sumber “hagabeon” atau keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari “hula-hula”, tanpa “hula-hula” tidak ada istri dan tanpa istri tidak ada keturunan.

2. Elek Marboru

“Elek Marboru” artinya “boru” harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang serta membujuk secara persuasif. Rasa sayang terhadap “boru”tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. “Boru” adalah anak perempuan kita, atau kelompok anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap “boru” perlu, karena“boru” akan mengerahkan seluruh kekuatan yang ada padanya untuk mendukung hula-hulanya. “Boru” juga disebut “Pangalapan gogo do boru” artinya boru adalah sumber kekuatan.

3. Manat Mardongan Tubu

“Manat Mardongan Tubu” yaitu suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu

dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.

“Dalihan Na Tolu” merupakan pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Sehingga mendorong suku Batak Toba dalam segala kegiatan untuk mewujudkannya, karena dengan berbuat demikian mereka akan mendapat kebahagiaan material maupun spiritual.

2.2.8.1 Perempuan Sebagai OrangtuaTunggal dalam “Dalihan Na Tolu” Seorang perempuan Batak akan menikah dengan laki-laki di luar kelompok kekerabatannya,artinya laki-laki dari marga lain akan memperisterikan dan perempuan itu akan menjadi bagian dari marga suaminya.Perempuan itulah yang akan menjadi penghubung tali persaudaraan antara dua keluarga,yaitu pertama keluarga asal perempuan itu dan keluarga dari pihak suaminya. Ketika telah menikah,perempuan akan menjadi hak dari keluarga suaminya karena keluaraga suaminya telah membayar mas kawin dalam bahasa batak disebut “sinamot” kepada keluarga perempuan sebagai simbol untuk “menghargai” perempuan yanga akan dijadikan isteri.Posisi perempuan itu dalam “Dalihan Na Tolu” juga telah berkembang setelah ia menikah,kalau dulu sewaktu belum menikah ia hanya menjadi “Boru” dalam “Dalihan Na Tolu” tetapi sekarang ia bisa menjadi “Hula-hula” lebih dipandang karena adanya peran suaminya sebagai laki-laki.

Apabila perempuan tersebut telah ditinggal oleh suaminya dan menjadi perempuan sebagai orangtua tunggal, posisinya dalam “Dalihan Na Tolu” sebenarnya masih tetap seperti ketika suaminya masih hidup.Apabila dalam suatu kelompok,suaminya dulu menjadi ”Hula-hula” dalam “Dalihan Na Tolu” maka ketika suaminya meninggal perempuan itu akan tetap sebagai “Hula-hula” bagi kelompok tertentu mengikuti posisi suaminya dulu dalam “Dalihan Na Tolu”, kecuali perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki di luar marga suami pertamanya maka hubungannya di ”Dalihan Na Tolu” suami pertamanya sudah tidak ada karena ia akan mengikuti posisi suami barunya di dalam “Dalihan Na Tolu” keluarga

suaminya itu. Adapaun hal yang menjadi penghubung antara perempuan sebagai orangtua tunggal yang telah menikah lagi dan dengan ”Dalihan Na Tolu” suami pertamanya adalah apabila perempuan tersebut memiliki anak laki-laki dari suami yang pertama karena bagaimanapun anak laki-laki itu akan mewarisi marga ayahnya dan melanjutkan keturunan. Pada kenyataanya apabila seorang perempuan telah “bercerai”, sering kali dirinya tidak begitu terlihat lagi posisinya di dalam “Dalihan Na Tolu” keluarga suaminya. Karena posisi tersebut ia dapatkan dengan mengikuti posisi suaminya. Apabila perempuan sebagai orangtua tunggal tidak mempunyai anak atau tidak mempunyai anak laki- laki, biasanya perempuan tersebut lebih cenderung dekat atau kembali ke keluarga asalnya walaupun juga tidak sedikit perempuan yang tetap berada di keluarga suaminya.

Perlakuan yang diterima seorang perempuan yang menjadi perempuan sebagai orangtua tunggal juga langsung berubah dibandingkan ketika suaminya masih hidup. Walaupun sebenarnya para kerabat suami masih mempunyai kewajiban untuk membatu para perempuan ini,tetapi pada kenyataannya di lapangan para perempuan sebagai orangtua tunggal jarang sekali mendapat bantuan dari keluarga suaminya bahkan ada yang sama sekali dilupakan walaupun ia memiliki anak laki-laki. Posisi perempuan sebagai orangtua tunggal dalam “Dalihan Na Tolu” menunjukkan betapa besarnya peran laki-laki dalam adat di masyarakat Batak Toba.Perbedaan peran dalam adat antara laki-laki dan perempuan,mengkondisikan seorang laki-laki sebagai pihak yang selalu ada dalam adat. Megawangi(1999:103),mengatakan dengan berbagai cara perbedaan peran gender dikondisikan oleh tatanan masyarakat Indonesia yang patriarki,seperti terdapat dalam budaya patriarki di suku Batak Toba.