• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap lima informan perempuan sebagai orangtua tunggal dalam subordinasi di “Dalihan Na Tolu” , maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Bentuk-bentuk subordinasi yang terjadi pada informan peneliti adalah beragam. RS dan YS memiliki banyak kesamaan, subordinasi yang mereka rasakan yaitu RS dan YS tidak dihargai oleh keluarga pihak laki-laki. RS dan YS dimarginalkan, sebagai “boru” di dalam adat RS dan YS tidak dapat ikut berpendapat dan hanya berada di dapur. Anak laki-laki sebagai pengganti ayah, subordinasi ini jelas dirasakan RS dan YS. Sekalipun anak, tetapi peneliti melihat adanya ketidaseimbangan gender yaitu dimana laki-laki lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan. Sementara SM tidak diadati, peneliti melihat bahwa SM tidaklah berharga dan SM tidak banyak mengetahui tentang adat. Bahkan SM tidak tahu sama sekali tentang filosofi “Dalihan Na Tolu”. Selanjutnya, subordinasi yang dirasakan MP yaitu pendapat MP tidak dianggap saat awal menjadi orangtua tunggal, tidak dihargai karena suami yang membuat perempuan berharga. Bukan hanya tersubordinasi bahkan MP sempat termarginalkan oleh oranglain dan keluarga sendiri. Informan terakhir adalah LM, peneliti melihat tidak ada subordinasi yang LM rasakan selama menjadi orangtua tunggal. Akan tetapi, peneliti melihat adanya kesamaan dari kelima informan. RS, YS, SM, MP, LM mendapat pandangan negatif dari lingkungan ketika mereka salah bersikap dengan lawan jenisnya. Ini merupakan

subordinasi yang sangat jelas dilihat peneliti, dimana ketika “janda” berbicara dengan lawan jenis maka masyarakat spontan berfikiran negatif. Perempuan sebagai orangtua tunggal cendrung dinilai negatif dibanding laki-laki sebagai orangtua tunggal.

2. Peran perempuan sebagai orangtua tunggal yaitu RS, YS, SM, MP, dan LM harus menjadi ibu dan ayah bagi anaknya, serta menafkahi anaknya sendiri. Sekalipun demikian mereka tetap menjadi “boru” di dalam adat, peneliti melihat bahwa tidak begitu banyak yang berubah dari perubahan status RS, YS, SM, MP dan LM.

3. Peneliti melihat adanya ketidakseimbangan yang terjadi pada perempuan sebagai orangtua tunggal karena adanya pengaruh dari budaya masyarakat yang sudah tertanam sejak dulu. Pola pikir masyarakat yang salah mengartikan “Dalihan Na Tolu” lah yang membuat adanya ketidakseimbangan. Budaya yang tertanam pada masyrakat membuat pengertian yang berbeda terhadap “Dalihan Na Tolu”. Peneliti melihat bahwa “Dalihan Na Tolu” memiliki tujuan untuk tetap menyatukan suku Batak Toba. Sementara dari perlakuan masyarakat yang mensubordinasikan perempuan tersebut justru membuat suku Batak Toba terpecah. Ketidakadilan gender yang dirasakan perempuan akan membuat ketidakseimbangan dalam filosofi “Dalihan Na Tolu”. Selain itu, peneliti melihat ketidakseimbangan “Dalihan Na Tolu” terhadap sikap masyarakat batak yaitu karena adanya perbedaan sikap. RS, YS merasakan ketidakseimbangan karena sikap tegas mereka dan tidak menghormati keluarga pihak suami, sementara LM mendapatkan keseimbangan karena rasa hormatnya terhadap mertuanya. Sehingga, akibat hubungan interaksi yang tidak baik juga mempengaruhi ketidakseimbangan “Dalihan Na Tolu”.

5.2. Saran

Beberapa saran yang diberikan penulis :

1. Saran penelitian, penelitian sebaiknya dapat merubah pandangan tentang subordinasi perempuan Batak dan melalui penelitian ini masyarakat dapat merubah sikap untuk mensubordinasikan perempuan. Peneliti harus dapat merasakan yang dirasakan informan, agar lebih mudah dalam mencari informasi serta bisa mengerti apa yang dijelaskan informan. Peneliti juga harus betul-betul memahami judul peneliti serta betul-betul merasakan bahwa penelitian bukan sekedar syarat untuk mendapat gelar sarjana, akan tetapi penelitian dapat menambah ilmu yang tidak didapat diperkuliahan. Bukan hanya sekedar memahami, peneliti juga harus mencintai penelitiannya karena peneliti tidak akan merasa terbebani dan memiliki pengalaman yang menarik.

2. Saran akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan baru untuk lebih mengetahui tentang bagaimana perempuan sebagai orangtua tunggal di masyrakat Batak Toba.

3. Saran praktis, menjadi perempuan sebagai orangtua tunggal bukanlah hal yang mudah. Masyarakat hendaknya lebih menghargai dan setidaknya menghilangkan subordinasi dikalangan masyarakat Batak Toba. Subordinasi dalam masyarakat batak sangat bertentangan dengan filosofi orang batak sehingga masyarakat batak harus mengetahui jelas apa itu “Dalihan Na Tolu”. Bukan hanya Batak Toba bahakan seluruh masyarakat batak. “Dalihan Na Tolu” ada pada seluruh suku batak, Batak Toba dan batak mandailing dengan nama “Dalihan Na Tolu”. Batak karo dengan nama “Rakut Sitelu”, Batak simalungun dengan nama “Tolu Sahundulan”, dan terakhir batak pakpak dengan nama “Delikken Sitellu”.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Imron. 2006. Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan. Malang: Kalimasahada

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif : komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, dan ilmu sosial lainnya. Jakarta : Prenada Media Group

Budayatna, Muhammad dan Leila Mona Ganiem. 2011. Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada Daulay, 2007

Effendy, Onong Uchjana. 2007. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandeung: Citra Aditya Bakti

Fajar, Mahaerni. 2009. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Jakarta: Graha Ilmu Fakih, Dr. Mansour. 2000. Gender dan Pembangunan. Bandung: Pustaka Pelajar

Rajamarpodang, D.J. Gultom. 1992. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak. Medan : CV. Media Sarana

Hadjana, Agus M. 2003. Komunikasi Interprsonal dan Interpersonal. Yogyakarta : Kanisius

Kisni, Tri daya & Yuniardi, Salis 2003. Psikologi Lintas Budaya. Malang : Universitas Muhammadyah Malang Press.

Kriyantono, Rahmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Magnis,1995

Moleong, Lexy.J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya Muhammad, Arni. 2007. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara

Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya _____________. 2004. Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Bandung:

Remaja Rosdakarya

_____________. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Murniati, 2004 Purba

Purwasito, Andrik. 2002. Komunikasi Multikultural. Solo : UMM Press.

Samovar, Larry A dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta : Salemba Humanika. Senjaya, 2007

Setiadi,2010 Smith, 2008

Sugiyono. 2005. Memahami P Tambun, 2004

West, Richard & Lynn H. Turnner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika

Sumber Lain :

Budaya Indonesia

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional. Jurnal Ilmiah UNPAD http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/795/pdf

Diakses pada tanggal 25 November 2013

Kementerian Dalam Negrri (Indonesia)

Lampiran 1 : Transkrip Wawancara Perempuan sebagai Orangtua Tunggal RS

Wawancara Pertama

• Peneliti : Halo nantulang, aku kawan “J” yang janji kemarin.

• Ibu RS : oh, iyaa masuk nang. Lagi jualan nantulang, cemanalah ya. Duduk disini nang, ada apa kemarin nang?

• Peneliti : mau tanya-tanya nantulang, mau tanya soal perempuan sebagai orangtua tunggal dalam adat batak nantulang. Nantulang tahu dalihan na tolu ?

• Ibu RS : tau nang, itu yang somba marhula-hula itu kan nang. Kan orang batak, tau lah nantulang.

• Peneliti : iya nantulang jadi aku mau wawancara tentang subordinasi perempuan sebagai orangtua tunggal di adat batak dalihan na tolu

• Ibu RS : oiyaa yaa

• Peneliti : kapan tulang itu pergi menghadap Tuhan nantulang? • Ibu RS : dia bulan 5 tahun 2011, udah 3 tahun lah dia pergi

• Peneliti : berapa jarak umur nantulang ke tulang itu ?

• Ibu RS : kami sama umur kami, tahun 1964. Udah kau rekam ? rekam lah … hehe..

• Peneliti : iya nantulang ini sudah direkam dari tadi nantulang , hehe..

• Ibu RS : jadi dia itu sudah lama nya sakit jantung, tahun 2008 sudah pernah dia opname di tembakau deli itu.Cuma sekali itu kambuh lagi, sempat dia kemarin mau pasang ring tapi takut dia jadi tidak jadi. Tapi sebenarnya kalau kambuh-kambuh itu sudah sering. Dia kalau kekamar mandi pun harus sudah minum obat di bawah lidahnya. Mau mandi dan mau makan juga harus minum itu. Semenjak tahun 2008 itu lah dia mengkonsumsi obat itu (suara tegas tapi air mata keluar).

• Peneliti : oh begitu ya nantulang, kalau gitu kita bahas tentang “Dalihan Na Tolu” itu ya nantulang. Tahu nya nantulang tentang “Dalihan Na Tolu” itu dan bagaimana pandangan nantulang terhadap “Dalihan Na Tolu” itu ? kental nggak nantulang dengan adat ?

• Ibu RS : aku mau nya ngga jualan kalau aku ke pesta, paradatnya aku. Keluarga dekat, tetangga datangnya aku ke acara-acara adat itu. Tapi kalau nggak kukenal, ya tidak datanglah. Kumpulan marga sihombing atau sitanggang pasti datanglah. Kalau “Dalihan Na Tolu” itu pastilah kita harus seperti itu. Itu nya yang buat kita mengerti adat. Tapi kalau somba marhula-hula itu kurang sesuai, contohnya hula-hula punya salah samaku, tapi apapun katanya harus somba aku sama dia. Jadi kayak tahun baru, harus akulah tetap yang menyalam dia, padahal logikanya dia yang salah.

Hula-hula tidak bisa salah. Itulah sebagai contohnya nang. Itulah kelemahan dari “Dalihan Na Tolu” ini menurut ku ya nang.

• Peneliti : Menurut nantulang bagaimana peran ibu di adat batak ini ?

• Ibu RS : yah kalau sudah janda, dalam acara adat mana ada lagi ditanya-tanya. Nggak dianggapnya kadang. Kalau pun ada kita paling duduk dibelakang, dibelakang lah tempat kita. Pendapat kita tidak ditanya, pokoknya udah diiyakan aja. Tapi itu kalau di adat ya dek, soalnya kalau dipunguan berbeda dek. Dipunguan pasti ditanya nya pendapat kita bagaimana karena kalau dipunguan tidak ada hubungan saudara hanya karena semarga ajanya. Contohnya gimana menurut isteri sihombing padahal nggak ada lagi suami kita. Tapi kalau di keluarga, misalnya meninggal mertuaku , tidak mungkin lagi aku dipanggil kedepan pasti aku didalam rumah tapi kalau suamiku masih ada, pasti dipanggil lagian anak ku yang dipanggil bukan aku. Gitulah seorang janda, pokoknya semua janda itu sakitlah..

• Peneliti : ada nggak merasa berat ngejalani semua sendiri nantulang ? kebanyakan janda kan sering mengeluh dengan keadaannya ?

• Ibu RS : sebenarnya itu tergantung orangnya, kalau orangnya pintar nggak akan dibodohi orang. Kalau janda itu pintar, maksudku bukan aku pintar ya. Kita harus terima kalau posisi kita itu seorang janda. Karena apa? Mau siapa lagi yang kita harapkan membantu kita ? kayak nantulang sendirilah, pagi jam 5 bangun, nyuci sendiri, antar anak sekolah, langsung jualan sendiri. Kita kan nggak bisa mengenlu, itulah kondisi kita. Harus kita terima. Karena bukan manusi yang mencabut nyawanya, kan Tuhan yang mengambil kembali. Gitu maksudnya dek.

• Peneliti : apa perbedaan yang paling besar yang nantulang rasakan sebelum tulang itu pergi dan sesudah tulang itu pergi ?

• Ibu RS : perbedaannya sih gininya, kalau ada masalah tidak ada lagi kawan kita diskusi. Masalah anak, masalah keluargalah pasti ga ada kawan kita tukar pikiran. Kita simpan dihati aja (Meneteskan air mata).

• Peneliti : Sering tidak teringat tulang itu terus nangis sendiri, kadang merasaka campur aduk nantulang ?

• Ibu RS : yah seringlah… sering kali pun.

• Peneliti : Kadang kan ada rasa ingin berbagi, dulu ke suami, nah sekarang kemana nantulang ? apakah ke anak sekarang berbaginya nantulang ?

• Ibu RS : iyalah berbagi, tapi itupun tidak semulah. Kalau ke suami kita nya kita harus semua saling terbuka. Tapi kalau ke anak tidaklah, aku nggak mau membebani anakku. Aku sifatku kayak gitu. Karena aku seperti inikan, harus kubahagiakan anakku.

• Peneliti : Jadi dengan posisi seperti ini, nantulang sendirilah yang cari nafkah ya nantulang ? atau dibantu anak pertama ?

• Ibu RS : kalau anakku nggak kubebani, misalnya ngepelpun dia, hanya sekedar itunya karena aku memang gak suka rumah itu kotor. Kubilang sama anakku, “jangan kalian susahi lagi, mamak udah capek cari duit”. Untunglah anaknya bisa diatur,tapi kalau ada pikiran kita sikit, itulah kita nangis sendiri dek,kita kan nggak bisa cerita ke orang. Karena kalau kita cerita belum tentu orang itu bantu kita, kayak akulah cerita samamu dek, belum tentu kau bisa bantu aku kan ? segala perjalanan hidup ini, kita nya yang memegang peranan penting dek. Jadi aku nggak mau cerita sama orang, tertutup ajalah aku. Jadi aku sendirinya yang cari nafkah, berjuang aku asal anakku bahagia. Tapi bagaimana pun buruknya anakku, nggak pernah kuceritakan sama orang, biarpun sama kakakku sendiri nggak mau aku ceritakan.

• Peneliti : Kalau anak nantulang ada nggak terkadang mengeluh ? atau rasa ingin sendiri aja, pokoknya merasa minder atau sedih ?

• Ibu RS : nggakkkk, kalau misalnyalah kayak ada acara-acara ajalah. Seperti natal, tahun baru, barulah disitu merasakan rindu, sedih lah. Disitu lah kita betul-betul terasa tidak ada lagi.

• Peneliti : sering nantulang kunjungi makam suami ?

• Ibu RS : dulunya sering, kalau sekarang tidak. Dulunya 2 kali seminggu, ada setahun gitu terus kami. Kalau sekarang, kan ada yang bilang, aduuuuh, kau doa ajalah dirumah. Kan Tuhan yang ambil, jadi sama Tuhan aja kau berdoa. Ngapailah kau selalu kesitu, kayak tidak punya Tuhan kau, Cuma raganya aja nya disitu. Kan Tuhan yang menjemput bukan manusia. Dia itu hanya nisannya aja disana. Kayak anakku, kadang dia rindu bapak, terus aku mimpi bapak katanya, nah barulah dikunjungi itupun sekedar ajanya. Kalau sekarang terakhir desemberlah. Kalau yang paling kecil itu untunglah udah dewasa pemikirannya walaupun masih kecil. Aku sedih lah, sekarangpun aku sering dibecak itu sedih sendiri, kadang mau nangis kalau ingat. Tapi kusimpan semua dalam hati dek (menangis).

• Peneliti : Nantulang ajari adat nggak ke anak nantulang atau beradat ?

• Ibu RS : pastilah, sering anakku ini kuajak ke pesta. Atau kalau ada acara-acara, semua orang ini pasti kuajak, biar tau mereka. Kalau orang datang kerumahpun, kukenali nya mereka, ini boruku, inilah boruku walaupun bukan keluargaku. Kerumah opungnya pun kuajaknya, kalau dalihan na tolu itu paling penting itu nang.

• Ibu RS : gak ada, yah biasa ajalah. Kayaknya kayak nggak ada hubungan sama mereka lagi. Sedangkan bapaknya aja masih hidup, kami agak kurang karena mereka jauh sama kami. Bukan aku sombong ya, anak-anakku nggak ada yang jelek. Tapiitulah sifat mertuaku, nggak tau lah ntah dimana salahnya. Aku mungkin orang nya kan, aku to the point orangnya. Misalnya dibilang mertuaku salah aku langsung kulawan, langsung kubilang mana yang benar. Tapi kalau acara adat, aku datang aku walaupun aku dibelakang-belakang. Sekarangpun nggak ada suamiku, aku datang tetap. Aku memang gitu, kemarin mertuaku ulangtahun pun aku datang. Iyalah,misalnya keluarga suami ada pesta ya datanglah sampai keporsea atau ketarutungpun, aku pergi kok. Kalau aku berbuat baik itu nggak ada ruginya. Karena bukan sama manusia aku meminta berkat, tapi sama Tuhan, jadi mau gimana dia, itu urusannya. Yang penting aku berbuat baik terus. Aku sering bilang sama anakku ingat patik ke lima nak. Walaupun jahat orang sama kita, tetap aja kita baik nak, minimal jangan kau balas nak. Sedangkan kita buat baikpun,lihatlah masih ada yang merampok. Lihatlah tanganku ini bekas rampokan (Tangan luka-luka). Tapi Tuhan punya rencana kok apapun itu. Aku cepat tegar waktu aku janda, seminggu kematiannya aku langsung cepat urus akte kematiannya, urus surat-surat, seminggu kemudiannya aku udah kerja, orang bilang cepat bangkitnya. Tapi ada juga yang bilang, “udah jualan kau?” banyak yang bilang bermaksud kok cepat kali aku jualan, kok nggak dirumah dulu. Padahal kan, kalau nggak kerja aku, makan apa kami ? gimana anakku? Apalagi aku sendiri, aku yang mencari nafkah sendiri. Bukan aku meninggikan hatiku, tapi berdoa aku, banyak janda-janda ini setahun dulu baru bangkit. Ada juganya yang bilang, “nggak mau kau nikah lagi mak j?” kujawab lah tidak soalnya kan ngapain aku nikah lagi, anakku udah tiga, lagian kalau orang batak ini , kita nikah sama marga x misalnya, pasti keluarga suami kita dipanggil. Buat apa coba ? lagian aku nggak mau lagilah menikah. Yah biarkan ajalah, inipun udah jalan Tuhannya.

• Peneliti : yaa, yaa nantulang. Kalau acara adat gitu dari keluarga suami, nantulang masih dipanggilkan sebagai istri suami, atau dari adatnya dipanggilkah ?

• Ibu RS : masih nya tetap dipanggil, namun kayak kubilang tadi ,udah nggak bisa kita duduk didepan. Duduknya dibelakang-belakanglah, tapi kalau suamiku masih hidup duduk didepanlah. Yah gitunya bedanya. • Peneliti : Kalau keluarga tulang itu, seperti opungnya, masih

member perhatian kepada anak-anak nantulang tidak ?

• Ibu RS : ah ga ada itu, gaknya ada kayak gitu. Sedangkan suamiku ada pun gaknya peduli. Aku aja yang suka mendekatkan diri sama mereka. Sebenarnya panggorannya bapaknya ini, makanya nama opungnya pun, opung J nya. Nama anakku nya. Mereka bilang biasa aja sama kami,

kamipun gitu. Tapikan orang bisa lihat perlakuan mereka bagaimana. Banyak orang bilang, kalau kayak gini kali mertuamu itu ? tapi yasudahlah, biarlah mereka itu.

• Peneliti : ada nggak sebenarnya tekanan sendiri ?

• Ibu RS : awalnya iya, kadangpun kalau dipikiri iyanya tertekan, stress. Tapi lama kelamaan, yaudahlah sukanya situ. Teserah dialah, aku enjoy aja lama-kelamaan. Bawa santai ajalah, aku yang penting anakku baik-baik aja.

• Peneliti : kalau keluarga dari nantulang sendiri bagaimana ? masihkah peduli ?

• Ibu RS : oh,kalau keluargaku masihnya. Kayak kemarin lah dilihat aku langsung pas aku luka ini, cerita cerita disitu, bukan karena dikasih uang dia baik, tapi karena perhatiaannya lah walaupun Cuma cerita-cerita aja. Kawan ngomong aja udah senang kita. Kalau dari keluargaku, perhatiannya terus. Dari keluarga suamiku pun gitunya, tapi keluarga yang jauh-jauh bukan keluarga kandung suami ku. Sama nya dulu sama sekarang dek, nggak ada itu pengaruh nggak ada suami atau masih ada suami. Tapi memang kayak STM aja pun masih pedulinya, tapi pas meninggal suami-suami STM agak kurang lah karena kan takut orang menilai apa padahal nggak nya ada apa-apa. Tapi nantulang kalau naik becak nggak pernah nantulang bilang nantulang janda. Kalau ditanya kerja dimana suami, ya nantulang bilang. Tapi nggak mau nantulang bilang bilang ke orang kalau nantulang janda. Soalnya kita kalau janda ini gak pernah dihargai, sebagai contohlah, nantulang pernah diajak ke hotel, itu masih punya suami. Kan gila tukang becak gitu, apalagi janda, oh habislah nantulang ga dihargai. Karena banyak sekarang janda yang gatal, genit. Jadi semua orang kira sama janda. Ditanyapun masih hidup, kujawabnya langsung masih hidup supaya ga dilecehkan aku. Dalam hati sedih nya, tapi kalau kita bilang dia masih hidup ada perasaan kita kalau dia masih disamping kita, jadi jernih otak kita ini, jadi ga ada niat kita cari yang lain. Karena kita harus menjaganya, karena kita berharga. Pokoknya kalau udah janda jangan mau disepelekan.

• Peneliti : Ada nggak perasaan risih ketika menghadapi seperti ini atau menjadi orangtua tunggal nantulang ?

• Ibu RS : nggak risih aku, Cuma yaaahhh (berjualan sebentar). Waktu bapaknya meninggal, malunya kita awalnya. Tapi karena aku naik motor, jadikan pakai helm jadi nggak kelihatan. Tapi itulah pernah kan ditanya, “yah, mak J udah kerja?” aduh kalau sekali gak masalah, tapi udah sering kali bertanya kayak gitu aku jadi kesal. Kubilanglah, kalau aku nangis terus mau kalian kasih makan anakku? Mau makan apa anakku ? senang kalian lihat orang susah ? duduk-duduk nanti aku diteras, lalap aku ditanya. Aturan nya kan ngomongnya, syukur ya mak J bisa cepat pulih,

harusnya gitunya omongan. Ada memang 2 orang tetangga kayak gitu, lalap merecoki. Kalau jalan ku lurusnya ngapain aku harus gitu. Janda itu ngeri, kalau ada suami kalian nanti, kalian jagalah, soalnya janda ini ngeri kali. Bayangi ajalah sendiri menghadapi semua. Makanya aku heran kalau ada yang bilang sama suaminya, “mati aja kau dijalan itu, biar tau rasa kau”. Dalam hatiku yah yang nggak ngertinya dia bagaimana jadi janda. Yang merasa gimana kalinya dia, aku memang dr dulu sampe sekarang nggak pernah aku ngomong gitu sama suamiku. Kami nggak pernah berantam dulu, dia pendiam. Kalau aku marah, ngomel, dia langsung keluar, kalau udah siap aku marah-marah baru dia masuk. Makanya kami nggak pernah kuat-kuat suara kami, ngomong pun pelannya kami. Tapi memang nggak ada buruknya kulihat dan kuingat buruknya pun gak ada. Bayangilah dulu pas hidup, dia mau masak, mau nyuci. Aku yaaah, nggak pernah aku nyuci selama kami menikah, bayangkan tahun 1993 kami menikah sampai tahun 2011 nggak ada aku mencuci dibuatnya. Bahkan buat tehnya pun gak pernah disuruhnya anak-anak. Makanya anakku yang pertama buat teh pun dia tidak tau. Mengepel nanti suamiku itu, ah kalau aku ngelihat dia nggaknya ada buruknya dia. Itulah (mau nangis).