• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian budaya (West, 2008:63) adalah perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Tidak seperti beberapa tradisi teoritis lainnya, kajian budaya tidak merujuk pada doktrin tunggal mengenai perilaku manusia.

Stuart Hall berpendapat dengan persuasif bahwa, “Kajian Budaya memiliki banyak wacana; juga memiliki beberapa sejarah. Ia adalah sebuah bentuk formasi yang utuh;

memiliki peristiwa momen dimasa lalu”. Kajian budaya berkaitan dengan sikap, pendekatan, dan kritik mengenai sebuah budaya. Budaya merupakan fitur utama dalam teori ini, dan budaya telah menyediakan suatu kerangka intelektual yang telah mendorong para peneliti untuk mendiskusikan, tidak sepakat, menantang, dan merefleksikan (West, 2008 : 63).

West mengutip kalimat Stuart Hall, menyatakan bahwa media merupakan sarana yang kuat bagi kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berfikir yang dominan, tanpa mempedulikan efektifitas pemikiran tersebut. Media merepresentasikan ideologi dari kelas yang dominan didalam masyarakat. Karena media dikontrol oleh korporasi (kaum elite), informasi yang ditampilkan kepada publik juga pada akhirnya dipengaruhi dan ditargetkan dengan tujuan untuk mencapai keuntungan. Pengaruh media dan peranan kekuasaan harus dipetimbangkan ketika menginterpretasikan suatu budaya.

Cultural studies merupakan bagian didalam komunikasi multikultural yang artinya mengkaji persoalan komunikasi manusia dari pengaruh faktor-faktor praktik kebudayaan dan dalam hubungannya dengan kekuasaan. Cultural studies adalah kajian secara kritis hubungan komunikasi dengan kekuasaan, dengan upaya mengungkapkan bagaimana kebudayaan mempengaruhi tindak komunikasi dan kekuasaan. Cultural studies merupakan studi budaya yang bertujuan untuk memahami dan mengubah struktur dominasi dimana-mana (Purwasito, 2004: 103).

Cultural Studies dikenal sebagaikajian budayaInggrisyang menjadi salah satu pemaindominandalam teoribudayakontemporer. British Cultural Studiesbegitu kuat sehinggaketika beberapa orangberbicara tentang"Studi budaya" mereka seringsecara implisitmengacu padalingkungan danturunannya.

Cultural Studies memiliki empat orientasi, diantaranya(Smith, 2008:144):

1. Sangat interdisiplinerdalam halkepentingan penelitiandan pengaruhteoritis

2. Ada kepentinganutamadalam

mengeksplorasibudayasebagaisebuah situs di manakekuatandan ketahanandimainkan.

3. Memvalidasistudi budayapopuler jugasebagai "budaya tinggi" 4. Komitmenpolitikterhadap

masalahtopikpenelitianpengaruhkirisering dan, beberapa kritikusakan mengatakan, kesimpulan.

Beberapa asumsi tentang kajian budaya (West, 2008) :

1. Budaya tersebar didalam dan menginasi semua sisi perilaku manusia. Berbagai norma, ide dan nilai dan bentuk-bentuk pemahaman di dalam sebuah masyarakat yang membantu orang untuk menginterpretasikan realitas mereka adalah bagian dari ideologi sebuah budaya. Hall (1981), ideologi merujuk pada “gambaran konsep, dan premis yang menyediakan kerangka pemikiran dimana kita merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami dan memaknai” beberapa aspek eksistensi sosial. Hall yakin bahwa ideologi mencakup bahasa, konsep, kategori yang dikumpulkan oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda untuk memaknai lingkungan mereka. Graham Murdock (1989) menekankan ketersebaran budaya dengan menyatakan bahwa “semua kelompok secara konstan terlibat dalam menciptakan dan menciptakan ulang system makna dan memberikan bentuk kepada makna ini dalam bentuk-bentuk ekspresif, praktik-praktik sosial, dan institusi-institusi”. Secara menarik dan dapat diduga, Murdock melihat bahwa menjadi bagian dari komunitas budaya yang beragam sering mengakibatkan pergulatan makna, interpretasi, identitas dan control. Pergulatan-pergulatan ini atau perang budaya menunjukkan bahwa seringkali terdapat pemisahan-pemisahan yang dalam persepsi mengenai pentingnya suatu isu atau peristiwa budaya. Makna dalam

budaya dibentuk oleh media. Michael Real (1996) berpendapat “media menginvasi runga kehidupan kita, membentuk selera dari mereka yang berada disekitar kita, memberikan informasi dan mempersuasi kita mengenai produk dan kebijakan, mencampuri mimpi pribadi dan ketakutan publik kita, dan sebagai gantinya, mengundang kita untuk hidup didalam mereka”.

2. Orang merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat hierarkis. Kekuasaan bekerja didalam semua leel kemanusiaan (Grossberg, 1989), dan secara berkesinambungan membatasi keunikan identitas (Weedon, 2004). Makna dan kekuasaan berkaitan erat, “makna tidak dapat dikonseptualisasikan diluar bidang permainan dari hubungan kekuasaan” (Hall, 1989). Dalam kaitannya dengan tradisi Marxis, kekuasaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh kelompok subordinat tetapi tidak dapat dicapai. Seringkali terjadi pergulatan untuk kekuasaan, dan pemenangnya biasanya adalah orang yang berada dipuncak hierarki sosial. Mungkin sumber kekuatan yang paling mendasar didalam masyarakat adalah media. Dalam budaya yang beragam, tidak ada institusi yang harus memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang di dengar oleh publik. Gery Woodward (1997) juga menarik kesimpulan serupa ketika ia menyatakan bahwa terdapat sebuah tradisi dimana jurnalis bertindak sebagai pelindung dari kegiatan budaya bangsa: jika media menganggap sesuatu untuk memiliki nilai yang penting, maka sesuatu tersebut penting: suatu peristiwa yang sebenarnya tidak penting menjadi penting.

2.2.3. Gender

Gender didefenisikan sebagai perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial. Gender merupakan hasil konstruksi yang berkembang selama masa anak-anak sebagaimana mereka disosialisasikan dalam lingkungan mereka dalam membentuk identitas. Identitas Gender merujuk pada cara budaya tertentu dalam membedakan peranan masukluin dan feminim. Budaya berpengaruh pada

apa yang membentuk keindahan gender dan bagaimana hal itu ditampilkan diantara budaya(Kisni, 2003:253).

Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan dan agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, berkutat di sektor domestik (rumah), pesolek, pasif, dan lain-lain. Disebabkan oleh pembedaan yang tegas terhadap peran laki-laki dan perempuanyang selama ini terjadi didukung oleh budaya patriarki yang sangat mendominasi menyebabkan ketimpangan gender itu terjadi. Didalam kehidupan sosial muncul stereotip tertentu terhadap laki-laki dan perempuan. Padahal gender ini sifatnya netral dan tidak memihak. Peran laki-laki dan perempuan sangat ditentukan dari suku, tempat, umur, pendidikan serta perkembangan zaman. Selama ini yang terjadi adalah bias gender yang berpihak kepada laki-laki (Kisni, 2003).

Membahas tentang gender berarti membahas tentang permasalahan perempuan dan laki – laki dalam kehidupan bermasyarakat terkhususnya dalam berbudaya. Banyak masalah yang terjadi akibat ketidaksetaraan gender. Adanya perbedaan reproduksi dan biologis mengarahkan pada pembagian kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Perbedaan-perbedaan ini pada gilirannya mengakibatkan perbedaan cirri-ciri sifat, karakteristik psikologis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Beberapa asumsi tentang gender(Murniati, 2004) :

1. Gender menyangkut kedudukan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat;hubungan laki-laki dan perempuan berbentuk secara sosiokultural, dan bukan dasar biologis.

2. Secara sosikultural, hubungan ini mengambil bentuk dominasi laki-laki, dan subordinasi perempuan.

3. Pembagian dan pembedaan yang bersifat sosial seringkali di naturalisasikan dianggap “kodrat” melalui ideologi mitos dan agama.

4. Gender menyangkut steorotip antara feminim dengan maskulin.

Konstruksi sosial perbedaan peran gender telah memberikan pengertian mendasar (ideologi) bagi laki-laki dan perempuan. Ternyata dalam proses kehidupan masyarakat, terjadi ketimpangan dan ketidakadilan gender (Muniarti,2004:97).

1.Ketidakadilan gender dalam hubungan kerja, perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki peran dalam produksi benda atau jasa, di sektor publik dari tingkat lingkungan sampai tingkat pemerintahan. Tetapi tugas-tugas yang berhubungan dengan fungsi reproduksi masyarakat, pekerjaan-pekerjaan domestik, hampir selalu menjadi tangggung jawab perempuan. Akibatnya, jam kerja perempuan jauh lebih panjang dibanding laki-laki. Pekerjaan reproduksi dianggap rendah dan tidak dianggap ekonomis, padahal pekerjaan domestik ini merupakan pekerjaan mempersiapkan tenaga kerja dalam masyarakat.

2.Ketidakadilan gender dalam kaitannya dengan hak asasi, hak asasi perempuan tidak diakui dunia. Dalam pembicaraan hak asasi, tidak otomatis hak asasi perempuan dimasukkan didalamnya. Kenyataan ini membuktikan bahwa perempuan tidak mempunyai hak pribadi, meskipun untuk menentukan fungsi reproduksinya sendiri. Perempuan tidak memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri, sebagai contoh perempuan dijodohkan atau dipaksa menikah dengan “pariban”nya. Perempuan tidak dapat menetukan jenis pekerjaan, karena mereka sudah ditentukan dengan pekerjaan domestiknya.

3.Ketidakadilan gender dalam kaitannya dengan kebudayaan dan agama, perempuan mengalami diskriminasi disegala lingkungan. Pelaksanaan dan praktik beragama maupun kebudayaan merupakan sumber ketidakadilan gender dan diskriminasi hak perempuan. Agama mengajarkan untuk persamaan hak untuk semua umat manusia, tetapi dalam praktiknya tidak. Perempuan diberikan kedudukan subordinat dan tidak memiliki kuasa untuk menentukan ajaran agama. Kitab suci agama ditafsirkan sesuai dengan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Kebudayaan juga memberikan banyak aturan kepada perempuan, seperti

tidak bisa berbicara dengan mertua secara tatap muka, dan memberi keistemewaan makan pada laki-laki sendiri.

Ketidakadilan gender terbagi atas atas lima (Muniarti,2004). Bentuk-bentuk ketidakadilan ini akan dipaparkan sebagai berikut :

1. Beban Ganda yaitu pembagian kerja berdasarkan gender membagi pekerjaan laki-laki di ruang publik, sementara perempuan di ruang domestik. Namun seiring pkembangan zaman dan kebutuhan ekonomi, perempuan masuk ke ruang publik menjadi pencari nafkah. Meski demikian perempuan tetap dituntut untuk bertanggungjawab thd urusan rumah tangga (domestik). Inilah yg dinamakan “beban ganda”.

2. Marginalisasi merupakan suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan atau laki-laki. Terjadi dalam kultur, birokrasi dan program-program pembangunan. Sehingga secarasistematis perempuan tersingkir dan dimiskinkan secara sosial dan ekonomi. Contohnya, Perempuan tidak perlu pendidikan tinggi karena akhirnya nanti juga ke dapur atau perempuan hanya dianggap hanya untuk mengurus anak dan mengurus rumah.

3. Stereotype atau pelabelan negatif yaitu suatu sikap negatif

masyarakat terhadap perempuan yang membuat posisi perempuan selalu pada pihak yang dirugikan. Perempuan seringkali mendapatkan pelabelan negatif seperti manusia yang lemah, maka ia harus dilindungi. Dalam budaya patriarki kata melindungi seringkali diartikan mengontrol dan membatasi mobilitas perempuan demi keselamatannya. Akibatnya perempuan dilarang keluar rumahdi malam hari karena perempuan tidak dapat melindungi dirinya, berbahaya baginya karena dia seorang perempuan.Contohnya, Perempuan bersolek dianggap memancing perhatian lawan jenis, sehingga jika terjadi pelecehan seksual maka perempuan yang disalahkan

4. Subordinasi atau penomorduaan adalahsikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Dibangun atas dasar keyakinan satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding yang lain.Kenyataan di masyarakat, perempuan seringkali mendapat kedudukan sebagai bawahan laki-laki. Perempuan ditempatkan pada jajaran kedua setelah laki-laki karena keberadaan perempuan dianggap tidak penting atau sebagai pelengkap semata. Dalam budaya patriarki laki-laki dianggap sebagai figur utama dan perempuan sebagai figur kedua. Contohnya, Perempuan lebih dikalahkan dari laki-laki dalam pendidikan oleh keluarganya, perempuan dianggap tidak cocok untuk berbagai pekerjaan, mengurus rumahtangga dianggap sebagai kodrat perempuan.

5. Kekerasan atau kekerasan berbasis gender adalah serangan fisik, psikis dan seksual terhadap perempuan. Serangan ini terjadi karena ia seorangperempuan. Salah satu contohnya adalah pemaksaan hubungan seksual. Hal ini seringkali terjadi di ranah domestik maupun publik. Pemaksaan hubungan seksual di ranah domestik bisa terjadi terhadap hubungan suami istri “marital rape”, atau ayah dengan anak perempuan.

2.2.3.1 Komunikasi Antar Gender

Gender merupakan pandangan mengenai ketidakseimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan antara orang tua dan orang muda disebabkan oleh adanya pandangan yang berbeda. Dalam persepektif gender tampak bahwa peran laki-laki lebih dominan disbanding peran yang dimainkan oleh perempuan.

Purwasito (2004) mengatakan bahwa komunikasi antar gender bukan membicarakan perbedaan kodrat tersebut yang menyebabkan komunikasi antar lawan jenis menjadi suatu hambatan tetapi hambatan

komunikasi antar kaum laki-laki dan kaum perempuan oleh sebab pendefenisian sosial-budaya.

Subordinasi perempuan terhadap laki-laki menyebakan terjadinya marginalisasi perempuan. Sebagai contohnya didalam budaya batak perempuan tidak diwajibkan dalam pengambilan keputusan, tetapi laki-laki sangat penting dikarenakan menganut budaya patriarki. Dari subordinasi inilah terlihat bahwa perempuan sebenarnya termarginalkan. Semua itu merupkan warisan budaya yang telah menjadi pembelaan negatif

2.2.4. Subordinasi

Subordinasi menurut KBBI edisi ketiga adalah kedudukan bawahan,pengertian subordinasi yaitu suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi. 2.2.4.1Subordinasi terhadap Perempuan

Subordinasi terhadap perempuan merupakan pandangan yang memposisikan perempuan dan karya-karyanya lebih rendah dari laki-laki. Perempuan dianggap kurang mampu, sehingga diberikan tugas yang mudah dan ringan.

Pandangan ini membuat perempuan sebagai pembantu, sosok bayangan dan tidak berani memperlihatkan kemampuannya sebagai pribadi. Bagi laki-laki, pandangan ini menyebabkan mereka sah untuk tidak memberi kesempatan perempuan muncul sebagai pribadi utuh. Laki-laki berfikir perempuan tidak mampu berfikir seperti ukuran mereka (Muniarti, 2004:23).

2.2.5. Perempuan Sebagai Orangtua Tunggal