• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil

4.1.2. Subordinasi terhadap perempuan sebagai orangtua tunggal dalam filosofi Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba

4.1.2.1. Subordinasi terhadap RS dalam filosofi Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba

RS adalah seorang perempuan yang sekarang menjadi orangtua tunggal. RS menikah dengan DS dan memiliki tiga orang anak. DS meninggal akibat penyakit jantung, setelah meninggal RS tidak menikah lagi sampai saat ini. Sejak saat itu RS menjadi orangtua tunggal dan menanggung beban yang cukup berat dengan diri sendiri, anak, dan orang sekitarnya. Pandangan negatif orang sekitar muncul satu persatu, bukan hanya itu saja bahkan RS harus menjaga sikap ketika berbicara dengan lawan jenisnya. Keluarga dari suami yang awalnya tidak peduli sekarang malah semakin tidak peduli dengan keberadaan RS, padahal di adat DS merupakan hula-hula bagi keluarga sihombing. Perbedaan mencolok yang dirasakan RS yaitu saat DS masih hidup, pendapat RS dapat diperhitungkan akan tetapi semua berbeda ketika RS menyandang gelar “janda”.

RS mendapat beban yang cukup besar, tetangga sering menyudutkan dia di awal kepergian suaminya. Dua minggu setelah kepergian suami, RS langsung kembali bekerja dan hal itu membuat tetangga merasa bahwa RS tidak begitu peduli terhadap kepergian suami. Sementara di benak RS jikalau dia tidak bekerja bagaimana dia menghidupi anak-anaknya. DS meninggalkan banyak kesan tersendiri untuk RS, suaminya tidak pernah memberikan kesan negatif kepada RS. Hal tersebut membuat RS berfikir bahwa suaminya masih ada disampingnya dan itu alasan yang membuat dia tidak ingin mencari pengganti suaminya.

RS sangat mandiri dalam membina keluarganya, salah satu yang sangat jelas terlihat yaitu dari kesuksesannya. Usaha RS semakin berkembang dan rumah yang dia tempati juga mengalami perubahan yang

mencolok. Kerja keras RS dalam membesarkan anak juga terlihat dari sikap RS yang begitu peduli terhadap anaknya, mengajari tugas anaknya dan memasak di tengah kesibukannya. RS merasa bukan hanya sekedar menjadi seorang ibu tetapi harus menjadi seorang ayah juga. RS mengaku kalau bukan hal yang mudah untuk menjadi orangtua tunggal. Dia harus dapat menempatkan diri dimana anak membutuhkan dia sebagai ayah atau ibu. RS yang memiliki tiga orang anak, satu perempuan dan dua anak laki-laki. RS memperlakukan anaknya sama seperti saat belum kehilangan. RS menjadikan anaknya sebagai sahabatnya sehingga dengan begitu dia lebih mudah menuntun anak-anaknya untuk berhasil.

Setelah kepergian DS yang sangat membekas, RS hampir tidak di anggap di keluarga DS. Ketika ada pesta adat, keluarga DS tidak meminta pendapat RS lagi. Walaupun demikina, RS masih tetap di undang dalam acara-acara adat meskipun saat ini RS hanya dapat duduk di bangku tamu saja. Kenyataan yang menyedihkan tetapi tidak membuat RS patah semangat, bahkan RS rajin mengikuti acara-acara adat. Saat pergi ke pesta, RS selalu membawa anak-anaknya agar anaknya dapat paham tentang adat dan mengetahui keluarganya. Semua sesuai dengan “Dalihan Na Tolu”, RS mengajarkan anaknya agar tahu yang mana “hula-hula”, “boru”, serta “dongan tubu”. Hal tersebut di ajarkan RS karena RS beranggapan adat adalah hal terpenting dikehidupan masyarakat Batak Toba.

RS juga masih aktif dengan perkumpulan marga suaminya, dia masih rajin datang ke “punguan” sihombing. RS mengaku bahwa dirinya salah satu “paradat”, bukan hanya di “punguan” tetapi jika ada tetangga yang mengundangnya ke acara adat RS pun datang ke acara tersebut. Sekalipun dia masih tetap aktif dan sikapnya tidak berbeda tetap saja gelar “janda” sudah tertempel didirinya. Mau tidak mau RS harus menjalani dan menerima dirinya sebagai janda. Bukan hanya sekedar janda tetapi dia harus siap disubordinasikan bahkan termarginalkan oleh keluarga dan lingkungannya.

Orangtua tunggal memang bukan masalah jika kita adalah seorang laki-laki, tetapi jika menjadi seorang perempuan merupakan masalah yang harus dihadapi. Kenyataan yang harus dihadapi RS ketika dia harus menjaga sikap jika berbicara dengan lawan jenisnya. RS merasa canggung untuk berkomunikasi dengan lawan jenis, bahkan terkadang omongan pun dapat di salah artikan oleh beberapa pihak. Sifat yang tidak mau tahu merupakan salah satu cara RS untuk tidak menanggapi omongan orang serta tidak menambah beban sendiri.

RS mengaku bahwa dia merupakan orangtua yang mandiri, RS merasa dapat menghadapi beban yang ia tanggung. Penyubordinasian yang dia rasakan bukan hanya sifat negatif dari lingkungannya akan tetapi RS juga bercerita bagaimana subordinasi di dalam adatnya. Subordinasi bukan saja tertuju bagi orangtua tunggal, akan tetapi jauh sebelum menjadi orangtua tunggal. RS berpendapat bahwa perempuan dari lahirnya memang sudah menjalani subordinasi sekalipun tujuannya baik. Keputusan selalu di tangan laki-laki, perempuan berada di nomor kedua, perempuan saat menjadi boru di pesta akan berada di belakang dan menyiapkan kebutuhan. Sementara, saat menjadi orangtua tunggal lebih terasa penomerduaan. Saat memiliki suami, RS duduk di samping suami dan posisi sebagai hula-hula. Semenjak suami meninggal, RS hanya sebagai tamu yang duduk di belakang. RS hanya di anggap ketika ia memiliki suami, bahkan jika berpendapatpun bukan suara RS tetapi anak pertama laki-laki dari RS lah yang dimintai pendapat. Hal tersebut merupakan bentuk-bentuk subordinasi yang dirasakan RS menjadi orangtua tunggal.

Subordinasi di dalam adat bukanlah hal yang buruk bagi RS, karena RS berpendapat bahwa penyubordinasian di adat batak memiliki tujuan yang jelas. Dimana di dalam adat batak mengutamakan laki-laki karena laki-laki lebih dapat menstabilkan emosi dibanding perempuan. Hal ini di kemukakan RS karena RS merasa perempuan lebih mudah emosi dan labil, bukan hanya itu saja tetapi saat manusia diciptakanpun berjenis

kelamin laki-laki. Itu alasan yang membuat RS merasa subordinasi yang terjadi di adat adalah baik adanya.

Adat memiliki tujuan yang tepat, sebagaimana “Dalihan Na Tolu” merupakan bagian dari adat. RS mengemukakan bahwa terkadang adat di salah artikan oleh masyarakat, adat sering dijadikan alasan untuk kepentingan diri sendiri. Padahal pada kenyataannya, masyarakat lah yang sering menyalahgunakannya. Misalnya “sinamot”. “Sinamot” di dalam adat batak merupakan bentuk penghargaan dari pihak laki-laki jika ingin melamar pihak perempuan. Pihak laki-laki memberikan “sinamot” untuk ucapan syukur karena telah membesarkan perempuan, dan perempuan akan masuk ke marga suami. Dengan kata lain, jika sudah menjadi suami istri maka perempuan adalah bagian dari keluarga suami.

Masyarakat batak sering mengartikannya dengan kata di beli, di beli memiliki arti yang kasar. Kata di beli membuat perempuan tidak berharga, hal itu membawa citra negatif kepada perempuan itu sendiri. Hal inilah yang kadang di salah artikan, memperhalus kalimat akan membuat arti yang berbeda. Hal ini beralasan menurut RS, karena di dalam “Dalihan Na Tolu” mengatakan “elek marboru”, artinya “boru” harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Sehingga hal inilah yang membuat RS mengatakan tujuan dari adat semuanya baik. “Dalihan Na Tolu” bertujuan agar masyarakat Batak Toba menganggap bahwa seluruh orang batak adalah saudara dan memiliki satu nenek moyang.

Akan tetapi bukan hanya itu saja, “hula-hula” juga sering menyalahgunakan adat “Dalihan Na Tolu”. Misalnya saja, jika kita kesal terhadap “hula-hula” kita hanya bisa diam, kita harus mengalah karena “hula-hula” haruslah di beri penghormatan yang tinggi dan “hula-hula” di anggap benar. “somba marhula-hula”, kata somba berarti harus hormat, harus patuh sehingga “hula-hula” tidak boleh di lawan. Jadi, RS menarik kesimpulan bahwa tidak ada yang salah di adat, akan tetapi kembali lagi ke pribadinya masing-masing.

Perempuan memiliki fungsi di dalam adat Batak Toba, perempuan sebagai ibu, sebagai “boru”, sebagai orang yang membesarkan anak. Bahkan, ketika perempuan sudah menjadi orangtua tunggal, dia berperan juga sebagai ayah yang harus membesarkan anak-anaknya. Hal tersebut diutarakan RS karena dia merasa perempuan memiliki fungsi yang cukup besar di dalam adat batak. Di dalam adat Batak Toba, “boru” merupakan hal terpenting, karena acara adat tidak akan berlangsung jika “boru” tidak ada. Dari persepsi tersebut juga RS berpendapat bahwa inti di dalam masyarakat bata ada pada “Dalihan Na Tolu”.

4.1.2.2.Subordinasi terhadap YS dalam filosofi Dalihan Na Tolu pada