• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar belakang dan perkembangan seperti yang digambarkan pada bagian-bagian atas tentulah berdampak pada dua hal selama pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Pertama, substansi kebijakan, legislasi dan regulasi yang berkaitan dengan lembaga peradilan. Kedua, putusan pengadilan, utamanya putusan kasasi. Bagian ini akan memeriksa seberapa jauh dampak-dampak tersebut terjadi pada kedua hal tersebut.

Menurut penjelasan literatur-literatur mengenai pembuatan hukum (law-making) atau pembuatan kebijakan (policy-making), bentuk proses pembuatan selalu mempengaruhi muatan legislasi, regulasi atau kebijakan karena pada setiap bentuk terdapat perbedaan peran dan pengaruh antar aktor yang terlibat atau dilibatkan (Otto et al. 2008). Muatan legislasi, regulasi atau kebijakan akan lebih mengakomodir kepentingan individu atau kelompok yang memiliki peran atau pengaruh yang lebih dominan (Florijn 2008).

Berdasarkan postulasi teoritik yang demikian, muatan legislasi, regulasi dan kebijakan mengenai lembaga peradilan yang prosesnya merupakan gabungan kontestasi: (i) antar berbagai agensi negara dan pemerintahan; dan (ii) antara agensi negara atau pemerintah dengan kelompok masyarakat sipil, pastilah mengakomodir berbagai agensi dan kelompok yang terlibat. Atau lebih khususnya, mengakomodir pihak yang lebih dominan.

Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa politik hukum peradilan pemerintahan Orde Lama tidak mengakui adanya kemandirian lembaga peradilan. Lembaga peradilan diharuskan untuk turut mensukseskan tujuan-tujuan revolusi. 6Kemandirian lembaga peradilan dianggap hanya akan menyebabkan lembaga

6 Politik hukum peradilan semacam ini menjadikan lembaga peradilan menghasilkan putusan untuk melayani kepentingan negara. Vietnam dan China adalah dua contoh negara yang saat ini memperlakukan politik hukum peradilan semacam ini. Lihat dalam Bedner (2010).

142

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

peradilan tidak mampu mendekatkan diri dengan rakyat dengan cara mendalami atau menyelami jiwa hukum rakyat (Harman 1997: 344-345). Ekspresi pandangan idiologis dan politis ini terlihat jelas dalam sejumlah legislasi dan regulasi.

Mengenai tidak perlunya lembaga peradilan untuk mandiri atau merdeka, pemerintah Orde Lama menentukannya dalam UU No. 19/1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 19 UU ini membolehkan Presiden untuk mencampuri soal-soal pengadilan dengan alasan demi kelangsungan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak. Lebih jauh, Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang. Jika presiden boleh melakukan campur tangan7 melalui kasus maka lembaga legislatif dapat melakukannya dengan cara menentukan susunan, kekuasaan dan acara badan peradilan diatur dengan undang-undang (Harman 1997: 248). Menurut logika UU No. 19/1964 hanya dengan berpihak maka lembaga peradilan dapat mensukseskan revolusi.

Dalam rangka melaksanakan UU No. 19/1964, pemerintah Orde Lama memberlakukan UU No. 13/1965. Bila UU No. 19/1964 membolehkan Presiden melakukan campur tangan, UU No. 13/1965 menambahinya dengan membolehkan Presiden turun tangan dalam bentuk meminta hakim untuk menghentikan perkara seseorang karena menyangkut kepentingan negara yang lebih besar. Selain itu, Presiden juga dapat memveto setiap putusan pengadilan dengan alasan untuk menyelamatkan kepentingan negara yang lebih besar. Berkaitan dengan kebijakan ini, ketua MA membuat sebuah surat edaran yang mengharuskan hakim untuk berunding atau bermusyawarah dengan jaksa sebelum mengambil

putusan-7 Tindakan campur tangan dalam bentk penentuan susunan pengadilan, penunjukan pengadilan lain dan tambahan hakim. Lihat dalam Harman (1997: 262).

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

putusan yang dianggap menyangkut kepentingan bangsa (Harman 1997: 254-5). 8

Peraturan yang menetapkan ketua Mahkamah Agung berkedudukan sejajar dengan menteri dan dengan demikian sebagai pembantu Presiden juga dianggap bagian dari paket pensubordinasian lembaga peradilan ke dalam kepentingan revolusi.9Peraturan ini seirama dengan peraturan lain yang menentukan hakim pengadilan negeri dan tinggi diangkat oleh anggota DPR-GR Tk II dan hakim kasasi oleh DPR-GR RI (Harman 1997: 259).

Karena pemerintah Orde Lama tidak mengenal konsep Trias

Politica maka baik UU No. 19/1964 dan UU No.13/1965 tidak

mengakui kewenangan pengadilan untuk melakukan judicial

review baik undang-undang maupun peraturan perundangan yang

lebih rendah. Ketentuan ini adalah konsekuensi cara berpikir yang menempatkan lembaga peradilan sebagai bagian dari rumpun pemerintahan negara (Harman 1997). Menurut pandangan ini, semua lembaga negara, tidak terkecuali lembaga peradilan, bekerja untuk satu tujuan dan tidak dikehendaki untuk mempertanyakan tujuan tersebut.

Di masa Orde Baru, setelah melewati 3 tahun masa keterbukaan (1967-1970) yang diantaranya diisi dengan perdebatan terbuka mengenai ide kekuasaan yudikatif, masa pembatasan dan kendali mulai muncul. Dalam bidang peradilan pembatasan dan kendali tersebut ditandai dengan pemberlakukan UU No. 14/1970 tentang yang menggantikan UU No. 19/1964. Usaha-usaha Orde Baru, melalui Opsus dan Departemen Kehakiman, untuk mengendalikan kekuasaan kehakiman terlihat berhasil dalam UU tersebut. Ada 3 kelompok ketentuan yang dapat dijadikan petanda dari kendali tersebut. Pertama, UU ini memakai konsep pemisahan kekuasan

8 Ketentuan tersebut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8/1964.

144

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

dan bukan konsep perimbangan kekuasaan. Sebagai akibatnya, UU ini tidak memberikan kewenangan kepada MA untuk melakukan

judicial review atas undang-undang.10 UU ini hanya memberikan kewenangan kepada MA untuk melakukan judicial review produk perundangan di bawah undang-undang.11

Kedua, UU ini menempatkan para hakim semua pengadilan

tingkat bawah secara administratif berada di bawah kewenangan dua lembaga yaitu Departemen Kehakiman dan MA. Lebih jauh, UU ini menentukan bahwa para hakim peradilan khusus berada dalam kewenangan administratif departemen masing-masing.12

Misalnya hakim pengadilan militer di bawah administrasi Departemen Pertahanan dan hakim pengadilan agama di bawah Departemen Agama. Masing-masing departemen ini mengurusi aspek organisatoris, administrasi dan keuangan, sementara MA mengurusi teknis yuridis (Harman 1997: 281). Ketiga, eksekusi pembatalan peraturan perundangan di bawah undang-undang oleh MA bukan dilakukan oleh MA melainkan oleh pemerintah. Menurut Lev (1990: 408) ini menandakan bahwa kekuasan tertinggi atas hukum bukan pada pengadilan melainkan pada birokrasi.

Namun perlu diberi catatan juga bahwa kontestasi antara Opsus dan Departemen Kehakiman dengan MA dan IKAHI juga menghasilkan sejumlah klausul yang mengakomodir gagasan mengenai kemandirian lembaga peradilan. Sejumlah pasal dalam UU No. 14/1970 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.13 Selain itu, sejumlah

10 Tap MPR No. III/MPR/1978 kemudian meneguhkan tidak dibolehkannya Mahkamah Agung melakukan uji materiil atas undang-undang. MPR menganggapnya sebagai inkonstitutional karena UUD 1945 meletakan kedaulatan di tangan rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Lihat selanjutnya dalam Bedner (2000: 23) dan Pompe (2005: 132-133). 11 Pasal 26 UU No. 14/1970.

12 Pasal 10 UU No. 14/1970.

13 Penjelasan Pasal 1 dan Pasal 4(3). Terlepas dari masih adanya pasal ini namun secara keseluruhan UU No. 14/1970 dianggap tidak berbeda dengan UU

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

klausul merupakan kompromi terhadap tuntutan MA dan IKAHI.14

Sekedar menyebut contoh kedudukan MA sebagai pengadilan tingkat tertinggi bagi semua pengadilan tingkat bawah. Di luar apa yang disebutkan dalam klausul UU No. 14/1970 terdapat juga sebuah kesepakatan lisan antara MA, IKAHI dan Departemen Kehakiman bahwa jabatan direktur jenderal Departemen Kehakiman yang mengurusi administrasi peradilan dipegang oleh hakim senior.

Sebagai upaya untuk melaksanakan UU No. 14/1970, pemerintah mengeluarkan sejumlah peraturan pelaksana (implementing rules, lower executive regulations). Salah satunya adalah peraturan Menteri Kehakiman yang menentukan bahwa kewenangan manajemen personalia hakim berada di tangan Departemen Kehakiman, bukan pada MA (Pompe 2005: 116). Regulasi yang berkaitan dengan administrasi keuangan peradilan semakin membesarkan kewenangan Departemen Kehakiman. Untuk mengundang hakim pengadilan tingkat bawah ke Jakarta, MA harus terlebih dahulu mendapat persetujuan keuangan dari Departemen Kehakiman (Pompe 2005: 117).

Kebijakan yang mengintegrasikan para hakim ke dalam hirarki birokrasi pemerintah dikuatkan lagi dengan diberlakukannya UU No. 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. UU ini menentukan bahwa menteri Kehakiman membina para hakim melalui Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) karena selaku pegawai negeri para hakim otomatis menjadi anggota KORPRI (Harman 1997: 310). Sementara itu, para hakim MA dikategorikan sebagai pejabat.

Peraturan semacam di atas ditambah dengan sistem karir yang tidak berdasarkan kompetensi dan kinerja, pada akhirnya menyuburkan jaringan patronase di tubuh lembaga peradilan dan Departemen Kehakiman. Para hakim berusaha bisa mengakses jaringan patronase yang ada di Departemen Kehakiman maupun

yang digantikannya, UU No. 19/1964. Lihat dalam Harman (1997: 407). 14 UU No. 14/1970 sering disebut sebagai bentuk kompromi sekalipun

146

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

MA dengan tujuan melancarkan karir atau supaya tidak ditugaskan ke daerah-daerah terpencil. Menurut Pompe (2005: 125), ketergantungan para hakim pada sistem patronase tersebut memudahkan Departemen Kehakiman untuk mengontrol mereka, termasuk bila pemerintah meminta para hakim tersebut memihak pemerintah pada kasus-kasus tertentu. Pompe mencontohkannya lewat sejumlah kasus. Kasus pertama adalah Haris Murtopo, anak Ali Murtopo, yang dibebaskan hakim dari tuduhan membunuh seorang kawan SMA-nya dengan alasan membela diri dan pistol yang dipakainya untuk membunuh adalah milik sopir pribadinya.

Selain kasus di atas, dua kasus lain yang mendapat pemberitaan media yang cukup luas dan menarik perhatian publik adalah kasus Kedungombo dan Hancock Hebe Ohee.15 Pada kasus Kedungombo, setelah putusan pertama MA memenangkan gugatan sejumlah penduduk desa, pada putusan kedua MA membatalkan putusan pertama setelah Presiden Soeharto mengundang ketua MA ke istana dan meminta MA memutuskan seadil-adilnya. Sedangkan pada kasus Ohee, eksekusi putusan MA yang memenangkan gugatan Ohee supaya Gubernur Irian Jaya membayar ganti rugi, tidak dilakukan karena ketua MA mengirim instruksi atau ‘surat sakti’ kepada ketua PN Jayapura untuk tidak melakukan eksekusi dengan alasan Gubernur Irian Jaya, selaku tergugat, tidak memiliki status hukum. Menurut instruksi ketua MA tersebut yang memiliki status hukum adalah Pemerintah Provinsi Irian Jaya (Fitzpatrick 1997: 204-5; Pompe 2005: 149-153&158-159).

Mengenai intervensi pemerintah terhadap kasus-kasus yang sedang ditangani MA khususnya pada tahapan eksekusi, mantan

15 Tiga kasus lain yang juga mendapat liputan media yang cukup luas serta diwarnai oleh intervensi pemerintah adalah kasus Mochtar Pakpahan yang dituduh sebagai dalang aksi buruh besar-besaran di Medan (1994), pemberangusan izin terbit majalah Tempo (1994) dan intervensi pemerintah atas konflik internal PDI (1996) . Pada kasus PDI, Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) memerintahkan ketua MA agar pengadilan-pengadilan negeri tidak menerima gugatan pengikut Megawati Soekarnoputri di sejumlah daerah.

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

ketua Purwoto S. Gandasubrata, mengungkapkan:

“Kami sering menerima pesanan dari pemerintah supaya menunda atau membatalkan eksekusi dengan alasan demi pembangunan”. 16

Dengan sejumlah ketentuan-ketentuan yang disebutkan di atas, Pompe (2005) menyebut UU No. 14/1970 sebagai undang-undang kompromis. Selanjutnya, Pompe menganalisis bahwa keberadaan berbagai klausul kompromis tersebut, yang secara esensial meniadakan fungsi-fungsi normatif yang dasar lembaga peradilan, dan mengendornya keberanian sejumlah pengurus IKAHI dan hakim MA untuk tetap bersikap kritis pada kebijakan Orde Baru, menyebabkan lembaga peradilan ambruk (collapse). Keberadan UU ini telah merusak harapan dan semangat para hakim, yang telah tumbuh setelah Demokrasi Terpimpin berakhir. Pada akhirnya keadaan ini membuat kemampuan profesional mereka menurun di satu sisi dan menguatkan perilaku koruptif di sisi yang lain (Pompe 2005: 111). Dalam perkembangannya, implementasi UU ini membantu membentuk persepsi di kalangan para hakim bahwa mereka adalah bagian dari birokrasi pemerintahan yang terikat oleh solidaritas atau sentimen korp (Lev 1990).

Intervensi kebijakan (politik dan birokratik) terhadap lembaga peradilan sepanjang dekade 70-an, pada dekade 80-an mendapat penguatan oleh dua produk legislasi. Masing-masing UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 4/1986 tentang Peradilan Umum. Usulan IKAHI yang mengingatkan kembali mengenai kemandirian lembaga peradilan dengan mengeluarkan administrasi lembaga peradilan dari birokrasi pemerintah dan pemberian kewenangan uji materiil undang-undang, tidak digubris. Dengan intervensi birokratik dan politik yang sudah mendalam, IKAHI pada masa itu adalah organisasi yang sudah terkooptasi oleh pemerintah dan dengan demikian tidak mampu lagi melakukan tekanan.

148

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

Dengan efektivitas politik kooptasi tidak heran bila ketentuan dalam UU No. 14/1985 dan UU No. 4/1986 hanya bersifat menguatkan hal-hal yang sudah ada. Dalam soal uji materiil peraturan perundangan di bawah undang-undang misalnya, UU No. 14/1985 kembali menegaskan bahwa hal itu hanya dapat dilakukan lewat pemeriksaan kasus biasa dan dengan demikian tidak dapat diajukan langsung ke MA. Sementara itu UU No. 4/1986 tetap mempertahankan dualisme administrasi peradilan dengan menentukan bahwa urusan manajemen teknis peradilan di bawah MA sementara urusan manajemen organisasi, administrasi dan keuangan berada di tangan Departemen Kehakiman.

Dalam kenyataannya, implementasi UU No. 14/1985 melahirkan situasi di mana para hakim pengadilan tingkat bawah enggan untuk membatalkan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Ini misalnya dapat dilihat pada kasus permohonan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta kepada PN Jakarta untuk membatalkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI No. 850/1990 yang melarang keberadaan becak. Argumen permohonan pembatalan ini adalah keputusan tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan UU tentang Kesejahteraan Sosial. Sebelumnya permohonan ini ditolak untuk diadili oleh MA dengan alasan kasusnya harus melalui prosedur biasa yaitu dimulai dari pengadilan negeri. Pada kasus permohonan uji materiil keputusan pembatalan harian Prioritas pada tahun 1993, MA memang membuat terobosan dengan menerima untuk memeriksa langsung permohonan uji materiil tanpa harus melalui PN.17 Namun, argumen bahwa pembatalan lewat Keputusan Menteri Keterangan tersebut tidak diterima dan MA menolak permohonan tersebut (Pompe 2005: 139&146).18

17 Setelah kasus harian Prioritas MA mengeluarkan Peraturan MA No. 1/1993 yang mengatur bahwa permohonan uji materiil dapat dilakukan baik melalui PN ataupun langsung ke MA.

18 Setelah kasus keputusan pembatalan harian Prioritas dan pemberlakukan Peraturan MA No. 1/1993, permohonan uji materiil berikutnya yang langsung ke MA adalah permohonan uji materiil atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

Bila politik hukum peradilan pemerintahan Orde Baru dibagi ke dalam kurun waktu menurut hitungan dekade maka kita bisa membuatnya ke dalam 4 dekade, yaitu akhir 60-an, 70-an, 80-an dan 90-an. Seperti telah digambarkan pada bagian-bagian sebelumnya, antara akhir dekade 60-an dan 70-an terdapat perbedaan yang cukup besar. Akhir dekade 60-an merupakan masa di mana berbagai pemikiran dan aksi konkrit dilakukan untuk membuat lembaga peradilan mampu menjalankan perannya sebagai pengontrol dan pengimbang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sementara dekade 70-an merupakan dekade di mana gagasan dan pelembagaan kontrol dan intervensi atas lembaga peradilan dirancang. Adapun 2 dekade terakhir, 80-an dan 90-an melanjutkan strategi pelembagaan kendali dan kontrol sekalipun kedua dekade tersebut memiliki dinamika sendiri. Dekade 80-an merupakan masa di mana intervensi politik dan birokrasi terhadap lembaga peradilan yang sudah berlangsung sejak dekade 70-an, dilembagakan dengan diberlakukannya dua undang-undang dan sejumlah peraturan pelaksananya. Adapun dekade 90-an, lebih diwarnai dengan berbagai putusan MA baik yang menunjukan adanya intervensi pemerintah maupun yang mengontrol kebijakan pemerintah dengan cara mengalahkan pihak pemerintah dalam sejumlah kasus.

Selain karena intervensi politik, pelemahan fungsi dasar lembaga peradilan untuk memastikan berjalannya tatanan rule of

law, juga dilakukan dengan melemahkan kekuasaannya. Seperti

yang digambarkan di atas, kekuasaan yang dimaksud adalah kewenangan melakukan uji materiil terhadap undang-undang. Baik intervensi dan peniadaan kewenangan uji materiil membuat lembaga peradilan tidak bisa mengontrol penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sebaliknya, lembaga peradilan berubah peran menjadi pengesah dari tindakan menyalahgunakan kekuasaan. Dalam kedudukan lembaga peradilan yang demikian, politik hukum peradilan Orde

150

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

Baru tidak berbeda dengan Orde Lama yaitu menjadikan pengesah setiap tindakan pemerintah (Bedner 2000: 17). Ini bermakna bahwa janji Orde Baru untuk membedakan dirinya dengan Orde Lama dalam hal politik hukum peradilan, tidak dipenuhi.