• Tidak ada hasil yang ditemukan

kolonial, dan berkompetensi sebagai badan pengadilan kasasi untuk semua keputusan Landraad dalam perkara-perkara perdata,14

dan badan pengadilan banding untuk keputusan-keputusan tingkat pertama yang dibuat oleh Raad van Justitie. Satu-satunya perkara yang boleh diperiksa dan diputusi pada tingkat pertama oleh

Hooggerechtshof ini adalah gugatan perdata yang diajukan terhadap

pemerintah (Hindia-Belanda) atau terhadap Gubenur Jenderal.

Upaya ke arah terwujudnya independensi badan-badan

pengadilan

Pada tahun 1850-an, di tengah era pasang naiknya gerakan kaum liberal yang mendambakan terwujudnya Rechtsstaat di tanah jajahan, diundangkannya Regeringsreglement bertrikh tahun 1854. Reglemen ini merupakan peraturan yang di dalamnya terkandung Pasal 79, pasal yang menyiratkan hadirnya asas trias politika. Pasal ini menjadi dasar pembenar para politisi liberal untuk meningkatkan kritik-kritiknya pada praktek-praktek peradilan kolonial yang masih terlalu banyak didominasi oleh pejabat-pejabat eksekutif. Hadirnya badan-badan pengadilan yang tak dipisahkan dari kekuasaan eksekutif – setidak-tidaknya dalam ihwal personil-personil hakimnya – telah menyediakan bagi para politisi liberal untuk menggugat praktek-praktek yang disebutnya sebagai kesewenang-wenangan penguasa pemerintahan, tak

kurang-14 Dalam keputusannya pada tanggal 16 Mei 1878, termuat dalam Indisch

Weekblad van Het Recht No. 786, Hooggerechtshof menyatakan bahwa

kasasi hanya mungkin dilakukan terhadap peraturan perundangan yang diterapkan secara keliru oleh Landraad, dan tidak terhadap kesalahan-kesalahan mengartikan “de godsdienstige wetten, instellingen en gebruiken der Inlanders”; dirujuk dari de Waal, op. cit., hlm. 94.

122

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

kurangnya juga terjadi di banyak praktek pengadilan, khususnya yang diberi kompetensi untuk mengadili perkara-perkara untuk orang pribumi.

Berbeda dengan badan-badan pengadilan untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi, badan pengadilan untuk orang-orang Eropa – yang dinamakan Raad van Justitie (pada tingkat pertama) dan Hooggerechtshof (pada peringkat banding) – pada saat RO 1847 dimaklumatkan itu telah “beroperasi” di bawah penanganan hakim-hakim yang berkeahlian hukum secara profesional. Hanya Residentiegerecht yang – sehubungan dengan langkanya ahli-ahli hukum yang dapat didatangkan dari negeri Belanda – yang beroperasi di bawah penanganan Residen, seorang administrator dalam tatanan eksekutif yang bertugas di bawah jenjang Gubernur.

Sejak awal – walaupun ada keterbatasan dan kekurangannya – sebenarnya telah banyak dicoba agar badan-badan pengadilan Eropa ini bisa diselenggarakan sebagai peradilan bebas yang dengan jelas dipisahkan dari kewenangan-kewenangan administrator eksekutif. Walaupun pada tahun-tahun pertama – yaitu ketika VOC masih banyak terlibat dalam ekspedisi-ekspedisi dan belum banyak berkesempatan mengorganisasi daerah-daerah pemukiman dan koloninya – kekuasaan kehakiman dirangkap oleh perwira-perwira tertinggi armada atau oleh penguasa-penguasa lokalnya (gubernur atau residen), namun pada tahun 1626 pemisahan antara fungsi kekuasaan pemerintahan eksekutif dan kehakiman telah terjadi. Pada tahun itu, antara bulan Maret dan Agustus, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen menciptakan jabatan baljuw (jaksa penuntut umum), College van Schepenen, dan Collegie van Commissarissen

ofte Gerechtsluyden (yang pada tahun 1626 berganti nama Raedt van Justitie).15 College van Schepenen memang sebuah badan yang diselenggarakan oleh anggota-anggota majelis non profesional,16

15 John Ball, op. cit., hlm.17ff. .

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

akan tetapi Raad van Justitie menghendaki penyelenggaraan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeahlian,17 dan jumlah orang berkeahlian yang bisa didapat pada waktu itu cukuplah banyak.18

Perkembangan-perkembangan pada masa pasca-VOC hanyalah merupakan perkembangan penyempurnaan lebih lanjut saja dari penyelenggaraan menurut prinsip-prinsip profesionalisme hukum dari abad-abad ke 18 dan 19, dalam arti bahwa peradilan dalam badan-badan itu akan terus dilaksanakan oleh hakim-hakim (pengacara-pengacara) yang umumnya telah dididik – atau sekurang-kurangnya telah pernah dilatih – untuk menangani masalah-masalah hukum dan keadilan, akan tetap menerapkan atau merujuk ke kaidah-kaidah yang telah dipositifkan (dan/yang bahkan telah pula disistematisasikan secara tertulis), dan untuk pula tetap mengembangkan kedudukan yang dipisahkan dari kekuasaan pemerintah yang lain, dan karenanya akan terbebas dari pengaruh langsung kekuatan-kekuatan politik praktis.

Hanya tidaklah demikian dengan peradilan-peradilan untuk orang-orang pribumi. Mengikuti tradisi-tradisi lama yang tak mengenal diferensiasi fungsi yang berkelanjutan seperti halnya yang terjadi pada masyarakat-masyarakat negara yang berekonomi industrial-komersial,19 raja-raja dan kepala pribumi memegang seluruh kekuasaan pemerintahan – termasuk kekuasaan untuk menginterpretasikan makna suatu kaidah dan menerapkan untuk menyelesaikan suatu perkara, dalam proses arbitrase ataupun dalam proses adjudikasi – di tangannya sendiri secara mutlak.20

XVII de Eeuw (Rotterdam, 1951), hlm. 85-132.

17 J.A.van der Chijs, Nederlandsch-Indie Plakaatboek, 1602-1811, (Batavia: Landdruk kerij, 1885). Jilid II, hlm. 149.

18 La Bree, op. cit., hlm. 56.

19 Pelajari karakteristika umum seperti sebagai masyarakat yang dalam tipologi Riggs disebut masyarakat ‘fused’, dalam Fred W. Riggs, Administration in

Developing Countries: The Theory of Primastic Society (Boston: Houghton

Mifflin, 1964).

124

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

Datangnya kekuasaan kolonial Belanda hanya membawa perubahan secara berangsur, dan tidak boleh sedikitpun dibilang radikal.

Pada dasarnya para administrator dalam pemerintahan kolonial Belanda itu – karena alasan yang pragmatik-oprtunistik – membiarkan orang-orang pribumi diadili oleh kepala-kepala mereka sendiri, dan hanya untuk perkara-perkara serius saja (umumnya perkara kejahatan) penguasa koloni itu memutuskan untuk membuat suatu majelis pengadilan, dengan keharusan untuk menempatkan pejabat tinggi dalam jajaran pemerintahan Hindia-Belanda sebagai ketuanya, dan kepala-kepala pribumi sebagai anggotanya. Districtsgerecht dan Regentschapsgerecht yang dikenali di dalam atau oleh RO 1847 – masing-masing diketuai oleh Wedana dan Bupati – adalah bentuk akhir perkembangan peradilan untuk orang-orang pribumi yang masih tetap diketuai oleh kepala-kepala pribumi, sedangkan Landraad, yang juga disebut-sebut dalam RO 1847 itu, adalah contoh hasil perkembangan peradilan yang dalam tata pemerintahan Hindia-Belanda dilengkapi dengan seorang ketua yang diambil dari jajaran bestuursambtenaar Belanda (yaitu Residen, atau yang dalam zaman VOC disebut Landrost).21

peradilan di Jawa, namun bernilai penting sebagai sumber informasi hukum kolonial. Konsentrasi kekuasaan kolonial sejak awal memang berada di pulau Jawa, dan segala kebijakannya banyak (ikut) ditentukan oleh pengalamannya yang berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan sosial-politik di pulau ini. Dari penelitiannya, Kem melihat adanya pembagian klasik yang dikenal di seluruh pulau pada saat VOC merebut kedudukan di Jawa – antara peradilan perdata (yang mengadili setiap perbuatan melanggar hukum raja, diselenggarakan oleh raja sendiri), dan peradilan padu (yang mengadili setiap silang sengketa antar individu di kalangan rakyat kerajaan, dilaksanakan oleh punggawa raja yang disebut “jaksa”).

21 Sejak kekuasaan Amangkurat II (1677-1703, secara berangsur penguasa-penguasa kolonial – berdasarkan kontrak antara VOC dan raja Mataram ini, yang menurunkan Mataram tak lebih dari negara protektorat Kerajaan Belanda – mulai menyelenggarakan peradilan-peradilan untuk penduduk yang bukan rakyat Mataram, dengan mengambil model peradilan pradoto, namun dengan punggawa-punggawa tinggi Belanda sebagai hakim pengadilnya. Sejarah terbentuknya Landraad Semarang pada tahun 1747 – menyusul “jatuhnya” kabupaten-kabupaten daerah pesisir dari tangan

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

Begitulah, tak urung, sampai saat diundangkannya RO

1847 peradilan-peradilan untuk golongan penduduk pribumi itu

tetap lebih merupakan bagian dari fungsi pemerintahan eksekutif, baik (bestuur Belanda dan kepangrehprajan pribumi)22 daripada merupakan bagian dari fungsi yudisial. RO 1847 itu tampaknya tak ingin membuat perubahan apapun terlebih dahulu, melainkan – setidak-tidaknya untuk sementara waktu hanya hendak menegaskan saja kenyataan yang telah ada. Namun demikian, lebih daripada itu juga ikut menegaskan tetap berlakunya asas dualisme dalam tata hukum dan tata peradilan kolonial, dan oleh sebab itu juga menerbitkan kontroversi-kontroversi sebagaimana yang telah dikemukakan ketika orang mempersoalkan kebijakan Scholten van Oud-Haarlem pada waktu yang lalu dalam persoalan unifikasi hukum substantif.

Maka, apapun juga bentuk, riwayat dan asal mula terwujudnya, serta pula kompetensinya, semua badan pengadilan untuk perkara-perkara orang pribumi itu – tanpa kecualinya

Mataram ke VOC – dapat dipelajari untuk pribumi – dalam perkara-perkara besar, yang juga merupakan pelanggaran terhadap hukum pemerintah – secara tradisi juga selalu dipegang oleh para bestuursambtenaren. Baca J.A.Kem, “Javaansche Rechtsbedeeling”, Bijdragen tot De Taal-, Land- en

Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Th. LXXXIII (1927), tanpa no.,, khusus

Bab IV, hlm. 316-431.

22 Beestuur adalah kata ringkasan dari “Binnelandsch Bertuur” (atau dalam ejaan

baru “Binnenlands Bestuur”, disingkat BB), ialah administrasi pemerintahan yang diselenggarakan di tanah jajahan Hindia-Belanda dengan pejabat-pejabat yang seluruhnya terdiri dari orang-orang Belanda. Pangreh Praja adalah juga bagian dari administrasi pemerintahan kolonial, namun dengan pejabat-pejabat yang seluruhnya terdiri dari – karena memang diangkat oleh penguasa kolonial dari – elit-elit pribumi berdarah biru. PP berposisi secara hirarki di bawah BB, dan tentang hal ini Sutherland berucap bahwa Pangreh Praja itu, yang disebut dalam istilah Belanda “Inlandsch Bestuur”, adalah pemerintahan lokal yang menempati peringkat bawah, dan bahwa pejabat-pejabatnya “were a feared and admired ruling class, but they were also the subordinate agents of an alien regime”. Baca: Sutherland, op. cit., hlm. 1-18, dan tentang perkembangannya kemudian di hlm. 31-44; kutipan di atas diambil dari hlm. 1. Baca juga: Money, op. cit.

126

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

– adalah badan-badan pengadilan yang pada instansi-instansi pertama, sebelum dan sesudah tahun 1847, selalu berada di bawah yurisdiksi pejabat-pejabat eksekutif. Bertindak sebagai hakim, pejabat-pejabat pemerintahan yang berstatus eksekutif ini -- juga karena berlakunya Regeringsreglement 1854 ayat 3 pasal 75 -- tanpa halangan apapun tetap saja berwenang menerapkan kaidah-kaidah hukum tak tertulis – yang menurut sifatnya tentu saja kurang positif-eksplisit, dan kurang berkepastian – baik dalam perkara-perkara perdata maupun dalam perkara-perkara pidana. Syahdan, dalam perkara-perkara pidana ketidakpastian ini baru ditiadakan dengan diundangkannya sebuah ordonansi yang termuat dalam Ind. Stb. 1872 No. 85 mengenai berlakunya Wetboek van Starfrechts 1830, sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, untuk orang-orang pribumi. Maka, terhitung sejak 1 Januari 1873, sebuah undang-undang hukum pidana diberlakukan guna menjamin kepastian terlindunginya orang-orang pribumi dari kesewenang-wenangan pejabat pemerintah, walau untuk orang-orang Eropa berlakunya

Wetboekl van Strafrecht itu baru bermula pada tahun 1918.23

Sekalipun susunan peradilan yang diatur oleh RO 1847 ini kemudian diubah berkali-kali, namun pluralitas badan-badan peradilan di Hindia-Belanda ini tetap saja bertahan. Upaya untuk mengunifikasikan badan-badan pengadilan ini – di tengah kondisi dan konfligurasi kebijakan kolonial yang berkembang kemudian, yang ketika mendekati akhir abad 19 kian banyak dipengaruhi oleh ide von Savignian yang partikularis, bahwa “setiap bangsa itu hendaklah tetap dibiarkan berada di bawah hukumnya sendiri”, lalu terbukti menjadi kian bertambah sukar. Memang betul bahwa:

“opposition to the plural judicial system never dissappeared, but it never amounted too much. ... Actually to unify the courts would have been a stunning blow ... to precious stakes in racial, social, and political

23 C. Fasseur, “Een Vergeten Strafwetboek”, dalam buku W.C. van Binsbergen,

Handshaving van de Rechtsorde: Bundel Aangeboden aan Albert Mulder

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

status throughout the colonial establishment”.24

Walaupun kelanjutan upaya untuk menerapkan apa yang disebut europeesch juristenrecht oleh europeesche rechters dalam

europeesche rechtsbanken pada pergantian abad nantinya banyak

ditentang, terutama setelah munculnya tulisan van Vollenhoven mengenai “Geen Juristenrecht voor Den Inlander” (1905),25 akan tetapi ketidakberhasilan upaya tersebut dalam waktu yang segera pada dasawarsa 1860-an itu telah banyak disesalkan oleh berbagai penganjur pada masa itu.

Dapatlah dimengerti mengapa pada masa-masa berkecamuknya kekuatan yang hendak mendesakkan unifikasi itu upaya-upaya keras para eksponen liberalisme untuk menghentikan kesewenang-wenangan – dengan cara merealisasi hukum kodifikasi dan mengembangkan suatu peradilan yang bebas yang kedua-duanya harus diunifikasikan – akan lebih banyak tertuju ke pembenahan peradilan-peradilan untuk orang-orang pribumi.

Ketentuan hukum yang termuat dalam Pasal 18

Regeringsreglement 1854, pun menyatakan bahwa pada asasnya

dalam organisasi pemerintahan negara, kekuasaan pengadilan telah menempatkan diri pada suatu posisi yang mandiri dan terbebas sama sekali dari kekuasaan pemerintahan.26 Nyatalah di sini kalau ketentuan itu hendak lebih diperlukan untuk menolong orang-orang pribumi” daripada untuk melindungi kepastian hukum golongan penduduk Eropa.27 Dalam hubungan ini

Carpentier-24 Demikian itu kata Lev dalam Daniel S. Lev, “Colonial Law and The Genesis of The Indonesian State”, Indonesia, Th. XL 1985, cd. Okt., hlm. 57-74.

25 Op. cit. Di catatan kaki No. 13 hlm. 10 karangan ini.

26 “ … “de rechtelijke macht ... neemt in de organisatie van de staatsdienst een volkomen zeldstandige plaats in, en is van de regeering ... volkomen onafhankelijk”, demikian tertulis di buku J.H. Carpentier Alting, Grondslagen

Der Rechtsbedeeling in Nederlandsch-Indie (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff,

1913), hlm. 78.

27 Searah dengan apa yang dituju oleh sebuah peraturan dari tahun 1866 (yang menghapus pemidanaan cambuk dalam peradilan politerierol oleh Residen),

128

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

Alting pun mengatakan bahwa asas yang terkandung dalam Pasal 81 Regeringsreglement 1854 itu tentulah juga harus berlaku pada peradilan-peradilan untuk orang-orang pribumi. Dikatakan lebih lanjut antara lain oleh Carpertier-Alting bahwa dalam pelaksanaan fungsi yudisial pada badan-badan pengadilan yang diperuntukkan orang-orang pribumi, para pejabat pemerintahan tetap harus menjaga agar tak terjadi, percampuradukan antara kewenangan yudisial dan kewenangan eksekutif; dalam pelaksanaan kewenangan yudisalnya itu, para pejabat yang mempunyai kewenangan yudisial harus benar-benar sepenuhnya mandiri dan tak bebas dari para pejabat di ranah eksekutif.28

Sekalipun tersendat-sendat, segala upaya untuk “menaruh” orang-orang pribumi ke bawah yurisdiksi hukum dan peradilan Eropa, sepanjang dasawarsa akhir abad ke-19 itu ternyata tidak pernah berhenti. Besar harapan bahwa lewat kodifikasi dan unifikasi, serta lewat upaya membebaskan badan-badan peradilan dari yurisdiksi para administrator kolonial, besar harapan para eksponen liberal bahwa orang-orang pribumi akan dapat dibebaskan dari keterbelakangan dan pemerasan-pemerasan yang dimungkinkan oleh situasi sosial masa itu.

Situasi sosial yang kurang menguntungkan orang-orang pribumi masih dibiarkan bertahan sampai batas tertentu oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada waktu itu, entah karena pertimbangan toleransi entah pula justru karena kecenderungan untuk menyalahgunakan kesempatan guna mengeksploitasi kekayaan bumi Jawa (seperti misalnya yang dilakukan pemerintah

yang menurut kata-kata de Waal “was .. een ware zegen voor de (inlandsche) bevolking”; de Waal, op. cit., hlm. 90.

28 “…ook bij de uitoefening (van de aan bestuursambtenaren opgedragen rechterlijke functie bij de gouvernements-rechtspraak voor de inlanders) behoort dus gewaakt te worden tegen varwarring van justitie en regeering en is bij de bestuurambtenaar bij de uitoefening dier bevoegdheden volkomen zelfstanding en onafhankelijke van de laatste”; Carpentier Alting,

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

kolonial melalui polkitik kulturstelsel)”.29 Dalam alam pikirannya yang radikal, kaum politisi liberal percaya bahwa manakala hukum Eropa dinyatakan juga berlaku bagi orang-orang pribumi, dan kemudian segala kepentingan hukum dapat dilindungkan ke bawah yurisdiksi peradilan Eropa, maka orang-orang pribumi akan dapat menikmati hak-hak eksplisit orang-orang Eropa dan karena itu juga akan memperoleh perlindungan-perlindungan yang serba pasti berdasarkan hukum Eropa.

Menghadapi kesulitan melaksanakan unifikasi yang total, apa yang kemudian dipandang masih mungkin diupayakan oleh pemerintahan liberal di Negeri Belanda “hanyalah”, atau barulah, terbatas pada upaya merealisasi asas pemisahan kekuasaan antara yang administrasi dan yang kehakiman di tanah jajahan Hindia Belanda. Upaya ini, yang dilaksanakan pada dasawarsa-dasawarsa sesudah tahun 1854, memang tidak menghasilkan hasil sejauh apa yang semula diinginkan orang dalam perjuangan unifikasi hukum dan unifikasi organisasi peradilan. Akan tetapi, sekalipun demikian, capaian yang telah diperoleh bolehlah dianggap kalau sudah lebih jauh daripada sekadar berwaspada seperti yang dikatakan Carpentier-Alting di muka. Sekalipun belum mungkin melaksanakan pemisahan antara yang yudisial dan yang ekskutif ke dan untuk seluruh badan peradilan pribumi, namun dengan diterbitkannya peraturan perundangan yang dimaklumatkan oleh Koninklijk Besluit pada tanggal 5 Maret 1869 no.3, para bestuur

ambtenaren (dalam hal ini Residen) telah dibebaskan dari tugas-tugas

kehakiman di lingkungan Landraad.

29 Kritik terhadap kultustelsel hingga dasawarsa 1860-an masih tetap sering dilancarkan karena hingga tahun itupun usaha monopoli negara dalam bidang perkebunan besar di Hindia-Belanda ini hingga saat itu belum juga hapus. Yang pertama-tama dihapus adalah keharusan menanam dan menyetor merica (1862), cengkih dan pala (1863). Pada tahun 1874 sistem kulturstelsel untuk tebu/gula dan kopi masih berjalan. Baca: J.S. Furnivall, .

Netherlands India: A Study of Plural Economy. (Amsterdam: Israel, 1976),

130

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

Sejak saat itu, ipso jure, ketua-ketua Landraad sudah harus dijabat oleh hakim-hakim profesional yang terbilang rechtsambtenaren.30

Sedasar dengan asas Rechtsstaat, Koninklijk Besluit tersebut, sampai batas tertentu dan ditolok menurut keadaan pada zamannya, sudahlan boleh dipandang sebagai produk perundangan kolonial yang bernilai cukup progresif, dalam arti bahwa peraturan ini hendak secara konsekuen mewujudkan gagasan bahwa kekuasaan yudisial harus dilepaskan dan dipisahkan dari kekuasaan eksekutif.31

Apa yang dapat disimpulkan dari perkembangan kebijakan politik hukum masa 1840-1860-an sebagaimana tergambar dalam uraian bab-bab di depan, bahwasanya benturan antara apa yang diidealkan dan apa yang bisa dipraktekkan dalam kondisi empiriknya ternyata tak selamanya berakhir dengan kejayaan yang diidealkan. Setinggi apapun cita-cita dan nilai humanisme yang diidealkan dan diperjuangkan para penganjur liberalisme yang berwawasan universalistik, kepentingan-kepentingan dan kemungkinan-kemungkinan yang ada di ranah praktek tak kunjung memihak para idealis.

Dalam dasawarsa 1860an dan awal 1870an, giliran puak pragmatis dalam barisan kaum liberal yang tampil mencoba memperjuangkan diterapkannya hukum-hukum Eropa untuk kalangan yang lebih luas daripada sebatas lingkungan orang-orang Eropa semata. Tetapi, eksperimentasi dengan upaya melakukan rekayasa berasranakan hukum Eropa -- ialah untuk serangkaian kepentingan yang lebih pragmatik dalam rupa pembangunan ekonomi perkebunan di Jawa – ternyata tak pula menemukan

30 Furnivall, op. cit., hlm. 188-189.

31 Koninklijk Besluit 1869 No. 3 itu tetap memberikan kewenangan kepada

residen dalam perkara-perkara kepolisian. Tak pelak lagi karena para Residen ini lalu masih berkuasa dalam peradilan Politierol, yang karena yurisdiksinya (lihat kembali uraian tentang Politierol di halaman 67) ipso facto lalu masih mampu mempertahankan perannya yang cukup besar dalam tata peradilan kolonial untuk orang-orang pribumi, khususnya di dalam hal perkara-perkara pidana.

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

keberhasilan. Kesulitan ternyata tidak datang dari pihak pemerintah, akan tetapi dari pihak rakyat pribumi yang – karena kukuhnya kesetiaan pada budaya warisan leluhurnya – tidak gampang “menyeberang” begitu saja ke hukum yang berlaku untuk golongan penduduk Eropa, yang dipandang lebih superior untuk melandasi kehidupan-kehidupan dalam format dan skala yang lebih luas.

Epilog

Pada saat berakhirnya kekuasaan kolonial Hindia-Belanda, badan-badan pengadilan yang ada tidak lagi tepat sama seperti yang ada pada saat dimaklumatkannya RO 1847. Banyak perubahan telah terjadi. Pada tahun 1882, misalnya, melalui Koninklijk Besluit (Keputusan Raja) bertanggal 19 Januari 1882 No. 24 (Stb. 1882 No.82) dibentuk Majelis Penghulu (Priester Raad) di pulau Jawa dan Madura untuk memeriksa dan memutusi perkara-perkara yang timbul antara suami-istri yang beragama Islam, khususnya dalam persoalan perceraian dan ihwal lain yang bersangkut paut dengannya. Pada tahun 1901, Rechtbank van Ommegang ditiadakan dengan sebuah peraturan perundangan yang dimuat dalam Stb. 1901 No. 13, sedangkan Rechtspraak ter Politierol ditiadakan dengan sebuah peraturan perundangan yang dimuat dalam Stb. 1901 No. 15. Akan gantinya pada tahun 1914 atas kekuatan peraturan perundangan yang termuat dalam Stb. 1901 No. 15. Akan gantinya pada tahun 1914 atas kekuatan peraturan perundangan yang termuat dalam Stb. 1914 No. 317 dibentuklah badan peradilan baru yang disebut Landgerecht dengan kompetensi untuk memeriksa dan memutusi perkara-perkara pidana tertentu untuk semua golongan penduduk tanpa membeda-bedakannya.

Pada masa pendudukan Indonesia oleh Balatentara Jepang, organisasi badan-badan peradilan telah ditata ulang, dengan menyederhanakannya ke dalam tiga tingkatan. Untuk peradilan di tingkat pertama dibentuk Pengadilan Negeri di semua daerah Kabupaten. Untuk menghukumi perkara pada tingkat banding

132

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

dibentuklah Pengadilan Tinggi yang diadakan di setiap propinsi. Mahkamah Agung dibentuk di tingkat pusat untuk mengadili perkara-perkara kasasi. Konon langkah-langkah ini diprakarsai oleh Dr. Raden Soepomo yang bekerja dengan diberi penuh kepercayaan