• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan pengawasan Komisi Yudisial sempat limbung menyusul dibatalkannya sejumlah pasal pengawasan yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi.23 Tetapi karena substansi yang dibatalkan itu lebih banyak menyangkut kepentingan hukum Mahkamah Konstitusi sendiri, maka pengawasan terhadap jajaran hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung tetap berjalan.

Di banyak negara, fungsi pengawasan Komisi Yudisial sudah jamak dan tidak pernah terbatas berlaku hanya untuk level hakim tertentu - sebaliknya berlaku untuk semua hakim. Di antara fungsi-fungsi tersebut beberapa di antaranya justru lebih kuat dibandingkan fungsi pengawasan Komisi Yudisial yang ada di Indonesia.

Konstitusi Afrika Selatan Pasal 174 (3) dan 6, serta Pasal 177 (3) menegaskan bahwa Judicial Service Commission berhak memberikan rekomendasi dalam pemberhentian hakim; mengajukan calon Ketua Mahkamah Agung; memberikan masukan dalam hal pengangkatan Ketua serta Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.

Konstitusi Argentina Pasal 114 mengatur bahwa Council

of Magistracy berhak: (a) Mengajukan calon hakim agung; (b)

bertanggungjawab atas seleksi hakim dan administrasi kekuasaan kehakiman; (c) mengembangkan pemilihan hakim tingkat bawah melalui kompetisi publik; (d) Mengeluarkan usulan tiga nama hakim tingkat bawah; (e) mengurus sumber daya untuk administrasi

23 Mahkamah Konstitusi menyatakan: Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

pengadilan; (f) melakukan tindakan pendisiplinan terhadap hakim; (g) memutuskan pemberhentian hakim; dan (h) mengeluarkan peraturan tentang organisasi pengadilan untuk menjamin independensi hakim dan efisiensi administrasi pengadilan.

Konstitusi Kroasia Pasal 124 menegaskan bahwa National

Judicial Council berfungsi, “mengangkat dan memberhentikan

hakim dan memutuskan segala hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kedisiplinannya.” Konstitusi Perancis Pasal 64 (1) (2) dan 65 (5) dan (6) mengatur bahwa Counseil/Superieur de

la Magistrature (High Council of the Judiciary) berwenang, membantu

Presiden dalam menegakkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman; mengusulkan pengangkatan hakim agung, merekrut hakim banding dan hakim pada pengadilan tingkat pertama; serta bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim.

Khusus yang terkait dengan kewenangan pengawasan, Komisi Yudisial menerapkan prinsip bahwa kemerdekaan atau independensi kekuasaan kehakiman bukanlah kewenangan absolut, tetapi relatif yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, moral, dan etika. Prinsip independensi harus sejalan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. John Ferejohn menyatakan bahwa:

”One definitional problem is that judicial independence is a relative, not an absolute, concept. The following definition of ‘dependency’ highlights the relative nature of judicial independence: in [A] person or institution [is] … dependent … [if] unable to do its job without relying on some other institution or group.”24

Kesatuan antara independensi dan akuntabilitas ditegaskan juga dalam International Bar Association Code of Minimum Standards of

24 Lihat John Ferejohn, “Independent Judges, Dependent Judiciary: Explaining Judicial Independence,” 72 Southern California Law Review 353 (1999) sebagaimana dikutip The Asia Foundation, Judicial Independence

Overview and Country-Level Summaries, Asian Development Bank Judicial

Independence Project, RETA No. 5987, submitted by The Asia Foundation, October 2003, hlm. 2.

100

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

Judicial Independence dalam angka 33 menyatakan sebagai berikut: It should be recognised that judicial independence does not render the judges free from public accountability, however, the press and other institutions should be aware of the potential conflict between judicial independence and excessive pressure on judges.25

Konstitusi pelbagai negara juga sangat jelas mengawinkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman dengan akuntabilitas. Pasal 3 ayat 1 Konstitusi Amerika Serikat mengatur bahwa:

The judicial Power of the United States, shall be vested in one Supreme Court, and in such inferior Courts as the Congress may from time to time ordain and establish. The Judges, both of the supreme and inferior Courts, shall hold their Offices during good Behaviour, and shall, at stated Times, receive for their Services a Compensation, which shall not be diminished during their Continuance in Office.

Kemandirian kekuasaan kehakiman bukanlah prinsip hukum yang berdiri sendiri, melainkan harus berjalan seiring dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan para hakim oleh Komisi Yudisial.

Tidak ada independensi tanpa pertanggungjawaban. Independensi dibatasi oleh asas-asas umum berperkara yang baik, oleh hukum materiil dan formil yang berlaku, kehendak para pihak yang berperkara, komitmen ketuhanan para hakim, Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim (KE dan PPH), serta nilai-nilai keadilan.

Dalam negara hukum dan demokrasi, tidak mungkin ada kekuasaan yang tidak terkontrol. Apalagi kekuasaan kehakiman tidak berada di ruang hampa atau awang-awang, sehingga sangat mungkin terjadi kesalahan karena kealpaan, ketidak-telitian, ketidaktahuan, atau kesengajaan. Independensi tanpa

25 International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum

Standards of Judicial Independence, The Jerussalem Approved Standards of

the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi, India.

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

pertanggungjawaban akan terjadi anarkis, dan bahkan menjadi “jaket tahan/kebal hukum” atau bungker kejahatan. Kalau itu terjadi, selain berlawanan juga memanipulasi makna independensi.

Keberadaan akuntabilitas adalah untuk memastikan bahwa kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan baik, sumber daya dipakai secara patut, sekaligus untuk mencegah timbulnya “tirani yudisial” yang pada akhirnya akan menghancurkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri.

Pengawasan diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim berintegritas tinggi, jujur, dan profesional dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. Mencegah potensi pelanggaran atau pengabaian independensi oleh pribadi hakim sendiri, pimpinan pengadilan, dari pihak-pihak yang berperkara, tekanan kekuasaan lainnya, atau dari masyarakat tertentu.

Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Dalam salah satu paragraf pembukaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE PPH) disebutkan bahwa “kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat”.

Prinsip-prinsip universal yang dimuat dalam The Bangalore

Principles of Judicial Conduct yang menggariskan lima26 prinsip

26 (1) Judicial independence is a pre-requisite to the rule of law and a fundamental guarantee of a fair trial. A judge shall therefore uphold and exemplify judicial independence in both its individual and institutional aspects; (2) Impartiality is essential to the proper discharge of the judicial office. It applies not only to the decision itself but also to the process by which the decision is made; (3) Integrity is essential to the proper discharge of the judicial office; (4) Propriety, and the appearance of propriety, are essential to the performance of all of the activities of a judge; (5) Ensuring equality of treatment to all before the courts is essential

102

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, atau KE PPH yang menggariskan 10 (sepuluh)27 prinsip pada hakekatnya adalah rambu-rambu atau pembatasan penggunaan kekuasaan kehakiman itu; sekaligus di dalamnya pertanggungjawaban.

Pengawasan hakim dijalankan dengan tiga pendekatan: Preemtif, Preventif dan Represif, sebagai pendekatan yang saling melengkapi. Pendekatan preemtif dijalankan dengan program-program peningkatan kapasitas (pelatihan), peningkatan kesejahteraan28. Pendekatan preventif dilakukan dengan pemantauan persidangan, pemantauan terhadap hakim tertentu secara rutin atau isidental29. Pendekatan represif (penindakan) dijalankan dengan program pemanggilan dan pemeriksaan, serta penjatuhan sanksi baik karena tindakan murni perilaku maupun putusannya.30

Khusus terhadap putusan hakim, Komisi Yudisial mempersepsi putusan sebagai produk independensi kekuasaan

to the due performance of the judicial office.

27 (1) berperilaku adil; (2) berperilaku jujur; (3) berperilaku arif dan bijaksana; (4) bersikap mandiri; (5) berintegritas tinggi; (6) bertanggungjawab; (7) menjunjung tinggi harga diri; (8) berdisiplin tinggi; (9) berperilaku rendah hati; (10) bersikap profesional.

28 Pasal 20 (2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi

Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan Hakim.

29 Pasal 20 (1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim 30 Pasal 20 (1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim; b. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; c. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup; d. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

hakim yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan atau etika. Secara hukum akan dipertanggungjawabkan dalam mekanisme upaya hukum yang berimplikasi pada putusannya. Itupun jika pihak-pihak mengajukan upaya hukum. Secara etika akan dipertanggungjawabkan kepada Komisi Yudisial yang berimplikasi pada hakimnya.

Tidak sedikit putusan hakim temuan Komisi Yudisial yang nyata-nyata merugikan pencari keadilan karena ketidaktelitian, ketidaktahuan dan kesengajaan yang berakibat seseorang kehilangan hak, gagal mendapatkan hak-haknya, dinyatakan bersalah, dipidana ringan, dipidana berat, dibebaskan, mengguncangkan nurani keadilan masyarakat, dan seterusnya.

Terdapat putusan di mana majelis hakim mempertimbangkan bahwa perbuatan terdakwa bukan tindak pidana sehingga harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum, tetapi dalam amar menyatakan terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Ada juga putusan di mana terdapat perbedaan keterangan saksi antara yang dikutip oleh majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya dengan yang tercantum pada bagian keterangan saksi yang bersangkutan dalam putusan.

Terdapat pula putusan majelis hakim yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK), yang diajukan telah melewati tenggat waktu sebagaimana diatur UU. Ada pula putusan di mana majelis hakim menguraikan hal-hal yang memberatkan, antara lain pernah dipidana, tetapi putusannya percobaan.

Contoh-contoh temuan dalam putusan itu membuktikan terdapat putusan hakim yang tidak jujur, tidak adil, tidak profesional, tidak mengindahkan prinsip arif dan bijaksana, tidak profesional. Membaca dan menganalisis lalu menunjukkan kejanggalan-kejanggalannya kepada hakim bersangkutan wujud kontrol terhadap hakim, dan bukan intervensi.

104

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

Putusan yang telah diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum menjadi dokumen publik yang bisa diakses, dibaca, dianalisis. Lebih-lebih bila dalam putusan itu dilaporkan atau diketahui ada pelanggaran di dalamnya. Yang tidak boleh dilakukan adalah mengganggu atau mengintervensi proses pemeriksaan, pengadilan dan putusan.31 Tidak dibenarkan seseorang, kelompok orang atau institusi apapun dengan alasan apapun mengintervensi hakim agar misalnya memeriksa orang tertentu sebagai saksi, dan melarang orang tertentu lainnya; meminta agar barang bukti tertentu diajukan di persidangan, dan yang lain tidak; atau memaksa hakim mempertimbangkan alat-alat bukti tertentu, atau memaksa hakim menjatuhkan putusan tertentu. Tindakan di level proses inilah yang dilarang, dan jelas merupakan pelanggaran terhadap kemerdekaan hakim. Bahkan dapat dikatagorikan sebagai kejahatan terhadap pengadilan.

Harapan dibalik kontrol (pengawasan) demikian itu adalah tumbuhnya kecermatan, kehati-hatian dan profesionalitas hakim dalam menjaga dan menegakkan kekuasannya yang merdeka. Kemerdekaan yang dimilikinya harus menjadi kekuatan untuk menjalankan kewenangannya. Bukan justru menjadi tameng bagi tindakan jahat.

Dalam kerangka politik hukum kekuasaan kehakiman yang merdeka, peran Komisi Yudisial (sekali lagi) adalah penguatan bukan pelemahan. Ancaman atau perampasan independensi hakim oleh siapapun, termasuk dan terutama oleh hakim itu sendiri, akan membahayakan negara hukum, konstitusi, hak asasi manusia dan keadilan. Siapapun yang mengganggu, membelenggu apalagi

31 Pasal 20A (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20 ayat (1), Komisi Yudisial wajib: a. menaati peraturan perundang-undangan; b. menegakkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota; dan d. menjaga kemandirian dan kebebasan Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

merampas independensi menjadi musuh negara hukum, musuh konstitusi dan musuh Komisi Yudisial.