• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehakiman

Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.

Pendahuluan

P

olitik hukum1 kekuasaan kehakiman di Indonesia semenjak kemerdekaan hingga berakhirnya pemerintahan Orde Baru tidak pernah bisa mengkonstruksikan kebijakan hukum kekuasaannya sendiri secara merdeka, tetapi berada di bawah bayang-bayang dan pengaruh ketat kekuasaan eksekutif.

Di era tersebut, politik hukum dikerangka sebagai bagian dari kekuasaan politik yang menempatkan kekuasaan kehakiman

1 Ada banyak pengertian tentang politik hukum dikemukakan para pakar. Ada yang mendefenisikan politik hukum sebagai kemauan atau kehendak negara terhadap hukum. Untuk apa hukum diciptakan, apa tujuan penciptaannya dan kemana arah yang hendak dituju. Politik Hukum adalah kebijakan pemerintah mengenai hukum mana yang akan dipertahankan, hukum mana yang akan diganti, hukum mana yang akan direvisi dan hukum mana yang akan dihilangkan. Politik yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Politik hukum adalah “legal

policy”, atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan

baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”.

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

bagian dari instrumen penguatan eksekutif dengan aksentuasinya masing-masing. Di era Soekarno yang selalu menggelorakan revolusi belum selesai meletakkan kekuasaan kehakiman sebagai alat revolusi guna mewujudkan tujuan politiknya. Bahkan memberi keleluasaan pada presiden untuk intervensi.2

Politik hukum kekuasaan kehakiman yang interventif era Orde Lama digariskan dalam UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, campur tangan presiden tertulis sangat jelas. Pasal 23 menyebutkan: (1) Dalam hal-hal di mana presiden melakukan turun tangan, sidang dengan seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan mengumumkan keputusan Presiden dalam sidang terbuka, dengan membubuhi catatan dalam berita acara dan melampirkan keputusan presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan putusan. (2) Dalam hal-hal di mana presiden menyatakan keinginannya untuk melakukan campur tangan menurut Ketentuan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, sidang menghentikan untuk sementara pemeriksaan dan mengadakan musyawarah dengan Jaksa. (3) Musyawarah termaksud dalam ayat (2) tertuju untuk melaksanakan keinginan presiden. (4) Keinginan Presiden dan hasil musyawarah diumumkan dalam sidang terbuka.

Begitu pula dalam penjelasan Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di sana disebutkan bahwa “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang, bahwa Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus dapat turun atau campur tangan baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana.

Lemahnya posisi pengadilan semakin nyata apabila dalam pelaksanaan tugasnya berhadapan dengan kepentingan pemerintah. Pengadilan dikondisikan untuk memberikan justifikasi

82

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

terhadap tindakan dan kebijakan pemerintah, bahkan menjalankan pesan-pesan eksplisit pemerintah.

Dalam bukunya yang berjudul Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Sebastian Pompe mencatat detail beberapa insiden yang menggambarkan dengan jelas intervensi pemerintah terhadap Mahkamah Agung dalam menangani perkara.

Pertama, perkara yang dikenal dengan perkara Sudarsono

yang didakwa melakukan percobaan kudeta terhadap Perdana Menteri Sjahrir mendapatkan perlindungan dari pemerintah dan meminta MA bersikap lunak; tetapi Ketua MA Kusumah Atmadja menentang tekanan tersebut, sehingga dalam pertimbangan putusannya Kusumah Atmadja merasa perlu menekankan dengan tegas bahwa MA adalah lembaga mandiri yang harus tetap bebas dari campur tangan politik.3

Kedua, perkara Cosmos melibatkan seorang penyelundup dan

Soekarno menghendaki perkara ini diadili sebagai perkara subversif agar bisa menjatuhkan hukuman mati. Soekarno minta Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro menginstruksikan hakim yang menangani perkara, yaitu Sri Widoyati, agar menjatuhkan pidana mati. Sri Widoyati menolak mengategorikan perkara penyelundupan sebagai perkara subversi politik dan dengan demikian menolak mempertimbangkan hukuman mati.

Wirjono berkeras seraya menyebutkan tekanan yang menghimpitnya, memohon-mohon kepada Sri Widoyati, sambil mengatakan bahwa ia adalah mahasiswa kesayangannya sewaktu kuliah, bahkan sampai menangis. Tetapi Sri Widoyati tetap teguh pada pendiriannya. Akhirnya ia tidak tahan lagi dan mengatakan dari sudut pandang subversi jika Wirjono bisa memberikan kepadanya instruksi Presiden yang memerintahkan tindakan demikian. Itu taktik saja sebetulnya, sebab ia tidak pernah berpikir

3 Baca Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, LeIP, 2012, hlm. 70-71.

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

bahwa presiden akan berani mengirim surat kepadanya berisi permintaan untuk menjatuhkan hukuman mati. Di luar dugaannya, Wirjono muncul keesokan harinya dengan surat dimaksud.4

Sri Widoyati tidak bisa memutus perkara itu, dan minta agar perkara itu diserahkan kepada hakim lain. Perkara itu pun pindah tangan. Hukuman mati dijatuhkan. Ketika perkara itu sampai ke tangan Mahkamah Agung, Demokrasi Terpimpin sudah ambruk.5

Arti penting perkara Cosmos dan perkara lain yang serupa menurut Pompe, tidak hanya menunjukkan realitas politik bahwa pemerintah menginstruksikan bagaimana perkara harus diputus. Kooptasi politik terhadap pengadilan selama Demokrasi Terpimpin juga berdampak penting pada struktur banding, mengondisikan cara Mahkamah Agung memandang fungsi legalnya dalam memastikan kesatuan hukum dan keadilan hingga hari ini.6

Prinsipnya, Demokrasi Terpimpin menghendaki agar apabila perkara-perkara melibatkan kepentingan politik, Mahkamah harus memutus seperti yang dikehendaki pemerintah dan harus berusaha keras mencari pembenaran bagi putusan mereka itu.7

Pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru tidak banyak merubah realitas kekuasaan kehakiman. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan UU No. 19 Tahun 1964 tidak jauh berbeda. Dualisme kekuasaan kehakiman justru mengemuka. Secara fungsional hakim bertanggungjawab kepada Mahkamah Agung, tetapi secara administratif dan finansial bertanggungjawab kepada Departemen Kehakiman. Pengaturan semacam ini pada perjalanannya mampu mengendalikan kekuasaan kehakiman dalam kontrol kekuasaan eksekutif. Mahkamah Agung kehilangan kendali terhadap

4 Ibid, hlm. 96.

5 Ibid.

6 Ibid.

84

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

personal hakim, sekaligus tidak memiliki kemerdekaan dalam menyelenggarakan peradilan.

Banyak contoh putusan pengadilan, bahkan putusan Mahkamah Agung yang terang-terangan diintervensi oleh Soeharto, seperti putusan perkara Kedung Ombo, perkara Ohee tahun 1995, dan perkara Gandhi Memorial Scool tahun 1996. Bagi Orba, mengontrol pengadilan bukan sekadar soal mengelola gugatan dan sengketa, melainkan juga soal sarana untuk mengontrol persepsi publik.8

Kekuasaan kehakiman di era Orde Lama dan Orde Baru adalah kekuasaan kosong, karena tidak ada independensi struktural dalam menjalankan kewenangan kehakiman, sebagaimana lazimnya kekuasaan kehakiman yang merdeka di negara-negara beradab. Kalaulah ada hakim-hakim yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan eksekutif, lebih karena kuatnya personaliti hakim-hakim bersangkutan, seperti yang terdapat pada sosok Sri Widoyati, Asikin atau Adi Andoyo (untuk menyebut sedikit contoh).

Telah sering dikemukakan bahwa kerentanan kekuasaan kehakiman dari campur tangan politik lebih disebabkan oleh lemahnya UUD 1945 dalam mengatur hubungan kekuasaan dan cenderung menguatkan eksekutif. Terlalu banyak atribusi kewenangan kepada legislatif untuk mengatur masalah-masalah penting dengan undang-undang, serta adanya pasal-pasal multitafsir yang memberi ruang bebas bagi Presiden untuk menafsirkan sesuai keinginanya.

Sejarah panjang ketidakmandirian kekuasaan kehakiman tersebut telah melahirkan kompleksitas masalah tersendiri dalam tubuh pengadilan di semua tingkat hingga hari ini, seperti korupsi (judicial corruption), manipulasi, dan pelbagai wujud penyalahgunaan wewenang lainnya. Dampaknya sangat serius, berupa meluasnya ketidakpercayaan masyarakat pada pengadilan.

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

Pada sisi lain, pengawasan internal yang diharapkan dapat menjadi kekuatan reformasi kultural dari dalam, tampak tidak berkualitas dan berintegritas. Proses pemeriksaan tidak transparan, penjatuhan sanksi cenderung rendah karena pengaruh semangat

korp yang tinggi, masyarakat sulit menyampaikan keluhan dan

pengaduan. Kondisi-kondisi itulah yang memicu digagasnya politik hukum kekuasaan kehakiman baru menyusul jatuhnya rezim Soeharto 15 tahun (1998) lalu, sebagaimana termuat dalam Perubahan UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya.