• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam transisi politik dari rezim otoritarian ke demokrasi, kedudukan kekuasaan kehakiman selalu mendapatkan perhatian utama untuk dibenahi, karena aspek ini menjadi salah satu indikator utama untuk menilai apakah transisi rezim di suatu negera bergerak ke demokrasi atau tidak.

Luu Tien Dung pernah mengemukakan: ‘‘The judiciary in

pre-transition regimes was ‘dependent’ or ‘compromised’ rather than independent. It failed to protect the rule of law and human rights…Many transitional countries have adopted the principle of separation of powers in the Constitution as a constitutional guarantee of the independence of the judiciary’’.13

11 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 1.

12 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdadasrkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 99.

13 Baca “Judicial Independence In Transitional Countries”. UNDP Democratic Governance Fellowship Programme, 2003.

88

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

Sejalan dengan itu, politik hukum kekuasaan kehakiman pasca Orde Baru telah digariskan dalam batang tubuh UUD 1945; persisnya dalam Bab IX yang terdiri atas 5 pasal dan 16 ayat, yaitu Pasal 24, 24A, 24B, 24C dan 25,14 yang masing-masing menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 24 ayat (1) menggariskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ayat (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ayat (3) badan -badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Pasal 24A: (1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang -undang terhadap undang -undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang. (2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. (3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. (4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung. (5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang -undang.

Pasal 24B: (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan

14 Bandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang hanya 2 pasal dengan 2 ayat.

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang -undang.

Pasal 24C: (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atauWakil Presiden menurut Undang -Undang Dasar. (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing -masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. (6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang -undang.

Politik hukum kekuasaan kehakiman dalam Bab IX UUD 1945 di atas, adalah: Pertama, menegaskan jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dengan pelbagai konsekuensi turunannya.

Kedua, dibentuknya institusi hukum baru dalam wilayah kekuasaan

90

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

pemegang kekuasaan kehakiman lainnya di luar Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).

Menyusul perubahan UUD 1945 itu berubah dan dibentuk pula pelbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaran kekuasaan kehakiman yaitu, Pertama, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kedua, UU No. 4 Tahun 2004 yang kemudian dirubah dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketiga, UU No. 22 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 18 Tahun 2011. Keempat, UU No. 5 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Kelima, UU No. 8 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. Keenam, UU No. 8 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Ketujuh, UU No. 9 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Penegasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 diikuti pula dengan perubahan administrasi dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan badan-badan peradilan berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, namun saat ini seluruh badan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tinggi, PengadilanTinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tata Usaha Negara, terhitung sejak tanggal 31 Maret 2004 dialihkan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung. Begitu pula organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah Propinsi, dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, terhitung sejak tanggal

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

30 Juni 2004 dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.

Selanjutnya, organisasi, administrasi, dan finansial pada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, terhitung sejak tanggal 1 September 2004 dialihkan dari TNI ke Mahkamah Agung. Akibat peralihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih menjadi personel organik Mahkamah Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI. Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset, keuangan, arsip/ dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah Agung.

Dengan demikian, secara institusional, administratif dan finansial kekuasaan kehakiman telah mendapatkan jaminan UUD 1945 dan UU sebagai kekuasaan yang merdeka atau independen. Tinggal masalahnya apakah kemerdekaan atau independensi tersebut telah mewarnai kinerja hakim dalam menjalankan kewenangan yang diberikan atau tidak? Inilah pertanyaan yang memicu munculnya desakan akan pentingnya akuntabilitas di balik independensi hakim. Apabila disarikan, maka poin-poin utama politik hukum kekuasaan kehakiman yang digariskan UUD 1945 perubahan beserta pelbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya adalah:

Pertama, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Kedua, Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat

kasasi, menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang-undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

92

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

Ketiga, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Keempat, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Kelima, organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Keberadaan Komisi Yudisial dalam kerangka politik hukum kekuasaan kehakiman adalah bagian penting dan tidak terpisahkan dari upaya menjaga dan menegakkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagai benteng (safeguard) dari negara hukum.

Prinsip tersebut adalah prinsip secara universal yang termuat dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang diadopsi oleh the Seventh United Nations Congress on the Prevention of

Crime and the Treatment of Offenders, di Milan dari 26 Agustus sampai

dengan 6 September 1985, dan disahkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/32 tanggal 29 November 1985 dan Nomor 40/146 tanggal 13 Desember 1985, seperti antara lain ditegaskan dalam butir 115, 416 dan 15.17

15 The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary.

16 There shall not be any inappropriate or unwarranted interference with the judicial process, nor shall judicial decisions by the courts be subject to revision. This principle is without prejudice to judicial review or to mitigation or commutation by competent authorities of sentences imposed by the judiciary, in accordance with the law.

17 The judiciary shall be bound by professional secrecy with regard to their deliberations and to confidential information acquired in the course of their

Sistem Politik dan Kekuasaan Kehakiman

Sekalipun demikian, politik hukum kemerdekaan kekuasaan kehakiman pasca Orde Baru lebih menekankan kemerdekaan institusional Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya, yang dalam praktik berada di tangan pimpinan-pimpinan pengadilan, bukan pada hakim. Padahal kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang seharusnya dibangun dan diperkuat adalah kemerdekaan personalitas hakim. Institusi dengan segenap perangkat administratifnya menjadi instrumen pendukung.

Politik hukum kekuasaan kehakiman yang menekankan kemerdekaan institusional demikian itu, melahirkan relasi atasan-bawahan secara administratif, yang mengaburkan posisi kekuasaan kehakiman dan kemandirian hakim. Dalam mengadili perkara, hakim lebih mengabdi pada kepentingan birokrasi (atasan) daripada memberi putusan sesuai keyakinan keadilannya.18

Kenyataan tersebut menurut Sulistyowati Irianto tidak selaras dengan prinsip konvensi internasional seperti The Bangalore Principles

of Judicial Conduct (2002) yang mendahulukan kemandirian hakim

individual, barulah kemandirian hakim secara institusional.19