• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PELANGGARAN ATAS HAK KEKEBALAN DAN

B. Dasar Teoritis dan Dasar Yuridis dari Kekebalan dan Keistimewaan

1. Landasan Teori

Dalam hukum internasional, pemeberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik dikenal beberapa teori yang diperkenalkan oleh Connel dalam bukunya

“International Law, Vol. II 196574 teori yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Exterritoriality Theory

Menurut teori ini gedung dan pejabat perwakilan dianggap tidak berada di negara penerima melainkan berada dalam negara pengirim dan mencerminkan semacam

72 Lihat insiden di Washington DC tahun 1999, ketika Atase Kedutaan Rusia dinyatakan persona non grata atas dugaan penyadapan Departemen Negara. Lihat juga Vienna Convention 1961, article 9

73 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit. hal. 54

74 D. P. O. Connel, International Law, Vol. II dalam Syahmin AK, Op. Cit. hal. 69

perluasan wilayahnya di negara penerima75. Sebagai konsekuensi dari prinsip ini adalah sangat berat untuk dapat diterima karena sukar untyuk menyesuaikan diri dengan teori exterritorialty ini. Terbukti dalam hal peraturan lalu lintas jalan raya misalnya, dalam praktiknya sudah diterima secara umum bahwa seorang pejabat diplomatik itu harus mengikuti aturan lalu lintas negara setempat, jika tidak ia sendiri akan merasakan akibatnya, misalnya mengalami tabrakan.76 Adanya ketidaksesuaian dalam praktik pemberian kekebalan dan keistimewaan dipomatik dalam pergaulan antar negara, maka teori ini dalam bentuk asalanya tidak dapat dipertahankan lagi. Namun demikian kebanyakan ahli hukum internasional saat ini masih menggunakan teori exterritoriality hanya sekedar untuk menunjukan prinsip bahwa negara penerima tidak mempunyai wewenang untuk menegakkan kedaulatannya di gedung kedutaan ataupun rumah kediaman perwakilan asing sebagai konsepsi terbatas, dan tidak pula mencakup pengertian bahwa kejahatan dan transaksi hukum yang terjadi di tempat kedutaan asing harus dianggap sebagai terjadi di wilayah negara pengirim..

b. Representative Character Theory

Menurut teori ini, agen diplomatik dianggap sebagai simbol (wakil) negara yang mengutusnya, maka setiap tindakannya merupakan tindakan negara yang diwakilinya.77 Dalam hukum internasional dikenal suatu adagium yang berbunyi

“Par im parem habet imperium”78, maksudnya suatu negara berdaulat tidak dapat

75 Castel J. G., International Law, dalam Syahmin AK, Op. Cit. hal. 70

76 Syahmin AK, Ibid. hal. 70

77 Ibid, hal. 71

78 F. Ijswara, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bnadung, 1972, dalam Syahmin AK, Ibid.

hal. 71

melaksanakan jurisdiksinya terhadap negara berdaulat lainnya. Berkaitan dengan adagium ini, jika seorang agen diplomatik dianggap sebagai perwakilan negara yang mengirimnya (sending state). Sehingga dalam teori sifat seorag diplomat sebagai simbol negara, pada hakekatnya pejabat diplomatik dipersamakan dengan kedudukan seorang kepala negara atau negara pengirim yang bersangkutan.

c. Functional Necessity Theory

Teori ini mendasarkan pemberian kekebalan dan keistimewaan kepada wakil-wakil diplomatik atas fungsi dari wakil-wakil-wakil-wakil diplomatik agar wakil-wakil diplomatik yang bersangkutan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan sempurna, amka kekebalan dan keistimewaan yang dimilikinya itu adalah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya di dialam melaksanakan tugas tanpa ada gangguan.79 Teori fungsional dianggap sangat mendekati kebenaran, dengan alasan yang cukup sederhana bahwa dalam penilaian sebelumnya, seorang diplomat tidak mungkin dapat menjalankan tugasnya jika tidak diberikan kepadanya kekebalan dan keistimewaan tertentu.80

Sir gerald Fitzmaurice, reporter khusu yang ditunjuk oleh Komisi Hukum Internasional untuk merumuskan rancangan Konvensi Wina 1961 menyadari bahwa functional theory tidak saja teori yang benar, sebaliknya ia beranggapan bahwa exterritoriality theory tidak akan melakukan penyelidikan, demikian pula tanggapan dari angota-anggota lainnya yang bahkan mengkritik yang cukup tajam. Sehubungan dengan tanggapan-tanggapan tersebut, Komisi Hukum

79 Ibid. hal. 71

80 Yearbook of the International Law Commision (I.L.C.) 1957, Vol. I, dalam Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit. hal. 58

Internasional kemudian membatasi diri memberikan tanggapan terhadap rancangan pasal-pasal mengenai kekebalan dan keistimewaan tanpa adanya ikatan-ikatan:

a. Teori-teori yang telah dikemukakan dalam memberikan pertimbangan bagi pengembangan kekebalan dan keistimewaan diplomatik, Komisi Hukum Internasional akan menyinggung exterritorialitty theory sesuai anggapan bahwa gedung perwakilan merupakan semacam perluasan dari wilayah negara pengirim, dan representative theory yang melandasi kekebalan dan keistimewaan diartikan bahwa perwakilan diplomatik melambangkan negara pengirim.

b. Terdapat teori ketiga yang muncul sebagai landasan yang kecenderungannya didukung di dalam masa sekarang yaitu functional necessity theory yang membenarkan bahwa kekebalan dan keistimewaan merupakan keperluan agar perwakilan dapat menunaikan tugas-tugasnya.

c. Komisi Hukum Internasional telah menganut teori ketiga ini dalam menyelesaikan masalah-masalah di dalam praktik tidak dapat memberikan keterangan secara jelas, di samping memperhatikan juga sifat perwakilan dari kepala perwakilan dan dari perwakilannya sendiri.81

81 Ibid. hal. 60

Selain ketiga teori yang telah disebutkan di atas, salah satu prinsip yang penting dalam hubungan diplomatik adalah prinsip resiprositas/reciprocity principle atau prinsip timbal balik, yaitu apabila suatu negara ingin mendapat perlakuan yang baik dari suatu negara, maka negara tersebut juga harus berlaku sopan dan baik terjadap negara lain. Berkaitan dengan perwakilan diplomatik, apabila negara (sending state) menginginkan utusannya atau wakilnya diberikan hak kekebalan dan keistimewaan oleh negara penerima (receiving state), maka negara yang bersangkutan juga harus mau memberikan hak kekebalan dan keistimewaan terhadap agen diplomatik atau perwakilan yang diutus dari negara lain.

2. Landasan Yuridis82

Hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik dapat ditemukan dalam konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Konvensi yang mulai berlaku pada 1964 ini,83 menekankan kebutuhan fungsional akan hak istimewa dan kekebalan diplomatik untuk menjalankan hubungan internasional yang efisien serta menunjukkan karakter utusan diplomatik sebagai wakil negaranya. Masalah-masalah yang tidak secara tegas diatur dalam Konvensi Wina 1961 tetap diatur oleh aturan-aturan hukum kebiasaan internasional.84 Pengadilan Internasional baru-baru ini menekankan bahwa Konvensi Wina 1961 tetap berlaku terlepas adanya berbagai konflik bersenjata antara negar-negara yang bersangkutan.85 Hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik dapat ditemukan dalam pasal-pasal Konvensi Wina 1961, diantaranya:

82 Vienna Convention 1961, Op. Cit., Article 20-41

83 Malcom N. Shaw QC, Op. Cit.

84 Vienna Convention 1961, Op. Cit

85 Malcom N. Shaw QC, Op. Cit. hal. 168

a. Berkaitan dengan personal: seorag diplomat tidak dapat diganggu berdasarkan Pasal 29 Konvensi Wina 1961 dan tidak dapat ditahan atau ditangkap. Prinsip ini adalah aturan yang paling mendasar dan tertua dari hukum diplomatik.86 Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina 1961 menetapkan bahwa diplomat kebal dari yurisdiksi pidana, yurisdiksi perdata dan administrasi negara di mana mereka bertugas.87 Pasal 31 ayat (3) tidak ada tindakan eksekusi dapat dilakukan terhadap mereka kecuali dalam kasus yang disebut dalam Pasal 31 ayat (1) a, b dan c dan dengan ketentuan bahwa tindakan-tindakan yang bersangkutan dapat dilakukan tanpa melanggar hak tidak dapat diganggunya diplomat atau tempat tinggalnya.88 Pasal 37 mengatur bahwa anggota keluarga agen diplomatik yang menjadi bagian dari rumah tangganya akan menikmati hak istimewa dan kekebalan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29-36 Konvensi Wina 1961 jika bukan warga negara dari negara penerima.89 Dalma praktik di Amerika Serikat, istilah spouse (pasangan) bisa ditafsirkan untuk meliputi lebih dari satu istri dalam perkawinan poligami yang merupakan bagian dari rumah tangga diplomat dan bisa pula meliputi mitra yang tidak menikah dengan diplomat.90 Pasal 40 memberikan kekebalan di mana agen diplomatik berada di wilayah transit antara negara asalnya dan negara ketiga dimana ia akan ditempatkan.91 Setelah masa penculikan diplomat, Konvensi PBB

86 Vienna Convention 1961, Op. Cit.

87 Ibid.

88 Ibid.

89 Ibid.

90 Malcom N Shaw QC, Op. Cit. hal. 768

91 Vienna Convention 1961, Op. Cit.

tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan terhadap Orang-orang yang secara Internasional dilindungi, termasuk Agen Diplomatik diadakan pada 1973.

b. Berkaitan dengan gedung kedutaan dan properti: Pasal 22 Konvensi Wina 1961 secara khusus menyatkan bahwa kantor utusan tidak dapat diganggu dan bahwa agen-agen negara penerima tidak diijinkan masuk tanpa ijin.92 Pasal 23 berhubungan dengan tempat tinggal delegasi, pengecualian berlaku untuk pajak.93 Pasal 24 tentang arsip dan dokumen duta tidak dapat diganggu kapan saja dan dimana saja berada.94 Pasal 45 (a) menyatakan bahwa setelah putusnya hubungan diplomatik “negara penerima harus. . .menghormati dan melindungi kantor utusan.”95

c. Berkaitan dengan komunikasi: Pasal 27 mengatur bahwa negara penerima mengijinkan dan melindungi komunikasi bebas atas nama utusan untuk semua tujuan kenegaraan.96 Komunikasi iresmi seperti ini tidak dapat diganggu dan dapat mencakup penggunaan kurir diplomatik dan pesan dalam kode dan sandi, meskipun diperlukan ijin dari negara penerima untuk pemancar nirkabel.97 Pasal 27 ayat (3) dan (4) berkaitan dengan tas diplomat, dan menyatkan bahwa tas tersebut tidak boleh dibuka atau ditahan98, dan bahwa paket yang merupakan tas diplomatik harus keliatan

92 Ibid.

93 Ibid.

94 Ibid.

95 Ibid.

96 Ibid.

97 Ibid.

98 Ibid.

sifat-sifatnya dari luar dan hanya boleh berisi dokumen-dokumen diplomatik atau berkas-berkas yang digunakan untuk tujuan kenegaraan.99

C. Bentuk Pelanggaran atas Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Diplomatik oleh Negara Penerima Ditinjau dari Hukum Internasional

Negara penerima (receiving State) wajib menjaga keamanan dan keselamatan para diplomat yang bertugas di negaranya baik dari warga negara penerima maupun warga negara asing. Tetapi pada saat sekarang ini makin banyak kasus pelanggaran kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah:

1. Pelanggaran terhadap gedung perwakilan diplomatik 2. Pelanggaran kebebasan komunikasi

3. Penistaan lambang negara

4. Penangkapan dan penahanan terhadap staf misi diplomatik

Pemberian kekebalan diplomatik bersumber pada hukum kebiasaan internasional yang tercermin dalam praktek negara di dalam hubungan internasional, khususnya undang-undang negara setempat. Dalam perkembangannya, kebiasaan internasional ini telah dituangkan dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik sehingga ketentuan-ketentuan pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang kini diakui secara internasional sebagai hukum internasional positif.

99 Ibid.

Meskipun telah banyak negara telah meratifikasi Konvensi Wina 1961, namun ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut, khususnya mengenai jaminan hak-hak kekebalan dan keistimewaan yang dinikmati perwakilan diplomatik belum dilaksanakan sepenuhnya. Masih banyak tindakan-tindakan pelanggaran terhadap hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik oleh negara-negara pesertanya.

Seperti diketahui bahwa pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik tergantung pada kewajiban internasional yang pelaksanaanya menurut hukum nasional masing-masing negara. Perlindungan diplomatik beserta fasilitas-falisitasnya merupakan salah satu tatakrama. Sehingga pelaksanaan fungsi diplomatik dapat berjalan secara efektif dan efisien. Hal ini yang tertuang dalam Teori Functional Necessity100, dimana dasar kekebalan dan keistimewaan seorang wakil diplomatik adalah bahwa seorang wakil diplomatik harus dan perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan tugasnya dengan sempurna. Teori ini lebih baik dibandingkan dengan teori lainnya yaitu Teori Exterritoriality dan Teori Representative Character. Karena mengingat pentingannya peranan seorang wakil diplomatik serta meningkatnya tingkat kejahatan terhadap para wakil-wakil diplomatik. Teori Functional Necessity sangat cocok diterapkan pada masa sekarang ini sebab perwakilan diplomatik tidak mungkin dapat menjalankan tugas-tugasnya jika perwakilan diplomatik tersebut tidak diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatik tertentu.

Salah satu contoh dari bentuk pelanggaran terhadap hak-hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik adalah terjadinya penyadapan terhadap

100 Edy Suryono, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Angkasa, Bandung, 1991, hal. 36

delapan kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), diantaranya yaitu Myanmar (Yangon), Jepang (Tokyo), Kanada (Ottawan), China (Beijing), Korea Selatan (Seoul), Finlandia, Norwegia, dan Denmark. Sangat disesalkan dari kedelapan kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang di sadap, di Yangoon, Myanmar, terjadi untuk kedua kalinya yakni pada tahun 2003 dan 2004.

Penyadapan yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar terhadap Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik. Hal ini diatur dalam Pasal 27 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yaitu:101

”1. The receiving State shall permit and protect free communication on the part of the mission for all official purpose. In communicating with the Government and other missions and consulates of the sending States, wherever situated, the mission may employall appropriate means, including diplomatics couriers and messages in code or chiper. However, the mission may install and use wireless transmitter only with the consent of the receiving State. . . ”

Pasal 27 di atas menyatakan dengan tegas bahwa negara penerima (receiving State) harus melindungi dan memberikan kebebasan dalam hal komunikasi kepada perwakilan diplomatik yang menjalankan tugasnya.

Salah satu contoh kasus lainnya mengenai pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik yaitu kasus penahanan Duta Besar Italia di India.

Bermula dengan terjadinya tuduhan penembakan yang dilakukan marinir Italia

101 Vienna Convention 1961, Op. Cit.

yang bernama Salvatore Girone dan Massimiliano Latorre terhadap dua orang nelayan India yang bernama, Ajesh Binki dan Valentine, merupakan warga Tamil Nadu dan Kerala, yang menyebabkan kematian kedua nelayan India tersebut pada tanggal 25 Fberuari 2012. Melihat kedua nelayannya mati akibat penembakan dari marinir Italia, Pemerintah India langsung melakukan penangkapan terhadap kedua marinir tersebut. Selanjutnya, Duta Besar Italia meminta keringanan kepada India untuk menangguhkan penahanan kedua marinir untuk pergi merayakan natal bersama keluarga mereka di Italia, dan Pemerintah India menyetujuinya. Tetapi, kedua marinir Italia tersebut tidak kembali ke India. Hal ini mengakibatkan India menjadi marah dan melakukan pelarangan bepergian kepada Duta Besar Italia.

Jika dilihat dalam perspektif Konvensi Wina 1961, India telah melakukan pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang diatur dalam Pasal 29, yaitu:102

“The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall no beliable to any form of arrest or detention. The receiving State shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.”

(agen diplomatik tidak dapat diganggu gugat (inviolabel). Ia tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun dari penahanan atau penangkapan.

Negara penerima harus memperlakukannya dengan hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepay untuk mencegah setiap serangan terhadap badannya, kebebasannya atau martabatnya)

102 Ibid.

Pelanggaran-pelanggaran seperti contoh kasus di atas masing sering terjadi dalam praktik hubungan diplomatik antar negara. Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Wina 1961 telah sepatutnya dengan itikad baik mematuhi, mentaati dan menjalankan aturan-aturan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961.

BAB IV

KEKEBALAN DIPLOMATIK KANTOR KEDIAMAN DAN TEMPAT KEDIAMAN DALAM KASUS JAMAL KASHOGGI PADA KONJEN

ARAB SAUDI DI TURKI