• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM INTERNASIONAL TENTANG KEKEBALAN DIPLOMATIK KANTOR KEDIAMAN DAN TEMPAT KEDIAMAN (STUDI KASUS : JAMAL KASHOGGI PADA KONSULAT JENDERAL

ARAB SAUDI DI TURKI) SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara OLEH :

AKBAR HAMDANI RAMBE 140200488

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT. atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam rangka untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara. Shalawat dan Salam senantiasa Penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia menuju jalan keselamatan dan keberkahan.

Adapun skripsi ini berjudul ”ANALISIS HUKUM INTERNASIONAL TENTANG KEKEBALAN DIPLOMATIK KANTOR KEDIAMAN DAN TEMPAT KEDIAMAN (STUDI KASUS : JAMAL KASHOGGI PADA KONSULAT JENDERAL ARAB SAUDI DI TURKI)”

Secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua Penulis, Ayahanda Hamjah Rambe dan Ibunda Zuraidah Pohan yang telah membesarkan, membimbing, mendidik, serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, dukungan, bantuan dan pengorbanan yang tak ternilai dan mengiringi setiap langkah Penulis dengan doa restunya yang tulus, untuk merekalah skripsi ini Penulis persembahkan. Kedua Adik penulis yang bernama Atika Amelia Rambe yang kece badai, tempat peminjaman uang di kala saya misqueen. Sarah Afifah Rambe adek yang baik budi nan jelita, terima kasih buat semangat dan pertengkaran selama ini.

(4)

Terselesaikannya tugas akhir ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini dengan seluruh kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H, M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H, M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Sutiarnoto, S.H.,M.Hum. Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Ibu Dr. Chairul Badriah S.H., M.Hum, Dosen Pengajar Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Pembimbing I;

9. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing Penulis selama masa perkuliahan;

(5)

10. Seluruh staf dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pelayanan dan arahan yang baik terkait dengan kegiatan perkuliahan;

11. Avissa Novali Noor yang sukses membuat penulis gopoh dan pada akhirnya memikirkan, menyentuh, dan menyelesaikan skripsi yang pada awalnya seperti tidak akan pernah siap ini. Terima kasih telah membantu secara moril maupun fisik, ya walaupun kadang resek juga. Skripsi ini sebagai salah satu ikhtiar awal biar cepet halalin kamu wkwk;

12. Kak Kurnia, upline sekaligus kakak yang selalu nanyain kapan siap skripsinya tapi gapernah bantu hahaha. Makasih buat semangat dan positive vibes nya

13. Hadi temen SMA aku yang berubah jadi seperti seorang keluarga, yang kadang banyak gak cocok juga wkwk, tapi itulah bunga-bunga pertemanan. Makasih buat selalu mengajak dalam kebaikan;

14. Seluruh teman-teman DCT dan mentor-mentor bisnis online lainnya yang tidak bisa penulis sebut satu per satu atas dukungan dan semangatnya;

(6)

ABSTRAKSI

ANALISIS HUKUM INTERNASIONAL TENTANG KEKEBALAN DIPLOMATIK KANTOR KEDIAMAN DAN TEMPAT KEDIAMAN (STUDI KASUS : JAMAL KASHOGGI PADA KONSULAT JENDERAL

ARAB SAUDI DI TURKI) Akbar Hamdani Rambe*

Dr. Chairul Badriah S.H., M.Hum.**

Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum.***

Tata cara pengangkatan dan kewenangan pejabat diplomatik menurut hukum internasional dapat dilihat dari aturan-aturan yang dimuat dalam pasal-pasal Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, sebagaimana negara yang telah melakukan ratifikasi konvensi ini berkewajiban untuk mematuhi dan mengikuti segala peraturan yang tercantum dalam konvensi tersebut, namun masih ada negara-negara yang tidak menhiraukanya, Kasus Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki salah satunya yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana tata cara pengangkatan dan kewenangan pejabat diplomatik menurut hukum internasional, Bagaimana bentuk pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik dan Bagaimana kekebalan diplomatik kantor dan tempat kediaman dalam kasus Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki berdasarkan hukum internasional. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Kekebalan diplomatik kantor dan tempat kediaman dalam kasus Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki berdasarkan hukum internasional adalah tidak dapat diganggu gugat oleh seluruh alat kekuasaan negara penerima, dengan pengecualian dengan istilah extreme emergency yang tertulis di dalam ketentuan Konvensi Wina 1961 dan tindakan Pemerintah Turki melakukan penyelidikan di dalam gedung Konsulat jenderal Arab Saudi sudah tepat, walaupun tidak sesuai dengan fungsi gedung diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961.

Kata Kunci : Hukum Diplomatik, Pengangkatan dan Kewenangan, Konvensi Wina 1961.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYERTAAN

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSI ... iv

DAFTAR ISI. ... v

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Metode Penelitian... 20

G. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II : ASPEK HISTORIS DAN NORMATIF DARI PEJABAT DIPLOMATIK MENURUT HUKUM INTERNATIONAL ... 25

A. Sejarah Diplomatik dan Pengembanganya ... 25

B. Sumber Hukum Diplomatik dan Pelaksanaan Hukum Diplomatik .... 29

1. Sumber Hukum Material... 31

2. Sumber Hukum Formal... 31

a. Konvensi Wina 1961 Tentang Hubungan Diplomatik... 33

b. Konvensi Wina 1963 Tentang Hubungan Konsuler... 37

c. Konvensi Wina 1973 Tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Terhadap Orang-orang yang Dilindungi Secara International...44

C. Prosedur Tata Cara Pengangkatan dan Kewenangan Pejabat Diplomatik Menurut Hukum International………...45

1. Prosedur Tata Cara Pengangkatan Pejabat Diplomatik... 45

2. Kewenangan Pejabat Diplomatik...48

BAB III : PELANGGARAN ATAS HAK KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN PEJABAT DIPLOMATIK ... ... 49

A. Latar Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik ... 49

B. Dasar Teoritis dan Dasar Yuridis dari Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik... 56 C. Bentuk Pelanggaran atas Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat

Diplomatik oleh Negara Penerima Ditinjau dari Hukum International 63

(8)

BAB IV : KEKEBALAN DIPLOMATIK KANTOR KEDIAMAN DAN TEMPAT KEDIAMAN DALAM KASUS JAMAL KASHOGGI

PADA KONJEN ARAB SAUDI DI TURKI ... 68

A. Sejarah Hubungan Diplomatik Arab Saudi-Turki ... 68

B. Kekebalan Diplomatik Tempat dan Kantor Kediaman Pejabat Diplomatik Menurut Hukum Internasional ... 74

C. Hak Kekebalan Diplomatik Kantor Kediaman dan Tempat Kediaman dalam Kasus Jamal Kashoggi Pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki Berdasarkan Hukum Internasional ... 79

BAB V : PENUTUP ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dewasa saat ini sebuah negara tidak dapat berdiri sendiri untuk memenuhi kebutuhan internal negaranya. Setiap negara memiliki kekayaan alam yang berbeda antar satu negara dengan negara lain. Ada negara yang memiliki kekayaan akan sumber daya alam yang melimpah dan ada juga negara yang tidak memiliki hal tersebut. Akan tetapi negara itu memiliki kecanggihan teknologi dan komunikasi.

Hal-hal semacam inilah menyebabkan kebutuhan antara satu negara dengan negara lain tidak dapat dihindari. Setiap negara di dunia saling berhubungan untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, karena kebutuhan tersebut tidak terdapat di dalam negaranya.

Hubungan-hubungan baik bersifat ekonomis maupun politis yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dalam prakteknya sangat rentan akan timbulnya konflik antar negara disebabkan setiap negara mewakili kepentingan yang berbeda-beda.

Setiap negara mempunyai kedaulatan dan sistem hukumnya masing- masing. Sehingga apabila terjadi konflik antar negara dibutuhkan suatu sistem hukum yang bersifat universal yang dapat diterima oleh semua negara.

Merujuk kepada permasalahan sistem hukum dalam penyelesaian konflik, maka timbul hukum internasional yang berperan sebagai hukum yang dapat

(10)

diterima oleh negara-negara di dunia dengan tujuan untuk kesejahteraan dan ketertiban bersama dalam melakukan hubungan antar negara.

Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:

1. Negara dengan Negara

2. Negara dengan subjek hukum lain bukan Negara satu sama lain1

Hukum internasional banyak mengatur tentang hukum antar negara. Salah satu bagian dari hukum internasional yang mengatur tentang hubungan antar negara tersebut adalah hukum diplomatik.

Sejarah membuktikan bahwa sifat hubungan antar negara dengan negara lain senantiasa berubah-ubah menurut perubahan masa dan keadaan, tetapi cara memelihara dan menghidupkan perhubungan itu adalah satu, yaitu dengan mempergunakan cara diplomasi. Adanya perwakilan diplomatik ataupun legasi- legasi, pos-pos yang tetap, menimbulkan kebutuhan untuk menciptakan kelas satu golongan pegawai baru yang disebut diplomat. Tetapi pemakaian istilah diplomat dan diplomasi baru menjadi umum pada kira-kira abad ke-18.2

Pengertian hukum diplomatik masih belum banyak diungkapkan. Para sarjana hukum internasional masih belum banyak menuliskan secara khusus, karena pada hakikatnya hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional yang mempunyai sebagian sumber hukum yang sama seperti

1 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar hukum Internasional, PT. Alum, 2003, hlm. 4

2 J. Badri, Perwakilan Diplomatik dan Konsuler, Tintamas, Jakarta, 1960, hlm. 19 sebagaimana dikutip dalam buku Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, Hukum Diplomatik, Kekebalan dan Keistimewaan, Angkasa, Bandung, 1986, hlm. 13

(11)

konvensi-konvensi internasional yang ada. Namun apa yang ditulis oleh Eileen Denza mengenai “Diplomatic Law” pada hakikatnya hanya menyangkut komentar terhadap Konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik.3

Ada pula yang memberikan batasan bahwa hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan- aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas diplomatik.4

Diplomasi dapat berarti politik luar negeri, misalnya jika dikatakan diplomasi Republik Indonesia di Afrika perlu ditingkatkan, dapat pula berarti perundingan, misalnya jika dikatakan masalah timur tengah hanya dapat diselesaikan melalui diplomasi, dan sebagainya.

Bertolak dari itu semua, diplomasi merupakan cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui, di mana praktik-praktik semacam itu telah diakui sejak dahulu.

Diplomasi berarti menggunakan segala kebijaksanaan dan kecendikiawanan dalam melaksanakan dan memelihara perhubungan-perhubungan resmi antara pemerintah-pemerintah dan negara-negara yang merdeka. Ada berbagai definisi dari diplomasi, apabila dilihat rumusan pokok, bahwa diplomasi adalah pengadaan hubungan antara pemerintah dengan cara perdamaian.

3 Eileen Denza, Diplomatic Law, Commentary on The Vienna Convention on Diplomatic Relations, Oceania Publication, Inc. Dobbs Ferry, New York, 1976, sebagaimana dikutip dalam buku Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 2005, hlm.1

4 Edmund Jan Osmanczyk, Encyclopedia of The United Nations and International Agreement, Taylor And Francis, London, 1995, sebagaimana dikutip dalam buku Sumaryo Suryokusumo, Ibid.

(12)

Perwakilan diplomatik merupakan wakil resmi untuk mewakili negara asalnya dalam melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau suatu organisasi internasional. Perwakilan diplomatik di suatu negara ini dikepalai oleh seorang duta dari suatu negara yang diangkat melalui surat pengangkatan atau surat kepercayaan (letter of credentials). Dimulai sejak abad ke-16 dan 17 dimana negara-negara di Eropa sudah mulai melakukan pertukaran duta-duta besarnya secara permanen dan hal ini sudah dianggap umum pada saat itu, hal mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik sudah dapat diterima dalam praktik negara-negara. Pada abad ke- 17 sudah dianggap sebagai suatu kebiasaan internasional. Selanjutnya pada pertengahan abad ke- 18 aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan termasuk harta milik, gedung perwakilan, dan komunikasi diplomat.5

Tugas perwakilan diplomatik secara umum adalah untuk mewakili kepentingan negara pengirim di negara penerima dan menjadi penghubung antar pemerintahan kedua negara. Berdasarkan pada Pasal 3 Konvensi Wina 1961, tugas seorang perwakilan diplomatik meliputi:6

1. Mewakili negara pengirim di negara penerima

2. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum internasional

5 Febi Hidayat, Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Ditinjau Dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan KBRI di Myanmar Tahun 2004), Skripsi FAkultas Hukum Universitas Andalas 2011, hlm. 5

6 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1961, Pasal 3

(13)

3. Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima

4. Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada negara pengirim

5. Meningkatkan hubungan persahabatan antar dua negara serta mengemabangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, perwakilan diplomatik memerlukan hak kekebalan dan keistimewaan demi keamanan dan kelancaran diplomat menjalankan tugasnya.

Pada mulanya pelaksanaan pemberian kekebalan diplomatik bagi para diplomat pada hakekatnya merupakan hasil sejarah diplomasi yang sudah lama sekali dimana pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan internasional.

Sesuai dengan aturan kebiasaan-kebiasaan dalam hukum internasional, para diplomat yang mewakili negara memiliki kekebalan yang kuat dari yurisdiksi negara pengirim. Kekebalan-kekebalan ini sering diberikan secara jelas dalam undang-undang maupun peraturan negara pengirim, dan kadang-kadang diberikan juga lebih banyak dari yang sudah ditentukan dalam hukum internasional.7

Kekebalan dibedakan dengan keistimewaan. Kekebalan yang diberikan baik kepada gedung perwakilan diplomatik maupun para pejabat diplomatik beserta keluarganya membuat mereka tidak bisa diganggu gugat oleh aparat keamanan negara penerima, serta harus dilindungi dan dicegah dari segala

7 Edi Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Penerbit Mandar Jaya Solo, 1992 hlm.20

(14)

gangguan. Sedangkan keistimewaan yang juga dinikmati oleh perwakilan diplomatik dan para diplomat dan keluarganya tersebut menyangkut pembebasan mereka dari semua bea masuk, pungutan dan pajak-pajak baik untuk barang bergerak maupun barang tidak bergerak, biaya-biaya lainnya, termasuk bea masuk untuk pembelian barang-barang yang diimport.8

Kekebalan diplomatik yang melekat pada pejabat diplomatik berdasarkan pada Konvensi Wina Tahun 1961 secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu:

1. Kekebalan terhadap yurisdiksi pidana

2. Kekebalan terhadap yurisdiksi perdata

3. Kekebalan terhadap perintah pengadilan setempat

4. Kekebalan dalam mengadakan komunikasi

5. Kekebalan gedung dan tempat kediaman perwakilan diplomatik

Seiring dengan perkembangannya di dalam dinamika hubungan diplomatik, kejadian yang tidak dapat dihindari yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan perlindungan pejabat diplomatik.9 Salah satu pelanggaran yang tidak jarang terjadi berkaitan dengan kekebalan diplomatik adalah perlakuan atau

8 Perserikatan Bangsa-Bangsa, op. cit, Pasal 34 dan 36

9 Mohammad Firdaus Kurnia, TanggungJawab Pemerintah Libya Terhadap Serangan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Benghazi Libya Tahun 2012, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hlm. 9

(15)

kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan.10

Banyak kasus mengenai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Salah satunya adalah dilakukannya penyidikan dan penggeledahan tempat dan kantor kediaman diplomatik Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki oleh aparat polisi Turki. Kasus ini berawal dari hilangnya seorang jurnalis berkewarganegaraan Arab Saudi bernama Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki. Pada tanggal 2 Oktober 2018, Jamal Kashoggi mendatangi Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki untuk mengurus surat dan berkas pernikahan. Tetapi Jamal Kashoggi tidak pernah terlihat lagi setelah memasuki gedung konsulat tersebut. Hal ini membuat tunangan Jamal Kashoggi, Hatice Cengiz, yang berkewarganegaraan Turki melaporkan hal tersebut kepada pihak kepolisian Turki dengan laporan orang hilang. Kepolisian Turki menduga bahwa Jamal Kashoggi telah dibunuh di dalam gedung konsulat. Pada tanggal 15 Oktober 2018 Tim Forensik Turki mulai melakukan penyelidikan di dalam Konsulat Arab Saudi. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Turki ini merupakan suatu hal yang besar, disebabkan mengingat bahwa kantor konsulat merupakan bagian dari keduataan Arab Saudi. Keputusan Pemerintah Turki mengadakan penyelidikan tersebut mendapat banyak perhatian internasional.

Dimana hal ini merupakan kajian hukum diplomatik yaitu kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik, khususnya mengenai kekebalan tempat dan kantor kediaman pejabat diplomatik berdasarkan hukum internasional.

10 Ibid

(16)

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini penting karena hal-hal berikut:

1. Banyaknya kasus pelanggaran terhadap kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik yang terjadi

2. Untuk mengetahui solusi yang benar berdasarkan hukum internasional dalam penyelesaian kasus tersebut

3. Untuk menjadi bahan referensi Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus yang serupa di kemudian hari.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang dapat dipaparkan antara lain:

1. Bagaimana tata cara pengangkatan dan kewenangan pejabat diplomatik menurut hukum internasional?

2. Bagaimana bentuk pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik?

3. Bagaimana kekebalan diplomatik kantor dan tempat kediaman dalam kasus Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki berdasarkan hukum internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sesuai dengan judul pokok permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah:

(17)

1. Untuk mengetahui tata cara pengangkatan dan kewenangan pejabat diplomatik menurut hukum internasional

2. Untuk mengetahui bentuk pelanggaran atas hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik

3. Untuk menganalisa dan mengetahui kekebalan diplomatik kantor dan tempat kediaman dalam kasus Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki berdasarkan hukum internasional

Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Memberikan pemahaman terhadap adanya prinsip-prinsip yang harus ditaati dalam hubungan diplomatik yang dilaksanakan antar negara sesuai dengan Konvensi Wina 1961 dan 1963 serta menambah pengetahuan kita bersama dalam mendalami dan mempelajari hukum internasional secara umum dan hukum diplomatik secara khusus tentang kekebalan diplomatik tempat dan kantor kediaman pejabat diplomatik. Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka yang membahas tentang kekebalan diplomatik dalam hukum internasional terkait kasus Jamal Kashoggi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam permasalahan yang terjadi menyangkut kekebalan diplomatik

(18)

para delegasi Indonesia di Konsulat Jenderal Republik Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi bagi masyarakat.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian skripsi dengan judul

“Analisis Hukum Internasional tentang Kekebalan Diplomatik Kantor Kediaman dan Tempat Kediaman (Studi Kasus: Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan merupakan hasil karya yang dapat dipertanggungjawabkan.

Namun terdapat 2 (dua) penelitian hukum yang dianggap sama dalam segi tema dan pembahasan. Berikut ini akan dipaparkan kedua judul tersebut berdasarkan rumusan masalahnya yang berbeda dengan penelitian hukum ini:

1. Natasa Fransiska Elisabeth Siahaan, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM: 090200098, dengan judul “Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik atas Duta Besar Italia yang Ditahan di India Ditinjau dari Hukum Internasional”, dalam rumusan masalah:

a) Bagaimana pengakuan hak-hak diplomatik dalam hukum internasional?

b) Bagaimana penyelesaian pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik ditinjau dari hukum internasional?

c) Bagaimana kasus pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki seorang duta besar Italia di India?

(19)

2. Mila Lailyana, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM: 110200068, denagn judul “Pelanggaran Hak Atas Kekebalan Diplomatik Pejabat Missi Diplomatik oleh Negara Penerima”, dalam rumusan masalah:

a) Bagaimana praktek negara penerima dalam penerapan kekebalan diplomatik terhadap anggota missi diplomatik?

b) Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran atas kekebalan diplomatik oleh negara penerima terhadap staf missi deplomatik?

c) Bagaimana penyelesaian kasus penangkapan staf diplomat India oleh kepolisian Amerika Serikat?

3. Febi Hidayat, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, NIM:

06140196, dengan judul ”Pertanggungjawaban Negara atas Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Ditinjau dari Aspek Hukum Internasional”, dalam rumusan masalah:

a) Bagaimanakah pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak kekekbalan diplomatik ditinjau dari hukum internasuional (Konvensi Wina 1961)?

b) Bagaimanakah kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 dari Konvensi Wina 1961?

(20)

c) Bagaimanakah penyelesaian kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau ddari Konvensi Wina 1961?

Dalam pemaparan di atas ternyata judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa dengan yang ditulis saat ini. Penulisan ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman selama berada di bangku kuliah terutama saat berada di Jurusan Departemen Hukum Internasional.

Dalam penelitian ini skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan- bahan, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan disamping itu dilakukan juga penelitian.

Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini maka dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

F. Tinjauan Pustaka

Definisi hukum internasional dapat disimpulkan sebagai seperangkat sistem yang terdiri dari aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional antara negara-negara berdaulat maupun subjek-subjek hukum

(21)

internasional lainnya.11 Lebih singkat lagi, Steven Wheatley menyatakan hukum internasional sebagai hukum yang diterapkan antara negara-negara.

Definisi hukum internasional oleh J. G. Starke yang dapat melampaui batasan tradisional hukum internasional menyatakan bahwa hukum internasional sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka atau sama lain.12

Hampir semua negara pada saat ini diwakili di wilayah negara-negara asing oleh utusan-utusan diplomatik. Langkah-langkah utama dalam membangun misi diplomatik adalah mengangkat kepala misi, memperoleh tempat untuk misi dan tempat tinggal untuk kepala, mengangkat staf dan menempatkan staf tersebut di tempat sarana praktis dari operasi, seperti komunikasi dan transportasi. Karena signifikansi representional dan fungsional dari kepala misi, prosedur yang lebih rumit diperlukan untuk penunjukan daripada untuk diplomat lainnya.13

Pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam instrumen- instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun konvensi-konvensi sebagai

11 Martin Dixon, International Law Fourth Edition, Blackstone Press Limited, London, 2000, hlm.2

12 J. G. starke, Pengantar Hukum Internasioanl Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.3

13 Richard k. Gardiner, International Law, ( Harlow Pearson Education Limited, 2003), hlm. 348

(22)

hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional secara progresif.14

Dewasa ini sebagai landasan yuridis untuk membuka hubungan diplomatik antar negara dapat dipergunakan ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1961 yang menggariskan : “the establishment of diplomatic relations between states, and of permanent diplomatic missions, take place by mutual consent.”

Pasal 2 konvensi ini hanya menyatakan syarat-syarat terbentuknya suatu hubungan diplomatik itu sendiri, berdasarkan pasal tersebut, dapat dilihat bahwa kesepakatan bersama (mutual consent) merupakan syarat mutlak berdirinya suatu hubungan diplomatik, baik oleh antar negara maupun oleh misi diplomatik yang permanen.

Sebelum memahami tugas dan fungsi perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961, maka ada baiknya pula dilihat dan dipahami beberapa pendapat sebagaimana yang dikemukakan di bawah ini:

Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pada pokoknya hanya terdapat tiga tugas yang wajib dilakukan oleh perwakilan diplomati, yaitu: negotiation, observation, dan protection.15

Dalam hal negosiasi, harus mengemukakan pandangan dan kepentingan negaranya terhadap situasi ataupun perkembangan dunia pada saat itu kepada negara penerima.

Dalam penagamatan (observation), harus mampu mengemukakan secara seksama atas segala kejadian di negara penerima yang mungkin dapat

14 Syahmin A.K, Hukum Diplomatik, PT Raja Grafindo Parsada, Jakarta, 2008, hlm. 3

15 Oppenheim-Lauterpacht, iInternational Law, Vol. 8th edition, (London-New York Longmans Green & Co, 1960), hlm. 785-786

(23)

mempengaruhi kepentingan nasional negaranya. Bahkan jika dianggap perlu melaporkan tentang hal-hal tersebut kepada pemerintah negaranya.

Dalam hal proteksi, harus mampu memberi perlindungan kepada diri dan badan hukum maupun harta benda negaranya dan termasuk pula dengan kepentingan negaranya dengan memperhatikan dan mengindahkan pengaturan- pengaturan hukum internasional dalam hal tersebut.

Fungsi-fungsi atau tugas-tugas yang akan dilakukan oleh missi sudah diakui secara umum di masa lampau, dan telah dirumuskan di dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan Diplomatik, yang terdiri atas:16

1. Mewakili negara pengirim dalam negara penerima

2. Melindungi kepentingan-kepentingan dan warga negara pengirim di negara penerima di dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum internasional

3. Mengadakan negosisasi dengan negara penerima

4. Menentukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum, keadaan, dan perkembangan di negara penerima dan memberi laporan tentang itu kepada pemerintah negara penerima

5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan sosial mereka.

16 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Jakarta, Djambatan, 2002, hlm. 94

(24)

Agar diplomat dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik maka diperlukan hak kekebalan dan keistimewaan di negara penerima maupun negara ketiga. Hak kekebalan dan keistimewaan ini tidak hanya berlaku untuk diplomat saja tetapi untuk keluarga, anggota staf diplomat, maupun pembantu diplomat.

Adapun hak kekebalan dan keistimewaan tersebut adalah:

1. Kekebalan mengenai diri pribadi

Ketentuan tentang kekebalan pribadi diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961, menyatakan “the person of diplomatic agent shall be inviolable. He shall no be liable to any form of arrest or detention. The receiving state shall treat him with due respect and shall the propriate steps to prevent and attack on his person freedom or dignity”. Dapat diartikan bahwa pejabat diplomatik adalah inviolable, tidak dapat ditangkap atau ditahan.

2. Kekebalan keluarga seorang pejabat diplomatik

Ketentuan mengenai kekebalan keluarga diplomatik terdapat dalam Pasal 37 ayat 1 Konvensi Wina 1961, menyatakan “the members of family of diplomatic agent forming part of his household shall, if they are not nationals of the receiving state, enjoy the previliges and immunities specifies in article 29 to 36”. Artinya anggota keluarga dari seorang pejabat diplomatik yang merupakan bagian dari rumah tangganya, yang bukan berwarganegara penerima akan menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 sampai 36.

3. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi

(25)

Dalam Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuan yang berbunyi sebagai berikut. “a diplomatic agent is not obliged to give as a witness”, maka seorang diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk menjadi saksi di muka pengadilan negara setempat, baik yang menyangkut perkara perdata maupun menyangkut perkara pidana, dan administrasi.

4. Kekebalan korespondensi

Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Pada intinya berisi tentang hak untuk berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan surat-menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubungan komunikasi.

5. Kekebalan kantor perwakilan asing dan tempat kediaman seorang pejabat diplomatik

Secara jelas terdapat dalam Pasal 22 dan 30 Konvensi Wina 1961. Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas kantor perwakilan dan tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina 1961.

6. Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit 7. Perjalanan karena force majeure

8. Pembebasan pajak-pajak

9. Pembebasan dari bea cukai dan bagasi 10. Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial

(26)

11. Pembebasan dari pelayanan pribadi, umum dan militer 12. Pembebasan dari kewarganegaraan.

Menurut J. G. Starke, sebuah pejabat diplomatik dapat berakhir dengan cara yang berbeda-beda di antaranya:17

1. Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang menirimnya.

Surat penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang memberitahukan penarikan.

2. Pemberitahuan oleh negara pengirim kepada negara penerima bahwa tugas perutusan itu telah berakhir (Pasal 43 Konvensi Wina 1961)

3. Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled). Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina 1961), akan tetapi seperti kasus permintaan Australia pada bulan juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali ke negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tentang tuduhan tindakan yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu tertentu untuk keberangkatannya ( sepuluh hari seperti yang dinyatakan dalam permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas ). Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara tegas diisyaratkan oleh Konvensi Wina 1961.

17 J. G. Starke, Op.Cit, hlm. 571-572

(27)

4. Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara pengirim dan negara penerima

5. Pemeberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak mengakuinya lagi sebagai anggota misi ( Pasal 9 dan 43 Konvensi Wina 1961 )

6. Tujuan misi tersebut telah berakhir

7. Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya untuk waktu terbatas

Kekebalan diplomatik merupakan hal yang penting bagi pejabat diplomatik dari negara-negara dalam melakukan hubungannya dengan negara lain dalam melakukan diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut.

Sehubungan dengan itunterdapat tiga teori menegnai landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik luar negeri yaitu sebagai berikut:

1. Teori Ekstrateritorial (Exterritotiality Theory)

Teori ini menganggap bahwa meskipun para diplomat secara konkret ada/tinggal di negara penerima, tetapi secara yuridis dianggap ada di luar wilayah negara penerima yaitu tetap tinggal di negara pengirim. Sebagai konsekuensi alur pemikiran tersebut, para anggota diplomatik tidak tunduk dan tidak dikuasai oleh hukum negara penerima, tetapi tetap tunduk pada hukum negara pengirim.

(28)

Dengan demikian, menurut teori tersebut seluruh perwakilan dan perabot yang ada di dalamnya termasuk orang-orang yang mendiami gedung perwakilan dianggap sebagai perluasan dari wilayah negara pengirim.

2. Teori Diplomat Sebagai Wakil Negara Berdaulat atau Wakil Kepala Negara (Representative Character)

Dalam Bahasa Indonesia diartikan teori sifat seorang diplomat sebagai wakil negara berdaulat, atau teori sifat perwakilan. Menurut teori tersebut, diplomat dianggap sebagai simbol atau lambang negara pengirim sekaligus wakil negara pengirim di negara penerima karena itu segala perbuatan diplomat harus dianggap sebagai pencerminan kehendak negara pengirim

3. Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity Theory)

Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik perlu diberikan kepada diplomat agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga hasil pekerjaannya memuaskan negara penerima dan negara pengirim.

Negara penerima wajib menjaga keamanan dan keselamatan para diplomat yang bertugas di negaranya baik dari warga negara penerima maupun warga negara asing. Tetapi pada saat sekarang ini makin banyak kasus pelanggaran tersebut adalah:

1. Pelanggaran terhadap gedung perwakilan diplomatik

2. Pelanggaran kebebasan komunikasi 3. Penistaan lambang negara

4. Penangkapan dan penahanan terhadap staf misi diplomatik

(29)

Salah satu pelanggaran kasus yang menjadi perbincangan dunia internasional saat sekarang ini adalah penyidikan dan penggeledahan tempat kediaman dan kantor kediaman Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki oleh polisi Turki dengan tuduhan pembunuhan berencana atas korban yang bernama Jamal Kashoggi yang dilakukan oleh utusan misi Arab Saudi.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu bertujuan dengan menganalisa.

Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.18

Dalam penelitian ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian.

Terdapat banyak jenis penelitian, khusunya penelitian hukum, jenis dan sifat penelitian yang paling popular dikenal adalah:19

a. Penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau hanya menggunakan data sekunder belaka.

18 Soerjono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2006, hlm.43

19 Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penelitian Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hlm.23-24

(30)

b. Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama meneliti data primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari perpustakaan.

Maka untuk melengkapi penelitian ini agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan tujuan skripsi ini, maka digunakan metode penelitian hukum normatif. Metode Yuridis Normatif digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku yang mengatur tentang hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik yang berbentuk konvensi- konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional.

Penelitian hukum normatif ini mempergunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh melalui perpustakaan baik Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maupun Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan referensi-referensi lain terkait dengan judul skripsi ini.

Sifat penelitian ini bersifat deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.20

2. Sumber Data Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini mempergunakan data sebagai berikut:

A. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang diperoleh dari ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berupa:

20 Soerjono Soekanto, op. cit, hlm.10

(31)

1. Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik 2. Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler

3. Konvensi New York 1969 mengenai Misi Khusus

4. Konvensi New York 1973 menegenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap Orang-Orang yang Menurut Hukum Internasional termasuk Para Diplomat

B. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, seperti buku-buku literatur yang terkait dengan penelitian ini, makalah hukum, koran, jurnal hukum, artikel-artikel media cetak, karya tulis ilmiah lainnya, dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

C. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang, memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder yang terdiri dari Kamus Hukum, Ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Teknik

(32)

pengumpulan data ini dilakukan agar mendapatkan hasil yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen.

4. Analisis Data

Metode analisa data yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah dengan pendekatan kualitatif, yaitu analisis data yang tidak membutuhkan populasi dan sampel dengan berdasarkan kualitas data untuk memperoleh gambaran permasalahan secara mendalam dan komprehensif. Kemudian selanjutnya ditarik kesimpulandengan menggunakan metode deduktif, yakni berpikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.21

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian atau gambaran isi yang dimaksud adalah mengemukakan garis-garis besar dari uraian penelitrian. Secara garis besar pembahasan penelitian ini akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan masalah-masalah tersendiri secara sistematis dan berhubungan antara satu bab dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.

Pembagian tersebut diharapkan akan mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti pembahasan secara keseluruhan. Adapun sistematika penelitiannya dalah sebagai berikut:

21 H. Salim, HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm.19

(33)

Bab pertama merupakan dasar dalam pembuatan penelitian ini, dalam bab ini membahas tentang latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian skripsi ini, tnjauan kepustakaan, dan metode penelitian yang digunakan sampai kepada sistematika penelitian.

Bab kedua menjelaskan tentang prosedur tata cara pengangkatan dan kewenangan pejabat diplomatik, meliputi sejarah timbulnya diplomatik dan perkembangannya,serta dasar-dasar hukum diplomatik berdasarkan konvensi- konvensi internasional.

Bab ketiga menguraikan tentang bentuk pelanggaran atas hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik, meliputi latar belakang timbulnya kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik, serta dasar teoritis dan yuridis dari kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik.

Bab keempat menguraikan tentang analisis kekebalan kantor kediaman dan tempat kediaman pejabat diplomatik dalam kasus Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki, meliputi sejarah hubungan diplomatik Arab Saudi-Turki, serta pengaturan tentang kekebalan diplomatik tempat dan kantor kediaman pejabat diplomatik.

Bab kelima yang merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini akan membahas mengenai kesimpulan dan selanjutnya akan ditulis saran yang berkaitan dengan Analisis Hukum Internasional tentang Kekebalan Diplomatik Kantor Kediaman dan Tempat Kediaman ( Studi Kasus: Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki) yang diharapkan dapat bermanfaat.

(34)

BAB II

ASPEK HISTORIS DAN NORMATIF DARI PEJABAT DPLOMATIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah Diplomatik dan Perkembangannya

Diplomasi meski dapat dikatakan sebagai cara yang beradab dan cukup modern dalam meraih national interest, namun ternyata hal yang cukup modern tersebut sudah ada sejak zaman prasejarah22. Black mengungkapkan bahwa pada era itu, bahkan beberapa milenium sebelum Masehi, jejak-jejak diplomasi sudah dapat ditemukan di wilayah Mesopotamia. Penemuan yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa diplomasi berawal dari Mesopotamia adalah ditemukannya dokumen Amarna di bekas reruntuhan istana kerajaan Mesir pertengahan abad ke- 14 sebelum Masehi pada tahun 1887 yang terdiri dari 350 huruf yang membuktikan adanya jaringan diplomatik yang luas dan dinamikanya yang cukup maju juga adanya saling ketergantungan antara kekuatan-kekuatan besar kala itu.

Teks dokumen tersebut secara keseluruhan membahas mengenai status, prestise, dan ranking. Semuanya dibagi dalam dua kondisi, kondisi absolut yaitu vis a vis Mesir, dan kondisi relatif yaitu vis a vis dengan relasi Mesir yang lain. Akar dari kiasan tersebut termasuk pemberian hadiah, dan ikatan darah melalui pernikahan antar bangsawan dimana secara status seharusnya dipandang sederajat namun kenyataannya tidak, hal ini tidak sedikit disebabkan oleh ikatan pernikahan semacam itu yang memang tidak sesuai dengan dasar kebudayaan masyarakat Mesir, ditambah lagi dengan pertimbangan peringkat yang dibumbui dengan

22 Black Jeremy, A History of Diplomacy, Reaction Books Ltd., 2010, hal. 17

(35)

prestise. Meski begitu, metode diplomasi dengan perkawinan antar bangsawan tersebut tetap bertahan dan terus berlangsung hingga abad ke-19. Menurut Black, diplomasi pada era Amarna tersebut cukup kasar atau kurang bersahaja karena tidak mampu menyediakan komunikasi yang jelas dan bernuansa.23

Beralih pada diplomasi era Yunani Kuno, diplomasi dari negara ini merupakan diplomasi yang khas dan unik. Bangsa yunani mendapatkan keterampilan berdiplomasi melalui perserikatan antar negara kota yang mereka bentuk, selain itu Yunani Kuno juga mempunyai proxenoi yaitu warga dari sebuah kota yang bertugas untuk mewakili kepentingan kota lain di kota tersebut, sebagai contoh seorang warga Athena mewakili kepentingan Corinth di kota Athena24.

Namun, Black juga mengatakan bahwa informasi yang buruk dan dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dari para proxenoi tersebut telah mengakibatkan Athena dan Mytilene jatuh kedalam konflik. Diplomasi Yunani Kuno sangat kental dengan nuansa teleologis dimana hal ini mengakibatkan timbulnya batasan- batasan terhadap diplomasi Yunani itu sendiri,dan dalam prakteknya, hal ini juga menjadi penghalang terhadap renaissance di Italia. Namun, dalam praktek diplomasi Yunani tersebut dapat dikatakan menguntungkan seorang diplomat, karena pada era itu seorang utusan atau diplomat dianggap sebagai orang suci.25 Persia, adalah masalah besar bagi diplomasi Yunani Kuno. Invasi Persia yang didorong oleh semangat ekspansionis dan rasa haus atas tanah dan air menjadikan Persia menerapkan segala cara untuk menaklukkan Yunani. Praktik diplomasi yang dilakukan oleh persia bahkan jauh lebih canggih lagi dibandingkan dengan

23 Ibid, hal. 19

24 Ibid, hal. 20

25 Ibid, hal. 21

(36)

Yunani, selain menerapkan diplomasi yang kasar yang berisi ancaman-ancaman, persia juga menerapkan diplomasi secara halus. Gaya diplomasi tersebut dibawa masuk ke Yunani pada tahun 480 sebelum Masehi oleh utusan-utusan dari Persia dibawah komando Raja Xerxes dari dinasti Achaemenid. Dalam perkembangannya, kombinasi antara dua gaya diplomasi tersebut dipandang sangat relevan dan diterapkan pada imperium-imperium lain seperti Cina, dan Britania Raya pada abad ke-19.26

Terbelahnya Kekaisaran Romawi menjadi Kekaisaran Romawi Barat dan Kekaisaran Romawi Timur dan jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat yang kemudian digantikan oleh kerajaan-kerajaan barbarian seperti Francia, secara tidak langsung menjadikan gereja tampil sebagai kekuatan supra-nasional bahkan lebih dari itu, gereja juga dikenal sebagai pusat berkumpulnya orang-orang terdidik dan memiliki pengetahuan yang luas tentang politik. Dalam era ini, tentu saja nilai-nilai Kristianitas sangat berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan internasional termasuk mempengaruhi diplomasi itu sendiri.

Black juga mengatakan bahwa Kristianitas atau Christendom tersebut sering diartikan sebagai persiapan untuk menghadapi Crusade atau perang salib. Dengan mengatasnamakan tugas keagamaan, para diplomat pada era pertengahan sering kali diuntungkan karena dapat terbebas dari hambatan-hambatan yang dapat menghalangi proses diplomasi. Pada akhir abad ke 12 hingga awal abad ke 13, merupakan sebuah titik penting bagi perkembangan diplomasi. Saat itu, hukum yang berlaku di kerajaan Romawi mengatur bahwa raja yang sedang berkuasa

26 Ibid, hal. 18

(37)

diberikan wewenang untuk menunjuk seorang utusan untuk mengemban tugas khusus27. Menurut Black, kemampuan untuk mempercayakan suatu tugas khusus terhadap orang lain yang kita tunjuk tidak secara spesifik merujuk kepada diplomasi, akan tetapi hal itu merupakan bagian esensial dari kultur dan praktik dari diplomasi itu sendiri.28

Pada era abad pertengahan tersebut terdapat Papacy Diplomacy atau diplomasi Paus. Paus dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh dalam perputaran diplomasi pada era itu karena masyarakat yang saat itu sangat patuh pada gereja menganggap Paus sebagai perwakilan tertinggi tuhan di dunia. Selain itu adanya konsep kepercayaan persatuan kristen menjadikan pengaruh Pope‟s Diplomacy semakin kuat. Namun pengaruh diplomasi paus segera meredup setelah adanya era pencerahan dan Perjanjian Westphalia yang melahirkan sistem negara modern yang berdaulat dan tidak lagi tunduk terhadap gereja. Dalam era ini, fungsi diplomasi masih sama, yaitu sebagai “the art of survival” bagi negara-negara berdaulat.

Sejarah tentang hukum diplomatik kemudian bergulir dengan adanya Perjanjian Whespalia, yang merupakan awal perkembangan hukum diplomatik, sebab saat itu pula perwakilan-perwakilan diplomatik kemudian bersifat permanen, utusan- utusan diplomatik kemudian mulai diangkat, dikirim dan dipercayakan pada negara lain.29

27 Ibid, hal. 23

28 Ibid, hal. 24

29 Robyansyah, Sejarah dan Perkembangan Hukum Diplomatik dan Istilah-istilah dalam Hubungan Internasional, Jurnal Fakultas hukum Pontianak, hlm. 3

(38)

B. Sumber Hukum Diplomatik dan Pelaksanaan Hukum Diplomatik

Secara garis besar sumber-sumber hukum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Selain itu sumber hukum juga dapat diyinjau dari dua segi, yaitu materiil dan formil.30 Sumber hukum materiil dapat ditinjau dari berbagai sudut, misalnya ekonomi, sejarah, sosiologi, dan filsafat. Sedangkan sumber hukum formal adalah:31

1. Undang-undang

Undang-undang merupakan suatu peraturan negara yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa.

2. Kebiasaan

Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dan diterima oleh masyarakat. Sehingga perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap perasaan hukum yang terdapat dalam masyarakat.

3. Keputusan-keputusan Hakim

Kehadiran keputusan hakim atau yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia dimulai pada masa Hindia Belanda. Pada masa tersebut yang menjadi peraturan pokok adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia) atau yang disingkat AB. Pasal 23 AB menentukan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan tidak

30 C. S. T. Kamsil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 19

31 Ibid

(39)

menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak untuk mengadili. Dengan demikian seorang hakim berhak membuat peraturan sendiri demi menyelesaikan suatu perkara.

4. Traktat

Apabila dua orang sepakat untuk melakukan sesuatu, maka mereka harus tunduk pada kesepakatan yang telah mereka buat tersebut. Asas ini dikenal dengan sebutan pacta sun servanda. Pada tingkat yang lebih tinggi, yakni tingkat negara asas tersebut juga berlaku. Apabila dua negara tersebut melakukan traktat, maka seluruh warga kedua negara tersebut harus mentaati isi traktat tersebut.

5. Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

Doktrin berkaitan erat dengan yurisprudensi. Dalam memutus sebuah perkara, hakim seringkali mengutip pendapat para sarjana yang dipandang memilii kemampuan dalam persoalan yang ditanganinya. Sehingga doktrin atau pendapat para sarjana yang ternama mempengaruhi keputusan yang diambil oleh hakim.

Penjelasan di atas merupakan sumber hukum dalam hal umum. Penelitian ini lebih banyak mengambil sumber-sumber hukum internasional dikarenakan berhubungan dengan topik pembahasan yang penulis teliti.

Sumber hukum internasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum material dan sumber hukum formal. Sumber hukum dalam arti material berusaha untuk menjelaskan apakah yang pada hakikatnya menjadi dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional, sedangkan sumber hukum dalam arti formal memberi jawaban dari pertanyaan di manakah kita mendapatkan ketentuan-

(40)

ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang konkret.

1. Sumber Hukum Material

Sumber hukum dalam arti material membahas dasar berlakunya hukum, mengapa hukum itu mengikat. Untuk menjawab pertanyaan ini ada dua aliran, yaitu naturalis dan positivisme. Aliran naturalis berpandangan bahwa prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum berasal dari prinsip-prinsip hukum alam (hukum Tuhan) yang berlaku universal. Menurut aliran ini, Tuhan mengajarkan bahwa umat manusia dilarang berbuat jahat dan sebaliknya harus berbuat baik antara yang satu dan yang lainnya demi keselamatan bersama. Tokoh utama aliran ini ialah Hugo de Groot (Grotius), sedangkan tokoh-tokoh lainnya, yaitu Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez, dan Alberico Gentilis. Aliran positivisme mendasarkan berlakunya hukum internasional pada persetujuan negara-negara untuk mengikatkan diri pada kaidah-kaidah hukum internasional tersebut. Aliran positivis berpandangan bahwa hukum yang mengatur hubungan-hubungan antarnegara merupakan prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara atas kemauan mereka sendiri.

2. Sumber Hukum Formal

Sumber hukum formal membahas asal ketentuan-ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang konkret. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, sumber hukum internasional dalam arti formal adalah sumber dari mana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum

(41)

internasional.32 Sumber hukum internasional dalam arti formal merupakan sumber hukum internasional yang paling utama dan memiliki otoritas tertinggi serta otentik yang dapat dipergunakan oleh Mahkamah Internasional di dalam memutuskan suatu sengketa internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu:33

a. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan;

b. Kebiasaan-kebiasaan internasonal sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;

c. Asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;

d. Keputusan pengadilan dan ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber hukum tambahan dalam menetapkan kaidah-kaidah hukum.

Dalam pergaulan masyarakat, negara sudah mengenal semacam misi-misi konsuler dan diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang dikenal sekarang pada abad ke-16 dan ke-17, dan penggolongan Kepala Perwakilan Diplomatik telah ditetapkan dalam Kongres Wina 1815 sebagai berikut :34

1. Duta-duta besar dan para utusan (ambassadors and legate)

32 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit

33 Statuta Mahkamah Internasional

34 Mahkamah, Pengertian, Sejarah, dan Sumber Hukum Diplomatik, ( Artikel Lepas ) Tahun 2015, sebagaimana dimuat dalam buku S.M. Noor, Buku Ajar Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional, Pustaka Pena Press, Makassar, 2016, hal. 7

(42)

2. Minister plenipoteniary dan envoys extraordinary 3. Kuasa Usaha (charge d' affaires)

Setelah PBB didirikan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi Hukum Internasional. Setelah tiga puluh tahun (1949-1979), komisi telah menangani 27 topik dan subtopik hukum internasional, 7 diantaranya

adalah menyangkut hukum diplomatik, yaitu :35 1. Pergaulan dan kekebalan diplomat 2. Pergaulan dan kekebalan konsuler 3. Misi-misi khusus

4. Hubungan antara negara bagian dan organisasi internasional

5. Masalah perlindungan dan tidak diganggu gugatnya pejabat diplomatik dan orang lain yang memperoleh perlindungan khusus menurut hukum internasional

6. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang diikutsertakan pada kurir diplomatik;

7. Hubungan antara negara dengan organisasi internasional

Hingga kini setidaknya ada lima aturan internasional yang menjadi rujukan

35 Ibid., hal. 8

(43)

dalam melakukan hubungan diplomatik antar negara. Penelitian ini berfokus hanya kepada 3 (tiga) sumber hukum dalam hal ini konvensi internasional yang akan dibahas dalam kaitan permasalahan yang sedang penulis teliti, yaitu:36

1. Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik

Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci. Konvensi Wina 1961 atau biasa disebut dengan Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara.

Terdapat juga 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa. Salah satu isi dari protokol tambahan Konvensi Wina 1961.

Pada Pasal 2 Protokol Pilihan Konvensi Wina 1961 tentang Perolehan Kewarganegaraan menyebutkan:37

36 Ibid.

(44)

“Members of the mission not being nationals of the receiving State, and members of theirs families forming part of their household, shall not, solely by the operation of the law of the receiving State, acquire the natonality of that State.”

Pasal 2 di atas pada intinya mempunyai kesimpulan, anggota-anggota misi diplomatik beserta keluarganya yang bukan warganegara negara penerima tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima dan memberlakukan hukum negara penerima tersebut.

Sedangkan pada Protokol Pilihan Konvensi Wina 1961 tentang Penyelesaian Memaksa Atas Perselisihan menyatakan dengan tegas menyatakan apabila antar negara terjadi perselisihan makanya dapat diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Hal ini diatur dalam Pasal 1, yaitu:38

“Disputes arising out of the interpretation or application of the Convention shall lie within the compulsory jurisdiction of International Court of Justice and may accordingly be brought before the Court by an application made by any party to the dispute being a party tothe present Protocol.”

Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes).

Pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan

37 United Nation, Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality in Vienna Convention 1961, Article II

38 United Nation, Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes in Vienna Convention 1961, Article I

(45)

keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka.

Pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.

Pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik sudah lama diadakan yaitu sejak Kongres Wina Tahun 1815 yang diubah oleh Protokol Aixla Chapelle tahun 1818. Kemudian atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa diadakan konferensi mengenai hubungan diplomatik di Wina dari tanggal 2 Maret 1961.

Konferensi tersebut membahas rancangan pasal-pasal yang dipersiapkan oleh Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menerima baik suatu Konvensi mengenai Hubungan diplomatik, yang terdiri dari 53 pasal yang mengatur hubungan diplomatik, hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalannya.

Konvensi yang mencerminkan pelaksanaan hubungan diplomatik ini akan dapat meningkatkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa di dunia tanpa membedakan ideologi, sistim politik atau sistim sosialnya. Konvensi menetapkan antara lain maksud memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik tersebut tidaklah untuk kepentingan perseorangan, melainkan guna menjamin kelancaran pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik sebagai wakil negara.

Indonesia dapat menerima seluruh isi Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh Kewarganegaraan dan Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh Kewarganegaraan, kecuali Protokol Opsional mengenai Penyelesaian sengketa Secara Wajib. Pengecualian

(46)

ini karena Pemerintah Indonesia lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dan konsultasi atau musyawarah antara negara-negara yang bersengketa. Protokol Opsional mengenai hal memperoleh Kewarganegaraan mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler yang bukan warganegara penerima dan perwakilan konsuler yang bukan warganegara penerima dan keluarganya tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima tersebut semata-mata karena berlakunya hukum negara penerima tersebut.39

Berdasarkan hal tersebut, dapat memahami bahwa negara Indonesia sangat berkomitmen untuk ikut melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain, bukti komitmen ini dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan dan Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler Beserta Protokol. Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan, sehingga hanya kurang dari 20 (dua puluh) tahun sejak konvensi dibuat, Indonesia sudah ikut mengikatkan diri dengan meratifikasinya, hal yang sangat berbeda dipraktikkan oleh beberapa negara anggota PBB lainnya.

Hal serupa juga telah dilakukan oleh Arab Saudi dan Turki yaitu turut serta meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik pada tanggal 10 Februari 1981 (Arab Saudi) dan tanggal 6 Maret 1968 (Turki). Status ratifikasi

39 Op. Cit. ,Mahkamah

Referensi

Dokumen terkait

Faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak badan antara lain: sikap tax professional, niat tax professional, kondisi keuangan perusahaan, fasilitas perusahaan dan

Tujuan penelitian ini adalah memperkenalkan metoda uji small punch untuk studi awal sifat-sifat mekanik material meliputi kuat luluh, kuat tarik, temperatur transisi ulet ke

Meskipun kebebasan beragama secara jelas telah diatur, namun pada kenyataannya sekarang ini masih banyak masyarakat dunia yang tidak mengamalkan dan

Volume sampah plastik di Surabaya yang mencapai ratusan ton perhari merupakan tantangan bagi para pengusaha daur ulang plastik di Surabaya, penulis akan melakukan

Faktor lainnya yaitu adanya rasa malu dari pasangan suami istri tersebut untuk mengakui bahwa dalam rumah tangganya telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga,

5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah)”, dan hukuman bagi para pelaku yang merupakan orang terdekat korban juga diatur dalam Undang-Undang ini yang terdapat pada ayat (3) Pasal

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Angkutan Udara (Pesawat) memiliki salah satu fasilitas yang dapat dipergunakan oleh penumpang untuk menyimpan barang bawaan mereka yaitu bagasi. Namun