• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian atau gambaran isi yang dimaksud adalah mengemukakan garis-garis besar dari uraian penelitrian. Secara garis besar pembahasan penelitian ini akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan masalah-masalah tersendiri secara sistematis dan berhubungan antara satu bab dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.

Pembagian tersebut diharapkan akan mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti pembahasan secara keseluruhan. Adapun sistematika penelitiannya dalah sebagai berikut:

21 H. Salim, HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm.19

Bab pertama merupakan dasar dalam pembuatan penelitian ini, dalam bab ini membahas tentang latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian skripsi ini, tnjauan kepustakaan, dan metode penelitian yang digunakan sampai kepada sistematika penelitian.

Bab kedua menjelaskan tentang prosedur tata cara pengangkatan dan kewenangan pejabat diplomatik, meliputi sejarah timbulnya diplomatik dan perkembangannya,serta dasar-dasar hukum diplomatik berdasarkan konvensi-konvensi internasional.

Bab ketiga menguraikan tentang bentuk pelanggaran atas hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik, meliputi latar belakang timbulnya kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik, serta dasar teoritis dan yuridis dari kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik.

Bab keempat menguraikan tentang analisis kekebalan kantor kediaman dan tempat kediaman pejabat diplomatik dalam kasus Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki, meliputi sejarah hubungan diplomatik Arab Saudi-Turki, serta pengaturan tentang kekebalan diplomatik tempat dan kantor kediaman pejabat diplomatik.

Bab kelima yang merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini akan membahas mengenai kesimpulan dan selanjutnya akan ditulis saran yang berkaitan dengan Analisis Hukum Internasional tentang Kekebalan Diplomatik Kantor Kediaman dan Tempat Kediaman ( Studi Kasus: Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki) yang diharapkan dapat bermanfaat.

BAB II

ASPEK HISTORIS DAN NORMATIF DARI PEJABAT DPLOMATIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah Diplomatik dan Perkembangannya

Diplomasi meski dapat dikatakan sebagai cara yang beradab dan cukup modern dalam meraih national interest, namun ternyata hal yang cukup modern tersebut sudah ada sejak zaman prasejarah22. Black mengungkapkan bahwa pada era itu, bahkan beberapa milenium sebelum Masehi, jejak-jejak diplomasi sudah dapat ditemukan di wilayah Mesopotamia. Penemuan yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa diplomasi berawal dari Mesopotamia adalah ditemukannya dokumen Amarna di bekas reruntuhan istana kerajaan Mesir pertengahan abad ke-14 sebelum Masehi pada tahun 1887 yang terdiri dari 350 huruf yang membuktikan adanya jaringan diplomatik yang luas dan dinamikanya yang cukup maju juga adanya saling ketergantungan antara kekuatan-kekuatan besar kala itu.

Teks dokumen tersebut secara keseluruhan membahas mengenai status, prestise, dan ranking. Semuanya dibagi dalam dua kondisi, kondisi absolut yaitu vis a vis Mesir, dan kondisi relatif yaitu vis a vis dengan relasi Mesir yang lain. Akar dari kiasan tersebut termasuk pemberian hadiah, dan ikatan darah melalui pernikahan antar bangsawan dimana secara status seharusnya dipandang sederajat namun kenyataannya tidak, hal ini tidak sedikit disebabkan oleh ikatan pernikahan semacam itu yang memang tidak sesuai dengan dasar kebudayaan masyarakat Mesir, ditambah lagi dengan pertimbangan peringkat yang dibumbui dengan

22 Black Jeremy, A History of Diplomacy, Reaction Books Ltd., 2010, hal. 17

prestise. Meski begitu, metode diplomasi dengan perkawinan antar bangsawan tersebut tetap bertahan dan terus berlangsung hingga abad ke-19. Menurut Black, diplomasi pada era Amarna tersebut cukup kasar atau kurang bersahaja karena tidak mampu menyediakan komunikasi yang jelas dan bernuansa.23

Beralih pada diplomasi era Yunani Kuno, diplomasi dari negara ini merupakan diplomasi yang khas dan unik. Bangsa yunani mendapatkan keterampilan berdiplomasi melalui perserikatan antar negara kota yang mereka bentuk, selain itu Yunani Kuno juga mempunyai proxenoi yaitu warga dari sebuah kota yang bertugas untuk mewakili kepentingan kota lain di kota tersebut, sebagai contoh seorang warga Athena mewakili kepentingan Corinth di kota Athena24.

Namun, Black juga mengatakan bahwa informasi yang buruk dan dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dari para proxenoi tersebut telah mengakibatkan Athena dan Mytilene jatuh kedalam konflik. Diplomasi Yunani Kuno sangat kental dengan nuansa teleologis dimana hal ini mengakibatkan timbulnya batasan-batasan terhadap diplomasi Yunani itu sendiri,dan dalam prakteknya, hal ini juga menjadi penghalang terhadap renaissance di Italia. Namun, dalam praktek diplomasi Yunani tersebut dapat dikatakan menguntungkan seorang diplomat, karena pada era itu seorang utusan atau diplomat dianggap sebagai orang suci.25 Persia, adalah masalah besar bagi diplomasi Yunani Kuno. Invasi Persia yang didorong oleh semangat ekspansionis dan rasa haus atas tanah dan air menjadikan Persia menerapkan segala cara untuk menaklukkan Yunani. Praktik diplomasi yang dilakukan oleh persia bahkan jauh lebih canggih lagi dibandingkan dengan

23 Ibid, hal. 19

24 Ibid, hal. 20

25 Ibid, hal. 21

Yunani, selain menerapkan diplomasi yang kasar yang berisi ancaman-ancaman, persia juga menerapkan diplomasi secara halus. Gaya diplomasi tersebut dibawa masuk ke Yunani pada tahun 480 sebelum Masehi oleh utusan-utusan dari Persia dibawah komando Raja Xerxes dari dinasti Achaemenid. Dalam perkembangannya, kombinasi antara dua gaya diplomasi tersebut dipandang sangat relevan dan diterapkan pada imperium-imperium lain seperti Cina, dan Britania Raya pada abad ke-19.26

Terbelahnya Kekaisaran Romawi menjadi Kekaisaran Romawi Barat dan Kekaisaran Romawi Timur dan jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat yang kemudian digantikan oleh kerajaan-kerajaan barbarian seperti Francia, secara tidak langsung menjadikan gereja tampil sebagai kekuatan supra-nasional bahkan lebih dari itu, gereja juga dikenal sebagai pusat berkumpulnya orang-orang terdidik dan memiliki pengetahuan yang luas tentang politik. Dalam era ini, tentu saja nilai-nilai Kristianitas sangat berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan internasional termasuk mempengaruhi diplomasi itu sendiri.

Black juga mengatakan bahwa Kristianitas atau Christendom tersebut sering diartikan sebagai persiapan untuk menghadapi Crusade atau perang salib. Dengan mengatasnamakan tugas keagamaan, para diplomat pada era pertengahan sering kali diuntungkan karena dapat terbebas dari hambatan-hambatan yang dapat menghalangi proses diplomasi. Pada akhir abad ke 12 hingga awal abad ke 13, merupakan sebuah titik penting bagi perkembangan diplomasi. Saat itu, hukum yang berlaku di kerajaan Romawi mengatur bahwa raja yang sedang berkuasa

26 Ibid, hal. 18

diberikan wewenang untuk menunjuk seorang utusan untuk mengemban tugas khusus27. Menurut Black, kemampuan untuk mempercayakan suatu tugas khusus terhadap orang lain yang kita tunjuk tidak secara spesifik merujuk kepada diplomasi, akan tetapi hal itu merupakan bagian esensial dari kultur dan praktik dari diplomasi itu sendiri.28

Pada era abad pertengahan tersebut terdapat Papacy Diplomacy atau diplomasi Paus. Paus dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh dalam perputaran diplomasi pada era itu karena masyarakat yang saat itu sangat patuh pada gereja menganggap Paus sebagai perwakilan tertinggi tuhan di dunia. Selain itu adanya konsep kepercayaan persatuan kristen menjadikan pengaruh Pope‟s Diplomacy semakin kuat. Namun pengaruh diplomasi paus segera meredup setelah adanya era pencerahan dan Perjanjian Westphalia yang melahirkan sistem negara modern yang berdaulat dan tidak lagi tunduk terhadap gereja. Dalam era ini, fungsi diplomasi masih sama, yaitu sebagai “the art of survival” bagi negara-negara berdaulat.

Sejarah tentang hukum diplomatik kemudian bergulir dengan adanya Perjanjian Whespalia, yang merupakan awal perkembangan hukum diplomatik, sebab saat itu pula perwakilan-perwakilan diplomatik kemudian bersifat permanen, utusan-utusan diplomatik kemudian mulai diangkat, dikirim dan dipercayakan pada negara lain.29

27 Ibid, hal. 23

28 Ibid, hal. 24

29 Robyansyah, Sejarah dan Perkembangan Hukum Diplomatik dan Istilah-istilah dalam Hubungan Internasional, Jurnal Fakultas hukum Pontianak, hlm. 3

B. Sumber Hukum Diplomatik dan Pelaksanaan Hukum Diplomatik

Secara garis besar sumber-sumber hukum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Selain itu sumber hukum juga dapat diyinjau dari dua segi, yaitu materiil dan formil.30 Sumber hukum materiil dapat ditinjau dari berbagai sudut, misalnya ekonomi, sejarah, sosiologi, dan filsafat. Sedangkan sumber hukum formal adalah:31

1. Undang-undang

Undang-undang merupakan suatu peraturan negara yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa.

2. Kebiasaan

Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dan diterima oleh masyarakat. Sehingga perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap perasaan hukum yang terdapat dalam masyarakat.

3. Keputusan-keputusan Hakim

Kehadiran keputusan hakim atau yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia dimulai pada masa Hindia Belanda. Pada masa tersebut yang menjadi peraturan pokok adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia) atau yang disingkat AB. Pasal 23 AB menentukan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan tidak

30 C. S. T. Kamsil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 19

31 Ibid

menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak untuk mengadili. Dengan demikian seorang hakim berhak membuat peraturan sendiri demi menyelesaikan suatu perkara.

4. Traktat

Apabila dua orang sepakat untuk melakukan sesuatu, maka mereka harus tunduk pada kesepakatan yang telah mereka buat tersebut. Asas ini dikenal dengan sebutan pacta sun servanda. Pada tingkat yang lebih tinggi, yakni tingkat negara asas tersebut juga berlaku. Apabila dua negara tersebut melakukan traktat, maka seluruh warga kedua negara tersebut harus mentaati isi traktat tersebut.

5. Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

Doktrin berkaitan erat dengan yurisprudensi. Dalam memutus sebuah perkara, hakim seringkali mengutip pendapat para sarjana yang dipandang memilii kemampuan dalam persoalan yang ditanganinya. Sehingga doktrin atau pendapat para sarjana yang ternama mempengaruhi keputusan yang diambil oleh hakim.

Penjelasan di atas merupakan sumber hukum dalam hal umum. Penelitian ini lebih banyak mengambil sumber-sumber hukum internasional dikarenakan berhubungan dengan topik pembahasan yang penulis teliti.

Sumber hukum internasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum material dan sumber hukum formal. Sumber hukum dalam arti material berusaha untuk menjelaskan apakah yang pada hakikatnya menjadi dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional, sedangkan sumber hukum dalam arti formal memberi jawaban dari pertanyaan di manakah kita mendapatkan

ketentuan-ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang konkret.

1. Sumber Hukum Material

Sumber hukum dalam arti material membahas dasar berlakunya hukum, mengapa hukum itu mengikat. Untuk menjawab pertanyaan ini ada dua aliran, yaitu naturalis dan positivisme. Aliran naturalis berpandangan bahwa prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum berasal dari prinsip-prinsip hukum alam (hukum Tuhan) yang berlaku universal. Menurut aliran ini, Tuhan mengajarkan bahwa umat manusia dilarang berbuat jahat dan sebaliknya harus berbuat baik antara yang satu dan yang lainnya demi keselamatan bersama. Tokoh utama aliran ini ialah Hugo de Groot (Grotius), sedangkan tokoh-tokoh lainnya, yaitu Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez, dan Alberico Gentilis. Aliran positivisme mendasarkan berlakunya hukum internasional pada persetujuan negara-negara untuk mengikatkan diri pada kaidah-kaidah hukum internasional tersebut. Aliran positivis berpandangan bahwa hukum yang mengatur hubungan-hubungan antarnegara merupakan prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara atas kemauan mereka sendiri.

2. Sumber Hukum Formal

Sumber hukum formal membahas asal ketentuan-ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang konkret. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, sumber hukum internasional dalam arti formal adalah sumber dari mana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum

internasional.32 Sumber hukum internasional dalam arti formal merupakan sumber hukum internasional yang paling utama dan memiliki otoritas tertinggi serta otentik yang dapat dipergunakan oleh Mahkamah Internasional di dalam memutuskan suatu sengketa internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu:33

a. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan;

b. Kebiasaan-kebiasaan internasonal sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;

c. Asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;

d. Keputusan pengadilan dan ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber hukum tambahan dalam menetapkan kaidah-kaidah hukum.

Dalam pergaulan masyarakat, negara sudah mengenal semacam misi-misi konsuler dan diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang dikenal sekarang pada abad ke-16 dan ke-17, dan penggolongan Kepala Perwakilan Diplomatik telah ditetapkan dalam Kongres Wina 1815 sebagai berikut :34

1. Duta-duta besar dan para utusan (ambassadors and legate)

32 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit

33 Statuta Mahkamah Internasional

34 Mahkamah, Pengertian, Sejarah, dan Sumber Hukum Diplomatik, ( Artikel Lepas ) Tahun 2015, sebagaimana dimuat dalam buku S.M. Noor, Buku Ajar Hukum Diplomatik & Hubungan Internasional, Pustaka Pena Press, Makassar, 2016, hal. 7

2. Minister plenipoteniary dan envoys extraordinary 3. Kuasa Usaha (charge d' affaires)

Setelah PBB didirikan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi Hukum Internasional. Setelah tiga puluh tahun (1949-1979), komisi telah menangani 27 topik dan subtopik hukum internasional, 7 diantaranya

adalah menyangkut hukum diplomatik, yaitu :35 1. Pergaulan dan kekebalan diplomat 2. Pergaulan dan kekebalan konsuler 3. Misi-misi khusus

4. Hubungan antara negara bagian dan organisasi internasional

5. Masalah perlindungan dan tidak diganggu gugatnya pejabat diplomatik dan orang lain yang memperoleh perlindungan khusus menurut hukum internasional

6. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang diikutsertakan pada kurir diplomatik;

7. Hubungan antara negara dengan organisasi internasional

Hingga kini setidaknya ada lima aturan internasional yang menjadi rujukan

35 Ibid., hal. 8

dalam melakukan hubungan diplomatik antar negara. Penelitian ini berfokus hanya kepada 3 (tiga) sumber hukum dalam hal ini konvensi internasional yang akan dibahas dalam kaitan permasalahan yang sedang penulis teliti, yaitu:36

1. Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik

Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci. Konvensi Wina 1961 atau biasa disebut dengan Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara.

Terdapat juga 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa. Salah satu isi dari protokol tambahan Konvensi Wina 1961.

Pada Pasal 2 Protokol Pilihan Konvensi Wina 1961 tentang Perolehan Kewarganegaraan menyebutkan:37

36 Ibid.

“Members of the mission not being nationals of the receiving State, and members of theirs families forming part of their household, shall not, solely by the operation of the law of the receiving State, acquire the natonality of that State.”

Pasal 2 di atas pada intinya mempunyai kesimpulan, anggota-anggota misi diplomatik beserta keluarganya yang bukan warganegara negara penerima tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima dan memberlakukan hukum negara penerima tersebut.

Sedangkan pada Protokol Pilihan Konvensi Wina 1961 tentang Penyelesaian Memaksa Atas Perselisihan menyatakan dengan tegas menyatakan apabila antar negara terjadi perselisihan makanya dapat diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Hal ini diatur dalam Pasal 1, yaitu:38

“Disputes arising out of the interpretation or application of the Convention shall lie within the compulsory jurisdiction of International Court of Justice and may accordingly be brought before the Court by an application made by any party to the dispute being a party tothe present Protocol.”

Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes).

Pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan

37 United Nation, Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality in Vienna Convention 1961, Article II

38 United Nation, Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes in Vienna Convention 1961, Article I

keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka.

Pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.

Pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik sudah lama diadakan yaitu sejak Kongres Wina Tahun 1815 yang diubah oleh Protokol Aixla Chapelle tahun 1818. Kemudian atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa diadakan konferensi mengenai hubungan diplomatik di Wina dari tanggal 2 Maret 1961.

Konferensi tersebut membahas rancangan pasal-pasal yang dipersiapkan oleh Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menerima baik suatu Konvensi mengenai Hubungan diplomatik, yang terdiri dari 53 pasal yang mengatur hubungan diplomatik, hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalannya.

Konvensi yang mencerminkan pelaksanaan hubungan diplomatik ini akan dapat meningkatkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa di dunia tanpa membedakan ideologi, sistim politik atau sistim sosialnya. Konvensi menetapkan antara lain maksud memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik tersebut tidaklah untuk kepentingan perseorangan, melainkan guna menjamin kelancaran pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik sebagai wakil negara.

Indonesia dapat menerima seluruh isi Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh Kewarganegaraan dan Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh Kewarganegaraan, kecuali Protokol Opsional mengenai Penyelesaian sengketa Secara Wajib. Pengecualian

ini karena Pemerintah Indonesia lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dan konsultasi atau musyawarah antara negara-negara yang bersengketa. Protokol Opsional mengenai hal memperoleh Kewarganegaraan mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler yang bukan warganegara penerima dan perwakilan konsuler yang bukan warganegara penerima dan keluarganya tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima tersebut semata-mata karena berlakunya hukum negara penerima tersebut.39

Berdasarkan hal tersebut, dapat memahami bahwa negara Indonesia sangat berkomitmen untuk ikut melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain, bukti komitmen ini dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan dan Pengesahan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler Beserta Protokol. Opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan, sehingga hanya kurang dari 20 (dua puluh) tahun sejak konvensi dibuat, Indonesia sudah ikut mengikatkan diri dengan meratifikasinya, hal yang sangat berbeda dipraktikkan oleh beberapa negara anggota PBB lainnya.

Hal serupa juga telah dilakukan oleh Arab Saudi dan Turki yaitu turut serta meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik pada tanggal 10 Februari 1981 (Arab Saudi) dan tanggal 6 Maret 1968 (Turki). Status ratifikasi

39 Op. Cit. ,Mahkamah

oleh kedua negara ini harus diketahui untuk menganalisa permasalahan yang dibahas pada penelitian ini.40

2. Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa selain Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, terdapat juga padanan konvensi yang mengatur hubungan konsuler negara-negara yakni Konvensi Wina Tahun 1963.

Konvensi Wina Tahun 1963 ini memang selain melengkapi Konvensi Wina Tahun 1961, juga beberapa aturannya ada yang sifatnya sama dengan Konvensi Wina Tahun 1961. Namun demikian, Konvensi Wina Tahun 1963 ini menjadi penting karena praktik negara-negara selama ini utamanya negara berkembang dan negara maju hampir keseluruhan memiliki hubungan konsuler dengan negara lain, dan dalam dinamika ekonomi global seperti saat ini, maka hubungan konsuler bukan lagi sebagai hubungan yang sifatnya eksklusif dan hanya negara-negara tertentu saja yang membutuhkannya, namun saat ini semua negara-negara di semua belahan dunia membutuhkan hubungan konsuler demi menjamin eksistensi dan kebutuhan warga negaranya yang sudah semakin kompleks.41

Pengaturan Hubungan Konsuler dan Perwakilan Konsuler yang dalam sejarah berkembang melalui tahap-tahap pertumbuhan hukum kebiasaan internasional baru dikodifikasikan pada tahun 1963 dalam Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konvensi ini yang terdiri dari 79 pasal yang keseluruhannya mengenai hubungan konsuler, hak-hak

40United Nation, Treaty Collection, https://treaties.un.org/pages/viewdetails.aspx?src=treaty&mtdsg_no=iii-3&chapter=3&lang=en ( diakses pada tanggal 22 Juli 2019, pukul 20.51 )

41 Op. Cit., S. M. Noor, hal. 42

istimewa dan kekebalan-kekebalannya akan meningkatkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa tanpa membedakan ideologi, sistim politik atau sistim sosialnya.

Hak istimewa dan kekebalan tersebut diberikan hanyalah guna mnjamin pelaksanaan fungsi perwakilan konsuler secara efisien Konvensi mengatur antara

Hak istimewa dan kekebalan tersebut diberikan hanyalah guna mnjamin pelaksanaan fungsi perwakilan konsuler secara efisien Konvensi mengatur antara