• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : ASPEK HISTORIS DAN NORMATIF DARI PEJABAT

C. Prosedur Tata Cara Pengangkatan dan Kewenangan Pejabat Diplomatik

2. Kewenangan Pejabat Diplomatik

51 Abdul Muthalib Tahar, Arsip mata kuliah Hukum Diplomatik Fakultas Hukum Universitas Lampung

52 Ibid.

53 Ibid.

Sebagai representasi negaranya di negara lain, fungsi perwakilan diplomatik sangatlah besar untuk hubungan negara dengan negara lain maupun dengan oragnisasi dunia lain.

Mengenai tugas dan fungsi pejabat diplomatik menurut Konvensi Wina 1961 Pasal 3 ayat (1), yaitu:

a. Mewakili negaranya di negara penerima

b. Melindungi kepentingan negara pengirim dalam batas-batas yang dibolehkan oleh hukum internasional

c. Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima

d. Memberikan laporan kepada negara pengirim mengenai keadaan-keadaan dan perkembangan-perkembangan di negara penerima, dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum internasional

e. Memajukan hubungan persahabatan antar negara pengirim dan negara penerima, dan memajukan hubungan ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan.54

Sedangkan jika dilihat dari ketentuan hukum nasional Republik Indonesia, berdasarkan Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 2003 Tanggal 31 Desember 2003, tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, fungsi perwakilan diplomatik antara lain:55

54 Op. Cit, Konvensi Wina 1961, Pasal 3

55 Keputusan Republik Indonesia No. 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri

1. Peningkatan dan pengembangan kerjasama politik dan keamanan, ekonomi, sosial , dan budaya dengan Negara Penerima dan/atau Organisasi Internasional

2. Peningkatan persatuan dan kesatuan, serta kerukunan antara sesama Warga Negara Indonesia di luar negeri

3. Pengayoman, pelayanan, perlindungan dan pemberian bantuan hukum dan fisik kepada Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, dalam hal terjadi ancaman dan/atau masalah hukum di negara penerima, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional, dan kebiasaan internasional

4. Pengamatan, penilaian, dan pelaporan mengenai situasi dan kondisi negara penerima

5. Sabagai konsuler dari protokol

6. Perbuatan hukum untuk dan atas nama negara dan Pemerintah Republik Indonesia dengan negara penerima

7. Kegiatan manajemen kepegawaian, keuangan, perlengkapan, pengamanan internal perwakilan, komunikasi dan persandian

8. Fungsi-fungsi lain sesuai dengan hukum dan praktek internasional

BAB III

PELANGGARAN ATAS HAK KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN PEJABAT DIPLOMATIK

A. Latar Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

Diplomat sebagai perwakilan negara pengirim (sending state) di negara penerima (receiving state) mempunyai tugas dan misi yang diamanahkan oleh negara pengirim. Untuk membantu kelancaran dan efisiensi dalam menjalankan tugasnya, para agen diplomat secara keseluruhan diberikan hak kekebalan dan keistimewaan. Kekebalan dan keistimewaan tidak hanya diberikan kepada kepala-kepala perwakilan seperti Duta Besar (Ambassador), Duta (Envoys) atau Kuasa Usaha (Charge D‟affaires), tetapi juga oleh anggota keluarganya yang tinggal bersama dia, termasuk anggota perwakilan diplomat (seperti Ccounsellor, para Sekretaris, Atase dan sebagainya) dan oleh para staff administrasi dari perwakilan dan staff pembantu lainnya.56

Latar belakang timbulnya hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik tidak terlepas dari sejarah perkembangan perwakilan diplomatik itu sendiri, perlu diketahui bahwa status dari perwakilan diplomatik telah mendapat pengakuan dari bangsa-bangsa pada zaman kuno. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan-hubungan Diplomatik (Diplomatic Relations) bahwa: . . . peoples of all nations from ancient time have recognizes the status of diplomatic agents.57

56 Lihat Gutterudge dalam Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Penerbit Alumni, Bandung, 1995, hal. 52

57 Op. Cit., Vienna Convnetion 1961

Pada masa Yunani Kuno, gangguan terhadap seorang Duta Besar dianggap merupakan pelanggaran yang paling berat. Demikian pula di zaman Romawi, para penulis telah sepakat mengenai anggapan bahwa terjadinya cidera terhadap seorang wakil dari negara pada hakikatnya merupakan pelanggaran secara sengaja terhadap jus gentium.58

Pada abad ke-16 dan 17, waktu pertukaran duta-duta besar antar negara-negara di Eropa sudah mulai menjadi umum, kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan bahkan telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti bahwa seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan atau pengkhianatan melawan kedaulatan negara penerima. Seorang Duta Besar dapat diusir namun tidak dapat ditangkap dan diadili.59

Hal ini berdasarkan prinsip untuk memberikan kekebalan dan keistimewaan khusus telah dilakukan negara atas dasar timbal balik (reciprocity), hal tersebut diperlukan negara guna menjamin agar perwakilan diplomatik atau misi asing di suatu negara dapat menjalankan tugas misinya secara bebas dan aman, serta dalam diperlukan dalam rangka:

a) Mengembangkan hubungan persahabatan antar negara, tanpa memepertimbangkan sistem ketatanegaraan dan sistem sosial mereka yang berbeda;

58 Lihat Phillipson dalam Sumaryo Suryokusumo, Loc. Cit.

59 Sumaryo Suryokusumo, Ibid. Hal. 50

b) Bukan untuk kepentingan individu tetapi untuk menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama dalam tugas dari negara yang diwakilinya.60

Pada tahun 1706 pernah terjadi suatu kasus dimana Duta Besar Rusia di Britania Raya telah ditangkap dengan tuduhan penipuan.61 Segera setelah terjadi peristiwa itu Kaisar Rusia telah mengirim ultimatum kepada Ratu Anne dari Inggris, bahwa Rusia akan mengumumkan perang terhadap Britania Raya kecuali jika Pemerintah Kerajaan mengajukan permintaan maaf. Namun demikian Pemerintah Inggris kemudian telah mengajukan rancangan Undang-undang di kedua Mejelis Parlemen yang menyatakan bahwa “setiap wakil asing haruslah dianggap suci dan tidak dapat diganguu gugat (inviolability)”. Peraturan tersebut juga memuat ketentuan bahwa para diplomat asing dibebaskan dari jurisdiksi perdata dan pidana. Peraturan tersebut kemudian dikenal sebagai “7 Anne Cap. 12-2,706.”, yang ternyata dokumen tersebut menjadu dasar bagi kekebalan dan keistimewaan para diplomat.62

Kemudian pada pertengahan abad ke-18, aturan-aturan kebiasaan hukum internasional menegenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan, termasuk harta milik, gedung, dan komunikasi para diplomat. Untuk menunjukan totalitas kekebalan dan keistimewaan diplomatik tersebut, sering digunakan istilah exterritoriality atau extra-territoriality. Istilah ini mencerminkan kenyataan bahwa para diplomat hampir dalam segala hal harus diperlakukan

60 Ibid. Hal. 55

61 Syahmin AK, Op. Cit.

62 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit. hal 51

sebagaimana mereka tidak berada di dalam wilayah negara penerima. Sifat exterritoriality itu diberikan kepada diplomat oleh hukum nasional negara penerima, didasarkan adanya keperluan bagi mereka untuk menjalankan tugasnya, bebas dari jurisdiksi, pengawasan negara setempat.63

Gedung yang dipakai oleh suatu perwakilan diplomatik, baik gedung itu milik negara pengirim atau kepala perwakilan, maupun disewa dari perorangan biasanya dianggap tidak dapat diganggu gugat oleh para penguasa negara penerima, dibebaskan dari perpajakan, kecuali bagi pajak-pajak dalam bentuk khusus seperti tarif air.64 Pasal 22 Konvensi Wina 1961 ecara khusus menyatakan bahwa kantor urusan tidak dapat diganggu dan bahwa agen-agen negara penerima tidak diijinkan masuk tanpa ijin utusan.65 Namun, da;am keadaan darurat tertentu, misalnya, mengatasi kebakaran atau bahaya atas orang-orang yang tinggal di tempat itu.

Pada kasus Kongo v. Uganda, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa serangan terhadap Kedutaan Besar Uganda di Kinshasa, Ibukota Kongo, dan serangan terhadap orang-orang di tempat itu oleh pasukan bersenjata Kongo merupakan pelanggaran Pasal 22.66 Selain itu, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa Konvensi Wina tidak hanya melarang setiap pelanggaran terhadap utusan yang tidak dapat digangguoleh negara penerima itu sendiri tetapi

63 Ibid. hal.53

64 Ibid.

65 Vienna Convention, Pasal 22

66 I. C. J. Reports, 2005, paragraf 337-8 dan 340 dalam Malcom N. Shaw QC, International Law

juga menetapkan negara penerima berkewajiban mencegah orang lain, seperti kelompok milisi bersenjata, dari melakukannya.67

Namun demikian, kuranglah tepat bahwa gedung-gedung perwakilan dianggap sebagai “bagian wilayah dari suatu negara pengirim”. Hugo de Groot atau yang lebih dikenal dengan Grotius juga memberikan tanggapan bahwa para Duta Besar, menurut khayalan hukum, dianggap berada di luar wilayah negara tempat mereka tinggal, tetapi apabila khayalan ini sudah mengambil sifat sebagai aturan, hal itu dilihat sebagai sesuatu yang menyesatkan dan membahayakan.68

Selain gedung kedutaan, arsip perwakilan dan sejenisnya juga dianggap tidak dapat diganggu gugat (seperti korespondensi diplomatik, setidak-tidaknya jika dibawa oleh kurir diplomatik) serta tas diplomatik „harus kelihatan sifat-sifatnya dari luar hanya boleh berisi dokumen-dokumen diplomatik atau berkas-berkas yang digunakan untuk tujuan kenegaraan‟. Delegasi membutuhkan sarana komunikasi, sementara sisi lain perlu dicegah penyalahgunaannya. Namun, Pasal 27 lebih menekankan yang pertama. Dalam insiden Dikko pada Juli 1984, mantan Menteri Nigeria diculik di London dan ditempatkan dalam peti mati yang akan diterbangkan ke Nigeria. Peti dibuka di bandara Stansted, meskipun dihadiri oleh seseorang yang mengaku mempunyai status diplomatik. Peti tidak mempunyai segel resmi dan dengan demikian bukan tas diplomatik.69 Pada Maret 2000, bagasi

67 Lihat Kasus Eritrea-Ethiopia, kecaman oleh Komisi Klaim Eritrea-Ethiopia atas masuk,

perampasan dan penitaan oleh agen kemanan Ethiopia di kantor Kedutaan Eritrea, serta kemdaraan dan benda-benda lainnya, tanpa izin Eritrea, Keputusan Sela, Klaim Diplomatik, Klaim Eritrea 20, pasal 46. Lihat lebih lanjut dalam Malcom N. Shaw QC, International Law

68 Sumayo Suryokusumo, Loc. Cit.

69 Pada Juli 1984, sebuah truk milik Uni Soviet dibuka untuk pemeriksaan oleh pihak berwenang Jerman Barat atas dasar bahwa truk itu sendiri tidak bisa disebut tas. Peti dalam truk itu diterima sebagai tas diplomatik dan tidak dibuka

diplomatik yang dikirim untyk Komisi Tinggi Inggris di Harare ditahan dan dibuka oleh otoritas Zimbabwe, Pemerintah Inggris memprotes keras dan mengumumkan penarikan Komisaris Tingginya untuk konsultasi.

Kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik juga diberikan berkaitan dengan properti. Berdasarkan Pasal 22 Konvensi Wina 1961, tempat tinngal utusan tidak dapat diganggu70 dan, bersama dengan perabotan dan properti lainnya atau sarana transportasi, kebal dari penggeledahan, pengambil-alihan, tuntutan atau penyitaan.

Menurut Pasal 23, sehubungan dengan tempat tinggal delegasi tersebut, pengecualian berlaku untuk pajak.71

Negara-negara mengakui bahwa perlindungan diplomat adalah kepentingan bersama yang dibangun di atas kebutuhan fungsional dan hubungan timbal balik (reciprocity). Negara penerima berkewajiban untuk mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan pada pribadi, kebebasan atau martabat agen diplomatik. Selain hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik, Pasal 37 juga mengatur bahwa anggota keluarga agen diplomatik yang menjadi bagian dari rumah tangganya akan menikmati hak istimewa dan kekebalan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29-36 jika bukan warga negara dari negara penerima, alasannya adalah untk memastikan kemandirian diplomat dan kemampuan untuk menjalankan tugas bebas dari gangguan. Meskipun begitu banyaknya hak kekebalan dan keistimewaan yang diberikan terhadap diplomat maupun anggota keluarganya atau staffnya, satu-satumya obat penawar yang dimiliki negara penerima (receiving state) dalam menghadapi pelanggaran yang diduga dilakukan

70 Lihat Vienna Convention 1961, article 30

71 Ibid. article 22-23.

oleh diplomat adalah dengan menyatakannya persona non grata atau secara harfiah artinya orang yang tidak dapat diterima berdasarkan Pasal 9 Konvensi Wina 1961.72

Meskipun aturan-aturan yang luas mengenai kekebalan dan keistimewaan para diplomat tetap tidak diubah, pada abad ke-18, aturan-aturan itu telah berkembang secara terperinci menurut variasi masing-masing yang dilakukan oleh beberapa negara. Ada beberapa kodifikasi dari aturan-aturan dalam hukum diplomatik, dua di antaranya yang paling penting Havana Convention on 1928, dan Harvard Research Draft Convention on Diplomatic Privileges and Immunities, yang diterbitkan dalam tahun 1932.73

B. Dasar Teoritis dan Dasar Yuridis dari Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

1. Landasan Teori

Dalam hukum internasional, pemeberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik dikenal beberapa teori yang diperkenalkan oleh Connel dalam bukunya

“International Law, Vol. II 196574 teori yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Exterritoriality Theory

Menurut teori ini gedung dan pejabat perwakilan dianggap tidak berada di negara penerima melainkan berada dalam negara pengirim dan mencerminkan semacam

72 Lihat insiden di Washington DC tahun 1999, ketika Atase Kedutaan Rusia dinyatakan persona non grata atas dugaan penyadapan Departemen Negara. Lihat juga Vienna Convention 1961, article 9

73 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit. hal. 54

74 D. P. O. Connel, International Law, Vol. II dalam Syahmin AK, Op. Cit. hal. 69

perluasan wilayahnya di negara penerima75. Sebagai konsekuensi dari prinsip ini adalah sangat berat untuk dapat diterima karena sukar untyuk menyesuaikan diri dengan teori exterritorialty ini. Terbukti dalam hal peraturan lalu lintas jalan raya misalnya, dalam praktiknya sudah diterima secara umum bahwa seorang pejabat diplomatik itu harus mengikuti aturan lalu lintas negara setempat, jika tidak ia sendiri akan merasakan akibatnya, misalnya mengalami tabrakan.76 Adanya ketidaksesuaian dalam praktik pemberian kekebalan dan keistimewaan dipomatik dalam pergaulan antar negara, maka teori ini dalam bentuk asalanya tidak dapat dipertahankan lagi. Namun demikian kebanyakan ahli hukum internasional saat ini masih menggunakan teori exterritoriality hanya sekedar untuk menunjukan prinsip bahwa negara penerima tidak mempunyai wewenang untuk menegakkan kedaulatannya di gedung kedutaan ataupun rumah kediaman perwakilan asing sebagai konsepsi terbatas, dan tidak pula mencakup pengertian bahwa kejahatan dan transaksi hukum yang terjadi di tempat kedutaan asing harus dianggap sebagai terjadi di wilayah negara pengirim..

b. Representative Character Theory

Menurut teori ini, agen diplomatik dianggap sebagai simbol (wakil) negara yang mengutusnya, maka setiap tindakannya merupakan tindakan negara yang diwakilinya.77 Dalam hukum internasional dikenal suatu adagium yang berbunyi

“Par im parem habet imperium”78, maksudnya suatu negara berdaulat tidak dapat

75 Castel J. G., International Law, dalam Syahmin AK, Op. Cit. hal. 70

76 Syahmin AK, Ibid. hal. 70

77 Ibid, hal. 71

78 F. Ijswara, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bnadung, 1972, dalam Syahmin AK, Ibid.

hal. 71

melaksanakan jurisdiksinya terhadap negara berdaulat lainnya. Berkaitan dengan adagium ini, jika seorang agen diplomatik dianggap sebagai perwakilan negara yang mengirimnya (sending state). Sehingga dalam teori sifat seorag diplomat sebagai simbol negara, pada hakekatnya pejabat diplomatik dipersamakan dengan kedudukan seorang kepala negara atau negara pengirim yang bersangkutan.

c. Functional Necessity Theory

Teori ini mendasarkan pemberian kekebalan dan keistimewaan kepada wakil-wakil diplomatik atas fungsi dari wakil-wakil-wakil-wakil diplomatik agar wakil-wakil diplomatik yang bersangkutan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan sempurna, amka kekebalan dan keistimewaan yang dimilikinya itu adalah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya di dialam melaksanakan tugas tanpa ada gangguan.79 Teori fungsional dianggap sangat mendekati kebenaran, dengan alasan yang cukup sederhana bahwa dalam penilaian sebelumnya, seorang diplomat tidak mungkin dapat menjalankan tugasnya jika tidak diberikan kepadanya kekebalan dan keistimewaan tertentu.80

Sir gerald Fitzmaurice, reporter khusu yang ditunjuk oleh Komisi Hukum Internasional untuk merumuskan rancangan Konvensi Wina 1961 menyadari bahwa functional theory tidak saja teori yang benar, sebaliknya ia beranggapan bahwa exterritoriality theory tidak akan melakukan penyelidikan, demikian pula tanggapan dari angota-anggota lainnya yang bahkan mengkritik yang cukup tajam. Sehubungan dengan tanggapan-tanggapan tersebut, Komisi Hukum

79 Ibid. hal. 71

80 Yearbook of the International Law Commision (I.L.C.) 1957, Vol. I, dalam Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit. hal. 58

Internasional kemudian membatasi diri memberikan tanggapan terhadap rancangan pasal-pasal mengenai kekebalan dan keistimewaan tanpa adanya ikatan-ikatan:

a. Teori-teori yang telah dikemukakan dalam memberikan pertimbangan bagi pengembangan kekebalan dan keistimewaan diplomatik, Komisi Hukum Internasional akan menyinggung exterritorialitty theory sesuai anggapan bahwa gedung perwakilan merupakan semacam perluasan dari wilayah negara pengirim, dan representative theory yang melandasi kekebalan dan keistimewaan diartikan bahwa perwakilan diplomatik melambangkan negara pengirim.

b. Terdapat teori ketiga yang muncul sebagai landasan yang kecenderungannya didukung di dalam masa sekarang yaitu functional necessity theory yang membenarkan bahwa kekebalan dan keistimewaan merupakan keperluan agar perwakilan dapat menunaikan tugas-tugasnya.

c. Komisi Hukum Internasional telah menganut teori ketiga ini dalam menyelesaikan masalah-masalah di dalam praktik tidak dapat memberikan keterangan secara jelas, di samping memperhatikan juga sifat perwakilan dari kepala perwakilan dan dari perwakilannya sendiri.81

81 Ibid. hal. 60

Selain ketiga teori yang telah disebutkan di atas, salah satu prinsip yang penting dalam hubungan diplomatik adalah prinsip resiprositas/reciprocity principle atau prinsip timbal balik, yaitu apabila suatu negara ingin mendapat perlakuan yang baik dari suatu negara, maka negara tersebut juga harus berlaku sopan dan baik terjadap negara lain. Berkaitan dengan perwakilan diplomatik, apabila negara (sending state) menginginkan utusannya atau wakilnya diberikan hak kekebalan dan keistimewaan oleh negara penerima (receiving state), maka negara yang bersangkutan juga harus mau memberikan hak kekebalan dan keistimewaan terhadap agen diplomatik atau perwakilan yang diutus dari negara lain.

2. Landasan Yuridis82

Hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik dapat ditemukan dalam konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Konvensi yang mulai berlaku pada 1964 ini,83 menekankan kebutuhan fungsional akan hak istimewa dan kekebalan diplomatik untuk menjalankan hubungan internasional yang efisien serta menunjukkan karakter utusan diplomatik sebagai wakil negaranya. Masalah-masalah yang tidak secara tegas diatur dalam Konvensi Wina 1961 tetap diatur oleh aturan-aturan hukum kebiasaan internasional.84 Pengadilan Internasional baru-baru ini menekankan bahwa Konvensi Wina 1961 tetap berlaku terlepas adanya berbagai konflik bersenjata antara negar-negara yang bersangkutan.85 Hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik dapat ditemukan dalam pasal-pasal Konvensi Wina 1961, diantaranya:

82 Vienna Convention 1961, Op. Cit., Article 20-41

83 Malcom N. Shaw QC, Op. Cit.

84 Vienna Convention 1961, Op. Cit

85 Malcom N. Shaw QC, Op. Cit. hal. 168

a. Berkaitan dengan personal: seorag diplomat tidak dapat diganggu berdasarkan Pasal 29 Konvensi Wina 1961 dan tidak dapat ditahan atau ditangkap. Prinsip ini adalah aturan yang paling mendasar dan tertua dari hukum diplomatik.86 Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina 1961 menetapkan bahwa diplomat kebal dari yurisdiksi pidana, yurisdiksi perdata dan administrasi negara di mana mereka bertugas.87 Pasal 31 ayat (3) tidak ada tindakan eksekusi dapat dilakukan terhadap mereka kecuali dalam kasus yang disebut dalam Pasal 31 ayat (1) a, b dan c dan dengan ketentuan bahwa tindakan-tindakan yang bersangkutan dapat dilakukan tanpa melanggar hak tidak dapat diganggunya diplomat atau tempat tinggalnya.88 Pasal 37 mengatur bahwa anggota keluarga agen diplomatik yang menjadi bagian dari rumah tangganya akan menikmati hak istimewa dan kekebalan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29-36 Konvensi Wina 1961 jika bukan warga negara dari negara penerima.89 Dalma praktik di Amerika Serikat, istilah spouse (pasangan) bisa ditafsirkan untuk meliputi lebih dari satu istri dalam perkawinan poligami yang merupakan bagian dari rumah tangga diplomat dan bisa pula meliputi mitra yang tidak menikah dengan diplomat.90 Pasal 40 memberikan kekebalan di mana agen diplomatik berada di wilayah transit antara negara asalnya dan negara ketiga dimana ia akan ditempatkan.91 Setelah masa penculikan diplomat, Konvensi PBB

86 Vienna Convention 1961, Op. Cit.

87 Ibid.

88 Ibid.

89 Ibid.

90 Malcom N Shaw QC, Op. Cit. hal. 768

91 Vienna Convention 1961, Op. Cit.

tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan terhadap Orang-orang yang secara Internasional dilindungi, termasuk Agen Diplomatik diadakan pada 1973.

b. Berkaitan dengan gedung kedutaan dan properti: Pasal 22 Konvensi Wina 1961 secara khusus menyatkan bahwa kantor utusan tidak dapat diganggu dan bahwa agen-agen negara penerima tidak diijinkan masuk tanpa ijin.92 Pasal 23 berhubungan dengan tempat tinggal delegasi, pengecualian berlaku untuk pajak.93 Pasal 24 tentang arsip dan dokumen duta tidak dapat diganggu kapan saja dan dimana saja berada.94 Pasal 45 (a) menyatakan bahwa setelah putusnya hubungan diplomatik “negara penerima harus. . .menghormati dan melindungi kantor utusan.”95

c. Berkaitan dengan komunikasi: Pasal 27 mengatur bahwa negara penerima mengijinkan dan melindungi komunikasi bebas atas nama utusan untuk semua tujuan kenegaraan.96 Komunikasi iresmi seperti ini tidak dapat diganggu dan dapat mencakup penggunaan kurir diplomatik dan pesan dalam kode dan sandi, meskipun diperlukan ijin dari negara penerima untuk pemancar nirkabel.97 Pasal 27 ayat (3) dan (4) berkaitan dengan tas diplomat, dan menyatkan bahwa tas tersebut tidak boleh dibuka atau ditahan98, dan bahwa paket yang merupakan tas diplomatik harus keliatan

92 Ibid.

93 Ibid.

94 Ibid.

95 Ibid.

96 Ibid.

97 Ibid.

98 Ibid.

sifat-sifatnya dari luar dan hanya boleh berisi dokumen-dokumen diplomatik atau berkas-berkas yang digunakan untuk tujuan kenegaraan.99

C. Bentuk Pelanggaran atas Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Diplomatik oleh Negara Penerima Ditinjau dari Hukum Internasional

Negara penerima (receiving State) wajib menjaga keamanan dan keselamatan para diplomat yang bertugas di negaranya baik dari warga negara penerima maupun warga negara asing. Tetapi pada saat sekarang ini makin banyak kasus pelanggaran kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah:

1. Pelanggaran terhadap gedung perwakilan diplomatik 2. Pelanggaran kebebasan komunikasi

3. Penistaan lambang negara

4. Penangkapan dan penahanan terhadap staf misi diplomatik

Pemberian kekebalan diplomatik bersumber pada hukum kebiasaan internasional yang tercermin dalam praktek negara di dalam hubungan internasional, khususnya undang-undang negara setempat. Dalam perkembangannya, kebiasaan internasional ini telah dituangkan dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik sehingga ketentuan-ketentuan pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang kini diakui secara internasional sebagai hukum internasional positif.

99 Ibid.

Meskipun telah banyak negara telah meratifikasi Konvensi Wina 1961, namun ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut, khususnya mengenai jaminan hak-hak kekebalan dan keistimewaan yang dinikmati perwakilan diplomatik belum dilaksanakan sepenuhnya. Masih banyak tindakan-tindakan pelanggaran terhadap hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik oleh negara-negara pesertanya.

Seperti diketahui bahwa pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik

Seperti diketahui bahwa pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik