• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian skripsi dengan judul

“Analisis Hukum Internasional tentang Kekebalan Diplomatik Kantor Kediaman dan Tempat Kediaman (Studi Kasus: Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan merupakan hasil karya yang dapat dipertanggungjawabkan.

Namun terdapat 2 (dua) penelitian hukum yang dianggap sama dalam segi tema dan pembahasan. Berikut ini akan dipaparkan kedua judul tersebut berdasarkan rumusan masalahnya yang berbeda dengan penelitian hukum ini:

1. Natasa Fransiska Elisabeth Siahaan, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM: 090200098, dengan judul “Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik atas Duta Besar Italia yang Ditahan di India Ditinjau dari Hukum Internasional”, dalam rumusan masalah:

a) Bagaimana pengakuan hak-hak diplomatik dalam hukum internasional?

b) Bagaimana penyelesaian pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik ditinjau dari hukum internasional?

c) Bagaimana kasus pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki seorang duta besar Italia di India?

2. Mila Lailyana, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM: 110200068, denagn judul “Pelanggaran Hak Atas Kekebalan Diplomatik Pejabat Missi Diplomatik oleh Negara Penerima”, dalam rumusan masalah:

a) Bagaimana praktek negara penerima dalam penerapan kekebalan diplomatik terhadap anggota missi diplomatik?

b) Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran atas kekebalan diplomatik oleh negara penerima terhadap staf missi deplomatik?

c) Bagaimana penyelesaian kasus penangkapan staf diplomat India oleh kepolisian Amerika Serikat?

3. Febi Hidayat, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, NIM:

06140196, dengan judul ”Pertanggungjawaban Negara atas Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Ditinjau dari Aspek Hukum Internasional”, dalam rumusan masalah:

a) Bagaimanakah pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak kekekbalan diplomatik ditinjau dari hukum internasuional (Konvensi Wina 1961)?

b) Bagaimanakah kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 dari Konvensi Wina 1961?

c) Bagaimanakah penyelesaian kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau ddari Konvensi Wina 1961?

Dalam pemaparan di atas ternyata judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa dengan yang ditulis saat ini. Penulisan ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman selama berada di bangku kuliah terutama saat berada di Jurusan Departemen Hukum Internasional.

Dalam penelitian ini skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan disamping itu dilakukan juga penelitian.

Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini maka dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

F. Tinjauan Pustaka

Definisi hukum internasional dapat disimpulkan sebagai seperangkat sistem yang terdiri dari aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional antara negara-negara berdaulat maupun subjek-subjek hukum

internasional lainnya.11 Lebih singkat lagi, Steven Wheatley menyatakan hukum internasional sebagai hukum yang diterapkan antara negara-negara.

Definisi hukum internasional oleh J. G. Starke yang dapat melampaui batasan tradisional hukum internasional menyatakan bahwa hukum internasional sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka atau sama lain.12

Hampir semua negara pada saat ini diwakili di wilayah negara-negara asing oleh utusan-utusan diplomatik. Langkah-langkah utama dalam membangun misi diplomatik adalah mengangkat kepala misi, memperoleh tempat untuk misi dan tempat tinggal untuk kepala, mengangkat staf dan menempatkan staf tersebut di tempat sarana praktis dari operasi, seperti komunikasi dan transportasi. Karena signifikansi representional dan fungsional dari kepala misi, prosedur yang lebih rumit diperlukan untuk penunjukan daripada untuk diplomat lainnya.13

Pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam instrumen-instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun konvensi-konvensi sebagai

11 Martin Dixon, International Law Fourth Edition, Blackstone Press Limited, London, 2000, hlm.2

12 J. G. starke, Pengantar Hukum Internasioanl Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.3

13 Richard k. Gardiner, International Law, ( Harlow Pearson Education Limited, 2003), hlm. 348

hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional secara progresif.14

Dewasa ini sebagai landasan yuridis untuk membuka hubungan diplomatik antar negara dapat dipergunakan ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1961 yang menggariskan : “the establishment of diplomatic relations between states, and of permanent diplomatic missions, take place by mutual consent.”

Pasal 2 konvensi ini hanya menyatakan syarat-syarat terbentuknya suatu hubungan diplomatik itu sendiri, berdasarkan pasal tersebut, dapat dilihat bahwa kesepakatan bersama (mutual consent) merupakan syarat mutlak berdirinya suatu hubungan diplomatik, baik oleh antar negara maupun oleh misi diplomatik yang permanen.

Sebelum memahami tugas dan fungsi perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961, maka ada baiknya pula dilihat dan dipahami beberapa pendapat sebagaimana yang dikemukakan di bawah ini:

Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pada pokoknya hanya terdapat tiga tugas yang wajib dilakukan oleh perwakilan diplomati, yaitu: negotiation, observation, dan protection.15

Dalam hal negosiasi, harus mengemukakan pandangan dan kepentingan negaranya terhadap situasi ataupun perkembangan dunia pada saat itu kepada negara penerima.

Dalam penagamatan (observation), harus mampu mengemukakan secara seksama atas segala kejadian di negara penerima yang mungkin dapat

14 Syahmin A.K, Hukum Diplomatik, PT Raja Grafindo Parsada, Jakarta, 2008, hlm. 3

15 Oppenheim-Lauterpacht, iInternational Law, Vol. 8th edition, (London-New York Longmans Green & Co, 1960), hlm. 785-786

mempengaruhi kepentingan nasional negaranya. Bahkan jika dianggap perlu melaporkan tentang hal-hal tersebut kepada pemerintah negaranya.

Dalam hal proteksi, harus mampu memberi perlindungan kepada diri dan badan hukum maupun harta benda negaranya dan termasuk pula dengan kepentingan negaranya dengan memperhatikan dan mengindahkan pengaturan-pengaturan hukum internasional dalam hal tersebut.

Fungsi-fungsi atau tugas-tugas yang akan dilakukan oleh missi sudah diakui secara umum di masa lampau, dan telah dirumuskan di dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan Diplomatik, yang terdiri atas:16

1. Mewakili negara pengirim dalam negara penerima

2. Melindungi kepentingan-kepentingan dan warga negara pengirim di negara penerima di dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum internasional

3. Mengadakan negosisasi dengan negara penerima

4. Menentukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum, keadaan, dan perkembangan di negara penerima dan memberi laporan tentang itu kepada pemerintah negara penerima

5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan sosial mereka.

16 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Jakarta, Djambatan, 2002, hlm. 94

Agar diplomat dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik maka diperlukan hak kekebalan dan keistimewaan di negara penerima maupun negara ketiga. Hak kekebalan dan keistimewaan ini tidak hanya berlaku untuk diplomat saja tetapi untuk keluarga, anggota staf diplomat, maupun pembantu diplomat.

Adapun hak kekebalan dan keistimewaan tersebut adalah:

1. Kekebalan mengenai diri pribadi

Ketentuan tentang kekebalan pribadi diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961, menyatakan “the person of diplomatic agent shall be inviolable. He shall no be liable to any form of arrest or detention. The receiving state shall treat him with due respect and shall the propriate steps to prevent and attack on his person freedom or dignity”. Dapat diartikan bahwa pejabat diplomatik adalah inviolable, tidak dapat ditangkap atau ditahan.

2. Kekebalan keluarga seorang pejabat diplomatik

Ketentuan mengenai kekebalan keluarga diplomatik terdapat dalam Pasal 37 ayat 1 Konvensi Wina 1961, menyatakan “the members of family of diplomatic agent forming part of his household shall, if they are not nationals of the receiving state, enjoy the previliges and immunities specifies in article 29 to 36”. Artinya anggota keluarga dari seorang pejabat diplomatik yang merupakan bagian dari rumah tangganya, yang bukan berwarganegara penerima akan menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 sampai 36.

3. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi

Dalam Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuan yang berbunyi sebagai berikut. “a diplomatic agent is not obliged to give as a witness”, maka seorang diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk menjadi saksi di muka pengadilan negara setempat, baik yang menyangkut perkara perdata maupun menyangkut perkara pidana, dan administrasi.

4. Kekebalan korespondensi

Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Pada intinya berisi tentang hak untuk berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan surat-menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubungan komunikasi.

5. Kekebalan kantor perwakilan asing dan tempat kediaman seorang pejabat diplomatik

Secara jelas terdapat dalam Pasal 22 dan 30 Konvensi Wina 1961. Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas kantor perwakilan dan tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina 1961.

6. Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit 7. Perjalanan karena force majeure

8. Pembebasan pajak-pajak

9. Pembebasan dari bea cukai dan bagasi 10. Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial

11. Pembebasan dari pelayanan pribadi, umum dan militer 12. Pembebasan dari kewarganegaraan.

Menurut J. G. Starke, sebuah pejabat diplomatik dapat berakhir dengan cara yang berbeda-beda di antaranya:17

1. Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang menirimnya.

Surat penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang memberitahukan penarikan.

2. Pemberitahuan oleh negara pengirim kepada negara penerima bahwa tugas perutusan itu telah berakhir (Pasal 43 Konvensi Wina 1961)

3. Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled). Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina 1961), akan tetapi seperti kasus permintaan Australia pada bulan juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali ke negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tentang tuduhan tindakan yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu tertentu untuk keberangkatannya ( sepuluh hari seperti yang dinyatakan dalam permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas ). Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara tegas diisyaratkan oleh Konvensi Wina 1961.

17 J. G. Starke, Op.Cit, hlm. 571-572

4. Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara pengirim dan negara penerima

5. Pemeberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak mengakuinya lagi sebagai anggota misi ( Pasal 9 dan 43 Konvensi Wina 1961 )

6. Tujuan misi tersebut telah berakhir

7. Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya untuk waktu terbatas

Kekebalan diplomatik merupakan hal yang penting bagi pejabat diplomatik dari negara-negara dalam melakukan hubungannya dengan negara lain dalam melakukan diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut.

Sehubungan dengan itunterdapat tiga teori menegnai landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik luar negeri yaitu sebagai berikut:

1. Teori Ekstrateritorial (Exterritotiality Theory)

Teori ini menganggap bahwa meskipun para diplomat secara konkret ada/tinggal di negara penerima, tetapi secara yuridis dianggap ada di luar wilayah negara penerima yaitu tetap tinggal di negara pengirim. Sebagai konsekuensi alur pemikiran tersebut, para anggota diplomatik tidak tunduk dan tidak dikuasai oleh hukum negara penerima, tetapi tetap tunduk pada hukum negara pengirim.

Dengan demikian, menurut teori tersebut seluruh perwakilan dan perabot yang ada di dalamnya termasuk orang-orang yang mendiami gedung perwakilan dianggap sebagai perluasan dari wilayah negara pengirim.

2. Teori Diplomat Sebagai Wakil Negara Berdaulat atau Wakil Kepala Negara (Representative Character)

Dalam Bahasa Indonesia diartikan teori sifat seorang diplomat sebagai wakil negara berdaulat, atau teori sifat perwakilan. Menurut teori tersebut, diplomat dianggap sebagai simbol atau lambang negara pengirim sekaligus wakil negara pengirim di negara penerima karena itu segala perbuatan diplomat harus dianggap sebagai pencerminan kehendak negara pengirim

3. Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity Theory)

Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik perlu diberikan kepada diplomat agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga hasil pekerjaannya memuaskan negara penerima dan negara pengirim.

Negara penerima wajib menjaga keamanan dan keselamatan para diplomat yang bertugas di negaranya baik dari warga negara penerima maupun warga negara asing. Tetapi pada saat sekarang ini makin banyak kasus pelanggaran tersebut adalah:

1. Pelanggaran terhadap gedung perwakilan diplomatik

2. Pelanggaran kebebasan komunikasi 3. Penistaan lambang negara

4. Penangkapan dan penahanan terhadap staf misi diplomatik

Salah satu pelanggaran kasus yang menjadi perbincangan dunia internasional saat sekarang ini adalah penyidikan dan penggeledahan tempat kediaman dan kantor kediaman Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki oleh polisi Turki dengan tuduhan pembunuhan berencana atas korban yang bernama Jamal Kashoggi yang dilakukan oleh utusan misi Arab Saudi.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu bertujuan dengan menganalisa.

Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.18

Dalam penelitian ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian.

Terdapat banyak jenis penelitian, khusunya penelitian hukum, jenis dan sifat penelitian yang paling popular dikenal adalah:19

a. Penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau hanya menggunakan data sekunder belaka.

18 Soerjono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2006, hlm.43

19 Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penelitian Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hlm.23-24

b. Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama meneliti data primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari perpustakaan.

Maka untuk melengkapi penelitian ini agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan tujuan skripsi ini, maka digunakan metode penelitian hukum normatif. Metode Yuridis Normatif digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku yang mengatur tentang hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik yang berbentuk konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional.

Penelitian hukum normatif ini mempergunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh melalui perpustakaan baik Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maupun Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan referensi-referensi lain terkait dengan judul skripsi ini.

Sifat penelitian ini bersifat deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.20

2. Sumber Data Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini mempergunakan data sebagai berikut:

A. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang diperoleh dari ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berupa:

20 Soerjono Soekanto, op. cit, hlm.10

1. Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik 2. Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler

3. Konvensi New York 1969 mengenai Misi Khusus

4. Konvensi New York 1973 menegenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap Orang-Orang yang Menurut Hukum Internasional termasuk Para Diplomat

B. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, seperti buku-buku literatur yang terkait dengan penelitian ini, makalah hukum, koran, jurnal hukum, artikel-artikel media cetak, karya tulis ilmiah lainnya, dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

C. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang, memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder yang terdiri dari Kamus Hukum, Ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Teknik

pengumpulan data ini dilakukan agar mendapatkan hasil yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen.

4. Analisis Data

Metode analisa data yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah dengan pendekatan kualitatif, yaitu analisis data yang tidak membutuhkan populasi dan sampel dengan berdasarkan kualitas data untuk memperoleh gambaran permasalahan secara mendalam dan komprehensif. Kemudian selanjutnya ditarik kesimpulandengan menggunakan metode deduktif, yakni berpikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.21

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian atau gambaran isi yang dimaksud adalah mengemukakan garis-garis besar dari uraian penelitrian. Secara garis besar pembahasan penelitian ini akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan masalah-masalah tersendiri secara sistematis dan berhubungan antara satu bab dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.

Pembagian tersebut diharapkan akan mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti pembahasan secara keseluruhan. Adapun sistematika penelitiannya dalah sebagai berikut:

21 H. Salim, HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm.19

Bab pertama merupakan dasar dalam pembuatan penelitian ini, dalam bab ini membahas tentang latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian skripsi ini, tnjauan kepustakaan, dan metode penelitian yang digunakan sampai kepada sistematika penelitian.

Bab kedua menjelaskan tentang prosedur tata cara pengangkatan dan kewenangan pejabat diplomatik, meliputi sejarah timbulnya diplomatik dan perkembangannya,serta dasar-dasar hukum diplomatik berdasarkan konvensi-konvensi internasional.

Bab ketiga menguraikan tentang bentuk pelanggaran atas hak kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik, meliputi latar belakang timbulnya kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik, serta dasar teoritis dan yuridis dari kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik.

Bab keempat menguraikan tentang analisis kekebalan kantor kediaman dan tempat kediaman pejabat diplomatik dalam kasus Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki, meliputi sejarah hubungan diplomatik Arab Saudi-Turki, serta pengaturan tentang kekebalan diplomatik tempat dan kantor kediaman pejabat diplomatik.

Bab kelima yang merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini akan membahas mengenai kesimpulan dan selanjutnya akan ditulis saran yang berkaitan dengan Analisis Hukum Internasional tentang Kekebalan Diplomatik Kantor Kediaman dan Tempat Kediaman ( Studi Kasus: Jamal Kashoggi pada Konsulat Jenderal Arab Saudi di Turki) yang diharapkan dapat bermanfaat.

BAB II

ASPEK HISTORIS DAN NORMATIF DARI PEJABAT DPLOMATIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah Diplomatik dan Perkembangannya

Diplomasi meski dapat dikatakan sebagai cara yang beradab dan cukup modern dalam meraih national interest, namun ternyata hal yang cukup modern tersebut sudah ada sejak zaman prasejarah22. Black mengungkapkan bahwa pada era itu, bahkan beberapa milenium sebelum Masehi, jejak-jejak diplomasi sudah dapat ditemukan di wilayah Mesopotamia. Penemuan yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa diplomasi berawal dari Mesopotamia adalah ditemukannya dokumen Amarna di bekas reruntuhan istana kerajaan Mesir pertengahan abad ke-14 sebelum Masehi pada tahun 1887 yang terdiri dari 350 huruf yang membuktikan adanya jaringan diplomatik yang luas dan dinamikanya yang cukup maju juga adanya saling ketergantungan antara kekuatan-kekuatan besar kala itu.

Teks dokumen tersebut secara keseluruhan membahas mengenai status, prestise, dan ranking. Semuanya dibagi dalam dua kondisi, kondisi absolut yaitu vis a vis Mesir, dan kondisi relatif yaitu vis a vis dengan relasi Mesir yang lain. Akar dari kiasan tersebut termasuk pemberian hadiah, dan ikatan darah melalui pernikahan antar bangsawan dimana secara status seharusnya dipandang sederajat namun kenyataannya tidak, hal ini tidak sedikit disebabkan oleh ikatan pernikahan semacam itu yang memang tidak sesuai dengan dasar kebudayaan masyarakat Mesir, ditambah lagi dengan pertimbangan peringkat yang dibumbui dengan

22 Black Jeremy, A History of Diplomacy, Reaction Books Ltd., 2010, hal. 17

prestise. Meski begitu, metode diplomasi dengan perkawinan antar bangsawan tersebut tetap bertahan dan terus berlangsung hingga abad ke-19. Menurut Black, diplomasi pada era Amarna tersebut cukup kasar atau kurang bersahaja karena tidak mampu menyediakan komunikasi yang jelas dan bernuansa.23

Beralih pada diplomasi era Yunani Kuno, diplomasi dari negara ini merupakan diplomasi yang khas dan unik. Bangsa yunani mendapatkan keterampilan berdiplomasi melalui perserikatan antar negara kota yang mereka bentuk, selain

Beralih pada diplomasi era Yunani Kuno, diplomasi dari negara ini merupakan diplomasi yang khas dan unik. Bangsa yunani mendapatkan keterampilan berdiplomasi melalui perserikatan antar negara kota yang mereka bentuk, selain