• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELEMBAGAAN PEMBERDAYAAN SDM NELAYAN KEWIRAUSAHAAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Definisi Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan di berbagai bidang yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Selain itu, kondisi miskin dapat berakibat antara lain, yaitu : (1) secara sosial ekonomi dapat menjadi beban masyarakat, (2) rendahnya kualitas dan produktifitas masyarakat, (3) rendahnya partisipasi aktíf masyarakat, (4) menurunnya ketertiban umum dan

21

ketenteramaman masyarakat; (5) menurunnya kepercayaan masayarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (6) kemungkinan pada merosotnya mutu generasi (lost generations).

Walaupun nelayan skala kecil menjadi kontributor terbesar dalam produksi perikanan tangkap, namun nelayan masih selalu diidentikkan dengan kemiskinan (Elfindri, 2002). Kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural (Nikijuluw, 2001).

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal diluar individu nelayan, yaitu struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau dilingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka.

Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel tersebut diantaranya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit diatasi bila tidak ada keinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan karena kompetisi antar sektor, antar daerah, antar institusi sehingga menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah pusat dan daerah memiliki komitmen khusus bagi kepentingan masyarakat miskin, dengan kata lain perlu dilakukan affirmmative actions.

22

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel- variabel yang melekat, inheren dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan kultural ini sulit diatasi terutama karena pengaruh panutan (patron) baik yang bersifat formal maupun informal, yang sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural (Nikijuluw, 2001). Seperti yang dinyatakan Shari (1990) dan Mashuri (1993) bahwa penyebab utama kemiskinan nelayan yang dapat dikategorikan kultural adalah masa kerja yang terbatas dan tidak pasti, nilai produksi dibagi bersama terutama nelayan buruh. Selain itu, keluarga nelayan juga memiliki mutu modal manusia yang relatif rendah (Saedan, 1999).

Kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks, karena tidak saja berkenaan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik (powerlessness), ketidakmampuan menyampaikan aspirasi (voicelessness), serta berbagai masalah yang berkenaan dengan pembangunan manusia (human development).

Berdasarkan definisinya, Levitan (1980) yang diacu dalam Adiwibowo (2000) menyebutkan bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi kekurangan barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak. Sedangkan ahli ekonomi lebih sering mendefinisikannya sebagai fenomena ekonomi, dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencaharian yang cukup mapan sebagai tempat untuk menggantungkan hidup. Namun sesungguhnya tidak semata-mata diakibatkan oleh kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, melainkan lebih dari itu. Esensi Kemiskinan adalah menyangkut kemungkinan orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan perekonomiaanya.

23

Secara lebih mendalam, Adiwibowo (2000) membedakan paling sedikit ada 6 (enam) macam kemiskinan, yaitu : (1) kemiskinan subsisten (penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.), (2) kemiskinan perlindungan (lingkungan buruk: sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan, (3) kemiskinan pemahaman (kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan), (4) kemiskinan partisipasi (tidak ada akses dan control atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas), (5) kemiskinan identitas (terbatasnya pembauran, terfragmentasi antara kelompok sosial), (6) kemiskinan kebebasan (stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik tingkat pribadi maupun komunitas).

Secara teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar permasalahannya yang dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: (1) kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat terbatasnya sumberdaya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah, (2) kemiskinan buatan, yakni kemiskinan yang terjadi karena strutur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.Definisi lain mengenai kemiskinan adalah seperti yang disebutkan oleh KPK (Komisi Penanggulangan Kemiskinan), yang mendefiniskan penduduk miskin ke dalam beberapa golongan, masing-masing:

1) Usia di atas 55 tahun (aging poor), yaitu kelompok masyarakat yang tidak produktif (usia lanjut dan miskin). Program untuk kelompok ini bersifat pelayanan sosial.

2) Usia antara 15-55 tahun (productive poor), yaitu usia sedang tidak produktif (usia kerja tetapi menganggur). Program yang dilakukan adalah investasi ekonomi dan merupakan fokus penanggulangan kemiskinan. 3) Usia di bawah 15 tahun (young poor), yaitu kelompok yang belum

produktif. Program yang dilakukan yaitu penyiapan sosial.

Kemiskinan merupakan suatu proses panjang yang melibatkan tarik- menarik serta interaksi berbagai faktor. Kemiskinan muncul bukan sebagai sebab tetapi lebih sebagai akibat dari adanya situasi ketidakadilan, ketimpangan dan

24

ketergantungan dalam struktur masyarakat. Chambers (1983) yang diacu dalam Adiwibowo (2000) mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut perangkap kemiskinan (deprivation trap).

Kemiskinan berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Rumusan pengertian kemiskinan mencakup unsur-unsur: (1) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan perumahan air bersih, transportasi dan sanitasi); (2) kerentanan; (3) ketidakberdayaan; dan (4) ketidakmampuan untuk menyalurkan aspirasinya. Sedangkan dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok, yaitu: (1) kurangnya kesempatan (lack of opportunity); (2) rendahnya kemampuan (low of capabilities); (3) kurangnya jaminan (low-level of security); (4) dan ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment).

Kemiskinan dapat dikategorikan berdasarkan penyebabnya, antara lain struktural, kultural, dan alamiah. Penyebab kemiskinan struktural adalah yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan dan lembaga yang ada dimasyarakat yang menghambat produktifitas dan mobilitas masyarakat. Adapun penyebab kulturalnya adalah berkaitan dengan adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak produktif, tingkat pendidikan yang rendah dan kondisi kesehatan dan gizi yang buruk, sedangkan faktor alamiah adalah faktor kondisi alam dan geografis, misalnya keterisolasian daerah.

Indikator kemiskinan yang selama ini lazim digunakan adalah garis kemiskinan (poverty line), yang menunjukkan ketidakmampuan seseorang melampaui ukuran pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya. Garis kemiskinan adalah ukuran yang didasarkan pada kebutuhan konsumsi minimum yang mencakup konsumsi makanan dan non makanan.

Disamping pengertian kemiskinan secara universal, diperlukan pula pengertian kemískinan pada tingkat lokal yang ditentukan oleh komunitas setempat dan pemerintah daerah terkait. Dengan demikian kriteria kermiskinan, pendataan kemiskinan, penentuan sasaran, pemecahan masalah dan upaya-upaya

penanggulangan kemiskinan dapat lebih obyektif dan tepat sasaran. Uraian tersebut lebih bersifat pada pada pemahaman kemiskinan yang lebih

25

material, walaupun disadari masih terdapat berbagai pandangan lain yang non- material. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh indikasi-indikasi masalah kemiskinan yang nampak pada dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Fauzi (1992) mendeifinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau masyarakat tidak mampu mencapai kecukupan dalam hal kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan (pakaian, perumahan dan jasa). Secara anatomis, pada dasarnya kemiskinan dapat diklasifikasikan dalam dua katagori yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah dapat timbul karena faktor alam yang tidak mendukung, misalnya sumberdaya yang langka atau tidak bisa lagi menjadi daya dukung kebutuhan manusia. Kemiskinan struktural terjadi karena struktur sosial yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Birokrasi yang berbelit-belit dan sistem mekanisme pasar yang tidak sehat misalnya merupakan beberapa sebab kemiskinan struktural.

Menurut Rasdani (1993), kemiskinan struktural disebabkan oleh kurang modal, kurang pendidikan, tidak punya keahlian yang lebih produktif, tidak punya pendukung yang kuat dalam masyarakat dan tidak punya semangat untuk memperbaiki nasibnya. Selain itu, tidak punya kemampuan dari dalam untuk mengembangkan diri, posisinya lemah dan pasrah sehingga tercipta kebudayaan kemiskinan (culture of poverty).

Kusnadi (2002) menyatakan bahwa kemiskinan dan tekanan sosial ekonomi yang dihadapi nelayan berakar pada faktor kompleks yang saling terkait. Faktor tersebut diklasifikasikan ke dalam faktor alami dan faktor non-alami. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non-alamiah, berkaitan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial yang pasti, lemahnya penguasaan jaring pemasaran dan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini.

Direktorat Tata Guna Tanah, Direktorat Jenderal Agraria (1996) yang diacu oleh Kusnadi (2002) mengklasifikasikan tingkat kemiskinan berdasarkan

26

nilai konsumsi total 9 bahan pokok dalam setahun yang dinilai dengan harga setempat. Kebutuhan hidup minimum yang dipergunakan sebagai tolok ukur adalah 100 kg beras, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 6 kg inyak goreng, 9 kg garam, 60 liter minyak tanah, 20 batang sabun, 4 meter tekstil kasar dan 2 meter batik kasar. Besarnya standar kebutuhan hidup minimum per kapita per tahun dijadikan sebagai garis batas kemiskinan. Tingkat kemiskinan tersebut dibagi dalam beberapa katagori sebagai berikut:

a) Tidak miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih besar dari 200% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

b) Hampir miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 125-200% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

c) Miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 75-125% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

d) Miskin sekali, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih kecil dari 75% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.