• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP)

PELAKU KEBIJAKAN

2.7 Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan di Indonesia

2.7.1 Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP)

Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) merupakan salah satu program Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang dilaksanakan oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), penggalangan pertisipasi masyarakat dan kegiatan usaha ekonomi lainnya yang berbasis sumberdaya lokal dan berkelanjutab, sehingga dapat mendorong dinamika pembangunan sosial ekonomi di kawasan pesisir. Program PEMP dilaksanakan sejak tahun 2001 dan akan berakhir pada tahun 2009. Secara garis besar, periode pelaksanaan Program PEMP dapat dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu : (1) tahap inisiasi program (2001-2003), (2) tahap institusionalisasi program (2004-2006) dan (3) tahap diversifikasi program (2007-2009).

Program PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dan didasarkan pada karakteristik masyarakat pesisir sehingga masyarakat merasa memiliki dan membutuhkan program ini.

71

Kesejahteraan tidak hanya meliputi aspek ekonomi (lapangan kerja dan pendapatan) tetapi juga meliputi aspek sosial (pendidikan, kesehatan, dan agama), lingkungan sumberdaya perikanan dan laut serta permukiman dan infrastruktur. Pengembangan aspek ekonomi penting untuk mengembangkan lapangan kerja dan berusaha serta meningkatkan pendapatan. Aspek social penting untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi, iman dan takwa serta sikap dan perilaku. Aspek lingkungan penting untuk pelestarian sumberdaya pesisir dan laut, serta perbaikan permukiman. Aspek infrastruktur dibutuhkan untuk memperlancar mobilitas pelaksanaan kegiatan ekonomi dan social. Keempat aspek tersebut (ekonomi, social, lingkungan, dan infrastruktur) harus ditunjang oleh kelembagaan social ekonomi yang kuat dan dikembangkan secara seimbang agar kesejahteraan dapat ditingkatkan secara optimal.

Keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan (ekonomi) akan dipengaruhi oleh kegiatan usaha yang bisa dikembangkan dan permodalan yang dapat disediakan serta kondisi pasar yang mendukungnya. Kegiatan usaha itu sendiri keberhasilannya akan dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya laut dan pesisir yang ada, teknologi yang tersedia seta kualitas sumberdaya manusia yang akan mengelolanya. Kualitas sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perilaku, iman dan takwa, serta wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan, dan agama serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam ranka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya.

Dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pengembangan ekonomi, peran pemerintah masih sangat diperlukan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung, termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah, akses permodalan, pasar, dan tata ruang kawasan pesisir.

Pengembangan kegiatan usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut memerlukan perencanaan yang matang agar dalam pelaksanaannya tidak menyebabkan kerusakan sumberdaya yang bersangkutan. Oleh karena itu, kegiatan tersebut harus dimulai dengan identifikasi potensi dan permasalahan

72

wilayah pesisir dan laut yang disesuaikan dengan kebutuhan, keinginan, dan kemampuan masyarakat serta kebijakan pemerintah dan infrastruktur yang mendukungnya.

Keberhasilan program pemberdayaan masyarakat pesisir harus didukung oleh kegiatan ekonomi masyarakat yang berbasis pada potensi sumberdaya local dengan memprioritaskan partisipasi masyarakat setempat dan memperhatikan skala dan tingkat kelayakan ekonomi. Pengembangan organisasi dan kelembagaan social ekonomi masyarakat yang berbasis pada budaya local perlu dilakukan untuk mendukung aktivitas social dan ekonomi yang akan dikembangkan. Hal ini penting terutama untuk membantu mengantisipasi dan menyelesaikan konflik social yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.

Upaya pencapaian keberhasilan program PEMP ini diawali dengan sosialisasi program pada semua pihak terkait yang meliputi dinas teknis, masyarakat sasaran program, tokoh masyarakat, dan para pemangku kepentingan lainnya guna mendapatkan respon dan masukan untuk menyempurnakan program yang telah disusun. Pada kondisi sosial (tingkat pendidikan, mental, perilaku) masyarakat pesisir yang belum optimal, agar program dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan, maka sangat diperlukan tenaga pendamping professional. Pemantauan dan evaluasi harus dilakukan agar program dapat berjalan sesuai dengan harapan.

Evaluasi kerja PEMP dilakukan dari tahun ketahun dilakukan secara berkesinambungan dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1) Mengetahui status keberhasilan kinerja pelaksanaan Program PEMP secara nasional

2) Mengetahui status keberhasilan kinerja dan capaian-capaian pelaksanaan Program PEMP di sejumlah lokasi

3) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status kinerja Program PEMP

4) mendapatkan berbagai data dan informasi yang akurat, obyektif sebagai basisi untuk melakukan perumusan umpan balik dan perbaikan kinerja Program PEMP pada masa yang akan datang.

73 2.7.2 Komite penanggulangan kemiskinan

Sebagai upaya Pemerintah dalam mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia, pada tanggal 7 Desember 2001, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 124 Tahun 2001 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang disempurnakan lagi dengan Keppres No. 8 dan No. 34 Tahun 2002 untuk memperlancar tugas dan fungsi KPK tersebut. Komite ini berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden (Sumodiningrat, 2003). Strategi pemberdayaan masyarakat KPK adalah meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya dan mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat terutama UMKM yang meliputi penajaman program, pendanaan dan pendampingan. Pendampingan adalah kegiatan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program, agar pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik. Sedangkan pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin dilakukan melalui penajaman alokasi APBN, yaitu melalui Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dengan melakukan tiga pemberdayaan, yaitu pada usahanya berupa bantuan permodalan dan pendampingan, pada manusianya yaitu berkaitan dengan pendidikan, pelatihan dan peningkatan kesehatan; dan sarana- prasarananya/lingkungannya yang mendukung usaha atau kegiatan produktif masyarakat miskin. Selain itu penajaman APBN juga dilakukan melalui Bantuan Operasional Pembangunan (BOP) kepada departemen/LPND/instansi terkait untuk melakukan pembinaan teknis terhadap lembaga-lembaga di Tingkat Daerah, Pembinaan teknis yang diterapkan meliputi pembinaan kepada manusianya, usahanya, kelembagaannya, monitoring evaluasi dan pengendaliannya.

Hambatan-hambatan yang perlu mendapat perhatian dalam pemberdayaan UMKM di antaranya adalah keterbatasan sumberdaya finansial, badan hukum dan manajemen yang konvensional, sehingga sektor ini sulit tersentuh oleh pelayanan lembaga keuangan formal (bank). Upaya pemerintah untuk membantu UMKM misalnya dengan menghubungkan dengan pengusaha besar untuk bermitra belum

74

cukup efektif mengatasi masalah mengingat jumlahnya yang banyak dan tersebar di seluruh Indonesia.

Untuk mengatasi hambatan ini, pendekatan yang perlu dilakukan adalah penyediaan jasa keuangan mikro (micro finance). Selama ini Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan lembaga yang mampu memenuhi kebutuhan modal karena mampu menyesuaikan dengan karakteristik UMKM yang cenderung dianggap tidak bankable oleh sektor perbankan komersial. LKM mampu memberikan pelayanan kredit dalam skala besar tanpa jaminan, tanpa aturan yang ketat, dan dengan cara itu pula mampu untuk menutup seluruh biaya yang mereka keluarkan. Selain itu LKM dapat juga menjadi perpanjangan tangan dari lembaga keuangan formal, sebelum dana untuk pelayanan keuangan mikro itu tersalur kepada kelompok swadaya masyarakat (atau usaha mikro tersebut).

Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sendiri memuat 3 (tiga) elemen kunci (versi dari Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia). Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan yang relevan dengan kebutuhan riil masyarakat yang dilayani. Kedua, melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (masyarakat miskin menjadi pihak beneficiaries utama).

Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel, agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan.

Berbagai fenomena di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang “merakyat”. Yaitu sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan prosedur yang sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar apabila untuk masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka pemulihan ekonomi karena LKM mendukung sustainability dan pengembangan UMKM yang telah terbukti mampu menjadi pilar dasar perekonomian Indonesia.

Dalam rangka perkuatan perekonomian nasional, penyediaan jasa keuangan mikro diharapkan mampu mencakup dua sisi yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, yaitu mampu untuk melayani kebutuhan nasabahnya (baca: masyarakat miskin) dan pada sisi lain mampu untuk mengembangkan

75

dirinya sebagai lembaga keuangan mikro yang bonafid. Kemampuan untuk melayani nasabah menuntut juga kemampuan si nasabah untuk dapat mengelola keuangan agar dapat dioptimalkan demi pengembangan skala usahanya.

Selama ini keengganan dari pihak perbankan bank komersial dalam menyalurkan kreditnya kepada usaha kecil karena adanya anggapan bahwa kelompok atau individu yang mempunyai predikat sebagai masyarakat miskin sangatlah tidak bankable di mata perbankan. Hal itu dikarenakan pihak perbankan memandang, bahwa pelayanan terhadap masyarakat miskin akan menyebabkan biaya tinggi dan penuh resiko. Tingginya biaya disebabkan oleh skala kredit yang terlalu kecil untuk bank komersial, tidak mampu memberikan agunan, pendapatan yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah, dan kenyataan bahwa jarak lembaga keuangan dengan mereka sedemikian jauh. Pihak perbankan cenderung untuk melayani golongan ekonomi atas, karena golongan ini dipandang lebih prospektif, lebih dekat, dan lebih mudah.

Oleh karena itu keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu untuk mencakup dua profile, antara institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial yang memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam penyaluran dana keuangannya. Meski berperan sebagai institusi sosial, tetapi LKM dapat menjadi institusi komersial melalui cara minimasi biaya transaksi, dan peran dari kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam mengkoordinir anggotanya. Karena kedekatan dengan pihak nasabah dan fleksibilitas aturan, maka biaya-biaya dapat berkurang. Kemudian peran dari KSM—organisasi yang terdiri dari orang-orang sesuai strata ekonominya yang diharapkan mampu menekan anggotanya dalam mengamankan kreditnya, atau mensubstitusi collateral.

Mekanisme penyaluran itu membutuhkan keberadaan seorang pendamping. Pendamping merupakan faktor kunci agar receiving mechanism

berjalan. Pendamping memberi bantuan dan fasilitas non keuangan untuk sektor mikro seperti memfasilitasi adanya penyusunan rencana usaha, pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok, serta pemupukan modal. Agar proses pendampingan berkelanjutan, maka diperlukan biaya pendampingan. Biaya itu dapat diambilkan dari beberapa alternatif, misalnya dari pengembalian kredit yang

76

berasal dari kegiatan LKM itu sendiri, atau berasal dari sisa laba BUMN yang merupakan hasil kerjasama dengan pemerintah.

Dengan terbitnya kebijakan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota lebih mempunyai ruang yang luas untuk mengelola rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi dan aspirasi masyarakatnya. Seiring dengan hal ini, penanggulangan kemiskinan juga harus dilakukan pada tingkat daerah terkecil, namun fungsi dasar pemerintah daerah tetap sebagai fasilitator, regulator, serta motivator. Artinya pemerintah daerah mempunyai peran yang sangat sentral karena lebih mengerti dan memahami potensi, tantangan, kekuatan dan kelemahan daerah masing-masing. Pelibatan unsur-unsur lain di luar daerah juga tetap menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena apabila pemerintah daerah mengabaikan hal ini, maka kegagalan pembangunan Indonesia selama masa orde lama dan baru akan terulang kembali.

Terkait dengan KPK Daerah dalam rangka penanggulangan kemiskinan khususnya untuk masyarakat miskin produktif, maka pemberdayaan dan pengembangan UMKM menjadi prioritas utama. Konsekuensinya pemberdayaan dan pengembangan LKM sesuai dengan aspek lokalitas dan karakteristik UMKM menjadi salah satu syarat dasar. Pertanyaannya, bagaimana keterkaitan di antara keduanya? LKM di tingkat daerah dengan segala fleksibilitasnya dalam menyalurkan kredit mikro untuk sektor UMKM daerah dapat dijadikan mitra bagi perbankan umum yang menganut prinsip kehati-hatian, untuk menjangkau sektor UMKM yang selama ini dianggap tidak bankable.

Kemitraan kerja ini dapat melalui dua saluran. Pertama, LKM bertindak hanya sebagai penyalur dan pendamping bagi pengusaha UMKM yang mendapat kucuran kredit dari perbankan. Fungsi executing tetap dipegang oleh perbankan. Kedua, LKM berfungsi sebagai penyalur dan pemutus kredit (kredit), dan bank bertindak sebagai pengucur kredit (perbankan mengucurkan kredit kepada LKM untuk kemudian disalurkan kepada sektor UMKM).

Pengembangan kemitraan kerja ini, harus didukung oleh unsur-unsur daerah yang lain, seperti dunia usaha dalam bentuk penciptaan kemitraan di bidang produksi, manajemen dan pemasaran, lembaga litbang dan perguruan tinggi sebagai pemantau, evaluasi dan penyempurnaan suatu kebijakan, serta

77

pemerintah daerah dalam bentuk penciptaan kondisi makro dan mikro di tingkat daerah yang menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha. Sementara itu, peran pendampingan juga LKM dapat dijalankan oleh LSM.