• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELEMBAGAAN PEMBERDAYAAN SDM NELAYAN KEWIRAUSAHAAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Kemiskinan Nelayan di Indonesia

Masyarakat pesisir (nelayan) di Indonesia identik dengan kemiskinan meskipun dari banyak literatur menyebutkan bahwa kemiskinan nelayan adalah suatu atribut global, terkecuali untuk negara-negara maju seperti Jepang. Kemiskinan nelayan dapat disebabkan karena suatu kesalahan pengelolaan sumberdaya ikan, dimana sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada

52

seorangpun yang bertanggung jawab dalam memikirkan keberlanjutan sumberdaya (Subade and Abdullah, 1993; Panayotou, 1992; Johnston, 1992). Sementara itu, Johnston (1992) mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas disekonomi yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala industri dan skala rumah tangga (kecil), maka nelayan kecil yang menanggung eksternalitas disekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan serta deplesi sumberdaya ikan.

Secara terstuktur, Dahuri (2000) mengajukan alasan kemiskinan nelayan, yang intinya kemiskinan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu biaya tinggi yang harus dibayar dan penerimaan yang rendah dari penjualan ikan hasil tangkapan. Seterusnya bila, diteliti lebih jauh, biaya tinggi disebabkan karena struktur pasar yang cenderung merugikan nelayan, sedangkan penerimaan yang rendah adalah karena volume hasil tangkapan dan/atau harga ikan yang rendah. Dahuri (2000) mengklasifikasikan alasan kemiskinan nelayan kedalam empat hal yaitu (1) kemiskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya ikan, (2) kemiskinan karena kekurangan prasarana, (3) kemiskinan karena kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dan (4) kemiskinan karena struktur ekonomi yang tidak mendukung dan memberikan insentif usaha. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya.

Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin diantaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti demikian tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak.

Panayotou (1992) mengatakan bahwa nelayan tetap bertahan dalam kemiskinan, karena tidak ada pilihan untuk menjalani kehidupan itu (preference

53

for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1992) ini dikuatkan oleh Subade dan Abdullah (1993), yang menekankan bahwa nelayan lebih senang dan memiliki kepuasaan hidup dari menangkap ikan dan bukan semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Sehingga dengan way of life yang demikian, maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, bukanlah masalah baginya, sementara prinsip hidup sangat sukar untuk diuah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara Asia menyimpulkan, bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama mengapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan tersebut. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya secara ekonomis tidak lagi efisien.

Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu, bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost

mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila

opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.

Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil.

54

Dengan demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.

Johnston (1992) mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas dis-ekonomi (kejadian-kejadian yang terjadi di luar sumberdaya ikan yang menimbulkan biaya yang harus dibebankan kepada masyarakat nelayan, sedangkan keuntungan diterima oleh orang lain) yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala industri dan skala rumah tangga (kecil), maka nelayan kecilah yang akan menanggung eksternalitas dis-ekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan dan deplesi sumberdaya ikan. Hal tersebut terjadi karena sumberdaya ikan tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab dalam memikirkan keberlanjutan sumberdaya. Seperti dikemukakan oleh Feeny (1990) bahwa sumberdaya milik bersama setidaknya memiliki 2 karakteristik, yaitu eksludabilitas (exludability) yaitu kondisi dimana pengawasan terhadap sumberdaya oleh penggunanya cukup sulit dilakukan atau hampir tidak mungkin dilakukan dan substraktabilitas (substractability), yaitu situasi persaingan dimana bila yang seseorang memperoleh lebih banyak, maka orang lain memperoleh lebih sedikit. Jadi substraktabilitas mengandung makna persaingan di dalam pemanfaatan sumberdaya. Dengan demikian sumberdaya milik bersama adalah jenis sumberdaya alam dimana pengawasan terhadapnya sulit dilaksanakan dan pemanfaatan secara bersama-sama melibatkan persaingan.

Kesalahan pengelolaan sumberdaya ikan dan eksternalitas dis-ekonomi ini merupakan variabel mendasar yang selama ini tidak diprogramkan sebagai upaya untuk membangun perikanan di Indonesia (Nikijuluw, 2001).

Di bawah kelas sumberdaya milik bersama, terdapat sistem pemilikan sumberdaya (1) akses terbuka atau tidak dimiliki oleh siapapun, (2) kepemilikan swasta, (3) kepemilikan komunal atau oleh sekelompok masyarakat, dan (4) kepemilikan pemerintah.

Sumberdaya akses terbuka, seperti selama ini diatributkan pada sumberdaya perikanan Indonesia, adalah sistem dimana tidak seorangpun yang

55

memiliki sumberdaya tersebut. Akibatnya sumberdaya itu terbuka bagi siapa saja untuk dimanfaatkan. Kondisi sumberdaya ikan akses terbuka biasanya adalah kemunduran jumlah ikan, penangkapan secara berlebih-lebihan, penggunaan alat tangkap yang merusak, dan tidak ada seorangpun yang mau bertanggung jawab terhadap kelanjutan sumberdaya.

Kemiskinan sebagai akibat akses terbuka dan pengelolaan sumberdaya secara tidak efektif karena lebih dari 80% armada perikanan Indonesia adalah armada skala kecil dan umumnya menganut prinsip rejim dan kepemilikan aset terbuka (open access) maka dampak perikanan akses terbuka ini sangat nyata bagi Indonesia.

Dengan sumberdaya ikan yang tidak dimiliki oleh siapapun, maka setiap orang berhak masuk atau keluar dari sumberdaya tanpa perlu mendapat izin dari yang lain. Kondisi akses terbuka, pada awalnya akan menghasilkan keuntungan bagi industri perikanan maupun nelayan secara individu. Namun keuntungan yang dimiliki ini tidak akan bertahan lama. Karena setiap keuntungan yang diperoleh akan memacu investasi baru. Baik nelayan yang sudah ada dalam industri maupun mereka yang di luar industri akan melihat adanya keuntungan pada industri tersebut sebagai daya tarik untuk masuk ke dalam industri.

Nelayan yang sudah terlebih dahulu ada akan meningkatkan investasi usahanya, dalam bentuk penambahan kapal baru, atau meningkatkan jumlah frekwensi penangkapan. Dengan demikian upaya penangkapan ikan akan bertambah. Sementara itu orang lain yang berada di luar industri akan masuk ke dalam industri dalam bentuk investasi baru.

Bila proses ini berjalan terus, maka yang akan terjadi adalah perebutan yang semakin kompetetif (purely and perfectly competitive) terhadap sumberdaya yang ada yang semakin hari semakin meningkat. Oleh karena besar dan stok sumberdaya ada batasnya (carrying capacity) dan adanya sifat substraktabilitas sumberdaya yang common property, maka kompetisi yang terjadi akan membuat semakin kecil perolehan keuntungan. Bila sebelumnya, sumberdaya menghasilkan keuntungan supernormal, dengan makin bertambahnya nelayan dan kapal penangkapan ikan, maka pendapatan setiap orang nelayan akan berkurang. Proses

56

ini pada akhirnya akan membuat penerimaan nelayan dari penjualan ikan secara rata-rata, hanya mampu untuk menutupi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pengangkapan tersebut.

Kejadian-kejadian seperti diuraikan tersebut, sering dikatakan sebagai tragedi akses terbuka. Feeny (1990) menguraikannya sebagai tragedi milik bersama. Disebutkan sebagai suatu tragedi karena terjadinya proses pemiskinan, nelayan yang tadinya bisa meraih keuntungan pendapatan akhirnya mengalami penurunan pendapatan. Tragedi ini semakin parah karena lebih banyak orang yang terperangkap dalam usaha memanfaatkan sumberdaya milik bersama ini, terutama di negara berkembang dimana kondisi tenaga kerja relatif banyak tetapi lapangan dan kesempatan kerja relatif kecil, sehingga akan terjadi aliran orang-orang yang terus masuk ke industri perikanan yang memang dicirikan dengan sumberdaya akses yang terbuka.

Karena kompetisi antara nelayan terus terjadi, maka individu yang satu berusaha melebihi yang lainnya. Semakin cepat dan semakin banyak seseorang mendapat ikan akan semakin baik bagi yang bersangkutan. Dengan permintaan ikan di pasar yang terus meningkat maka setiap orang akan berusaha memenuhi permintaan itu. Akhirnya, nelayan cenderung menggunakan cara-cara yang tidak benar dengan merusak sumberdaya dan merusak lingkungan. Sampai pada kondisi ini maka tragedi milik bersama magnitude dan skalanya.semakin besar

Di Indonesia, secara nasional tragedi itu telah terjadi dan hal tersebut bisa digambarkan sebagai berikut: Potensi lestari ikan laut Indonesia berdasarkan evaluasi potensi terakhir oleh Departemen Kelautan Perikanan adalah sekitar 6,18 juta ton per tahun. Potensi lestari artinya bahwa jumlah ini bisa diambil dari laut setiap tahun secara kontinyu tanpa adanya kemunduran atau degradasi sumberdaya. Namun berdasarkan cara-cara pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab, maka yang bisa diambil dari laut yaitu sekitar 80% dari potensi lestari, atau hanya sekitar 5 juta ton per tahun. Angka 5 juta ton dinamakan jumlah tangkapan diperbolehkan (total allowable catch)

57

Dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan ini yang sudah dimanfaatkan dalam bentuk hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan-pelabuhan Indonesia pada tahun1998 sekitar 3,8 juta ton, atau sekitar 76%, sehingga masih ada sekitar 1,2 juta ton yang dapat diambil lagi dari laut. Namun jumlah yang tersisa tersebut diprediksi akan semakin kecil karena banyak kapal asing yang mencuri ikan, banyak kapal ikan yang tidak melapor kepada yang berwajib, atau laporan di bawah angka yang sebenarnya.

Bila dinilai dengan, katakanlah, Rp 5.000 per kg ikan maka nilai hasil tangkapan pada tahun 1998 adalah Rp 19 trilyun. Nilai sebesar ini dihasilkan oleh sekitar 4 juta orang nelayan (skala besar dan kecil, industri dan tradisional). Dengan demikian dalam setahun, seorang nelayan menghasilkan sekitar Rp 4.750.000, nilai kotor sebelum dikurangi biaya operasional dan investasi. Dalam sebulan, berarti setiap nelayan menghasilkan nilai hasil tangkapan kotor sekitar Rp 395.833.

Pendapatan rata-rata nelayan per bulan ini memang tergolong rendah. Apalagi jumlah ini harus digunakan untuk membiayai kegiatan penangkapan ikan itu sendiri dan juga untuk kebutuhan keluarga yang umumnya sekitar 4 jiwa per keluarga.

Inilah tragedi itu. Meskipun banyak upaya sudah dilakukan untuk menghentikan, namun tampaknya sulit, karena caranya yang salah, kurang mengena, kurang strategis, dan tidak tepat sasaran. Sementara itu nelayan tetap bertambah karena sumberdaya ikan tetap bersifat akses terbuka. Jadilah usaha perikanan sebagai perangkap kemiskinan.

Hasil penurunan derajat kemiskinan yang dilakukan selama tiga dekade di Indonesia tenyata masih sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi politik, konflik sosial, dan bencana alam yang terjadi di berbagai daerah. Hal ini terlihat dari angka kemiskinan pada tahun 1976 dari 54,2 juta jiwa (40% dari total penduduk) menurun menjadi 22,5 juta jiwa (11,3% dan total penduduk) pada tahun 1996. Namun badai krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada bulan Juli 1997 berakibat pada angka penduduk miskin meningkat tajam menjadi 49,5 juta

58

jiwa atau 24,23% dari total penduduk (berdasarkan data BPS bulan Desember 1998).

Pengalaman pada masa lalu memperlihatkan beberapa kelemahan pembangunan antara lain : (1) masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro dari pada pemerataan, (2) sentralisasi kebijakan daripada desentralisasi kebijakan, (3) lebih bersifat karitatif daripada transformative, (4) memposisikan masyarakat sebagai objek dari pada subyek, (5) cara pandang tentang penanggulangan kemiskinan yang masih berorientasi pada karitatif daripada produktivitas, (6) asumsi permasalahan dan solusi kemiskinan sering dipandang sama (uniformitas} daripada pluralistik. Tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan kemiskinaan saat ini adalah tuntutan untuk menerapkan paradigma, yaitu : (1) pengelolaan pemerintahan yang baik, (2) otonomi daerah dan desentralisasi, dan (3) upaya pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin.

Tentang masalah kemiskinan di Indonesia data Badan Pusat Statistik (2003) menunjukan, bahwa populasi penduduk miskin di Indonesia sebelum krisis pada tahun 1996 sekitar 11,34%, setelah krisis pada tahun 1998 sekitar 24,23%, dan di akhir tahun 2000 sekitar 18,95%. Oleh karena itu strategi pokok penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menurunkan populasi penduduk miskin dari sekitar 18,95% (atau sekitar 37,8 juta jiwa) di tahun 2001 menjadi sekitar 14% (atau sekitar 26,8 juta jiwa) di akhir tahun 2004. Sedangkan sebaran penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan, bahwa lebih dari 59% berada di Jawa-Bali, 16% di Sumatera dan 25% di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Terpusatnya kantong kemiskinan di Jawa-Bali erat kaitannya dengan pola sebaran penduduk yang sebagian besar berada dii Jawa-Bali, sehingga penduduk di Jawa-Bali rentan terhadap krisis ekonomi dan berpengaruh terhadap kenaikan jumlah penduduk miskin.

Hasil pendataan BPS pada tahun 1999 menunjukkan sebagian besar dari rumahtangga miskin rata-rata mempunyai 4,9 anggota rumahtangga. Jumlah rata-rata anggota rumahtangga ini lebih besar dibanding jumlah rata-rata anggota rumahtangga tidak miskin (3,9). Ini menunjukkan bahwa rumahtangga

59

miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibanding rumahtangga tidak miskin.

Ciri lain rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah. Data yang disajikan BPS memperlihatkan bahwa 72,01% dari rumahtangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipinipin oleh kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di perkotaan. Sekitar 57,02% rumahtangga miskin diperkotaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 31,38% dipinipin oleh kepala rumiah tangga berpendidikan SD.

Karakteristik rumahtangga miskin berdasarkan aspek kegiatan ekonomi dapat ditinjau dari sumber penghasilannya. Menurut data BPS pada tahun 1996 penghasilan utama 63,01% rumahtangga miskin bersumber dari kegiatan pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan selebihnya (2,88%) merupakan penerima pendapatan. Pada tahun 1998 penghasilan utama 56,67% rumahtangga miskin bersumber dari kegiatan pertanian, 7,43% dari kegiatan industri, dan 34 % dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan selebihnya (1,9%) merupakan penerima pendapatan. Hal ini menunjukkan sektor pertanian merupakan sumber penghasilan utama yang dominan bagi rumahtangga miskin dibandingkan dengan sektor laínnya.

Dengan membedakah menurut karakteristík wilayah perdesaan-perkotaan sebagian besar, sekitar 75,7% rumahtangga miskin berada di perdesaan yang mengandalkan kehidupannya pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Lebih dari 75% rumahtangga miiskin di perkotaan memperoleh penghasilan utama dari kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, dan hanya 24 % yang mengandalkan pada sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumahtangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani. Kegiatan ekonomi perkotaan yang lebih beragam memberikan sumber penghasilan yang beragam pula bagi rumahtangga miskin di perkotaan.

60

Karakteristik rumahtangga miskin berdasarkan scatus pekerjaan, data BPS menunjukkan pada tahun 1996 kepala rumahtangga miskin perdesaan bekerja dengan status berusaha sendiri atau dibantu pekerja keluarga tidak dibayar dan termasuk pekerja lepas sebesar 80,05%. Di perkotaan terdapat 62,37% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja lepas/berusahasendiri/berusaha dibantu pekerja keluarga dan 35,92% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja/buruh. Pada tahun 1998 kepala rumahtangga miskin perdesaan bekerja dengan status berusaha sendiri atau dibantu pekerja keluarga tidak dibayar dan termasuk pekerja lepas sebesar 77,95%. Di perkotaan terdapat 53,89% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja lepas/berusaha sendiri/ berusaha dibantu pekerja keluarga dan 43,35% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja/buruh. Pada tahun 1999 kepala rumahtangga miskin perdesaan bekerja dengan status berusaha sendirí atau dibantu pekerja keluarga tidak dibayar dan termasuk pekerja lepas sebesar 77,91%. Di perkotaan terdapat 61,21% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja lepas/berusaha sendiri/berusaha dibantu pekerja keluarga dan 36,67% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja/buruh.

Gambaran karakteristik rumahtangga miskin berdasarkan status pekerjaan diatas, menunjukkan kondisi tahun 1998 terjadi peningkatan persentase rumahtangga miskin yang bekerja sebagai buruh/karyawan. Kecenderungan tersebut mengindikasikan krisis yang terjadi pada tahun 1998 menjangkau sektor formal, sehingga relatif lebih banyak buruh/karyawan yang jatuh miskin pada tahun 1998 dibandng 1996. Sedikit perbaikan sudah mulai nampak pada tahun 1999, walaupun kondisinya masih sedikit lebih buruk dari tahun 1996. Yang lebih perlu diperhatikan adalah dominannya rumahtangga miskin yang berstatus pekerja lepas/berusaha sendiri/berusaha dibantu pekerja keluarga baik di perdesaan maupun di perkotaan, walaupun rumah tangga miskin yang berstatus karyawan/pekerja/buruh juga cukup banyak.