• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELEMBAGAAN PEMBERDAYAAN SDM NELAYAN KEWIRAUSAHAAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Definisi Kesejahteraan

2.3.1 Tingkat kesejahteraan

Kesejahteraan bersifat subyektif dimana setiap orang mempunyai prdoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda pula terhadap factor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Konsep tentang kesejahteraan juga berkaitan dengan konsep tentang kemiskinan. Menurut Sayogyo (1977), klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) didasarkan pada nilai pengeluaran perkapita pertahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu: (1) miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 untuk daerah kota, (2) miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg untuk daerah kota, (3) paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 beras untuk daerah kota.

Kesehatan dapat juga dipakai sebagai ukuran kesejahteraan seseorang. Faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat antara lain konsumsi makan

28

makanan bergizi, sarana kesehatan serta keadaan sanitasi lingkungan yang tidak memadai.

Tinjauan tentang kesejahteraan masyarakat dapat pula dilihat melalui kondisi maupun fasilitas yang dimiliki suatu tempat tinggal. Perumahan (papan) adalah salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting selain makanan (pangan) dan pakaian (sandang) dalam pencapaian kehidupan yang layak. Selanjutnya dikatakan pula bahwa pendidikan penduduk sering dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa dan indikator dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pendidikan dalam kehidupan dewasa ini sudah dianggap sebagai kebutuhan dasar yang tidak dapat ditunda pemenuhannya.

Selain itu, faktor gizi juga merupakan indikator utama dalam komponen gizi dan konsumsi yang digunakan dalam menggambarkan taraf hidup masyarakat. Penyebab kekurangan gizi yang menggambarkan taraf hidup masyarakat yang lebih rendah lebih lanjut dikatakan bahwa tingkat ekonomi yang masih rendah menyebabkan masyarakat belum mampu memperoleh pelayanan kesehatan.

Tinjauan atas tingkat kesejahteraan rakyat dapat pula dilihat melalui kondisi maupun fasilitas tempat tinggal yang dimiliki. Perumahan adalah salah satu kebutuhan dasar yang paling penting selain makanan dan pakaian untuk mencapai kehidupan yang layak. Rumah pada saat ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat berteduh, tetapi sudah mencerminkan kehidupan rumah tangga/masyarakat.

UU No. 16 tahun 1994 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan soaial, material maupun spiritual, yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang menungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya bagi diri keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

29

Tingkat kesejahteraan sosial diukur dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga yang didasarkan pada pola pengeluaran untuk pangan, barang dan jasa, rekreasi, bahan bakar dan perlengkapan rumah tangga. Pendekatan pengamatan dilakukan terhadap kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan dan pola pengeluaran rumah tangga. Penilaian terhadap kondisi perumahan didasarkan pada jenis dinding rumah, jenis lantai, jenis atap serta status kepemilikan. Pendekatan untuk menilai kondisi kesehatan berdasarkan kondisi sanitasi perumahan serta kondisi perlengkapan air minum, air mandi, cuci dan kakus (BPS, 1991).

Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1996) yang diacu dalam Primayuda (2002), yang disebut keluarga sejahtera adalah: (1) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial maupun agama; (2) Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarganya; dan (3) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, berkehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusyuk, disamping terpenuhi kebutuhan pokoknya.

Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat komplek dan tidak memungkinkan untuk untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan indikator kesejahteraan rumah tangga yang telah ditetapkan oleh BPS (1991) yang sudah dimodofikasi. Modifikasi diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi di daerah penelitian. Indikator tersebut terdiri atas: (1) Pendapatan rumah tangga; (2) Konsumsi rumah tangga; (3) Keadaan tempat tinggal; (4) Fasilitas tempat tinggal; (5) Kesehatan anggota keluarga; (6) Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan tenaga medis/paramedis, termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan obat- obatan; (7) Kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan; (8) Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi; (10) Perasaan aman dari gangguan kejahatan; dan (11) Kemudahan dalam melakukan olah raga.

30

Tingkat Kesejahteraan Keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1996) yang diacu dalam Primayuda (2002) adalah sebagai berikut:

1) Keluarga Pra Sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan.

2) Keluarga Sejahtera Tahap-1 (S-1), adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasrnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya seperti pendidikan, Keluarga Berencana (KB), interaksi dalam keluarga, lingkungan, tempat tinggal serta kebutuhan transportasi.

3) Keluarga Sejahtera Tahap-2 (S-2), adalah keluarga yag telah dapat memenuhi kebutuhan dasar dan juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembangannya seperti menabung dan memperoleh informasi.

4) Keluarga Sejahtera Tahap-3 (S-3), adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, prsikologis dan pengembangannya akan tetapi belum dapat memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan secara aktif di masyarakat dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan sebagainya.

5) Keluarga Sejahtera Tahap-3 plus (S-3+), yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta telah pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat. 2.3.2 Pemberdayaan sumberdaya manusia

Kata pemberdayaan (empowerment) mengandung arti adanya sikap mental yang tangguh atau kuat, sehingga kegiatan yang berbasis pembedayaan adalah pertolongan yang diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut kemudian mengkomunikasikan kekuatan untuk mengubah hal-hal yang ada dalam diri kita (inner space), orang lain yang dianggap penting dan

31

masyarakat sekitar proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama kecenderungan primer yang prosesnya sering disebut sebagai makna pemberdayaan. Kecenderungan ini menekankan pada proses pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). Kedua kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Sesungguhnya, di antara kedua kecenderungan tersebut adalah saling terkait, bahkan bisa saja agar kecenderungan primer dapat terwujud, seringkali harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu (Pranarka dan Vidhyandika , 1996).

Berdasarkan konsep tersebut, proses pemberdayaan secara umum meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1) Merumuskan relasi kemitraan, 2) Mengartikulasikan tantangan-tantangan dan mengidentifikasi berbagai kekuatan yang ada, 3) Mendifinisikan arah yang ditetapkan, 4) mengeksplorasi sistem- sistem sumber, 5) Menganalisis kapabilitas sumber, 6) Menyususn frame

pemecahan masalah, 7) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber dan memperluas kesempatan-kesempatan, 8) Mengakui temuan-temuan, 9) Mengintegrasikan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai.

Pada dasarnya pemberdayaan diletakan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya menurut undang-undang. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Oleh karena itu Bank Dunia misalnya, percaya bahwa partisipasi masyarakat dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau masyarakat termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri.

32

Berkaitan dengan pemberdayan nelayan sebagai bagian dari masyarakat pesisir, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memberdayakan masyarakat pesisir, di antaranya adalah 1) Strategi Fasilitasi, yaitu mengharapkan kelompok yang menjadi sasaran program sadar terhadap pilihan-pilihan dan sumberdaya yang dimiliki. Strategi ini dikenal sebagai strategi kooperatif, yaitu agen perubah secara bersama-sama dengan kliennya (masyarakat) mencari penyelesaian. 2) Strategi edukatif, yaitu strategi yang diperuntukan bagi masyarakat yang tidak mempunyai pengetahuan dan keahlian terhadap segmen yang akan diberdayakan. 3) Strategi persuasive, yaitu strategi yang ditujukan untuk membawa perubahan melalui kebiasaan dalam berperilaku. Strategi ini lebih cocok digunakan bila target tidak sadar terhadap kebutuhan perubahan atau mempunyai komitmen yang rendah terhadap perubahan. 4) Strategi kekuasaan, yaitu strategi yang efektif membutuhkan agen perubah yang mempunyai sumber- sumber untuk memberi bonus atau sanksi pada target serta mempunyai kemampuan untuk monopolis akses. Untuk terlaksananya strategi-strategi tersebut, program unggulan harus dibuat dan dilaksanakan secara terstrukur dan terencana dengan komitmen yang kuat.

Selanjutnya dikatakan bahwa program-program pemberdayaan masyarakat pesisir yang seyogyanya dilakukan, adalah: 1) Peningkatan kesejahteraan nelayan yang dilakukan melalui pembangunan desa pantai disertai pembinaan intensif, meningkatkan aktivitas sekunder dengan melibatkan nelayan, menggalakan pengembangan usaha skala kecil dan menengah, membentuk sistem agribisnis perikanan terpadu, pembinaan tehadap lembaga-lembaga keuangan dalam mendukung usaha perikanan, pengembangan usaha berbasis sumberdaya pantai dan industri kecil. 2) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia perikanan. Dilakukan melalui peningkatan penguasaan dan penerapan IPTEK perikanan, teknologi pengolahan bagi pengumpul dan pedagang ikan dan pengembangan kemampuan perguruan tinggi pendukung. 3) Pengembangan industri perikanan dan kelautan. Pengembangan industri perikanan dan kelautan di daerah harus dilakukan dengan kebijakan pendekatan total (total approach). Untuk itu banyak hal yang perlu mendapat perhatian yang dapat digolongkan ke dalam 3 aspek

33

yaitu : (1) Administrasi dan manajemen, (2). Badan usaha dan, (3). Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Berkaitan dengan strategi pemberdayaan dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (Community Based Management = CBM) adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan berpusat pada masyarakat, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah.

Pengelolaan dengan konsep CBM ini hampir tidak ada campur tangan pemerintah. Pengelolaan dengan CBM ini memiliki resiko jika sumberdaya manusianya tidak siap. Namun demikian, dalam konsep pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dalam kenyataannya juga tidak sepenuhnya berhasil tanpa keterlibatan pemerintah dalam implementasinya. Masyarakat memiliki banyak kekurangan terutama dalam kualifikasi pendidikan, kesadaran akan pentingnya lingkungan, keuangan/permodalan dan sebagainya.

Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat local sebagai dasar pengelolaannya. Pengembangan masyarakat dengan CBM dikaitkan dengan kepercayaan (religion). Oleh sebab itu pengelolaan berbasis masyarakat adalah pengelolaan yang mengakomodir berbagai kepentingan (termasuk pemerintah) dalam pengelolaan sumberdaya alam yang disebut CO-Operative Management (CO- Management)

Dalam position paper pemberdayaan masyarakat pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan (2002) disebutkan, bahwa berdasarkan karakteristik masyarakat pesisir (nelayan) dan cakupan pemberdayaan, maka pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, yakni pembangunan dengan memiliki ciri-ciri: (1) berbasis lokal (melibatkan sumberdaya lokal sehingga return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Sumberdaya lokal yang patut digunakan adalah sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan (menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi),

34

(3) berbasis kemitraan (kemitraan yang mutualistis antara orang lokal atau orang miskin dengan orang yang lebih mampu, untuk membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik atau profesional, serta pergaulan bisnis yang lebih luas), (4) secara holistik atau multi aspek (pembangunan mencakup semua aspek, setiap sumberdaya lokal patut diketahui dan didayagunakan), dan (5) bekelanjutan (keberlanjutan dari pembangunan itu sendiri, mencakup aspek ekonomi dan sosial).

Disebutkan pula, bahwa khusus pembangunan di kawasan pesisir dan umumnya pembangunan perikanan dan kelautan, masalah kualitas SDM dan lingkungan sepatutnya mendapat perhatian khusus, karena secara umum masyarakat pesisir memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang masih rendah. Oleh karena itu dalam investasi SDM masyarakat pesisir sudah sepatutnya mempertimbangkan kedua hal tersebut, walaupun investasi SDM dinilai mahal, tidak quick yielding dan tidak nyata (feasible) manfaatnya menurut perhitungan ekonomi konvensional, khususnya bila harus dinilai dengan indikator seperti

benefit cost ratio (B/C) atau internal rate of return (IRR). Meskipun demikian investasi ini perlu dilakukan, dengan pertimbangan khusus atau adanya kebijakan keberpihakan (affirmative policy).

Dengan SDM yang memadai, maka di masa yang akan datang pengelolaan sumberdaya, bisnis, organisasi, dan kelembagaan produksi di daerah pesisir dapat dilakukan dengan lebih baik. Sehingga dampak positif akan dapat dirasakan baik oleh individu, maupun masyarakat pesisir terutama nelayan secara keseluruhan.

Selanjutnya disebutkan pula bahwa pemberdayaan dapat dilakukan melalui Pendekatan Empat-Daya (4D), yaitu upaya pemberdayaan masyarakat pada aspek- aspek manusia (Daya-Manusia), usaha (Daya-Usaha), lingkungan (Daya- Lingkungan) dan sumberdaya (Daya-Sumbedaya). Pendekatan ini merupakan bagian dari strategi pembangunan komprehensif. Pendekatan 4D juga merupakan modifikasi pendekatan tri-bina yang pernah digunakan dalam program pengentasan kemiskinan. Komponen tri-bina adalah bina manusia, bina lingkungan dan bina usaha. Modifikasi dilakukan karena dua hal. Pertama, kata pembinaan lebih berkonotasi tidak adanya partisipasi dan bersifat top-down.

35

Untuk itu diubah dengan kata pemberdayaan yang lebih bernuansa bottom-up dan pelibatan masyarakat. Kedua, ditambahkannya aspek sumberdaya karena pembangunan di pesisir sangat bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya ikan, yang keberadaannya sangat rentan terhadap tindakan manusia dan oleh sebab itu perlu diperhatikan secara khusus. Untuk itu maka dimunculkan aspek sumberdaya dalam bentuk Daya-Sumberdaya. Penjelasan keempat pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:

Dayamanusia adalah pendekatan pemberdayaan masyarakat kecil melalui pengembangan SDM. Aspek-aspeknya mencakup (1) investasi pada human capital, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, (2) peningkatan kapasitas organisasi dan kelompok dalam upaya membentuk dan menumbuhkan

collective action, (3) memperluas dan mengintegrasikan mandat agar supaya

collective action makin sinergis, (4) menumbuhkan budaya kerja keras dan hemat, serta (5) mengurangi sikap dan perilaku negatif.

Daya uasaha adalah pemberdayaan masyarakat melalui pencipataan usaha yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat sendiri. Aspek-aspeknya mencakup (1) meningkatkan keterampilan teknis dan analisis dengan berdasarkan pengetahuan dasar dan pengetahuan teknis, (2) meningkatkan akses terhadap teknologi, modal, pasar, dan informasi pembangunan, (3) membangun kemitraan mutualistis antara pengusaha kuat dan lemah, (4) membangun sistem insentif sebagai basis pengembangan usaha, (5) menyediakan peraturan yang kondusif bagi usaha dan meniadakan peraturan yang tidak relevan dan tidak perlu.

Daya lingkungan merupakan pendekatan pemberdayaan dan pembinaan masyarakat melalui perbaikan lingkungan tinggal, lingkungan dan prasarana produksi serta peran masyarakat dalam mengelola dan menata lingkungan hidupnya. Pendekatan ini mencakup aspek-aspek (1) membangun infrastuktur yang menjadi faktor penarik investasi, (2) meningkatkan perencanaan dan pembangunan kawasan dengan mempertimbangkan daya dukung dan kesesuaian lingkungan, (3) mengenal sumberdaya serta faktor yang mempengaruhi eksistensinya, (4) memperkaya sumberdaya melalui kegiatan-kegiatan rehabilitasi, mitigasi bencana, pengendalian pencemaran serta restocking.

36

Daya sumberdaya pendekatan pemberdayaan masyarakat melalui pelibatan mereka dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang mencakup aspek- aspek (1) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi pengelolaan sumberdaya sehingga akan terwujud sistem pengelolaan sumberdaya yang berbasis masyarakat, (2) memberikan konsesi pengelolaan laut bagi masyarakat lokal sehingga ada perhatian dan rasa memiliki akan sumberdaya tersebut, (3) menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat lokal dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya, (4) menerapkan sistem monitoring, pengendalian dan pengawasan lapangan atau MCS sistem, (5) menerapkan teknologi ramah lingkungan dan sumberdaya, (6) membangun kesadaran akan pentingnya merawat dan menjaga keberlanjutan sumberdaya.

Campbell (2000) mengenalkan konsep Kerangka Mata Pencaharian yang Berkelanjutan (The Sustainable Livelihoods Framework). Dalam kerangka tersebut dikatakan bahwa untuk membangun mata pencaharian yang berkelanjutan, perlu diperhatikan asset-aset yang dimiliki oleh masyarakat pesisir (nelayan), diantaranya (1) human assets, meliputi pengetahuan, kecakapan dan kemampuan; (2) natural assets, aset sumberdaya yang ada disekitarnya; (3) social assets, dukungan yang di dapat dari masyarakat sekitar dan keluarga; (4) physical assets, infrastruktur yang dapat dimanfaatkanseperti jalan, suplai air bersih, pelabuhan dan sebagainya; serta (5) financial assests, modal yang dapat diperoleh untuk aktivitas usaha yang dijalankan.

Berdasarkan konsep dan pendekatan di atas, maka sasaran pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya nelayan diformulasikan sebagai berikut:

1) Terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.

2) Tersedianya prasarana dan sarana produksi lokal yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses dengan harga murah dan berkualitas yang baik.

3) Meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif (collective action) untuk mencapai tujuan-tujuan individu.

4) Terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resource-based), pasar yang jelas

37

(market-based), berkelanjutan berdasarkan kapasitas sumberdaya (environmental-based), dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat lokal (local society-based), dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan penelitian (scientific-based).

5) Terciptanya jaringan transportasi dan komunikasi yang memadai, sebagai basis jaringan ekonomi, baik antar kawasan pesisir maupun antara pesisir dan pedalaman.

6) Terwujudnya struktur ekonomi Indonesia yang berbasis pada kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan laut sebagai wujud pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya alam laut.

2.3.3 Kewirausahaan (Entrepreunership)

Menurut Nikijuluw (2005), kewirausahaan (entrepreunership) berasal dari kata wirausaha (entrepreunerial). Menurut Longman Dictionary of Contemporary English, wirausaha adalah kemampuan seseorang untuk memulai bisnis, menata semua urusan bisnisnya, selanjutnya mengambil risiko dalam rangka memperoleh keuntungan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wirausaha disamakan dengan wiraswasta yang artinya orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, memasarkannya, serta mengatur permodalanan operasinya.

Selanjutnya Nikijuluw (2005) mengemukakan bahwa dengan dasar kedua definisi ini, kewirausahaan UKM perikanan dapat diartikan sebagai kemampuan pelaku UKM perikanan dalam memulai dan menjalankan bisnisnya sedemikian rupa melalui langkah-langkah pengambilan resiko untuk mencapai keuntungan dan dalam rangka mengembangkan usahanya secara lebih jauh. Sederhananya, seorang wirausahaan adalah seorang yang pada akhirnya mampu menghasilkan keuntungan atau laba (profit) melalui usahanya. Bila dia pelaku UKM maka yang bersangkutan emiliki kemampuan, meskipun kecil atau menengah skala usahanya, untuk menjalankan bisnisnya dengan tetap menghasilkan laba di tengah situasi dan kondisi resiko yang melingkupi usahanya.

38

Prijosaksono dan Bawono (2004) yang diacu dalam Nikijuluw (2005) memperkenalkan istilah kecerdasan wirausaha (entrepreneurial intelligence) yang menurut mereka adalah dasar bagi seseorang, siapapun dia, apakah pelaku UKM atau konglomerat, untuk membangun usahanya. Kecerdasan wirausaha adalah dorongan hati dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan kreativitas dan kekuatan pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis yang bisa memberi nilai tambah bagi dirinya. Berdasarkan definisi ini, selanjutnya mereka mengatakan bahwa kecerdasan berwirausaha adalah kemampuan seseorang dalam mengenali dan mengelola diri serta berbagai peluang maupun sumberdaya disekitarnya secara kreatif untuk menciptakan nilai tambah maksimal bagi dirinya secara berkelanjutan.

Apakah para pelaku UKM perikanan memiliki kemampuan ini? Jawabannya ya atau ada, tetapi mungkin tidak banyak. Karena itu perlu dikembangkan kemampuan berwirausaha di kalangan UKM perikanan sehingga sumberdaya perikanan yang tersedia di sekitar mereka dapat dimanfaatkan dengan baik bagi dirinya dan masyarakat lain.

Definisi atau batasan lain yaitu kemitraan usaha. Kemitraan (partnership)

berasal dari kata mitra (partner) yang berarti kawan sekerja. Mitra usaha dalah rekan dalam bisnis atau usaha (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sementara itu dalam Longman Dictionary of Contemporary English, kemitraan diartikan sebagai: (1) kerjasama dalam berusaha; (2) suatu usaha yang dimiliki oleh dua atau lebih pihak yang bersama mencari keuntungan dan memikul kerugian; dan (3) suatu hubungan antara dua orang, organisasi atau negara yang bekerjasama secara reguler.

Kemitraan usaha perikanan adalah kerjasama antara dua pihak, utamanya antara pihak usaha besar di satu sisi dan pihak UKM di sisi lain dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan guna mencapai tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. Dengan demikian kemitraan usaha perikanan memiliki kedudukan penting dalam pembinaan dan pengembangan UKM. Melalui kemitraan, kekurangan UKM dapat disubstitusi dengan kelebihan usaha skala

39

besar. Demikian juga kekurangan dan masalah usaha skala besar dapat dengan lebih efisien diatasi oleh UKM.

Pengembangan kewirausahaan dan kemitraan usaha perikanan memiliki akar yang kuat dalam UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Karena amanat UU 31/04 ini maka pengembangan kewirausahaan dan kemitraaan usaha perlu dipromosikan dan dilaksanakan untuk kemajuan bangsa.

Pada pasal 2, dikatakan bahwa pengelolaan perikananan diantaranya dilakukan berdasarkan asas keadilan, kemitraan, pemerataan dan keterpaduan. Pengelolaan perikanan diantaranya dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, mendorong perluasan dan kesempatan kerja serta meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing (pasal 3).

Pemerintah diamanatkan untuk melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan UKM perikanan. Pasal 62 UU 31/2004 disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan dan pembudidaya ikan, baik dari sumber dalam negeri maupun luar negeri. Juga disebutkan bahwa pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan UKM perikanan dalam kegiatan usaha perikanan yang mencakup penangkapan, budidaya, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan(pasal 63)

UKM perikanan diberdayakan diantaranya melalui penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan serta pengembangan kelompok dan koperasi (pasal 60). Komitmen pemerintah bukan saja supaya nelayan Indonesia bisa menguasai teknologi untuk berkiprah di perairan Indonesia saja tetapi juga supaya mereka mampu bekerja di luar negeri. Untuk itu pemerintah mengembangkan lembaga pendidikan dan latihan bertaraf internasional (pasal 57). Pemerintah juga diamanatkan untuk bekerjasama dengan lembaga lain, di tingkat nasional dan internasional untuk menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perikanan (pasal 58).

Pengembangan kewirausahaan di kalangan perikanan adalah suatu proses yang berkelanjutan dan barangkali tidak ada akhirnya. Dalam bentuknya sebagai suatu proses yang tidak berakhir maka pangkal dan proses tersebut adalah