• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Sikap

Dalam dokumen Sikap Remaja Terhadap HIV and AIDS (Halaman 39-45)

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN

2.2 Kerangka Konseptual

2.2.1 Variabel Dependen

2.2.1.1 Definisi Sikap

Pada dasarnya manusia dapat memiliki pelbagai bentuk sikap dalam memahami kehidupan. William L. Thomas dan Florian Znaniecki dalam bukunya yang berjudul “Polish Peasant in Europe and America: Monograph of an Immigrant Group” menyebutkan bahwa dalam teori sosial dibutuhkan unsur budaya yang objektif seperti nilai-nilai sosial serta suatu karakter yang subjektif yaitu sikap untuk memahami kehidupan. Terlihat bahwa melalui sikap, seseorang dapat memahami kesadaran dan dapat menentukan tindakan nyata atau yang mungkin akan dilakukannya dalam kehidupan, hal ini dikarenakan sikap dilihat sebagai suatu proses kesadaran yang sifatnya individu atau subjektif dan memiliki kekhasan untuk setiap individunya.

By attitude we understand a process of individual consiousness which etermines real or possible activity of the indivudual in the social world. (Thomas dan Znaniecki, 1918 : 22)

Puluhan definisi sikap dapat digolongkan menjadi tiga kerangkan pemikiran. Pertama adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh Louis Thrustone, Rensis Likert dan Charles Osgood yang mendefinisikan sikap sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi dari perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek menurut mereka merupakan perasaan mendukung atau memihak (favorable) ataupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek

tersebut. Sedangkan menurut Thurstone sendiri memformulasikan sikap kedalam afek positif atau negatif terhadap suatu objek sikap.

Pemikir kedua yang diwakili oleh Chave, Borgadus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport yang mendefinisikan sikap sebagai kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu. Dalam hal ini kesiapan yang dimaksud ialah kecendrungan bereaksi individu apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendakinya untuk memberikan respon. Kelompok pemikir yang terakhir yaitu kelompok yang berorientasi pada skema tradik (triadic schema) yang melihat sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2007 : 4-5). Sikap secara langsung dapat menjadikan stimulus objek apa saja yang diidentifikasikan di lingkungan sosial, termasuk kelompok manusia (misalnya kelompok etnis), masalah kontroversial (misalnya melegalkan aborsi), dan objek nyata (misalnya pizza).

Sikap dapat didasari oleh kognitif, afektif, dan informasi behavioral. Proses kognitif meliputi sumber informasi atau pengetahuan mengenai objek sikap. Pengetahuan mengenai objek sikap ini dapat bersumber dari pengalaman langsung terhadap objek tersebut atau yang tidak langsung seperti pengetahuan dari orangtua, teman sepermainan dan media. Namun pada dasarnya, sikap yang didasari oleh pengalaman langsung akan lebih kuat dibandingkan sikap yang berasal dari informasi tidak langsung.

Proses afektif merupakan evaluasi individual terhadap objek sikap yang tertuang kedalam emosi atau perasaan. Dalam hal ini, afeksi dan kognisi sering berkorelasi antara satu dengan lain karena dalam prosesnya kedua hal ini akan dapat saling memengaruhi secara bergantian (misalnya pengetahuan dapat memengaruhi perasaan, dan perasaan dapat memandu pikiran). Bagaimanapun, afeksi terhadap objek sikap dapat bersumber dari kepercayaan mengenai objek sikap itu sendiri.

Proses yang terakhir yaitu proses behavioral yang secara spesifik merupakan tindakan yang bersumber dari pengetahuan menuju objek sikap. Sehingga terlihat bahwa perilaku terhadap sikap akan merefleksikan proses-proses sebelumnya yaitu proses kognitif dan afektif (Millon & Lener, 2003).

Sikap atau attitude dalam buku yang dituliskan oleh Sarlito W. Sarwono merupakan sebuah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak senang atau biasa-biasa saja terhadap sesuatu atau objek sikap. Sebuah objek sikap dapat berupa benda, kejadian, situasi, kelompok atau seseorang.Sikap dapat dilihat pada 3 komponen yaitu ABC affection (afeksi), behaviour (perilaku), dan kognition (kognisi).

Afeksi didefinisikan sebagai perasaan yang timbul ketika melihat suatu objek sikap dalam interaksi sosial, yang dapat dinyatakan kedalam perasaan senang dan tidak senang, dalam penelitian ini, peneliti akan mengambil seluruh dimensi tersebut. Sedangkan, perilaku disini merupakan perilaku yang muncul setelah timbulnya perasaan ketika melihat sebuah objek, dapat berupa tindakan mendekat atau menjauh dari objek sikap yang ada. Kognisi merupakan segala bentuk pemikiran atau ide-ide atau pengetahuan individu yang timbul terhadap objek sikap, yang mana dapat berubah menjadi bagus atau tidak bagus. (Sarlito, 2009)

Dimensi afektif menjadi hal yang sangat penting dalam pembentukkan perilaku seseorang. Dimensi kognitif berkaitan dengan aktivitas otak yang berhubungan dengan kemampuan berfikir, menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, atau mengevaluasi. Dimensi kognitif ini terdapat tingkatan (Bloom, 1956 : 62-197), yaitu:

1. Pengetahuan (knowledge) adalah kemampuan seseorang dalam mengingat kembali (recall) sesuatu yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Pengetahuan merupakan proses berpikir yang paling rendah yang dapat diukur dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya terhadap objek.

2. Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang dapat menjelaskan atau menguraikan kembali secara benar dan rinci mengenai suatu objek yang telah diketahui dan diingatnya. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Pemahaman merupakan tingkat kemampuan berpikir yang setingkat lebih tinggi dibandingkan pengetahuan.

3. Penerapan (application) adalah kemampuan seseorang untuk menerapkan ide-ide umum, tata cara maupun metode, konsep, prinsip, rumus, teori dan sebagainya dalam situasi yang baru dan konkret. Penerapan ini merupakan proses berpikir setingkat lebih tinggi dibandingkan pemahaman. Kata untuk mengungkapkan hasil penerapan: membedakan, diskriminasi, terpisah, berhubungan, membagi, dan sebagainya.

4. Analisis (analysis) adalah kemampuan seseorang untuk menganalisis materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen yang masih di dalam satu struktur, dan berkaitan satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis) menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6. Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu kondisi, ide dan sebagainya. Pada tingkat ini seseorang dapat menimbang manfaat atau akibat negatif dari suatu objek.

Gambar 2.1

Enam Tingkatan Berpikir dalam Kognitif

Dimensi Afeksi mencakup aspek perasaan, minat, emosi dan nilai. Menurut Bloom juga terdapat tingkatan dalam aspek afeksi (Krathwohl, Bloom & Maisa, 1984) ini yaitu :

1. Receiving (menerima) adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar.

2. Responding (menanggapi) adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini lebih tinggi daripada jenjang receiving.

3. Valuing (menilai atau menghargai) artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding.

4. Organization (mengatur atau mengorganisasikan), artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu

Evaluasi Synthesis Analysis Application Comprehension Knowledge

sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.

5. Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang memengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalal suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah memengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkat efektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana.

Gambar 2.2

Lima Tingkatan Berpikir dalam Afektif

Menurut Notoatmodjo suatu sikap belum secara otomotasi terwujud dalam tindakan (overt behavior), diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan agar terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata. Notoatmodjo menyatakan perilaku merupakan tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dipelajari. Terdapat tingkatan dalam perilaku ini yaitu :

1. Persepsi, yaitu mengenal dan memilih pelbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon Terpimpin (Guided Respons), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh indikator praktik tingkah laku.

3. Mekanisme (Mechanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat ketiga.

4. Adaptasi (Adaptation), adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

Jadi berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kecendrungan individu dalam memahami, merasakan, dan berperilaku individu terhadap suatu objek sebagai hasil dari interaksi komponen kognitf, afektif dan konatif. Dalam hal ini sikap akan dilihat sebagai suatu penilaian positif atau negatif individu terhadap rangsangan atau stimulus tertentu.

Dalam dokumen Sikap Remaja Terhadap HIV and AIDS (Halaman 39-45)

Dokumen terkait