• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Lembaga Yayasan Annisa Swasti a)Sejarah Berdirinya Yasanti

METODE PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Deskripsi Pasar Giwangan Yogyakarta

2. Deskripsi Lembaga Yayasan Annisa Swasti a)Sejarah Berdirinya Yasanti

c. Luas Bangunan : 9.774 M

d. Luas lahan dasaran : 4.360 M

e. Kelas Pasar : I, II, III

f. Jumlah pedagang : 1.391 Pedagang

g. Fasilitas :

1) Tempat Parkir : 3

2) Kamar Mandi/WC : 4

3) Kantor Pengelola : 2

4) Masjid/Mushola : 2

5) Tempat Bongkar Muat : 3

2. Deskripsi Lembaga Yayasan Annisa Swasti a) Sejarah Berdirinya Yasanti

Yasanti adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berkiprah pada lapisan bawah (grass root). Darilapisan ini, Yasanti memilih kelompok perempuan sebagai kelompok dampingan dan salah satunya kelompok buruh gendong perempuan. Yasanti berdiri dan tercatat sebagai badan hukum Akta Notaris Umar Syambudi, SH Nomor 52/28 September 1082 dan terdaftar di Pengadilan Negeri Yogyakarta pada hari senin tanggal 25 November dengan nomor 183/82/4.

Yasanti dapat dikategorikan sebuah yayasan yang bersifat nirlaba yaitu organisasi yang sifatnya independen. Jauh dari campur tangan

66   

Pasar Induk Buah dan Sayur Giwangan Yogyakarta.

Nama Yasanti adalah kepanjangan dari Yayasan Annisa Swasti yang mempunyai arti “Yayasan Perempuan Mandiri”. Yasanti lahir berawal dari kenyataan pahit yang terungkap melalui sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswi yang mana mereka melihat dan menelaah dunia perempuan yang dalam relaitas kesehariannya berada dalam lingkar peminggiran, subordinat, terdiskriminasi, krisis terhadap pengalaman nilai-nilai agama, dilecehkan bahkan menjadi objek kekerasan.

Beranjak dari sebuah kegelisahan membuat hati mereka terpanggil untuk membantu para buruh gendong perempuan, maka dari itulah melahirkan ide mendirikan sebuah lembaga yang nantinya bisa membantu para perempuan agarbisa maju serta dapat meningkatkan kualitas hidup baik secara, keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi. Mahasiswi yang mempelopori berdirinya Yasanti berjumlah 6 orang perempuan, dan 6 dari mereka hingga saat ini menjadi pengurus Yasanti. Mereka itu adalahSusilowati, Sri Kusyuniati, Kumoro Dewi, Noor Djannah Djohantini, Budi Wahyuni dan Siti Muslimah Widyastuti.

Melalui pergulatan pemikiran yang tidak sederhana, Yasanti menebarkan kiprahnya pada masyarakat lapisan bawah yang dipandang terkena imbas laju perubahan kehidupan. Dari lapisan ini Yasanti

67   

realitas peminggiran kaum perempuan. Kelompok dampingan Yasanti berdiri dari kelompok remaja putus sekolah, kelompok buruh industri di Ungaran dan Sukoharjo, kelompok perempuan pramuniaga dan kelompok buruh gendong perempuan muslimah di pasar beringharjo atau biasa disebut endong-endong.

Yasanti sendiri memulai penelitian terhadap buruh gendong perempuan muslimah pasar Beringharjo sejak tahun 1989, dan pada tahun 1995 mulailah Yasanti secara intens menggalang solidaritas buruh gendong perempuan di pasar Beringharjo melalui serangkaian kegiatan-kegiatan seperti: pengorganisasian yang meliputi penguatan ekonomi, menggalang kesatuan, pelayanan kesehatan, kesadaran gender, serta hak-hak akan politik, sosial, budaya dan keagamaan.

Yasanti hadir dengan tujuan agar dapat melakukan penguatan menuju kemandirian para perempuan khususnya buruh gendong dan pekerja perempuan. Penguatan dalam arti dapat meningkatkan kualitas hidup kaum perempuan baik secara agama, sosial, politik, dan ekonomi, meningkatkan kehidupan sosial perempuan dengan melibatkan mereka secara langsung yang bertujuan agar tumbuhnya kesadaran untuk memperkuat dirinya sendiri baik secara ekonomi, kesehatan reproduksi, organisasi serta kebebasannya, juga dalam bidang keagamaannya.

68   

Yogyakarta, melalui serangkaian kegiatan-kegiatan pendampingannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan terhadap mereka pada intinya adalah pengorganisasian dengan berbagai kegiatan, yakni meliputi penguatan ekonomi, menggalang kesatuan, pelayanan kesehatan, kesadaran gender, serta penyadaran hak akan politik, sosial, budaya. Kegiatan-kegiatan itu ada berbagai macam dengan masing-masing memilki ketentuan yang jelas seperti peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, keagamaan, penyadaran akan-akan hak buruh termasuk bagaimana mewujudkan keadilan gender di tingkat domestik, kelompok dan komunitas buruh gendong secara luas berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist.

b) Visi dan Misi Yayasan Annisa Swasti 1) Visi Lembaga Yayasan Annisa Swasti

Terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang demokratis, bebas dari ketidakadilan gender, dan mempunyai kesempatan dan kemampuan dibidang agama, politik, ekonomi, sosial dan budaya 2) Misi Lembaga Yayasan Annisa Swasti

Mendorong usaha-usaha mewujudkan kehidupan berorganisasi buruh yang independen dan demokratis serta menumbuhkan kesadaran kritis komunitas buruh khususnya buruh gendong perempuan melalui pengorganisasian, pendidikan, dan advokasi.

69   

pengorganisasian berupa diadakannya pelatihan yang sifatnya kemndirian. Adapun pendidikan ini dapat diwujudkan melalui pembelajaran tentang baca tulis, dan baca Al-Qur’an.

c) Struktur Organisasi Yayasan Annisa Swasti

Dalam masalah kepengurusan, Yasanti telah mengalami empat kali bentuk perubahan kepemimpinan/struktur organisasi. Bentuk pertama, terdiri dari badan pendiri sekaligus sebagai pengurus dan pelaksana harian. Bentuk kedua pendiri sebagai badan pengurus dan ada pelaksana harian ditambah beberapa staf. Bentuk ketiga yaitu badan pengurus harian dan ditambah divisi-divisi beserta stafnya. Sedangkan bentuk ke empat yaitu tidak ada pengurus/pendiri yang terlibat langsung dalam pelaksana harian. Dengan mekanisme pergantian 3 tahun sekali dan dapat dipilih 2 kali.

Struktur organisasi Yasanti terdiri dari dua badan yaitu: badan pengurus dan pengurus harian. Badan pengurus merupakan jajaran para pendiri Yasanti yang terdiri dari 6 orang. Keanggotaan mereka bersifat pasif dan turut dalam kegiatan harian. Pengurus harian adalah para pengelola Yasanti yang secara penuh dalam seluruh kegiatan Yasanti. Struktur pengurus harian terdiri dari direktur eksekutif yang dibantu oleh staf-stafnya yang duduk dalam divisi-divisi.Berikut adalah kegiatan yang dilakukan dari masing-masing divisi:

70   

penguatan dikomunitas dampingan, mengingat kelompok dampingan Yasanti memiliki karakteristik sendiri-sendiri maka hal itu juga menjadi pertimbangan dalam melakukan kegiatan pendampingan. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah:

a. Pada buruh sektor industri 1) Pendampingan kelompok

2) Pendidikan dan pelattihan perburuhan (pengorganisasian penyadaran gender, advokasi, kepemimpinan, kesehatan dan keselamatan kerja)

3) Diskusi reguler

4) Kelompok UB (Usaha bersama) 5) Jaringan

b. Pada buruh gendong di Yogyakarta 1) Pendampingan kelompok

2) Pendidikan dan pelatihan (pengeorganisasian, penyadaran gender, advokasi, kepemimpinan, kewirausahaan, kesehatan reproduksi

3) Pendidikan bebas buta huruf 4) Diskusi reguler

5) Kelompok UB ( Usaha bersama) 6) Jaringan

71   

1. Divisi Pendidikan dan Pengajian

Kegiatan divisi pendidikan dan kajian ini merupakan dua fungsi yang internal dan eksternal. Fungsi internal yang dimaksud adalah kegiatan pendidikan, kajian dan pelatihan yang dilakukan sebagai upaya pengembang kualitas staf dan kelompok dampingan Yasanti. Adapun kegiatan membuat penerbitan, pengumpulan informasi, analisis, dan pengkajian tentang perburuhan, gender, dan perempuan.

Fungsi eksternalnya adalah untuk pembentukan opini publik. Aadapun kegiatan yang dilakukan adalah dengan mengadakan forum-forum kajian yang terbuka untuk umum sepeti diskusi, seminar dan lain-lainnya.

2. Divisi Penguatan Jaringan

Divisi ini bertugas menguatkan jaringan baik itu berupa kerjasama maupun yang lainnya lembaga-lembaga yang punya kepentingan dan tujuan yang sama maupun lembaga-lembaga lainnya yang pedui dalam masalah pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan.

3. Divisi Kampanye dan Dokumentasi

Divisi ini membidangi kegiatan-kegiatan seperti penerbitan, dokumentasi dan perpustakaan. Divisi ini tidak secara langsung

72   

dampingan. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Penerbitan

Penerbitan yang dilakukan oleh Yasanti merupakan penerbitan yang bersifat sebagai media internal. Artinya bahwa penerbitan-penerbitan ini tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan secara umum dan komersil. Penerbitan dibuat untuk dua tujuan yaitu: pertama, untuk kepenttingan opini publik dan yang kedua, untuk kepentingan kelompok ddampingan.Penerbitan yang berbentuk buku merupakan hasil dari beberapa peneliti yang pernah dilakukan Yasanti dan disebarluaskan kepada masyarakat umum.

b. Dokumentasi dan Perpustakaan

Kegiatan dokumentasi terbagi menjadi dua kategori yaitu, pembuatan dokumen serta pengelolaan dokumen yang termasuk di dalamnya perpustakaan. Pembuatan dokumen antara lain, pembuatan dokumentasi berupa photo, rekaman proses, photoslide dan pengelolaan e-mail. Sedangkan pengelolaan dokumen meliputi, pendataan, penyimpanan, dan peminjaman pustaka.

73   

seluruh kegiatan di Yasanti meliputi pengelolaan keuangan, kesekretariatan yang lebih bersifat internal.

d) Sumber Pendanaan

Untuk menunjang dan memeperlancar semua program dan kegiatan-kegiatan dalam suatu lembaga selalu membutuhkan dana, demikian pula halnya dengan Yasantiyang senantiasa membutuhkan dana untuk berbagai kegiatan. Adapun dana yang diperoleh berasal dari lembaga lain dan individu/donatur yang tidak mengikat dan mempunyai kepentingan serta tujuan yang sama baik lokal, nasional, maupun internasional.

e) Fasilitas dan Sarana Penunjang

Untuk menunjang dan memperlancar kerja, terlaksananya program maupun tercapainya tujuan, Yasanti memiliki sarana dan prasarana, yaitu: gedung atau kantor Yasanti terletakdi Kuncen Tegal Sari WB I/ 270 Wirobrajan, Yogyakarta 55253, Indonesia. Telepon: + 62-2274-558545, email: yasanti@yogya.wasantara.net.id.

Kantor ini terdiri dari beberapa ruangan yaitu: ruang tamu, ruang tengah (biasanya untuk rapat, diskusi, dan sebagainya), ruang direktur dan divisi-divisi beserta stafnya, ruang perpustakaan, ruang dapur dan ruang kamar mandi. Adapun sarana penunjang yang dimilki dalam kantor tersebut adalah: Televisi, Pesawat telepon, Komputer,

74   

laporan penelitian, skripsi, tesis, kumpulan makalah, kumpulan hasil-hasil seminar, novel. Dimana koleksi-koleksi ini meliputi subyek-subyek gender/feminisme/perempuan, perubahan, sosial, politik, ekonomi, kesehatan/lingkungan, statistik, BPS, hasil-hasil penelitian, pendidikan agama, hukum dan komputer serta koleksi lain serta koleksi lain seperti CD maupun kaset video.

f) Wilayah Kerja

Wilayah kerja Yasanti adalah Jawa Tengah tepatnya di kawasan industri Ungaran dan daerah Istimewa Yogyakarta. Didaerah Ungaran Yasanti mendampingi para buruh industri, sedangkan di Yogyakarta Yasanti mendampingi buruh gendong perempuan dan pekerja karyawan toko perempuan di kawasanMalioboro.

Dalam melaksanakan programnya Yasanti menggunakan siklus umum pengembangan masyarakat, yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan (action), refleksi (reflection), evaluasi (evaluation) dan kembali ke planning lagi.

75   

Gambar 4. Siklus Umum Pengembangan Masyarakat

Dalam penyusunan program, Yasanti biasanya melakukan survey atau penelitian dasar, agar program yang disusun cocok dan sesuai dengan kebutuhan buruh yang di dampingi. Sedangkan perencanaan kelompok dampingan (buruh gendong) dilaksanakan bersama-sama antara Yasanti dan buruh gendong tersebut, sehingga petugas lapangan Yasanti dan para buruh gendong perempuan enak untuk menerapkan perencanaan yang talah disusun bersama serta antara Yasasnti dan buruh gendong mempunyai kedudukan yang sama tidak ada dominan dan minoritas, superioritas dan inferioritas yang ada bentuk kerjasama untuk mewujudkan tujuan bersama. Dalam proses pendampingan aktifitas yang dilakukan oleh pendamping sifatnya berkelanjutan, mendidik tetapi tidak menggurui serta memberikan dukungan agar kelompok dampingan menjadi mandiri dan mampu memecahkan masalah sendiri. Namun, petugas lapangan Yasanti selalu mengadakan refleksi terhadap apa saja yang telah dilakukan. Refleksi ini sebagai bahan dalam menyusun evaluasi keseluruhan program, yang

76   

Di lain sisi dalam proses pendampingan yang dilakukan Yasanti untuk buruh gendong Pasar Giwangan Yogyakarta dibutuhkan strategi yang baik yaitu, adanya proses identifikasi masalah, adanya pendamping, adanya kelompok pendamping (KD), adanya pendekatan dan need assesment (NA), kejasama yang baik, terjadinya transfer informasi dan wawasan, hubungan kesetaraan serta bertujuan mencapai kemandirian kelompok dampingan.

3.Profil Buruh Gendong

Buruh gendong perempuan atau biasa disebut sebagai endong-endong adalah perempuan penjual jasa angkat barang dengan cara

menggendong di Pasar Giwangan Yogyakarta. Barang dagangan yang biasa mereka gendong adalah berbagai macam buah-buahan dan sayur-mayur karena pasar ini merupakan pasar induk khusus buah dan sayur. Adapun asal daerah buruh gendong yang terdapat di pasar Giwangan Yogyakarta berasal dari Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Boyolali, Sukoharjo, dan bahkan ada yang berasal dari Klaten. Buruh gendong yang rumanya jauh mereka lebih memilih mondok (kos) untuk mengirit biaya transport, dengan tinggal di rumah kos sekitar pasar Giwangan atau ada juga yang tidur di pasar Giwangan. Keterangan tesebut diperkuat oleh ungkapan buruh gendong seperti yang di ungkapkan oleh ibu “TMR” selaku buruh gendong yang berasal

77   

“Saya disini ngekos di Pasar mbak karena rumah saya jauh kalau bolak-balik pulang kan rugi di perjalanan dan rugi biaya jadi untuk menghemat biaya transport pulang saya mondok bareng teman-teman” ( TMR, 10/04/13)

Hal serupa juga di ungkapkan oleh ibu “SMR” selaku buruh gendong yang berasal dari Gunung Kidul yang mengungkapkan alasan mengapa memilih untuk tinggal di pasar adalah :

“Kalau tinggal di pasar kan gak bayar mbak jadi gak keluar ongkos nanti kalau setiap hari pulang uang hasil gendong cuman habis buat ongkos perjalanan. Kalau nginep di pasar kan lumayan bisa sedikit ngirit mbak.” ( SMR, 17/04/13)

Yang rumahnya dekat, biasa disebut pelajo, pelajo adalah mereka yang berangkat dari rumah ke tempat kerjanya setiap hari. Pelajo yang jauh mempunyai beberapa alasan untuk setiap hari pulang.

Seperti yang di ungkapkan ibu “SDH” sebagai berikut :

“ Pendhak dinten kulo wangsul ten ndalem mbak, masalahe kulo onten tanggungan wonten ndalem ngurus bojo kulo, kan bojo kulo sakit stroke pun mboten saget nopo-nopo

(Setiap hari saya pulang ke rumah mbak, masalahnya saya punya tanggungan di rumah mengurus suami yang sakit stroke dan sudah tidak bisa apa-apa)” ( SDH, 10/04/13)

Hal serupa juga di ungkapkan oleh ibu “JMN” alasan memilih untuk pulang setiap hari adalah :

“kalau saya setiap hari pulang mbak, karena saya masih punya cucu yang masih sekolah tinggalnya di rumah saya, ngurus rumah dan membantu mbah kakung mengurus sawah mbak” (JMN, 15/04/13)

78   

karena mereka masih mempunyai anak-anak yang masih kecil, masih mempuyai tanggungan suami yang sudah sakit lama, rumah yang harus diurus, dan mengurus sawah. Dan ada beberapa alasan dari mereka yang memilih tinggal di pasar karena mereka lebih bisa menghemat biaya bahkan tidak mengeluarkan biaya.

Sekitar pukul 13.00 siang para buruh gendong perempuan sudah berdatangan di Pasar Giwangan Yogyakarta, mereka lantas berganti pakaian serta melampirkan jarit pada bahunya sebagai pelengkap pakaian kerja mereka. Selain menggunakan jarit, kemudian mereka juga mengambil srumbung miliknya di suatu tempat di pangkalannyadi pasar, serta dilengkapi pula dengan sebuah bakul yang bergaris tengah sekitar 60 cm. Mereka berpenampilan bersahaja bahkan sangat lusuh, yaitu mengenakan kaos dan jarit tanpa make-up dan asesoris. Namun diantara endong-endong ada yang hanya cukup menggunakan jarit lurik, karena barang yang dibawa milik pemasok biasanya ada yang hanya berupa “karung bagor” atau “kranjang” sehingga tidak perlu menggunakan “srumbung”.

Dalam melakukan aktifitasnya para buruh gendong perempuan ada yang bekerja sendiri ada juga uang berkelompok kalau untuk yang di buah. Masing-masing kelompok jumlahnya tidak menentu, ada yang tujuh orang, sembilan orang bahkan ada yang lebih dari sepuluh orang.

79   

Usia bagi buruh gendong nampaknya bukan menjadi halangan untuk tetap bekerja serta menghasilkan uang. Walaupun sudah tua mereka akan tetap menggendong di Pasar. Sebagian besar buruh gendong yang aktif berumur antara 40-60 tahun, selebihnya berumur 20-40 tahun dan umur 61-73 tahun. Umur 31-40 tahun ternyata menjadi usia produktif bagi endong-endong karena menurut mereka pada sekitar usia tersebut mereka mampu menggendong barang yang relatif berat. Kenyataan ini mengambarkan bahwa pada umunya endong-endong termasuk umur menengah (prime age) dalam angkatan kerja, yakni berumur antara 25-49 tahun. Hal ini logis karena puncak-puncak kekuatan fisik manusia berada pada umur menengah, dan sesudahnya kekuatan fisik manusia akan menurun. Endong-endong merupakan pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik. Sedangkan beban yang diangkat rata-rata 80-100 kg, dalam sehari mereka bisa menggendong barang 5-6 kali mengangkat barang mondar-mandir. Berdasarkan data yang diperoleh, mereka yang berusia 40-60 tahunpun masih merasa produktif dalam artian masih kuat menggendong dan menghasilkan uang. Seperti penuturan ibu “JMN” salah seorang buruh gendong :

“Umur saya sudah sekitar 58 tahun dan saya masih kuat menggendong barang dengan bobot 100 kg kadang lebih mbak” ( JMN, 15/04/13)

80   

tentunya akan berpengaruh pada kondisi ekonomi mereka. Meskipun ada dari mereka yang dapat dikatakan masuk golongan menengah, namun itupun hanya sebagian kecil saja, hal ini dapat disebabkan karena latar belakang dari kehidupan mereka.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa profesi sebagai buruh gendong sebenarnya bukan pilihan mereka. Tetapi karena keadaan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan sehingga tidak adanya keahlian dan ketrampilan yang dimiliki, daerah asal mereka merupakan daerah minus yang tidak dapat menjanjikan hasil pertanian yang cukup dan tertarik melihat saudaranya atau bahkan tetangganya yang bekerja gendong sukses. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibu “JMN” saat di wawancarai di Pasar Giwangan Yogyakarta sebagai berikut:

“Dulunya saya kerjanya serabutan mbak, jadi apapun saya kerjakan, kerja batik, jadi buruh cuci pakaian juga pernah. Ya karena dulu saya melihat tetangga saya yang kerja buruh gendong kok kayaknya enak tiap hari bisa mendapatkan uang, terus saya juga kepengen kerja buruh gendong mbak. Kalo kerja batik sama buruh cuci upahnya gak cukup buat mencukupi kebutuhan hidup mbak. Dulu kan saya juga gak sekolah mbak jadi gak punya ketrampilan apa-apa.” ( JMN, 15/04/13)

Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibu “SMR” sebagai berikut: “Dulunya saya kerjanya mencari daun jati mbak buat dijual di pasar buat bungkus tempe. Tapi dari hasil jualan daun itu kan gak cukup buat nyukupin kebutuhan to mbak terus saya kepengin tetangga saya yang kerjanya gendong, kok kayaknya enak bisa dapat duit banyak. Terus saya nyoba ikut-ikutan tetangga saya itu mbak ikut dia kerja di pasar gendong. Punya tegalan tapi kan tanahnya tandus mbak sukar ditanami. Dan gak

81   

Berdasarkan keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar daerah asal endong-endong adalah daerah minus yang tidak menjanjikan hasil pertanian yang cukup, sementara mereka tidak memiliki keahlian serta ketrampilan untuk mendapatkan nafkah hidup, maka pekerjaan sebagai buruh gendong akhirnya menjadi satu-satunya pilihan yang menurut mereka tepat serta memberi harapan. Dan sebagian besar berpendidikan rendah. Itulah merupakan salah satu faktor yang menentukan buruh gendong untuk bekerja di sektor informal, dan pekerjaan menggendong inilah yang memang mampu menampung mereka, lebih-lebih bagi mereka yang berpendidikan rendah atau sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan. Maka dari itu pekerjaan sebagai buruh gendong menjadi pekerjaan pokok, ini berlaku juga bagi mereka yang daerah asalnya tidak mempunyai lahan pertanian untuk dijadikan sebagai pekerjaan sampingan, artinya mereka bekerja sebagai buruh gendong hanya pada waktu-waktu tertentu dikala menunggu masa panen atau menanam saja.

Masalah pendapatan buruh gendong sangat bervariatif tergantung wilayah kerja/kawasan kerja, jam kerja dan kekuatan/daya gendong. Berikut tabel mengenai pendapatan perhari dan lama kerja :

82    1 0- Rp. 5000,- 3 orang 2,73% 2 Rp.6000-Rp. 10.000,- 44 orang 40,00% 3 Rp. 11.000,-Rp.20.000,- 42 orang 38,18% 4 Rp.21.000,- lebih 21 orang 19,9% Total 110 orang 100%

Sumber : Dokumen Yasanti

Dari hasil penghasilan tabel di atas, beberapa buruh gendong mendapatkan bahwa penghasilan tersebut sudah dikurangi dengan biaya transportasi, makan, dan membeli oleh-oleh untuk keluarga. Buruh gendong yang berpenghasilan rata-rata Rp.6000,- sampai Rp. 10.000,- perhari, rata-rata penhasilan mereka perbulan Rp.212..500,-. Sedangkan yang berpenghasilan Rp. 11.000,- Rp 20.000,- maka dalam sebulannya sebesar Rp.375.000,-

Tabel 5. Lama Kerja Perhari

No Lama Kerja Jumlah Persentase

1 0-5 jam 2 orang 1,82 %

2 6-10 jam 70 orang 63,64 %

3 11-15 jam 29 orang 26,36 %

4 16-20 jam 9 orang 8,18 %

Total 110 orang 100 %

83   

jam akan relatif lebih besar penghasilannya dibandingkan mereka yang bekerja kurang dari 5 jam, apalagi yang kekuatan gendong relatif kecil misal 40-50 kg.